Selasa, 06 Januari 2009
SUMBER DAN POKOK-POKOK AJARAN ISLAM
Oleh : Drs. Ihsan
Bagian I : Sumber-Sumber Ajaran Islam
Yang dimaksud dengan sumber adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembang-an sebuah ajaran, gagasan, faham atau manivesto-manivesto lainnya dalam spektrum kehi-dupan manusia. Jika terminologi “Sumber” dikaitkan dengan Islam, maka memiliki pengertian sebagai segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembangan ajaran Islam itu sendiri baik itu menyangkut hubungan Vertikal ataupun hubungan horizontal.
Dasar-dasar atau sumber ajaran agama Islam berasal dari wahyu Allah yang berupa Al Qur’an dan prilaku Nabi Muhammad sebagai aplikasi dan contoh kongkrit pelaksanaan Al Qur’an – yang kemudian disebut dengan Hadits Nabi. Secara dogmatis sumber ajaran Agama Islam hanya ada dua yaitu Al Qur’an dan Hadits – selanjutnya untuk memudahkan pemahaman, keduanya dikenal dengan “sumber pokok”. Sedangkan yang lainnya merupakan pengembangan ajaran berdasarkan sumber pokok melalui proses pemikiran dan penentuan hukum (ijtihad) – selanjutnya dikenal dengan hukum atau ajaran “Istimbaty”.
Perkembangan metode penentuan hukum sebagaimana disebutkan di atas tidak menyebabkan kurangnya kesempurnaan Al Qur’an dan Al Hadits, tetapi justru menunjukkan kelebihan dan fleksibiltas ajaran Islam. Secara umum yang menyebabkan munculnya tradisi Ijtihad dalam hukum Islam adalah :
A. Masyarakat Islam berkembang dengan pesat baik secara politik, sosial maupun ekonomi yang membawa berbagai permasalahan hukum baru.
B. Ketika Nabi masih Hidup, permasalahan hukum tersebut dapat dikonsulasikan dan dapat diputuskan oleh Nabi. Seteleh Nabi meninggal, hukum suatu masalah diputuskan berdasarkan proses Ijtihad dengan dasar al Qur’an al Hadits.
C. Hukum-hukum Al Qur’an dan Al Hadits sebagian besar bersifat gelobal dan bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual)
D. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia dengan meletakan qoidah-qoidah fiqhiyah.
Bagian II : Tata Urutan Sumber Hukum Islam
Terlepas dari peristiwa tersebut, dalam kajian yurisprodensi Islam telah terjadi perbedaan pe-mikiran tentang sumber-sumber hukum Islam yang layak dan diakui sebagai landasan penetapan hukum Islam. Secara umum urut-urutan sumber hukum Islam adalah :
A. Al Qur’an
B. Al Hadits (Tradisi Rasulullah)
C. Ijma’ (Kesepakatan Ulama)
D. Qiyas (ra’yi yang tersistematik)
Penetapan urut-urutan sumber hukum tersebut, bukan saja berjalan tanpa ada perbedaan pemikiran, sebab ternyata mereka telah mengalami perbrdaan pemikiran pada dua hal, yaitu :
Kapan urut-urutan tersebut berkembang !, dan Mana yang lebih dulu ada; apakah Ijma ataukah Qiyas !.
Pertama; terjadi perbedaan pemikiran; sebagian mereka mengatakan bahwa konsep urut-urutan tersebut telah berkembang pada masa awal perkembangan umat Islam, tetapi yang lain mengatakan bahwa sangat tidak mungkin konsep urut-urutan tersebut berkembang pada masa awal perkembangan umat Islam, sebab konsep qiyas sebagai unsur sumber hukum tersebut baru berkembang pada periode II atau bahkan periode III, meskipun idenya telah ada dalam bentuk Qiyas pada awal perkembangan Islam. Selain itu terdapat alasan-alasan lain yang menjadikan mereka ragu, yaitu :
A. Skema teori hukum itu sendiri merupakan hasil perkembangan dan pergulatan sejarah yang berasal dari para shahabat Nabi Muhammad SAW.
B. Tata urutan sumber hukum merupakan produk dari generasi yang terkemudian artinya baru berkembang pada periode berikutnya.
C. Konsep tentang pemimpin yang terbimbing terutama dalam kasus adanya qiyas, baru ber-kembang setelah khulafaur Rasyidin (4 kholifah pertama).
D. Konsep ijma’ paling mungkin berkembang setelah generasi pertama Islam.
Kedua; semua ulama sepakat bahwa Al Qur’an merupakan otoritas mutlak pertama dalam sistem yurisprodensi Islam, dan kemudian diikuti oleh al Hadits. Konsep ini dapat kita temukan disetiap teks dan literatur hukum keislaman, misalnya :
A. Kewajiban untuk taat kepada Allah dan Rasulnya (Qs. Ali Imron : 32, Al Anfal : 1 dan An Nur : 47).
C. Isyarat tentang urut-urutan hukum dan sumber ajaran Islam yaitu al Qur’an dan Al Hadits pada saat pidato Haji Wada’ (HR. Imam Malik dan Hakim) dan peristiwa ditugaskannya Ali Bin Abi Tholib dan Muadz bin Jabal menjadi duta hukum dan agama ke Yaman (HR. Tirmidzi).
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَااِنْ تَمَسّكْتُمْ بِهِمَا فَلنْ تَضِلّوْا اَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنّةَ رَسُوْلِهِ (رواه المالك والحاكم)
Dalam ruang lingkup tersebut, semua pemikir dan ulama Islam tidak ada yang berbeda pendapat, akan tetapi ketika mereka menempatkan urut-urutan sumber hukum yang berikutnya, yaitu Ijma dan Qiyas. Di sini telah terjadi perselisihan pendapat; sebenarnya mana yang lebih dulu antara Ijma dan Qiyas. Dan argumentasi apa yang dapat digunakan untuk meletakkan produk pemikiran Shahabat (ulama) sebagai proses ijtihadi baik itu berupa Ijma maupun qiyas menjadi sumber hukum atau ajaran Islam.
Seseorang yang mengagumi Ijma’, mengatakan bahwa ijma’ lebih dahulu adanya diban-dingkan dengan Qiyas, dan oleh sebab itu Ijma’ harus menempati posisi yang lebih utama dari pada Qiyas. Akan tetapi mereka yang mendukung qiyas, mengatakan bahwa tidaklah mungkin terjadi sebuah kesepakatan hukum atau ijma’, jika seseorang tidak melakukan aktifitas ra’yi (berfikir) dan aktifitas berfikir yang tersistematik pada saat itu adalah Qiyas. Dengan demikian Qiyas (ra’yi yang tersistematik) seharusnya lebih ada dan berkembang dikalangan umat Islam, baru kemudian lahir apa yang kita sebut sebagai kepakatan hukum oleh para pemikir (Ijma’).
Secara umum berdasarkan urut-urutan sejarah, maka pengembangan ajaran agama Islam yang bersumber pada al Qur’an dan Hadits yang kemudian mendapat penegasan-penegasan secara historical kronologis dari berbagai pendapat ulama dapat digambarkan sebagai berikut :
Periode Nabi Muhammad SAW.
Pada masa sumber ajaran Agama Islam bersumber pada :
1. Al Qur’an berasal dari kata “Qaraa”. Dari kata tersebut terbentuk kata “Qur’an” atau “Qiraatan” yang berarti “bacaan” atau yang “dibaca”. Secara Istilah, Al Qur’an berarti wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara (Malaikat Jibril, Bunyi Lonceng, dibalik tabir atau mimpi) dengan menggunakan bahasa Arab – yang membacanya akan mendapatkan pahala.
2. Al Hadits – mempunyai arti berita atau khabar, maka yang dimaksud dengan hadit adalah segala berita yang berasal dari Nabi Muhammad. Secara seder-hana ulama Hadits mengartikannya dengan “Segala hal yang dinukil (diambil) dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, perkataan atau kete-tapan). Dalam khazanah keilmuan Islam, hadits dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Hadits Nabawi yaitu catatan aktifitas Nabi berdasarkan prilaku/perkataan murni nabi Nabi, baik redaksi maupun gagasannya.
b. Hadits Qudsi yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi, selain Al Qur’an dengan redaksi dan susunan kata berasal dari Nabi Muhammad.
Secara dogmatis, kita dapat menemukan argument yang menegaskan bahwa Al Qur’an dan Al hadits merupakan sumber ajaran agama Islam. Menolak terhadap eksistensi kedua-nya artinya keberadaannya sebagai sumber ajaran agama Islam adalah pengingkaran terhadap agama Islam. Dalil-dalil dogmatis yang dapat diajukan, misalnya :
1. Bahwa taat kepada Rasul sama dengan taat kepada Allah (Qs. An Nisa : 59).
2. Taatlah kamu kepada Allah dan Rasulnya dan jika kamu berrselisih terhadap per-soalan tata nilai hidup atau hukum sesuatu, hendaklah kembali pada Allah (Al Qur’an) dan Rasulnya (Al Hadits) (Al Qur’an Surat Ali Imron : 32, An Nisa’ :58 dan An Nur : 132).
3. Telah aku tinggalkan dua hal yang kamu tidak akan tersesat selamnya, jika berpegang keadanya yaitu Al Qur’an dan Al Hadits (HR. Imam Malik dan Hakim).
Periode Shahabat (Khulafaur Rasyidin)
Pada periode Shahabat atau lebih khusus pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, ajaran agama berkembang melalui dua hal, yaitu :
1. Sumber Al Qur’an dan Al Hadits - sekali lagi untuk memudahkan pemahaman disebut sumber pokok (Sumber Primer) atau otoritas hukum (ajaran) Islam.
2. Pemikiran atau penafsiran pribadi dari para Shahabat terhadap permasalahan yang timbul pada masa itu, sedangkan ketentuan pasti dan tekstual dari Al Q ur’an dan Hadits tidak ditemukan. Penentuan hukum seperti itu dinamakan dengan “Ra’yi” atau “pertimbangan/pendapat pribadi” – selanjutnya disebut “Sumber Skunder”.
Penggunaan pemikiran atau pendapat pribadi para shahabat terhadap permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara pasti dan tekstual dari Al Qur’an dan Al Hadits merupakan langkah awal berkembangnya konsep “ijtihad”. Secara dogmatik, kita banyak menemu-kan anjuran dan legislasi atau pengabsahan sebuah produk hukum yang dimunculkan dari proses Ijtihad. Namun Nabi Muhammad memiliki pandangan dan pemikiran tersendiri dan jauh kedepan, terutama tentang kemungkinan perlunya penafsiran aplikasi ajaran Islam berdasarkan sosio kultural yang berbeda dengan zaman Nabi, sehingga dalam moment tertentu Nabi memberikan peluang terjadinya proses ijtihadi – termasuk didalamnya melegalkan prilaku syar’I berdasarkan proses tersebut. Dasar-dasar dogmatik yang dapat kita kemukakan untuk mendukung perlunya ijtihad adalah :
1. Adanya anjuran untuk kembali pada Al Qur’an, Al Hadits dan (Ulil Amri), jika menemukan perbedaan pandangan mengenai hukum Islam (Qs. An Nisa’ : 58).
2. Adanya riwayat yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal ketika akan diutus menyebarkan Islam kedaerah lain ditanya oleh Nabi. Yang intinya memberikan legalisasi penggunaan pemikiran/pendapat untuk menemukan hukum berdasarkan sinyal al Qur’an dan Al Hadits.
Pada periode ke tiga (Tabiin, Tahabiit thabiin)
Pada periode ke tiga atau pada zaman Tabi’in dan Tabiit Tabi’in serta kemungkinan generasi setelah Tabiit Tabi’in – mereka mengembangkan ajaran agama Islam dengan bersumber pada :
1. Sumber Pokok (sumber primer) yaitu Al Qur’an dan Al Hadits
2. Sumber Skunder yaitu proses penentuan hukum melalui Ijtihad. Proses ijtihad pada masa ini telah memiliki ketentuan dan kaidah yang baku, termasuk kesepakatan mengenai syarat-syarat orang melakukan proses Ijtihadi. Bentuk ijtihad yang berkembang pada masa ini adalah :
a. Ijma adalah kesepakatan ulama (pakar hukum Islam) mengenai suatu masalah yang terjadi pada masa itu berdasarkan ketentuan-ketentuan minimal dari Al Qur’an dan Al Hadits berupa teks langsung atau hanya Isyarat hukum saja.
b. Qiyas adalah proses menyamakan hukum suatu masalah pada hukum suatu masalah yang lain, karena ada kualifikasi yang sama berupa kesamaan sifat, sebab dan akibat – yang dalam kaidah ushul fiqh disebut dengan adanya kesamaan “Illat”, misalnya menyamakan hukum minuman keras dengan khamr karena ada unsur yang sama yaitu memabukkan.
c. Istihsan yaitu menentukan hukum berdasarkan nilai kebaikannya.
d. Istishab yaitu menetapkan hukum berdasarkan ketetapan atau situasi yang berkembang sebelumnya.
e. Urf yaitu mempertimbangkan ketetapan hukum berdasarkan nilai sosial dan tradisi yang berkembang dimasyarakat Islam sebelumnya.
f. Al Maslahah Mursalah yaitu menetapkan hukum berdasarkan nilai kebaikan dan kerusakannya.
g. Saddud Dara’i yaitu menentukan hukum berdasarkan seberapa jauh akibat negatif yang akan ditimbulkannya.
Terlepas dari kontroversi itu semua, dalam uraian-uraian berikut kita akan mencoba melihat secara gelobal eksistensi al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber hukum mutlak, di samping itu juga akan dibicarakan metode-metode penggalian hukum yang kemudian kita kenal sebagai Ijma dan Qiyas.
Bagian III : Al Qur’an Dan Al Hadits
Dua Otoritas Mutlak Sumber Hukum Islam
Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka, bahwa Islam hanya mengakui dua otoritas mutlak, yaitu al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber hukum dan nilai kehidupan manusia. Pe-ngakuan tersebut bukanlah sebuah pemanis muka dalam keimanan dan keberagamaan seseorang. Pengakuan tersebut adalah perwujudan sejati dari kualitas ke-imanan dan keber-agamaan umat Islam. Islam dengan tegas menentang sikap kemunafik-an dan kepura-puraan dalam beragama, bahkan kamunflasi dan formalisme palsu dalam agama. Sikap apa adanya dalam beragama merupakan perwujudan kualitas iman seseorang tanpa bermaksud untuk pamer atau show of actifity dalam pengertian atau kerangka non syiar Islam.
Sumber pertama dari system keimanan dan kepercayaan Islam adalah al Qur’an, sebuah kitab yang mengandung pedoman moral (etika), hukum (Syari’ah) dan keimanan (Tauhid) umat Islam. Oleh sebab itu menempatkan al Qur’an dalam posisi tersebut, berarti telah menempat-kannya pada posisi yang seharusnya sebagai sumber nilai kehidupan manusia yang normatif. Dalam pandangan seperti itu, al Qur’an bagi umat Islam menyebabkan lahirnya komitmen-komitmen keimanan yang mau tidak mau harus ada didalam diri umat Islam. Komitmen-komitmen keimanan tersebut adalah :
A. Menempatkan al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia ( Qs. Al Baqarah : 2 dan An- Nisa’ : 136).
B. Membiasakan membaca al Qur’an sebagai tradisi untuk meningkatkan kualitas iman, kepekaan terhadap nilai kebenaran dan ayat-ayat Allah (Qs. Al Anfal : 2, Ali Imron : 7, Muhammad : 24 dan Al Mujammil : 1-4).
C. Menempatkan al Qur’an sebagai dasar aktifitas kehidupan keduniaan, kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara (ekonomi, politik, sosial dan budaya) serta kehidupan dengan bangsa lain atau hubungan international (Qs. An Nisa' : 105, Al Maidah : 45, An Nur : 51 dan Al Jaatsiyah :7-8)
D. Berusaha mengajarkan kepada orang lain sehingga mereka dapat memahami dan beriman kepadanya (Qs. Ali Imron : 79 dan 104 )
E. Berusaha memahami bahasa Arab atau perangkat lain yang dapat dipakai memahami Al Qur’an (Qs. Yusuf : 2).
Dengan melihat beberapa komitmen keimanan tersebut, maka pemahaman kita tentang posisi al Qur’an dalam system dan tata urutan sumber hukum umat Islam sangat jelas yaitu sebagai sumber utama dan yang paling menentukan. Oleh sebab itu tidaklah benar jika ada sementara orang yang sarjana yang beranggapan bahwa al Qur’an hanya mengatur dan mengakomodasi kepentingan proses ritual dalam hubungannya dengan Allah SWT, sebagai-mana yang dikemukan oleh Coulson, melainkan kitab yang mengandung segalan ketentuan hidup manusia, ketentuan hidup yang berkaitan dengan hubungannya kepada Allah dan juga hubungannya dengan manusia.
Lebih dari itu, al Qur’an bukanlah sebuah kitab Undang-undang dalam perspektif kekinian yang memuat ketentuan kehidupan dalam bentuk hukum dan ketentuan moral, melainkan ia memuat prinsip-prinsip kehidupan secara makro dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan manusia dengan sesamanya serta hubungan manusia dengan alam tempat tinggalnya sebagai perwujudan tugas kekhalifaan (Qs. Al Baqoroh : 30).
Mengingat fungsi dan peran gelobalnya, maka prinsip hukum dan norma-norma Qur’aniyah di susun dalam bentuk yang sangat simbolis, gelobal dan seringkali bermakna ganda tetapi tetap strategis. Sungguhpun demikian bukan berarti kita tidak menemukan satu prinsip atau hukum yang berkonotasi mikro artinya sempit dan sangat teknis yang sering disebut dengan “ayat muqayyad”, karena ternyata ditemukan juga ayat-ayat teknis. Menurut Prof. Schacht, terdapat ayat-ayat atau aturan khusus yang sejak semula telah dikemukakan oleh al Qur’an yaitu ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga, warisan, kultus dan ritual keagamaan.
Sumber hukum yang kedua adalah As Sunah atau al Hadits, dengan tidak mempersoalkan perbedaan pengertiannya. Sunnah diakui sebagai salah satu dari dua otoritas yang diakui keberadaannya dalam system hukum Islam. Pengakuan dan legitimasi keberadaan sunnah tersebut, otomatis tidak lagi memandang adanya kontroversi dikalangan umat Islam terhadap keaslian dan eksistensinya dalam sejarah perkembangan umat Islam.
Sebab mau atau tidak mau kita harus mengakui adanya perbedaan pandangan terhadap eksistensi Sunnah dalam system kepercayaan dan keimanan umat Islam. Mereka yang meragukan atau bahkan mengingkari Sunnah beranggapan bahwa perjalanan sejarah Sunnah sangat kontroversial, mengingat kreteria dan kualifikasi Sunnah ditentukan oleh ulama dan dalam pergulatan kesejarahannya terjadi pemalsuan-pemalsuan Sunnah terutama pada masa Umaiyah. Termasuk jika kita melihat matan atau isi Sunnah terdapat banyak pertentangan baik Sunnah dengan Sunnah atau bahkan Sunnah dengan Al Qur’an.
Problem sah dan tidaknya sebuah Sunnah memang sulit dipastikan karena pembukuan Sunnah sendiri baru dilakukan setelah generasi pertama umat Islam tidak ada, dan proses seperti ini mengundang pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. Lebih dari itu bahwa proses pemahaman Sunnah sangat ditentukan oleh :
A. Adanya Sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
B. Adanya tradisi yang berkembang pada masa khulafaur Rasyidin (kholifah 4).
C. Adanya tradisi atau praktek shahabat yang tercatat.
Oleh sebab itu mereka yang meragukan eksistensi Sunnah beranggapan bahwa sejarah perjalanan Sunnah sangat tidak transparan dan diragukan keberadannya. Sungguhpun demikian, menurut hemat saya, bahwa kita sebagai umat Islam, yang meyakini keberadaan Rasulullah sebagai suatu kebenaran mutlak, sudah barang tentu harus meyakini kebenaran yang dikandung dan yang diutarakan oleh Nabi Muhammad SAW. Perkara kualitas Sunnah kita sudah mempunyai kreteria yang telah disepakati oleh para ulama.
Bagian IV : Ijtihad dan proses pengambilan hukum (Ajaran) Islam
Ijtihad adalah istilah generik yang digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang berkaitan dengan pegulatan umat Islam untuk menemukan rumusan-rumusan baru dalam bidang hukum, yang tidak ditemukan dalam dua otoritas mutlak hukum Islam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Karena sifat-sifat kebaruan itulah yang kemudian menjadikan konsep ijtihad sedikit banyak mengalami benturan-benturan nilai dan pemikiran dikalangan umat Islam. Walaupun demikiran konsep ijtihad mutlak diperlukan umat Islam sebagai perwujudan dinamis dan progresif ajaran Islam itu sendiri.
Ijtihad berasal dari kata Arab “JAHADA”, yang dari kata-kata tersebut berkembang kata Ijtihad dan Jihad. Dua buah kata yang mengandung pengerahan segala hal dalam bentuk yang sangat maksimal. Jihad secara subtansial adalah pengerahan tenaga dan kesengajaan untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat Allah, sedangkan ijtihad adalah pengerahan ke-mampuan pikir untuk menemukan hukum berdasarkan pengertian tersirat dari dua otoritas hukum Islam.
Secara sederhana; Jahada berarti sungguh-sungguh. Dengan demikian Ijtihad (kata bentuk-an dari Jahada) juga mengandung dan sekaligus menuntut adanya kesungguhan – artinya kesungguhan untuk menemukan sesuatu hukum. Dalam konteks yang lain, Ijtihad juga berarti “Ra’yi” yang bermakna memberikan pertimbangan pemikiran yang adil dan baik. Di samping pengertian-pengertian tersebut diatas, juga terdapat pengertian yang lain dari beberapa pakar (Ulama) yang mengkaji nilai-nilai keislaman :
A. Para Ulama :
“Mengerahkan segala kemampuan (berfikir) untuk mendapatkan atau memecahkan se-suatu (yang sulit) dan dalam praktek hanya sesuatu yang sangat sulit dan memayahkan”.
B. Shahabat :
“ Penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat kepada Kitabulah dan Sunnah Rasul melalui Nash atau maksud umum hikmah syari’ah itu sendiri”.
C. Ulama Fiqh :
“Pengerahan segenap kemampuan ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat Dhanni (spekulatif) terhadap hukum syari’at”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka setiap ijtihad mempunyai 3 komponen atau unsur yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu :
A. Pelaku ijtihad adalah orang yang ahli fiqih (Menguasai hukum Fiqh).
B. Obyek atau sasaran dari ijtihad adalah hukum syari’ah bidang amali atau hukum-hukum furu’iyah, yang berkaitan dengan tingkah laku mukallaf dan bukan terhadap hal-hal yang bersifat I’tiqodi (Keimanan) dan Akhlaki (Moral).
C. Hasil dari sebuah proses Ijtihadi bersifat Dhanni (Spekulatif).
Di samping pengertian di atas, yang memberikan petunjuk adanya obyek ijtihadi yang bersifat furu’iyah amaliyah dan dengan kualitas yang ada kaitannya dengan Nash secara tersirat, maka menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa Ijtihad adalah pengerahan berfikir untuk memperoleh hukum syara yang tidak ada nash (Ijtihad bir Ra’yi). Dalam konteks pemikiran tersebut, maka kemungkinan Ijtihad bisa terjadi dalam tiga (3) hal, yaitu :
A. Hukum Nash Dhanni Dalalahnya (Dalaliyah) artinya hukum yang diperoleh berupa pe-nafsiran berkualitas terhadap ungkapan Nash Al Qur’an dan Al Hadits.
B. Hukum syar’i amali (Furu’iyah) dengan menerapkan qoidah-qoidah syar’iyah Kulliyah.
C. Hukum syar’i amali yang tidak ada nashnya (Ijtihad Bir Ra’yi).
Dengan demikian sasaran Ijtihad sebenarnya tidak hanya suatu hukum yang keberadaan-nya hanya sepintas dijelaskan oleh kedua otoritas tersebut, melainkan juga kepada sesuatu yang tidak ada Nashnya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang baik.
DASAR, OBYEK DAN PERMACAMAN IJTIHAD
A. Dasar
1. Al Qur’an Surat An Nisa 59 (Dan jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan Al Hadits serta keputusan pemimpin dari antara kamu.
2. Al Hadits yang menceritakan prilaku Ali bin Abi Tholib dan Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
3. Logika berfikir yang menyatakan bahwa perkembangan zaman yang yang komplek dan aplikatif membutuhkan perangkat aktualisasi hukum dan nilai keislaman.
B. Obyek
Obyek ijtihad di bagi menjadi 2 yaitu obyek yang boleh dan obyek yang tidak boleh di-lakukan kegiatan Ijtihad.
1. Obyek yang boleh dilakukan Ijtihad
a. Peristiwa yang telah ditunjuk oleh nash Dhanni baik dilihat dari kedudukannya (Wurud) atau dalalahnya (maksud kata yang diinginkan).
b. Peristiwa yang tidak ditunjuk oleh Nash dan tidak ada kesepakatan ulama terhadap peristiwa tersebut.
2. Obyek yang tidak boleh Ijtihad
a. Hukum yang telah ditunjukkan secara qoth’i (baik dari segi wurud atau dalalahnya).
b. Hal-hal yang telah disepakati (ijma’) oleh ulama
c. Lapangan hukum yang Ta’abuddi, yang ghoiru ma’qulil makna artinya lapangan hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal seperti 1/6 bagian untuk nenek perempuan dalam bidang waris.
C. Tingkatan dan macam-macam Ijtihad
Sebelum kita mengenal lebih jauh Ijtihad, maka perlu diperhatikan hal-hal yang seharusnya ada bagi mereka yang ingin melakukan Ijtihad. Hal-hal tersebut adalah :
1. Warisan fiqh besar yang mu’tabar, yang pernah ada dikalangan umat Islam, terutama memahami aliran, mazhab dan kecenderungan berfikir ulama.
2. Melakukan kajian hukum dengan mengembalikan kepada sumber Nash, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
3. Melakukan ijtihad hanya kepada sesuatu/problem yang benar-benar baru.
Oleh sebab itu tidaklah semua orang dapat melakukan ijtihad, karena sesungguhnya ijtihad adalah upaya untuk memperoleh kepastian hukum dan hukum yang dihasilkan dari proses tersebut mempunyai sifat-sifat mengikat bagi pemeluknya. Dalam konstek seperti ini, para ulama membuat aturan dan syarat bagi seorang mujtahid, yaitu :
1. Faham bahasa Arab termasuk di dalamnya adalah faham gramatikal, uslub dan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Arab.
2. Menguasai ayat-ayat Ahkam, yang menurut Imam Gazali minimal 500 ayat ahkam.
3. Menguasai hadits ahkam paling sedikit 2.500-3.000 hadits ahkam
4. Menguasai hukum-hukum yang telah disepakatti oleh Ulama (Ijma’).
5. Menguasai Ushul Fiqh.
Karena persyaratan-persyaratan tersebut, maka kemampuan dan kualitas mujtahid juga akan mempengaruhi hasil dan mutu dari ijtihad itu sendiri. Kualitas dan tingkatan mujtahid juga mempengaruhi kedudukan seseorang dalam wacana ijtihad, karena mujtahid itu mem-punyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
1. Mujtahid Mutlak atau Mustaqil yaitu mujathid yang dalam melakukan ijtihad bersifat mandiri, langsung kepada sumbernya dan tidak dipengaruhi oleh pendapat atau pemikiran ulama lainnya.
2. Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang terikat oleh pemikiran, pendapat dan metode mujtahid mutlak
3. Mujtahid fil Mazhab yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihadnya terikat oleh mazhab yang dianutnya.
4. Mujtahid Murajih yaitu mujtahid yang hanya melakukan perbandingan pemikiran dan pendapat para mujtahid lainnya.
Berdasarkan pemikiran, kemampuan dan metode serta derajat mujtahid tersebut, Untuk memudahkan pemahaman kita tentang hasil dan proses ijtihad, maka ijtihad dibagai dalam beberapa macam, yaitu :
1. Metode atau langkah :
a. Intiqo’i yaitu proses ijtihad dengan melakukan seleksi dan tarjih (memilih pendapat yang kuat) terhadap pendapat dan aliran pemikiran fiqh.
b. Insya’i (Darakil Hukmi) yaitu proses ijtihad yang materinya (Problem) sama sekali baru dengan menggunakan Nash-nash yang tafsili atau menggunakan dalil-dalil kulli misalnya Ijma’, Qiyas, Istislah (Maslahah Mursalah) Istihsan, Sadduz Zara’i, Urf dll.
2. Pelaku (Subyek) :
a. Jama’i artinya pelaku ijtihad bersifat kelompok (ijma’)
b. Fardi artinya pelaku ijtihad bersifat individual atau perorangan.
3. Obyek atau titik tekan Ijtihadnya :
a. Istimbathi yaitu proses ijtihad yang fokusnya dari sumber Nash Al Qur’an dan Al Hadits.
b. Tathbiqi yaitu proses ijtihad yang menerapkan hukum pada suatu obyek atau per-masalahan dengan seperangkat kaidah yang sesuai.
IJTIHAD : SEBUAH POTRET KREATIFITAS UMAT ISLAM
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa itjihad adalah bentuk dari sebuah kepedulian umat dan keperpihakan umat terhadap upaya menyelesaikan permasalahan hukum Islam melalui kerja keras dan pengerahahan berfikir. Proses kajian dan pencarian hukum Islam yang baru, yang kemudian kita kenal sebagai wacana Ijtihad sebenarnya telah berkembang pada zaman Nabi Muhammad, bahkan Nabi sering menetapkan atau bahkan menggunakan pendapat dan pemikiran umat Islam sebagai ketentuan hukum yang harus dianut oleh umat Islam.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, problem hukum tidak banyak mengalami benturan dalam arus pendapat dan pemikiran yang beragam, karena dengan mudah dikembalikan kepa-da Nabi dan kemudian mendapatkan putusan hukumnya, sehingga dalam konteks seperti ini Al Qur’an ditafsiri dan dijelaskan oleh Al Hadits dan Hadits dijelaskan oleh pemikiran-pemikiran para shahabat yang baik, yang telah mendapatkan rekomendasi Nabi Muhammad SAW.
Pada periode awal keislaman, setelah Nabi meninggal, problematika hukum Islam ber-kembang dengan pesat dan membuat kesulitan tersendiri dalam konteks yuridis Islam dan ke-hidupan sosial keagamaan umat Islam, maka dimulailah tradisi ijtihad dikalangan umat Islam, yang pada saat itu ijtihad adalah Ra’yi artinya berfikir atau pertimbangan pribadi terhadap suatu permasalahan hukum dengan cakupan yang sangat sempit.
Menurut Ahmad Hasan Ijtihad adalah sebuah proses penafsiran ulang dan pemikiran ulang hukum Islam secara independen artinya tidak dipengaruhi oleh sebuah kepentingan politik dan golongan. Dalam pengertian yang lain Ijtihada adalah pendapat seorang ahli atau pertimbangan bijaksana dan adil, misalnya kasus hukuman bagi orang mematahkan tangan yang lumpuh, membutakan mata yang tidak berfungsi (cacat) dll.
Akan tetapi setelah periode Imam Syafi’i yang berhasil meletakkan Ijtihad lebih dulu ke-timbang Ijma’ dalam konteks tata urutan penggalian Hukum Islam, Ijtihad berkembang menjadi sebuah metodologi penggalian hukum yang keberadaannya sangat signifikan bagi umat Islam, bukan sekedar memberi pertimbangan dan pemikiran bijaksan saja, melainkan mengarah pada kepastian hukum itu sendiri.
Pengertian Ijtihad dalam konteks Ra’yi atau pertimbangan intelektual dan bijaksana ter-sebut pada awal Islam sering dilakukan oleh Kholifah Umar Bin Khattab, misalnnya membatalkan pembagian harta rampasan di Irak, pembatalan hukum potong tangan bagi mereka yang mencuri dikarenakan kelaparan dll. Prilaku-prilaku ijtihadiyah tersebut berkem-bang karena umat Islam secara natural mengalami perkembangan masalah yuridis. Secara umum Ra’yi tidak banyak berkembang pada masa Nabi Muhammad, tetapi pada masa Shahabat konsep hukum Islam memberi-kan kesulitan dan kepelikan tersendiri. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan pemikiran dikalangan Shahabat, yaitu :
A. Otoritas Qur’an secara umum tidaklah membutuhkan Ra’yi dalam penentuan Hukum, akan tetapi untuk menetapkan pada situasi tertentu atau tidak ditetapkan untuk situasi itu, memerlukan kajian tersendiri.
B. Pada aspek Hadits, ra’yi sangat sulit menetapkan. Hal tersebut dikarenakan :
1. Tidak adanya ketegasan Hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah SAW.
2. Shahabat yang benar-benar memahami dan kemudian memakai hadits.
Berdasarkan pemikiran dan kesulitan yuridis tersebut, maka Ijtihad menjadi sangat penting bagi umat Islam. Untuk itu pengertian ijtihad menjadi sangat luas. Adalah Fazlur Rahman yang memberikan pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa ijtihad adalah upaya untuk me-mahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau (aturan masa lampau) untuk mengubah, memperluas, membatasi dan memodifikasi, sehingga situasi baru dapat dicakupkan dan dimasukkan didalamnya dengan solusi yang baru. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah sebuah hak privilese eksklusif bagi golongan tertentu dalam masyarakat Islam.
Dengan konsep seperti itu, maka aplikasi Ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang dalam komunitas umat Islam, maka sadar atau tidak, telah memberikan peluang terjadinya perbedaan pemikiran sekaligus terjadi benturan pendapat tidak hanya kepada hasil pemikiran itu sendiri, tetapi juga terhadap hukum yang tersurat. Terdapatnya benturan yang terus menerus antara hukum yang tersurat dengan semangat yang terkandung didalamnya artinya semangat Ra’yi menurut orang-orang yang berseberangan dengan Imam Syafi’i disebabkan tidak adanya nash yang pasti, akan tetapi menurut Imam Syafi’i bahwa pertentangan dan beda pendapat tersebut tidak hanya kepada makna yang tersurat, melainkan juga kepada hukum-hukum yang nyata-nyata atau secara eksplisit terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Umar Bin Khattab (Pembatalah harta Rampasan dll.).
Kasus tersebut barangkali menarik, jika dikembalikan pada aturan, obyek dan hasil Ijtihad yang sebenarnya hanya kepada sesuatu yang tidak ada nashnya, furu’iyah, akan tetapi dalam kasus Umar Bin Khattab, tidak hanya kepada yang furu’iyah melainkan telah merambah kepada hukum yang sebenarnya telah ada secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Hal tersebut disebabkan oleh keinginan dan kemampuan Umar bin Khattab dalam menangkap makna dan semangat yuridis berkaitan dengan situasi sosial keagamaan pada saat itu.
Kembali pada sikap Dr. Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa Ijtihad bukanlah sebuah hak eksklusif golongan tertentu umat Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman menolak pembagian dam stratifikasi mujtahid sebagaimana yang dikemukan di atas, karena menurutnya pembagian ter-sebut hanya menunjukkan formalistis dan artifisial saja. Oleh sebab itu sangat tidak diperlukan dalam konteks pengembangan pemikiran umat Islam, walaupun demikian Ijtihad sebagai prinsip yang terus bergerak dalam struktur umat Islam dan dalam praktek umat Islam perlu dibatasi oleh kualifikasi-kualifikasi tertentu.
Sudah barang tentu, maka tidak ada apa yang kita sebut sebagai “Pintu Ijtihad Tertutup”. Berkembangnya statemen tersebut menurut Dr. Fazlur Rahman, yang juga menyetujui pemi-kiran Moh. Iqbal tentang adanya situasi tersebut, bukanlah sebuah kualifikasi atau syarat yuri-dis sehingga pintu ijtihad tertutup, melainkan adalah sebagai gambaran kondisi umat Islam :
A. Wujud keengganan berfikir dikalangan umat Islam
B. Ketidak beranian umat Islam untuk berfikir karena untuk mempertahankan status quo, ter-masuk didalamnya status quo hukum yang telah diputuskan oleh ulama sebelumnya.
C. Memburuknya standar intelektual umat Islam dan menciutnya tradisi intelegensia umat Islam.
Berdasarkan pemikiran dan penjelasan tersebut, dapat diambil satu kesimpulan bahwa Ijtihad dalam pembentukan dan sosialisasi hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kreatifitas umat Islam itu sendiri. Pergulatan pemikiran Ijtihadi itu sendiri berkembang dari tataran yang sangat seder-hana menjadi lebih komplek dan sistematis, baik dlihat dari kuantitas masalah dan kualitas produk hukum yang hasilkannya.
Pada periode awal sejarah Islam, perkembangan permasalahan hukum Islam berkembang sangat pesat dan komplek, terutama yang berkaitan dengan aplikasi intelektual dan tradisi berpikir umat Islam. Tradisi berfikir umat Islam lebih banyak berkembang disebabkan oleh problem yurisprodensi dalam bentuk dan wacana Ijtihadiyah. Wacana Ijtihadiyah pada periode awal Islam terbagi dalam tiga bentuk, yaitu :
A. Ra’yi (Pendapat Pribadi)
B. Qiyas (Pendapat yang tersistematik)
C. Istihsan (Pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan tertentu/kondisional).
Untuk mengetahui prinsip dan aplikasi atau pelaksanaannya, maka akan kita bahas secara gelobal ke tiga prilaku hukum tersebut, karena ternyata pelaksanaan ketiga metode penggalian hukum tersebut memicu pertentangan dan kontroversi pemikiran dalam wacana keilmuan Islam.
A. Ra’yi (Pertimbangan Pribadi)
Secara umum, Ra’yi berarti pendapat pribadi atau pemikiran bijaksana yang berkembang sebagai jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dikalangan umat Islam. Ra’yi dalam pengertian diatas sering muncul, terutama dari para pemikir Islam atau pemimpin Islam, misalnya beberapa pemikiran pribadi Umar Bin Khattab yang kemudian dipakai putusan hukum.
Metode Ra’yi dalam spektrum tradisi Ijtihad berkembang dalam masyarakat islam dikarenakan Shahabat dalam memberikan pendapat dan pandangannya menggunakan dasar ayat Al; Qur’an dan Teks Hadits yang berbeda, sehingga diperlukan pendapat dan pola pemikiran yang baik dan bijaksana. Di samping itu terdapat sebab-sebab lain yang berasal dari dua otoritas hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits sebagaimana yang diungkapkan di atas, khusus dalam memahami Al Qur’an, metode Ra’yi merupakan metode yang terbaik untuk menimbang ayat mana yang cocok untuk diterapkan dan yang tidak dapat diterapkan, sedangkan untuk memahami hadits terdapat kesulitan-kesulitan :
1. Menentukan hadits yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW dan yang tidak dari Nabi Muhammad SAW.
2. Terdapat perbedaan adanya shahabat yang dapat memahami makna hadits tersebut.
Dengan demikian, Ra’yi sangat tergantung kepada landasan dan kemampuan seseorang dalam menangkap makna dan arah serta muatan permasalahan hukum itu sendiri, oleh sebab itu dalam prakteknya, produk Ra’yi sering berbeda dengan hasil Ra’yi yang lain, misalnya Ra’yi yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab sering bertentangan dengan hasil Ra’yi Shahabat yang dalam permasalahan hukum yang sama. Untuk memperkuat gambaran berkembangnya tradisi Ra’yi tersebut, berikut ini contoh-contoh Khalifah Umar Bin Khattab :
1. Pembatalan hadiah (Barang atau tanah) kepada kepala Suku non Islam dengan tujuan agar mereka memeluk agama Islam atau mereka tidak memusuhi Islam, dikarenakan umat Islam pada saat itu belum kuat.
2. Pembatalan pembagian tanah rampasan (Ghonimah) di Irak dan Syiria pada Shahabat, karena ada program yang lebih penting yaitu sebagai sumber dana nagara.
3. Pembatalah hukuman potong tangan bagi budak yang mencuri harta benda milik tuannya, dikarenakan kelaparan (Tuannya tidak memberikan haknya).
4. Melarang eksploatasi (menjual dan menukar) budak perempuan yang telah menjadi Ibu (melahirkan anak karena dikumpuli oleh tuannya) dengan memerdekakannya, supaya dalam masa yang akan datang tidak ada penghisapan manusia oleh manusia.
Konsep Ra’yi setidaknya telah memberikan alternatif baru dalam rangka menyelesaikan permasalahan hukum Islam dengan landasan dan kerangka dasarnya pada penetapan semangat dan makna ideal hukum yang diberlakukan. Oleh sebab itu konsep Ra’yi pada peride awal Islam tidak banyak menyebabkan adanya pertentangan dikalangan umat, terutama bagi mereka yang menyetujui penggunaan Ra’yi dengan mereka yang berpegang teguh secara literal kepada dua otoritas hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
Akan tetapi setelah masa Imam Syafi’i, konsep Ra’yi mendapat serangan dari mereka yang memegang teguh secara literal dua otoritas hukum Islam, bahkan sudah mulai terbentuk komuni-tas masyarakat dengan ciri dan pola pikir yang berbeda. Ada Ahl al Ra’yi, Ahl al Hadits dan Ahl al Kalam, lebih dari itu Kota Madinah dianggap sebagai markas ahli Hadits, sedangkan Irak di anggap sebagai markas ahl Ra’yi.
Pertentangan pola pikir tersebut berkembang menjadi dua kelompok yaitu kelompok Ra’yi dan Kelompok Nash (Dua otoritas Hukum Islam). Ahli Ra’yi secara definitif bertentangan dengan Ahli Nash, sebab pengagum Nash hanya mengakui terhadap apa yang tercantum dalam dua otoritas tadi. Secara umum Nash diartikan sebagai :
1. Kata-kata yang hanya mempunyai satu pengertian atau hukum yang pasti
2. Hal-hal yang dilarang datu diperintah dengan kata-kata yang jelas, yang merupakan bukti tekstual dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Menurut hemat saya, pertentangan tersebut hanya terletak kepada; apakah orang tersebut mau melakukan interpretasi terhadap problem dengan melihat kondisi ataukah mereka tetap ber-sekukuh dengan bukti tekstual Qur’an dan Hadits tanpa pertimbangan sesuatu yang bersifat kondisional, sebab nampaknya seorang yang paling dihormati sebagai pelaku dan ahli Sunnah (Nash) yaitu Imam Syafi’i, tidak menentang Ra’yi dengan catatan tidak dilakukan dengan serampangan (bebas).
B. Qiyas (Ra’yi Sistematik)
Sebagaiman yang diungkapkan di atas, bahwa Qiyas atau Ra’yi sistematik adalah metode pengembangan dari bentuk penggalian Hukum Islam (Ra’yi) sebelumnya. Qiyas berarti Ra’yi yang tersistematik dalam kerangka persyaratan-persyaratan dan pembatas-an-pembatasan dalam kerangka menghentikan penggunaannya secara serampangan.
Qiyas berasal dari kata Arab yang berarti menyamakan, sedangkan menurut Sarjana Barat, Qiyas berasal dari kata Yahudi “Hiqqish (Heqqesh)” yang artinya memukuli bersama-sama. Kata-kata Heqqesh, menurut Prof. Schacht digunakan untuk menyebut tiga situasi, yaitu :
1. Penjajaran dua pokok masalah dalam Bible dan diperlakukan dengan cara yang sama.
2. Kegiatan penafsir yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks tertulis.
3. Untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi (Talmud Palestina 6/33 a. 14).
Barangkali sepintas lalu pendapat tersebut mengandung kebenaran analisa filologis, karena terdapat subtansi yang terkandung didalamnya, yaitu pengambilan kesimpulan dengan cara analogis. Namun demikian sangatlah tidak relevant, jika analisa filologis tersebut dijadikan landasan berfikir, sebab :
1. Metode filologis memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam mengungkapkan asal usul dan sumber-sumber pranata hukum Islam.
2. Dalam persepktis sosiologis (perkembangan dan pertumbuhan), tiap-tiap masyarakat menciptakan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak mesti berasal dari pengaruh atau bangsa asing.
Dengan demikian Qiyas sebagai model penggalian Hukum Islam secara terminologis sangat tidak relevant jika dikaitkan dengan terminologi Hiqqish dalam kosa kata Yahudi, walaupun secara filologis kita mengakui adanya kesamaan, karena termasuk dalam satu rumpun bahasa.
Lebih dari itu, Qiyas sebagai kelanjutan metode Ra’yi dengan sistematika-sistematika tertentu menyebabkan penampilan metode Qiyas menjadi sangat kaku dan tidak fleksible. Hal tersebut menyebabkan produk dari Qiyas sangat tidak signifikan bagi perkembangan hukum Islam. Misal-nya polemik kasus apakah kita akan berkata Jujur atau berbohong ketika ditanya seseorang yang akan membunuh Kyai, sedangkan kita tahu dimana Kyai itu berada. Kalau Qiyas yang dipakai, maka kita harus berkata jujur, akan tetapi yang berlaku disini adalah Ra’yi (Keputusan hukum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi)
Oleh sebab itu terdapat perbedaan yang sangat tajam antara Ra’yi dan Qiyas dalam aktualisasi penggalian hukum Islam. Untuk lebih jelasnya berikut ini perbedaan-perbedaan mendasar antara Qiyas dan Ra’yi :
1. Ra’yi bersifat luwes, dimanis dan membuat keputusan dalam sinaran semangat, keadilan dan kearifan Islam, sedangkan Qiyas bersifat kaku dan dibatasi oleh persyaratan-persyaratan tertentu.
2. Ra’yi lebih luas cakupannya dan mencakup atau menyangkut sesuatu yang aktual, sedangkan Qiyas penekanannya pada suatu yang abstrak.
3. Ra’yi adalah sebuah metode memperoleh keputusan dengan pendapat yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang berkeinginan untuk mencapai keputusan yang tepat dengan kata lain keputusan yang dicapai seseorang setelah melakukan pemikiran, perenungan dan pencarian yang sungguh-sungguh dalam kasus, dimana petunjuk-petunjuk yang diperoleh saling bertentangan, sedangkan Qiyas adalah perbandingan dua hal yang sejajar karena keserupaannya (illatnya) yang tidak selamanya tidak dapat ditentukan secara pasti.
Imam Syafi’i sebagai salah satu pendekar hukum Islam, juga menganut prinsip Qiyas dengan segala persyaratan yang dikenakannya. Oleh sebab itu Imam Syafi’i memandang bahwa Qiyas yang dilakukan oleh pakar Hukum Islam Irak dan Madinah, terutama oleh Imam Malik, dianggapnya tidak konsisten dan tidak matang, karena lebih mirip dengan Ra’yi artinya tidak terpaku oleh peraturan Qiyas yang sangat kaku tersebut.
Kasus tersebut secara umum dapat dilihat pada praktek hukum yang dilakukan oleh orang Irak dan Madinah. Dalam hal pelaksanaan Qiyas antara Madinah dan Irak terdapat perbedaan ke-cenderungan dalam aplikasinya. Orang Madinah melaksanakan Qiyas dengan memperhatikan praktek yang telah diterima secara umum oleh masyarakat, sedangkan orang Irak menekankan aspek konsistensi (kelurusan) dan untuk menghindari ketidak konsistenan terhadap prinsip-prinsip Qiyas yang kaku dan terbatas oleh waktu, diciptakan metode lain yang lebih dekat dengan Ra’yi yaitu “Metode Istihsan”.
C. Istihsan (Keputusan Kondisional)
Menurut Prof. Schacht, Terminologi Istihsan pertama kali muncul pada masa Abu Yusuf sebagai upaya penyelesaian problem hukum Islam, akan tetapi pemikiran tersebut banyak mendapat kan serangan, karena ternyata istilah Istihsan sudah ada sebelum Abu Yusuf mengembangkan konsep tersebut. Menurut pendapat yang masyhur, konsep Istihsan telah ada pada masa Imam Abu Hanifah di Irak, sebagaimana yang dinyatakan oleh Goldziher.
Walaupun Istilah Istihsan tersebut baru berkembang pada masa Abu Hanifah, sebagai salah satu alternatif dan format baru penggalian hukum, terutama untuk mensiasati ke-tidak konsisten-an seseorang dalam melaksanakan metode Qiyas, maka subtansi dan prinsip-prinsip Istihsan telah ada dan dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Umar Bin Khattab ketika menetapkan hukum suatu perkara selalu memperhatikan situasi dan kondisi sosial pada saat terjadinya peristiwa.
Dalam kerangka seperti itu, maka pengertian Istihsan adalah mengambil suatu yang terbaik, dalam pengertian yang lain, ia adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut keadaan. Untuk lebih jelasnya berikut ini pengertian-pengertian Istihsan :
1. Prereferensi pilihan tidak beralasan terhadap hukum yanh sudah mapan dalam suatu keadaan tertentu atau suatu keputusan yang lebih di dasarkan kepada penalaran mutlak dari pada penalaran analogis.
2. Metode unuik dari penggunaan pendapat pribadi dengan mengesampingkan analogis yang ketat dan lahiriyah demi kepentingan,persamaan dan keadilan umum.
Bagian V : Ijma’ (Kesepakatan) : Pengertian Dan Kualifikasi-Kualifikasinya
Membicarakan Ijma’ memang membutuhkan kecermatan tersendiri, karena ia menyangkut sebuah proses refleksi umat Islam terhadap permasalahan Hukum dan kehidupan yang ber-kembang pada saat itu, lebih dari itu kita harus dapat menahan diri dari kemungkinan jatuh pada proses penilaian pendapat dengan prinsip subyektifitas. Sebab; keberadaan Ijma’ dalam system yurisprodensi Islam tidak tanpa pertentangan. Pertentangan tentang kelahirannya dan kedudukan dia dalam struktur sumber hukum Islam, mana yang lebih dulu antara Ijma dan Qiyas, kualitas Ijma’ yang dapat dijadikan sumber hukum Islam dan yang lain.
Untuk mengetahui lebih lanjut keberadaan Ijma’ dalam konteks pemikiran hukum Islam, maka paparan ini akan dibagi menjadi beberapa sub pokok bahasan, yaitu Pengertian Ijma’, Kreteria dan kulifikasi Ijma’ dan Keabsahan Ijma’ dalam system dan sumber hukum islam
A. Pengertian Ijma’ (kesepakatan)
Secara tegas kita tidak dapat menemukan konsep Ijma’ di dalam Al Qur’an. Kata-kata yang mempunyai pengertian sepadan dengan Ijma’ biasanya adalah Jama’ah atau bisa jadi Ja-mii’an, yang keduanya mempunyai pengertian sekumpulan atau keseluruhan (dalam ke-sepakatan dan kesamaan).
Konsep Ijma’ sebelum datangnya Islam dipakai untuk menyebut kegiatan mengikat dua buah susu unta menjadi satu dalam sebuah ikatan artinya dikumpulkan menjadi satu. Penger-tian tersebut dapat dijumpai pada penggunaan idiom atau kata “Ijma’at al Nahabi”, yang ber-arti mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu dan menarik bersama-sama. Dalam kesempatan yang lain, idiom Arab (ijma’at Al Nahabi) juga dipakai untuk menyebut hal-hal sebegai berikut :
1. Mengikat menjadi satu puting susu unta betina dengan tali
2. Sebuah lapangan luas yang terbuka, tempat berkumpul orang-orang dengan latar bela-kang bermacam-macam atau bercerai berai untuk bersatu.
Dengan demikian konsep Ijma’ sebelum Islam adalah membereskan atau menyusun se-suatu yang sebelumnya tercerai berai atau sebagai suatu pendapat yang ditentukan atau di-tetapkan atau diputuskan oleh seseorang.
Pengertian-pengertian Ijma’ memang berkembang dan berjalan seiring dengan perkem bangan pemikiran dan kemampuan umat Islam, sebagai satu komunitas yang dibangun ber-dasarkan prinsip jama’ah dan kesatuan. Walaupun pengertian Ijma’ juga beraneka ragam, tetapi mempunyai subtansi dan makna yang hampir sama. Dalam pandangan seperti ini, Ahmad Hasan memberikan pengertian dalam tiga versi, yaitu :
1. Kesepakatan umat Islam dalam persoalan-persoalan keagamaan
2. Konsensus pendapat-pendapat dari orang yang berkopenten untuk berijma’ dalam persoal an-persoalan agama baik yang bersifat rasional ataupun hukum.
3. Kesepakatan bulat dari ahli hukum umat Islam ada suatu jaman tertentu dalam masalah tertentu.
Dengan melihat pengertian dari Ahmad Hasan tersebut, maka Ijma’ yang dilakukan oleh seseorang sangat terbatas oleh ruang dan waktu, dan ini barangkali juga akan berpengaruh terhadap masa berlaku Ijma’ itu sendiri. Permasalahan masa berlakunya Ijma’ menyebabkan berkembangnya perselisihan pemikiran antara mereka yang setuju Ijma’ sebagai rujukan formal Hukum untuk masa-masa sesudahnya dan mereka yang beranggapan bahwa Ijma’ hanya berlaku untuk dimensi atau periode tertentu.
Al Gazali yang hidup setelah Imam Syafi’i memberikan pengertian Ijma’ sebagai kesepa-katan masyarakat Muhammad terhadap suatu masalah, bahkan dalam pengertian yang lebih singkat lagi menurut Imam Abu Husayn al Basri, dikemukakan bahwa Ijma’ adalah persetujuan dari sekelompok masyarakat terhadap suatu masalah dengan jalan melakukan tindakan atau menghindarinya (menghindar dari tindakan yang diperselisihkan).
Dengan demikian, secara umum dapat ditarik pengertian atau kesimpulan, bahwa unsur atau komponen Ijma’ meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Kesepakatan pemikiran.
2. Ahli hukum, yang kalau dilembagakan menjadi Ahl Hall Wa al Aqdi
3. Kelompok masyarakat
4. Periode atau waktu terjadi dan berlakunya Ijma’
5. Masalah yang diperselisihkan
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa konsep Ijma’ tidak kita temukan pada awal perkembangan Islam, artinya ijma’ berfungsi sebagai legalitas formal dalam system perkembangan hukum Islam, karena pada saat yang sama Islam mempunyai sumber hukum yang otoritasnya bersifat mutlak, yaitu al Qur’an dan as Sunnah. Ketika nabi Muhammad SAW meninggal dunia, legalitas hukum dari sebuah pemecahan permasalahan hukum yang baru sangat tergantung hasil pemikiran umat yang mendapat petunjuk. Kelompok Umat yang ter-cerahkan tersebut adalah 4 Khalifah pertama (ia disebut Khulafaur Rasyidin). Maka dalam peristiwa penetapan hukum berdasarkan pendapat pribadi (Ra’yi atau Qiyas) telah terjadi proses persetujuan dari sekelompok umat Islam, yang menganggap benar penetapan-penetapan yang dilakukan oleh mereka. Di sinilah terjadi apa yang kita sebut sebagai “Ijma semi formal”
Penetapan Ijma’ sebagai legalitas Semi Formal sebagimana yang disebut di atas, tidak mempunyai legalitas atau kekuatan hukum sebagaimana as Sunnah atau al Hadits, hal ter-sebut disebabkan :
1. As Sunnah merupakan tradisi yang sudah mengakar dikalangan bangsa Arab bahkan se-belum datangnya umat Islam.
2. Keberadaan legalitas (penetapan hukum) Sunnah telah diakui dan didukung oleh al Qur’an, sehingga menjadi hukum formal.
3. Konsep Ijma’ itu sendiri masih diperdebatkan terutama berkaitan dengan Ijma’ ma-syarakat (Tradisi yang telah disepakati dan diamalkan oleh masyarakat) dan Ijma’ yang dilakukan oleh para ulama, yang sementara itu masih diperselisihkan oleh para ulama yang lain.
Pada perkembangan berikutnya, terutama dalam sejarah Islam aktual yang terus menerus berkembang. Penggunaan konsep Ijma’ mau tidak mau harus mengalami perubahan fungsinya; dari semi formal legalitas menjadi formal legalitas. Perubahan fungsi legalitas Ijma’ tersebut disebabkan oleh perubahan dan perkembangan umat Islam yang tidak mungkin me-lebarkan dan memperluas konsep atau subtansi Sunnah setelah Nabi Muhammad SAW, sebab secara subtansial Sunnah telah berhenti berkembang setelah Nabi meninggal dunia.
Di samping itu, perubahan fungsi legalitas Ijma’ juga disebabkan oleh :
1. Adanya larangan praktek tradisi atau Sunnah yang berbeda setelah kholifah 4 (khulafaur Rasyidin), yang dipicu terjadinya kekacauan hukum dan theologi akibat ber-kembangnya konsep aliran dan mazhab.
2. Terjadinya pemisahan antara konsep Sunnah dan Ijma’ dalam satu pengertian yang ter-sendiri. Sunnah berarti sebuah hadits atau teks perbuatan Nabi, sedangkan Ijma’ merupakan rujukan dalam konteks hukum Islam.
Pada abad ke 3 dan 4, konsep Ijma’ sebagai satu legalitas formal menjadi semakin tegas keberadaannya, yaitu dengan terjadinya pemisahan antara Ijma’ masyarakat dan Ijma’ ulama atau ahli hukum, bahkan dalam perkembangan terakhir, konsep Ijma’ masyarakat tidak lagi menjadi bahan pertimbangan bagi para ulama untuk menentukan produk hukum dari Ijma’ ulama. Untuk itu pengertian Ijma’ berubah menjadi sebuah persetujuan dari kelompok masyarakat atau umat Muhammad SAW terhadap masalah keagamaan dengan jalan melakukan atau menghindari masalah tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Gazali dan Abu Husayn al Basri tersebut di atas.
Melihat pengertian dan perjalanan sejarah aktual Ijma’ dalam keseluruhan sejarah keislaman, maka Ijma’ mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu peran pemersatu dan peran politik bagi umat Islam.
Peran pemersatu :
1. Al Qur’an dalam menyebut masyarakat Islam atau komunitas Islam, selalu disebut dengan nama “UMMAH”, sebuah konsep yang mengandung pengertian adanya kesatuan, persamaan dan persaudaraan. Konsep Ummah pada zaman Nabi dibangun berdasarkan perintah dan ajaran al Qur’an dan as Sunnah, artinya bahwa kedua otoritas tersebut di-pakai sebagai instrument penegakan rasa kesatuan dalam komunitas Islam.
2. Setelah Nabi meninggal, konsep pemersatu Umat dilakukan oleh 4 pemimpin yang mendapat petunjuk (Khulafaur Rasyidin).
3. Ketika 4 pemimpin tersebut meninggal dan kemudian umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok, sekte dan aliran, maka tidak mungkin kita akan memperlebar atau mengadakan Sunnah baru, dan disinilah konsep Ijma’ dibutuhkan sebagai alat pemersatu.
Peran politis umat :
1. Ijma’ dipakai sebagai alat untuk menjaga persatuan umat, sebagaimana kasus pe-milihan Abu Bakar sebagai kholifah, yang hanya dipilih oleh beberapa orang saja atau sebagai Ijma’ personal (tokoh-tokok yang kredible) yang kemudian menjadi se-buah kese-pakatan masyarakat atau Ijma’ masyarakat.
2. Ijma’ merupakan aplikasi atau perwujudan dari konsep Syuro, yang secara kelemba-gaan disebut sebagai Ahl Hall wa al Aqdi.
3. Ketika Ijma’ atau persetujuan masyarakat tidak lagi menjadi rujukan atau sebagai pertimbangan produk hukum atau politik sebagaimana pada masa pemerintahan Islam otoriter, maka Ijma adalah kesepakatan ulama atau Ahl Hall wa al Aqdi.
B. Kreteria dan kualifikasi Ijma’
Ijma’ yang kita sepakati sebagai salah satu otoritas dalam penentuan dan penetapan hukum Islam haruslah sebuah produk yang mempunyai kualifikasi yang baik. Sebab dengan eksis-tensi sebagai salah otoritas sumber hukum tersebut, Ijma’ harus dapat menjamin dirinya se-bagai produk yang benar-benar kualifait. Untuk menjamin kualitas tersebut, maka pelaku-pelaku Ijma’ juga harus orang-orang yang teruji dan terpilih dengan memenuhi persyaratan-persyaratan atau kreteria yang telah disepakati pula oleh hukum Islam. Persyaratan-persyarat an yang harus dipenuhi tersebut, misalnya Pelaku Ijma’ harus beragama Islam. Oleh sebab itu persetujuan atau penolakan orang Kafir terhadap produk hukum yang telah ditetapkan oleh Ijma’ tidak bernilai Ijma’.
Lebih lanjut, dalam pandangan Al Gazali pelaku Ijma’ yang dikenal sebagai pelaku Bid’ah, orang Fasiq atau orang-orang yang dikucilkan dari komunitas umat Islam; tidak diperbolehkan melakukan Ijma’ atau pendapatnya tidak bernilai Ijma’.
Dari segi kualitasnya, maka Ijma’ dilakukan oleh tiga kelompok orang, yaitu :
1. Ahli hukum (Mujtahidin) yaitu kelompok ahli hukum, kegiatan berfikir (Ijtihad), Ulama Ummat, Faqih (faham hukum) dan Ahl Hall wa al Aqdi (dewan pengambil putusan), dengan persyaratan bahwa mereka faham seluk beluk bahasa Arab, me-nguasai ayat dan hadits ahkam dan mereka bukan termasuk mujtahid yang dikucilkan (terasing).
2. Awsath mutasyabihah yaitu ahli hukum yang tidak mempunyai keahlian atau spe-sifikasi keilmuan, ahli ushul fiqih tetapi tidak ahli dalam bidang hukum dan ke-lompok mujtahid fasiq. Berkaitan dengan legalitas hasil Ijma’ mereka, nampaknya tidak dapat dipakai sebagai sumber penetapan hukum.
3. Masyarakat awam (rakyat biasa). Sebagian mereka mengatakan bahwa hasil Ijma’ Masyarakat dapat dipakai pertimbangan penetapan hukum, namun menurut Al Gazali Ijma’ tidak dapat dipakai karena :
a. Hasil Ijma’ mereka tidak berkualitas atau memenuhi standar yang disyaratkan.
b. Orang-orang yang hidup pada generasi pertama tidak setuju menggunakan Ijma’ orang awam sebagai bahan pertimbangan penetapan hukum.
Di samping itu ada orang yang beranggapan bahwa ijma’ ulama sah tanpa memandang pertimbangan masyarakat atau Ijma’ masyarakat tidak sah tanpa ada pendapat ahli hukum.
Berdasarkan kreteria dan persyaratan sebagaimana yang disebutkan diatas, maka Ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Ijma’ lisan (azimah/reguler) yaitu Ijma’ atau kesepakatan seorang ahli hukum terhadap problem hukum yang dinyatakan dengan pernyataan terbuka (lisan)
2. Ijma’ diam (sukuti/rukhshah) yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan diam artinya tidak mengungkapkan persetujuan atau penolakan dengan pernyataan, namun demikian legalitas dan keabsahan Ijma’ diam-diam harus memenuhi standar :
a. Pendapat sebagai Ijma’ diam-diam (Rukhshah) tersebut diketahui oleh ulama lain.
b. Waktu sebagai persyaratan reaksi atau kritik terhadap kesepakatan atau pendapat telah berlalu.
Permasalahan hukum yang berkembang dikalangan umat Islam tentunya bermacam-macam dan selalu muncul disetiap detak masyarakat muslim, namun demikian ruang lingkup yang diyakini dapat dilakukan proses Ijma’ sangatlah terbatas, diantaranya adalah
1. Hukum-hukum agama yang meliputi hukum syar’i dan hukum ghoir syar’i atau hukum duniawi.
2. Hukum-hukum pada point 1 dapat dirinci menjadi :
a. Hukum agama (hal yang meliputi permasalahan peribadahan)
b. Hukum duniawi (hal-hal keagamaan yang berkaitan dengan permasalahan duniawi).
c. Hukum intelektual atau hasil pemikiran kemanusiaan
d. Hukum Inderawi
e. Adat istiadat
f. Etimologis.
C. Keabsahan ijma’ dalam system dan sumber hukum islam
Ijma’ sebagai salah satu otoritas dalam system sumber hukum Islam, mempunyai banyak permasalahan yang kemudian menyebabkan lahirnya perbedaan pemikiran di kalangan kaum muslim atau secara khusus pada ahli hukum Islam tersendiri. Permasalah-an-permasalahan yang lahir di-seputar Ijma’ itu sendiri meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Otoritas atau dalil yang dipakai sebagai dasar adanya prilaku atau metode Ijma’
2. Problematika keabsahan Ijma diam-diam sebagai sumber hukum Islam
3. Persyaratan waktu dalam Ijma’
4. Perlunya Dalil Naqli sebagai landasan Ijma’.
Otoritas dan dalil adanya Ijma’ :
Ijma’ sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sedikit banyak telah melahirkan per-bedaan pemikiran dikalangan umat Islam, terutama yang berkaitan dengan keabsahannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Pemikiran pengabsahan ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam didorong oleh satu pemikiran bahwa Sunnah sebagai sumber hukum telah habis masa berkembang dan produksinya, padahal dalam tinjauan dan kepentingan hukum Islam, diperlukan metode atau cara untuk menggali hukum Islam sebagai alternatif pemecahan permasalahan hukum Islam. Untuk itu diperlukan kesepakatan hukum yang dapat berlaku secara normatif.
Bermasalahan pertama yang berkembanga adalah apa yang dapat dijadikan dasar atau dalil bagi terwujudnya Ijma sebagai otoritas hukum tersendiri bagi umat Islam. Menurut para pemikir hukum Islam, terdapat dua otoritas yang mendasari keabsahan praktek Ijma’ yaitu al Qur’an dan al Hadits.
Penetapan al Qur’an sebagai dasar adanya Ijma’ baru berkembang setelah Imam Syafi’i (abad II H), dan penetapan tersebut tidak pernah dijumpai sebelum zaman Imam Syafi’i. Imam Syafi’i sendiri tidak pernah menggunakan al Qur’an sebagai dasar pengabsahan Ijma’ kecuali as Sunnah (hadits), bahkan Imam Syafi’i tidak mendukung penggunaan al Qur’an sebagai dasar diperkenankannya Ijma’.
Penetapan al Qur’an sebagai dasar legalitas Ijma’ telah dilakukan oleh beberapa ulama dengan menggunakan ayat yang berbeda, misalnya :
Abu Bakar al Jashshash (370 H). Dalam mendukung legalitas Ijma’, ia menggunakan ayat-ayat sebagai berikut :
a. Al Baqarah ayat 143, yang intinya terdapat dua hal yaitu :
Secara umum ayat tersebut mengandung subtansi ijma' sebagai berikut :
· Kata Wasath yang mempunyai arti sifat kelurusan dan keadilan sebagai sifat dari umat Rasulullah, maka dari itu konsep wasath menuntut adanya legalitas dan pengakuan keputusan masyarakat.
· Nabi adalah saksi dari umat tersebut artinya otoritas kebenaran masyarakat Islam menjadi tanggungan Nabi sebagai saksi.
b. Qs. Ali Imron/3 : 110
c. Qs. At Taubah/9 : 16
d. Qs. Luqman/ 31 : 15
Imam Al Gazali – Ia menggunakan ayat-ayat yang dipakai oleh al Jashshash dan juga ayat-ayat lain untuk menguatkan keabsahan Ijma’, yaitu Qs. Ali Imron/3 : 103, An-Nisa’/4 : 59, Al A’raf/7 : 181 dan Qs. Asy Syuura/42 : 10
Fahruddin ar Razi (606) menggunakan Qs. An Nisa’ 59 yang intinya perintah kembali kepada Allah, Rasul dan pemimpin yang tercerahkan jika terjadi perbedaan pemikiran di-kalangan umat, untuk mengikuti pendapat yang telah disepakati.
Al Amidi menggunakan Qs. Ali Imron 103 untuk menguatkan legitimasi Ijma’. Ia me-ngatakan bahwa Allah melarang setiap bentuk perselisihan dan perpecahan dan tidak adanya perselisihan merupakan subtansi Ijma’.
Penggunaan dalil atau teks-teks Qur’an tersebut, nampaknya ditanggapi lain oleh para penentang diberlakukannya Ijma’ sebagai salah satu sumber otorita dalam system hukum Islam. Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat tersebut tidak secara tegas menyatakan konsep Ijma’, tetapi akibat dari perkembangnya permasalahan yang mucul dikalangan umat Islam, ketika mereka tidak lagi menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup, moralitas dan etika kehidupan manusia. Ringkasnya ia merupakan akibat ketidak perdulian umat terhadap ajaran agamanya sendiri.
Dalil kedua, yang dipakai sebagai landasan legalitas keberadaan Ijma’ berasal dari Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW. Ada dua hadits yang nyata-nyata memberikan isyarat adanya Ijma’, yaitu :
1. “Bahwa patuhlah ummat karena Allah tidak akan membiarkan ummat Muhammad ber- sepakat dalam kesalahan”.
2. “Bahwa apa-apa yang dianggap baik oleh umatku, maka baik juga bagi Allah, demikian pula apa yang dianggap buruk oleh umatku, maka buruk pula bagi Allah”.
3. “Bahwa ada 3 hal dimana hati seoarang muslim tidak akan pernah bakhil, yaitu ketulusan amal perbuatan untuk mencari ridha Allah, mendoakan otorita-otorita dan kepatuhan terhadap kehendak umat; seruan mereka akan melindungi dari belakang”.
Hadits-hadits tersebut, nampaknya disepakati oleh penerima konsep Ijma’ sebagai dasar legitimasi pendapat masyarakat atau Ijma’ dalam system hukum Islam. Terutama ketika mereka memahami konsep umat yang selalu dipakai untuk menyebut satu komunitas atau masyarakat Muslim.
Umat berasal dari kata Arab Ummah yang artinya kelompok masyarakat. Dalam pan-dangan Islam Umat berarti komunitas atau masyarakat Muslim yang didalamnya terbentuk dari sikap-sikap kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan. Dengan demikian ketika me-nyebut umat Islam, maka yang seharusnya yang ada adalah kesatuan atau kesepakatan pemikiran, sikap dan tindakan serta menentang segala bentuk upaya perpecahan dan bersekutu dalam kesalahan dan kebatilan.
Dalam perspektif yang lain, terminology "ummat" juga mempunyai atau digunakan untuk hal-hal sebagai berikut :
1. Mayoritas kaum muslimin terutama dalam kasus pembunuhan Utsman bin Affan dengan mengatakan atau mengambil pemikiran bahwa patuhilah pada ummat karena Allah tidak akan membiarkan ummat Muhammad bersepakat dalam kesalahan.
2. Dewan para ahli hukum atau ulama sebagai perwujudan kesepakatan umat.
3. Dewan yang terdiri dari para shahabat pendiri masyarakat Islam dan mereka yang tidak mungkin bersepakat dalam kesalahan.
4. Masyarakat muslim secara keseluruhan
5. Umat adalah masyarakat muslim yang bersepakat atau para pimpinan politik (At-thabari).
Dengan prinsip keummatan tersebut, maka nampaknya Ijma’ memperoleh landasan legitimasinya, sehingga mau tidak mau masyarakat harus menjalankan produk kesepakatan tersebut dalam kehidupan, karena setiap produk hukum tentunya mempunyai nilai normatif dan mengikat. Bahkan secara tegas banyak yang mengatakan bahwa orang yang tidak setuju Ijma’ adalah menentang agama. Komentar-komnetar yang menekankan pentingnya Ijma’ berkembang pada abad ke 4-5 H, jauh setelah masa Imam Syafi’i yang juga mengakui otoritas Ijma’. Komentar-komentar tersebut antara lain :
al Bazdawi (w.428 H) mengatakan bahwa orang yang menolak Ijma’ berarti menolak agama.
Al Sarakhsi (w. 490 H) mengatakan bahwa orang yang menolak validitas Ijma’ berarti meruntuhkan agama an sich.
Abdul Malik al Juwayni (w. 478 H) mengatakan bahwa Ijma’ merupakan tali pengikat dan penopang syari’ah, yang dari padanya syari’ah dapat otensitasnya.
Sudah barang tentu komentar-komentar tersebut memberikan dampak psykologis dan keagamaan umat Islam pada masa berikutnya, sehingga mau tidak mau umat secara kese-luruhan juga mengakui otoritas Ijma’ sebagai salah satu system hukum Islam; sebagaimana yang kita jumpai pada saat ini. Namun demikian berlakunya Ijma’ sangatlah terbatas pada se-buah permasalahan yang secara tegas tidak ditemukan, termasuk masa berlakunya Ijma’ itu sendiri sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi sosial keagamaan masyarakat.
Menempatkan Ijma’ sebagai sumber legitimasi dalam system hukum Islam dengan di- dasarkan pada Hadits terutama penggunaan kata-kata Ummat dan Ketidakmungkinan salah dan tidak mungkinnya umat bersepakat dalam kesalahan , bukanlah sebuah gagasan tanpa permasalahan atau perselisihan, sebab pada perkembangannya nampak sekali adanya perbedaan pemikiran terhadap penggunaan hadits-hadits tersebut di atas.
Hadits-hadits oleh para pengkritik keabsahan Ijma’ diakui sebagai hadits yang mempunyai makna dan perintah untuk menciptakan dan menggalang kesatuan dan menentang segala bentuk upaya perpecahan, akan tetapi menggunakan hadits tersebut menjadi dasar keabsahan Ijma’ bukanlah sebuah gagasan yang bijaksana dan obyektif, melainkan sebuah gagasan yang bersifat subyektif dan gagasan itu bisa saja salah. Hal tersebut disebabkan :
1. Bahwa tidak terdapat gagasan Ijma’ sebagai suatu doktrin teoristis pada awal per-kembangan Islam (Nabi Muhammad).
2. Bahwa ahli hukum tidak dapat menetapkan makna atau jama’ah sebagai suatu ke-wajiban untuk diikuti oleh kaum muslim sesuai perintah Nabi Muhammad SAW..
3. Hadits-hadits umum tersebut tidak dapat dipakai atau dibatasi pada satu sudut pandang tertentu saja sebagaimana yang dilakukan oleh mereka.
Menjawab kritik tersebut, Imam al Gazali mengatakan bahwa hadits-hadits yang dipakai oleh para pendukung Ijma’ tersebut secara umum mengandung pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW bermaksud mengangkat derajat masyarakat dan untuk menunjuk-kan infallibilitasnya masyarakat Muslim. Di samping itu, terlepas dari system pengetahuan pasti bahwa pengetahuan melalui kesimpulan non hadits tersebut telah tersebar pada jaman Shahabat dan Tabi’in dan mereka membenarkan adanya Ijma’.
Dalil yang ketiga, adalah dalil rasional (Akal), yaitu alasan-alasan pemikiran yang dapat dipakai sebagai dasar keabsahan. Permaslahan bahwa umatku atau masyarakat Islam tidak mungkin bersepakat salah mempunyai pengertian bahwa masyarakat Muslim tersebut secara individual terdiri atau terbentuk dari individu yang benar (tidak salah). Namun demikian apakah tetap dapat dikatakan tidak terlepas dari kesalahan artinya bebas dari kesalahan (Infallibilitas) jika masyarakat tersebut terbentuk dari individu yang salah atau berpemikiran salah. Dan kalau hal tersebut terjadi apakah Ijma’ tetap dapat dipakai sebagai sumber hukum Islam.
Menurut Imam al Juwayni bahwa rasio dapat dipakai sebagai landasan keabsahan Ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Bahwa memang terdapat perbedaan hasil berfikir spekulatif , namun demikian mereka ada yang bersepakat secara pasti terhadap ketentuan dan tidak menolak suatu pendapat apapun.
2. Jika mereka bersepakat dalam suatu masalah yang spekulatif dan mereka menyatakan bahwa hal tersebut bersifat spekulatif, maka kesepakatan tersebut dapat dianggap sebagai otoritas yang pasti.
Sedangkan bagi mereka yang menolak landasan rasional, mengatakan bahwa jika individu yang hidup dalam komunitas tersebut salah, maka komunitas tersebut juga berarti salah. Dan dengan demikian kesepakatan masyarakat tidak dapat dipakai sebagai dasar penetapan hukum Islam.
Keabsahan Ijma’ diam-diam :
Sebagaimana yang dikemukakan di muka, bahwa konsep Ijma’ secara legitimate baru berkembang pada abad ke 4-5 H, dan kemudian menemukan konsep secara sempurna pada masa berikutnya. Pada masa ini lahir konsep pembagian Ijma’ yang kemudian dikenal sebagai Rukn al Ijma’. Rukn al Ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Reguler (lisan/ azimah) dan Ijma’ diam-diam (Rukhsah). Ijma’ Lisan adalah Ijma’ yang dinyatakan secara terbuka dalam proses pemandangan dan penajaman permasalahannya, sehingga hasil kesepakatan tersebut juga diakui secara terbuka. Ijma’ lisan (reguler) berkembang melalui proses alam, teratur dan merupakan wujud atau cerminan keaslian masyarakat yang transparan.
Oleh sebab itu Ijma’ lisan sangat berbeda landasan dan arahnya dengan Ijma’ diam-diam. Ijma’ diam-diam adalah sebuah konsep atau kesepakatan hukum yang tidak teratur dan didasarkan oleh kebutuhan tertentu; dalam pengertian yang lain kehadirannya lahir karena terdesak oleh suatu keadaan tertentu. Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, maka Ijma’ diam-diam hanya berlaku secara individual dan tidak terbuka untuk umum.
Ijma’ diam-diam menjadi sangat penting apabila di lihat dari kepentingannya dalam pergualatan hukum Islam, apakah ia sah dan legitimate apabila dipakai sebagai landasan pe-netapan hukum Islam. Al Bazdawi mengatakan bahwa Ijma’ diam-diam itu sah dipakai sebagai dasar hukum apabila telah diketahui oleh para ulama dan waktu reaksi atau ber-edarnya telah berlalu. Demikian juga dengan Abu Husayn al Basri, bahwa Ijma’ diam-diam menjadi sah apabila pendapat tersebut tersebar dimasyarakat dan kemudian tidak ditanggapi oleh ulama atau masyarakat.
Al Sarakhsi sebagai salah satu ulama yang mendukung Ijma’ diam-diam menambahkan bahwa :
1. Seorang ulama tidak boleh berdiam diri jika ia menemukan kesalahan pendapat dalam masyarakat.
2. Bahwa Allah tidak hambanya, maka dalam praktek keagamaan, mustahil seseorang dapat mendengar pendapat, prilaku generasi yang lalu atau pemikiran dari tiap-tiap generasi yang lau, maka sikap diam ulama merupakan tanda kesepakatan atau Ijma’.
Berbeda dengan al Gazali, bahwa sikap diam bukanlah sebuah alasan yang dapat dipakai untuk menentukan hukum, walau ada yang mengatakan bahwa diam adalah emas atau tanda setuju dari permasalahan yang telah disodorkan kepadanya. Sikap diam bukanlah Ijma’ dan bukan pula otorita, sebab sikap diam itu meragukan. Sikap diam seseorang bisa jadi disebab-kan oleh hal-hal sebagai berikut :
Mungkin ada halangan yang tersembunyi untuk menyuarakan pendapatnya. Sikap marah dalam kediamannya merupakan pendapat.
Ia menganggap bahwa pendapat “boleh” menurut atau untuk dirinya sendiri, meskipun ia berbeda pendapat dengannya (orang lain) dan menganggap pendapatnya sendiri salah.
Ia percaya bahwa mujtahid (orang yang berpendapat) itu benar, sehingga ia tidak perlu mengeluarkan pendapat.
Mungkin sikap diam itu sebagai penolakan atau untuk menunggu waktu yang tepat.
Ia khawatir jika ia mengeluarkan pendapat akan ditolak dan oleh karena itu ia mendapat malu.
Mungkin dalam kondisi diam tersebut, ia masih berfikir.
Ia beranggapan bahwa penolakan ulama tersebut telah cukup mewakili dirinya.
Persyaratan waktu dalam Ijma’ :
Permasalahan berikutnya yang cukup menyita energi pemikiran para ulama dalam masalah Ijma’ adalah perlukah “berlalunya waktu” sebagai salah satu persyaratan keabsahan Ijma’. Permasalahan tersebut berkembang karena adanya perubahan pendapat atau pemikiran dari sebagian mereka yang ikut dalam kesepakatan yang menyebabkan berkembangnya keraguan tentang finalitas atau selesainya proses Ijma dan kekuatan operatifnya (kekuatan hukumnya).
Di samping kemungkinan kejadian dan peristiwa tersebut, hal lain yang juga menye-babkan berkembangnya perdebatan syarat waktu adalah landasan atau dalil Ijma’ yang di-pakai oleh mereka. Jika dalil yang dipakai dalam kesepakatan tersebut bersifat desesif atau dalaliah (merujuk langsung pada al Qur’an dan al Hadits), maka Ijma’ tidak memerlukan syarat berlalunya waktu, sedangkan jika Ijma didasarkan kepada dalil spekulatif, maka ia akan menghasilkan produk yang spekulatif dan rentang perubahan dan untuk kejadian ter-akhir diperlukan persyaratan berlalunya waktu.
Yang dimaksud berlalunya waktu sebagai persyaratan Ijma itu adalah jika Ijma’ di-keluarkan atau disepakati, maka ia akan sah menjadi landasan hukum yang final dan operatif apabila orang yang ikut dalam proses Ijma’ tersebut telah meninggal dunia. Dalam pengertian berlalunya waktu (syarat waktu) dapat diperluas mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Berlalunya generasi yang ikut dalam proses Ijma’ (kesepakatan).
2. Meninggalnya mayoritas ulama yang ikut dalam proses Ijma (kesepakatan).
3. Meninggalnya tokoh utama generasi yang ikut dalam proses Ijma’
4. Meninggalnya semua ulama dari generasi yang ikut dalam proses Ijma’.
Ulama atau ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam mensikapi perlu atau tidaknya persyaratan waktu dalam penentuan sahnya Ijma’. Dalam rentang waktu yang panjang, menuju kesempurnaan konsep Ijma’, perbedaan pemikiran tersebut dibagi menjadi dua sikap, yaitu :
1. Menolak persyaratan waktu
Mereka yang menolak persyaratan berlalu waktu adalah sebagian pengikut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Asy’ariyah dan Mu’tazilah, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Berlalunya waktu akan menyebabkan Ijma tidak akan menjadi otorita, tetapi yang menjadi otorita adalah berlalunya waktu itu sendiri.
b. Berlalunya waktu akan menyebabkan tidak tercapai kesepakatan (Ijma’) karena ada perbedaan pendapat, kondisi sosial dam generasi; dan ini hal tidak akan dapat berhenti (ad infinitum).
c. Ijma’ adalah sebuah otorita sebagaimana kedudukan Nash (al Qur’an dan al Hadits), sedangkan keabsahan nash tersebut tidak ada persyaratan waktu. Maka Ijma’ juga tidak perlu persyaratan waktu.
d. Ayat-ayat yang mengesahkan otoritas Ijma’ tidak mensyaratkan adanya (ber-lalunya) waktu dalam Ijma’.
e. Jika perlu persyaratan waktu, maka para shahabat dan tabi’un selalu berbeda dalam mengemukakan pendapat dan dengan demikian kesepakatan tidak akan pernah di-capai dalam masalah apapun.
f. Yang menjadi otorita adalah kesepakatan (Ijma’) itu sendiri, bukan berlalunya waktu.
g. Jika kematian dijadikan syarat sahnya (otorita) Ijma’, mengapa kematian Nabi Mu-hammad SAW tidak dijadikan syarat sahnya (otorita) pendapat Nabi (Hadits).
2. Menerima persyaratan waktu
Mereka yang menekankan adanya “persyaratan waktu” adalah Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Hanafi, mereka beralasan :
a. Isyarat Qs. Al Baqarah /2 : 143 yang menyatakan keunggulan Umat Muhammad, yg akan terus mendapat perlindungan kebenaran dari Allah atau dalam pengertian yang lain mempunyai sifat ketidakmungkinan sepakat dalam kesalahan (In-fallibilitas).
b. Bahwa Ijma’ dapat tercapai karena adanya perbedaan pemikiran/pendapat dan pe-nafsiran dan para ulama bebas mengeluarkan pendapat setelah terjadi kesepakatan.
c. Pendapat ulama tidak dipertimbangkan pada masa hidupnya, maka setelah mereka meninggal pendapat tersebut tidak akan dipertimbangkan, karena ulama lain yang akan berpendapat.
d. Pendapat masyarakat kedudukannya tidak lebih tinggi dari pendapat Nabi, maka Islam (pendapat Nabi) itu sendiri tuntas (tidak berkembang) setelah Nabi wafat.
e. Mungkin Ijma bertentangan dengan Hadits Nabi pada saat ia mengingat hadits nabi tersebut, kemudian ia menarik pendapatnya. Maka sudah barang tentu Ijma’ terjadi dan apabila ia tidak menarik pendapatnya, maka berlalunya waktu merupakan alter-natif yang dapat dipertibangkan.
Dari beberapa pemikiran dan alasan tersebut di atas, baik yang mendukung diberlaku-kannya syarat "berlalunya waktu” atau yang menolak “berlalunya waktu”, maka menurut hemat saya keperluan dan persyaratan waktu tersebut bisa dibagi dalam 2 kategori, yaitu :
1. Perlu waktu apabila memang kesepakatan atau Ijma’ tersebut memerlukan pertim-bangan waktu, misalnya yang menyangkut hukum akibat perkembangan IPTEK. Dan yang kedua jika sebagian besar partisipan dari Ijma’ tersebut masih hidup.
2. Tidak perlu waktu apabila masalah yang disepakati menyangkut masalah yang tidak melibatkan perusakan dan pemusnahan yang disengaja. Dan yang kedua, jika masalah yang disepakati (Ijma’) didasarkan kepada dalil-dalil yang desesif (dalaliah).
Perlunya dalil Naqli dalam Ijma’ :
Sebagaimana yang sudah dijelaskan panjang lebar dimuka, bahwa Ijma’ adalah sebuah otorita yang diakui sah dalam system penetapan hukum Islam. Dan sudah barang tentu dengan keberadaan dia sebagai otoritas maka ia juga adalah dalil atau otoritas. Konsep ter-sebut tidak lantas lepas dari permasalahan, karena ternyata timbul permasalahan tentang “apakah perlu Ijma’ tersebut dikuatkan lagi dengan dalil Naqli”.
Konsep perlu tidaknya Ijma’ dikuatkan oleh dalil Naqli tersebut berkembang pada abad ke 4 H. jauh setelah meninggalnya Imam Syafi’i, sebab pada masa Imam syafi’i kita tidak me-nemukan konsep tersebut. Menurut teori klasik, bawha tidak Ijma’ yang sah terkecuali bila dikuatkan dengan dalil penunjang baik yang berasal dari Al Qur’an yang kemudian disebut dalilah atau dalil indikatif/desesif. Dan yang kedua dalil dari hadits ahad atau analogi yang kemudian disebut dalil amarah, pandangan atau bukti spekulatif.
Secara umum pendapat mengenai dalil Naqli dalam Ijma’ terbagi menjadi dua, yaitu mereka menyatakan perlunya dalil sebagai penguat dan mereka yang mengatakan tidak adanya dalil dalam Ijma’. Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasannya :
1. Adanya syarat dalil dalam Ijma’, alasan :
a. Tanpa adanya dalil atau otorita yang mendukung, maka Ijma’ tidak akan mencapai derajat kebenaran.
b. Nabi Muhammad membuat keputusan berdasarkan wahyu Allah; Shahabat secara forteori juga melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu masyarakat yang berpendapat harus berdasarkan pada otorita atau dalil.
c. Kalau orang bebas berpendapat tanpa didasari oleh otorita atau dalil, maka dalam jangka panjang, mereka akan membuat keputusan berdasarkan pendapat individu me-reka dan kesepakatan universal (umum) akan kehilangan nilai dan kelebihannya atas pendapat pribadi.
d. Mengemukakan pendapat dalam masalah agama tanpa dalil yang desesif (dalalah) atau spekulatif (amarah) tidak dibenarkan dan akan menimbulkan kesalahan hukum serta merusakkan prinsip-prinsip Ijma’.
e. Pendapat tanpa disertai dalil atau otorita tidak boleh dinisbatkan kepada pembuat hukum (ahli hukum) dan mengikuti pendapat tersebut tidak diperbolehkan.
f. Ijma’ tanpa adanya dalil akan menyebabkan syarat Ijtihad bagi kompetensi Ijma’ tidak ada artinya.
2. Tidak perlu dalil
a. Apakah masih diperlukan dalil jika telah dicapai kesepakatan (Ijma’) karena kese-pakatan sendiri adalah dalil. Alasan-alasa lain adalah :
· Bahwa Ijma’ telah direstui dan dibenarkan oleh agama.
· Bahwa umat tidak akan bersepakat dalam kesalahan
· Pendapat kelompok merupakan otoritas terhadap pendapat pribadi.
b. Pendapat apapun bisa saja salah jika tidak ada Ijma’, maka dengan Ijma’ tidak akan ada kesalahan
c. Syarat Ijtihad bagi kompetensi Ijma’ baru berlaku jika tidak ada kesepakatan, maka bila terjadi kesepakatan, syarat tersebut tidak berlaku.
Di samping alasan-alasan tersebut, ulama yang menentang persyaratan adanya dalil atau otoritas lain bagi sahnya Ijma’, juga mengemukakan argumentasi lain, yaitu :
1. Argument teoristis yang menyatakan bahwa Ijma itu sendiri adalah otoritas dan jika dalil dipakai, maka yang menjadi dalil atau otoritas adalah dalil itu sendiri, dan Ijma’ ke-hilangan makna legalitasnya.
2. Argument praktis yang menyatakan bahwa praktek atau kegiatan Ijma’ telah dilakukan dan dicapai kesepakatannya pada masa lalu dalam sejumlah masalah.
Berdasarkan alasan yang dikemukan oleh masing-masing pihak, ternyata menurut al Amidi, keduanya tidak argumentasinya, sehingga permasalahan perlu tidaknya dalil menjadi sangat tidak penting dibandingkan dengan Ijma’ itu sendiri. Maka untuk menjembatani per-bedaan pendapat tersebut, perlu di tegaskan jalan atau cara yang lebih moderat, yang menurut hemat saya merupakan alternatif yang bisa diterima. Pendapat yang merupakan kesimpulan itu adalah :
1. Bahwa dalil diperlukan sebagai landasan untuk menguatkan Ijma’ sebagaimana pendapat al Shayrafi, Ibnu Hamam, al Mawardi, dan al Ruyani
2. Dan jika dalil yang dipakai sebagai landasan itu adalah dalil desesif, maka Ijma’ adalah penegasan dan tidak dimaksudkan sebagai tindakan yang berlebih-lebihan. Pendapat ini dikemukakan oleh al Taftazani.
D. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan :
1. Bahwa Ijma’ merupakan salah satu otoritas yang dapat dipakai sebagai landasan penetapan hukum Islam. Yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
a. Ijma’ Shahabat yaitu Ijma’ yang disepakati Shahabat dengan ungkapan verbal (Lisan); kedudukannya sebagai dalil desesif (dalalah).
b. Ijma’ Shahabat yang disepakati dengan ungkapan verbal dan diam-diam (sukuti)
c. Ijma’ Tabi’in yaitu Ijma terhadap masalah yang diperselisihkan pada masa Shahabat; kedudukannya sama dengan Hadits masyhur.
d. Ijma’ generasi berikutnya terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan pada generasi sebelumnya.
2. Bahwa Ijma’ menurut para pemikir Hukum Islam dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Ijma’ desesif lebih menentukan dari al Qur’an-al Hadits, karena dapat dimansukh.
b. Ijma’ yang yang disepakati dengan dalil amarah bersifat spekulatif (Ijma’ non desesif).
c. Ijma’ yang disepakati secara bulat adalah sebagai dalil desesif dan yang tidak disebut sebagai dalil spekulatif.
3. Bahwa menolak Ijma’ desesif berarti bid’ah (Kafir) sedangkan menolak Ijma’ spekulatif tidak menyebabkan apa-apa atau boleh.
4. Bahwa Ijma’ tidak dapat dibatalkan oleh al Qur’an dan al Hadits, kalau Ijma’ tersebut di-kuatkan dalil dalalah dan sebaliknya Ijma’ tidak dapat membatalkan hukum dari al Qur’an dan al Hadits. Menurut al Bazdawi Ijma’ dapat dibatalkan hukumnya jika ditemukan hukum lain yang lebih kuat. (Ijma Spekulatif dibatalkan Ijma Desesif dst.).
5. Bahwa Ijma’ sebagai sumber otoritas ternyata mempunyai permasalahan-permasalahan di-seputar otoritas atau dalil yang dipakai, keabasahan Ijma’, persyaratan berlalunya waktu dan perlukah Ijma’ dikuatkan dengan dalil.
6. Bahwa Ijma mempunyai kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pelaku dan ruang lingkup yang harus dibahas oleh Ijma’
Bagian VI : Pokok-pokok ajaran Islam
Membicarakan pokok-pokok ajaran Islam, maka tidak lepas dengan kandungan Al Qur’an, sebab membedah ajaran Islam sama harus membedah secara sistematis materi yang terkandung dalam Al Qur’an. Hubungan hierarkis yang terjadi antara Islam dengan Al qur’an seperti dua sisi mata uang – karena Islam dibangun berdasarkan teks-teks Al Qur’an.
Al Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.100 ayat (sebagian mengatakan 6.666 ayat walau kurang kuat alasan dan argumentasinya) merupakan kitab yang mempunyai tingkat kesulitan tersendiri dalam memahaminya. Oleh sebab itu berkembang ilmu atau kitab-kitab yang dimaksudkan untuk mempermudah pendalaman dan pengkajiannya.
Belakangan muncul sebuah tafsir yang berusaha mengkaji Al Qur’an berdasarkan pokok bahasan dan thema yang dikehendaki, dengan mengumpulkan ayat-ayat tersebut dalam klasifikasi bahasan yang ditetapkan. Namun demikian masih juga menghadapi kendala dan tantangan dalam proses penyelesaiannya sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang dihimpun oleh Al Qur’an. Keragaman dan banyaknya kandungan permasalahan yang dibahas Al Qur’an menyebabkann para ahli tafsir berusaha mengelompokkan bahasan Al Qur’an menjadi beberapa pokok, mereka menyebutnya dengan “Thema Pokok Al Qur’an”. Sudah barang tentu konsep ini akan sangat membantu mengingat jumlah masalah Al Qur’an yang sangat banyak, bahkan menurut Ibnu Arabi dalam buku Qonun Ath Thawil masalah atau ilmu yang dikandung oleh Al Qur’an berjumlah 77.450 ilmu atau masalah yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu :
A. Tauhid atau kepercayaan (keimanan dan keyakinan)
B. Tadzkir (peringatan dan suri tauladan)
C. Ahkam (Ketentuan-ketentuan/hukum-hukum Allah).
Dr. Fazlur Rahman menulis satu buku khusus “The Major Themes of Qur’an”, Buku tersebut mengupas Al Qur’an dalam garis besarnya saja. Ia mengatakan bahwa pengelompok-kan bahasan dalam Al Qur’an akan mempermudah melakukan pengkajian terhadapnya. Penge-lompokan masalah-masalah Qur’aniah tersebut adalah :
A. Masalah Ketuhanan
B. Masalah manusia dan kehidupannya sebagai makhluq individual
C. Masalah manusia dan kehidupannya dalam masyarakat atau sebagai makhluq sosial.
D. Masalah alam semesta.
E. Masalah Kenabian dan wahyu
F. Eskatologis (bentuk kehidupan yang terbebaskan dari pengaruh keduniaan)
G. Masalah Syetan (Evil) dan Kejahatan (Crime).
H. Masalah citra dan pembentukan masyarakat muslim.
Disamping pemikiran-pemikiran tersebut, juga terdapat banyak pemikiran lain yang berusaha memahami seberapa banyak permasalahan yang dikandung oleh Al Qur’an. Berikut ini pendapat-pendapat ulama berkaitan dengan thema pokok Al Qur’an :
A. Prof. Dr. Quraisy Shihab :
1. Masalah Tauhid (Keyakinan, keimanan dan kepercayaan).
2. Masalah Akhlak (Moralitas).
3. Masalah Hukum (Qonun/ketentuan hukum).
B. Ibnu Jarir Ath Thabari
1. Masalah Tauhid
2. Masalah Akhbar (cerita umat masa lalu)
3. Dinayat atau masalah konsep agama
C. Abu Ishaq As Suyuthi
1. Pengetahuan tentang Tuhan sebagai tujuan melakukan ibadah
2. Pengetahuan tentang cara melakukan ibadah
3. Pengetahuan tentang akibat dan kesudahan kehidupan manusia.
D. Syah Wali Al Dahlawi
1. Pengetahuan Hukum (ketentuan hukum) Yahudi
2. Perdebatan (Al Jadal) Islam dengan Yahudi, Nasrani, Munafik dan Musyrik
3. Tadzkir bin Nikmat terhadap Allah
4. Tadzkir bil Yaum (peringatan dengan perajalanan hari)
5. Tadzkir bil Maut (peringatan dengan kejadian kematian).
E. Mahmud Syaltut - membagi Al qur’an menjadi 6 pokok bahsan yaitu pengetahuan tentang Pengetahuan tentang akidah (keyakinan), Pengetahuan tentang akhlak (moralitas)., Refleksi atau perenungan tentang ciptaan Tuhan (Allah), Kisah-kisah umat terdahulu, Janji dan ancaman Allah, Hukum perbuatan manusia. Tetapi dalam buku “Al Aqidah Wal Syari’ah” ia membagi Islam dalam 2 pokok bahasan besar yaitu Akidah dan Syari’ah.
Terdapat beberapa ulama yang menyoroti al Qur’an (Islam) dari sisi Science yang dikembangkannya. Mereka mengatakan bahwa Al Qur’an menjelaskan lebih dari 77.450 macam keragaman konsep ilmu pengetahuan. Pengakuan terhadap Al Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan juga dikemukan oleh Scientis barat yang lain, misalnya Dr. Bernard Shaw seorang ahli bedah. Ia mengatakan bahwa tidak pernah ia temukan satu teori dalam Ilmu pengetahuan yangdapat bertahan lebih dari satu Abad (100 tahun) tetapi konsep ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an dapat bertahan lebih dari satu abad bahkan sampai saat ini masih tetap aktual dan diakui kebenarannya.
Tidak sedikit para sarjana Barat yang kagum terhadap tesis dan isyarat ilmu pengetahuan Al Qur’an, mereka tidak dapat melepaskan diri dari jeratan kebenaran tesis tersebut, yang kemudian mereka mengakui kebenarannya dan akhirnya masuk Islam. Adalah Maurice Bucaille yang melakukan study Bible dan Al Qur’an dalam perspektif ke-ilmuan, yang kemudian mem-peroleh satu kesimpulan bahwa ternyata hanya Al Qur’an (Islam) yang mempunyai kapasitas keilmuan yang benar-benar unggul. Kajian keilmuan Maurice Bucalle tersebut kemudian di-abadikan dalam satu karya Ilmiyah yang diberi judul “Bible, al Qur’an dan Science (Ilmu Pengetahuan)”.
Namun demikian, menempatkan al Qur’an sebagai buku induk Ilmu Pengetahuan bukanlah sebuah gagasan yang tampa permasalahan, sebab ternyata sebagian di antara pakar keislaman banyak yang tidak setuju terhadap gagasan tersebut. Menurut mereka, menempatkan Al Qur’an sebagai induk ilmu pengetahuan akan menurunkan kapasitas dia pada level yang sangat naif; sangat temporer dan rentang terhadap perubahan.
Dalam beberapa kesempatan, Al Qur’an selalu menjelaskan apa yang dikandung oleh Al Qur’an sangat sempurna artinya tidak mungkin ada sesuatu yang tertinggal dan tidak dibicarakan dalam Al Qur’an. Ayat-ayat yang menyatakan kesempurnaan tersebut adalah :
A. Tidak ada sesuatu yang terkecil seperti atom atau yang di atas langit, yang terlepas dari bahasan Al Qur’an (Qs. Yunus : 61)
B. Tidak ada satupun hal yang terlepas dari Al Qur’an (Qs. Al An’am : 38)
C. Al Qur’an menjelaskan segala sesuatu (QS. An Nahl : 89).
BUKU REFERENSI
1. Ahmad Hasan : Ijma’
2. Dr. Fazlur Rahman : Islam
3. Dr. Fazlur Rahman : Thema pokok Al Qur’an (The Majors Themes of Al Qur’an)
4. Dr. Quraisy Shihab : Membumikan Al Qur’an
5. Dr. Harun Nasution : Islam Rasional, pemikiran dan gagasan
6. Dr. Harus Nasution : Filsafat Agama
7. Drs. Nasruddin Razak : Dienul Islam
8. Maurice Bucaille : Bible, Al Qur’an dan Sains
9. Dr. Mahdi Gullsyani : Filsafat-Sains menurut Al Qur’an
Label: Dirosah Islamiyah
1 Comment:
-
- Noey Daisuke said...
26 Oktober 2018 pukul 01.00izin digunakan sebagian sebagai referensi Terimakasih, sangat bermanfaat