Minggu, 25 Januari 2009
KONTROVESRI PEMBAHARUAN DAN KEPENTINGANNYA
TERHADAP AJARAN ISLAM
OLEH : DRS. IHSAN
Sesungguhnya Allah akan membangkitkan
Bagi umat ini dalam tiap-tiap seratus tahun
Seorang yang akan melakukan pembaharuan
bagi agamanya (al Hadits)
Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yang sangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab kehidupan manusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akan mengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperoleh kinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan jaman.
Tajdid berasal dari akar kata Arab “JADADA” yang dari kata tersebut terdapat kata “JADID” yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian yang berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu :
· Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru.
· Al Qath’u (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan.
· Roj’i (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya.
Dalam beberapa kesempatan, Al Qur’an menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayat tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakan oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, As-Saba’ 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka meningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualisasi ajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti dari pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu :
· Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinalitas dan kebenarannya bersifat absolut.
· Terdapat penyimpangan dan kerusakan atau ketidakmampuan melakukan aktualisasi ajaran itu sendiri, sehingga kehilangan daya tariknya.
· Terdapat usaha untuk melakukan aktualisasi (menghidupkan) kembali konsep tersebut.
Disamping terminologi Tajdid (Pembaharuan), juga kita temukan teminologi lain yang sebenarnya mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Kata-kata tersebut digunakan untuk mengungkapkan proses reformulasi, pembentukan dan aplikasi ulang Islam sebagai sistem kehidupan dan sumber nilai kehidupan manusia. Reformasi atau pembaharuan tersebut ber-kembangan karena akumulasi sejarah kehidupan umat yang senantiasa dalam ketergantungan struktural dan politik. Ketergantungan Struktural dan Politik pada jaman pertengahan melahirkan sikap hidup yang pesimis, tidak progresif dan menggantungkan nasib hidupnya kepada kekuatan selain Allah; sikap hidup yang didominasi oleh Takhayyul, Bid’ah dan Khurofat menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.
Sikap hidup yang kurang progresif tersebut nampaknya memberi dorongan terbesar bagi tum-buhnya budaya “Taklid”, menerima konsep dan ajaran tampa melakukan proses pengkajian dan analisa terlebih dahulu. Sikap hidup seperti itu rentan terhadap berkembangnya penyakit sosial-psykis lainnya. Maka dalam kurun waktu yang sangat lama, umat Islam tidak mampu melepaskan diri dari dominasi bangsa Barat sampai ketika muncul pemikir-pemikir Islam yang dikenal sebagai Reformis seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Bin Abd. Wahab (Wahabi), Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridho, Jamaluddin Al Afghoni dll. Gerakan tersebut tenyata sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran beragama sekaligus melahirkan gerakan baru yang disebut “Gerakan Kebangkitan Islam”.
PEMBAHARUAN : PERLUKAH TERHADAP PROSES AKTUALISASI AJARAN ISLAM
Ketika pembaharuan pertama kali dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah dan berkembang pesat di penjuru dunia, sebagian orang beranggapan bahwa program tersebut hanya mimpi di siang bolong. Statemen tersebut lahir karena kehidupan umat Islam telah jatuh pada sikap hidup yang sangat naif dan sufistis. Hidup di jaman pertengahan bagi mereka tidak lagi memerlukan sisi dunia tetapi sisi keahiratan, bahkan berfikir dalam Islam pada waktu itu telah diharamkan seiring dengan mundurnya tradisi berfikir di dunia Islam.
Untuk itu “Pintu Ijtihad” telah dinyatakan tertutup bagi umat Islam. Menurut hemat saya Statemen tersebut merupakan pernyataan “Bodoh” yang pernah lahir dalam sejarah kehidupan manusia. Belum pernah ada di dunia manapun seorang dilarang untuk berfikir dan berkarya kecuali di Dunia Islam pada waktu itu. Di satu pihak, kita memang harus mempertanyakan keberadaan dan motif lahirnya pernyataan tersebut, tetapi barangkali hal tersebut muncul karena mereka memang tidak mempunyai kualifikasi berfikir sama sekali atau diadakan untuk mem-berangus tradisi bid’ah atau bahkan yang paling menyedihkan jika hal tersebut dimunculkan untuk menyumbat tradisi berfikir dikalangan umat Islam.
Apapun motif lahirnya pernyataan tersebut, yang pasti bahwa umat islam telah mengidap penyakit yang sangat kronis dan perlu segera disembuhkan agar ia mampu berkembang dan tetap dapat berdiri dengan nilai dan kerangka acuan yang disepakatinya. Penyakit kronis yang sempat diderita oleh umat Islam, sebagaimana yang disebutkan diatas (kebekuan berfikir/lemahnya tradisi keilmuan dan sikap hidup Taklid/tidak mempunyai pendirian, pengamalan agama yang banyak berasal dari bid’ah, takhayyul dan khurafat, ketergantungan struktural dan politik), perlu diadakan atau dibangun dan dikembangkan format baru dunia Islam yang bebas dari TBC, ketergantungan struktural dan politik, kebekuan berfikir dan memulai kehidupan baru dunia Islam dengan sikap yang progresif, bebas dari ketergantungan struktural dan politik dan berkembangnya tradisi keilmuan Islam. Misalnya gerakan Muhyi Ats Tsaris salaf yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah memberikan inspirasi kepada pakar Islam. Di saudi Arabia muncul Muhammad Bin Abdul Wahab (Wahabi) dan di bumi Allah yang lain berkembang gerakan pembaharuan seperti di Mesir dan Indo-Pakistan.
Muhammad Bin Abd wahab (Gerakan Wahabi) melakukan proses pembaharuan di Saudi Arabia. Gerakan wahabi ini memperoleh dukungan politik dari keluarga Ibnu Suud yang berupaya membangun kerajaan di Saudi Arabia. Menurut sejarawan, bahwa keberhasilan gerakan pembaharuan di Saudi Arabia sangat ditentukan oleh kolaborasi antara dua kepentingan tersebut, kepentingan agama dan politik.
Gerakan Wahabi adalah gerakan puritanisasi yaitu pemurnian kembali ajaran Islam dari unsur-unsur bid’ah artinya lebih mengarah pada aspek ubudiyah dan konsep keyakinan. Gerakan tersebut kemudian menyebar kepenjuru dunia lewat pegualatan keilmuan Islam dan per-singgungan beberapa umat Islam dengan umat Islam lainnya lewat perjalanan Ibadah Haji, sedangkan gagasan pembaharuan di Pakistan dan Mesir yang lebih menitik beratkan pada pembangunan kembali pola berfikir dan tradisi keilmuan di dunia Islam, berkembangan ke-penjuru dunia melalui media cetak Al Manar.
Bagaimanapun bentuk dan modelnya, pembaharuan sang diperlukan untuk revitalisasi umat Islam dan membangun kembali semangat keberagamaan yang selama ini hilang akibat ketidakmampuan umat mengkaji dan memahami agamanya, terutama sisi keilmuan dan semangat berfikirnya.
MODERNISASI : SEBUAH TAWARAN UNTUK PEMBERDAYAAN UMAT ISLAM
Modernisasi adalah sebuah program aksi untuk memberdayakan umat Islam agar dapat ber-kembang mengiukuti alur zaman. Program tersebut tidak berarti menjadikan Islam sebagai sumber nilai yang harus mengikuti perkembangan zaman itu sendiri, akan tetapi lebih me-rupakan usaha untuk mengkaji sumber nilai tersebut agar dapat memberi warna.
Menurut Dr. Harun Nasution, modernisasi (Modern/Modernisme) adalalah pikiran, aliran, usaha dan gerakan untuk mengubah paham, adat istiadat, institusi lama dsb sesuai dengan pendapat dan keadaan yang berkembang akibat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Sedangkan menurut Encyclopedia Americana V : 284, modernisasi adalah keseluruhan visi di dalam agama yang didasarkan pada keyakinan bawa ajaran agama perlu ditafsirkan dengan pemahaman filsafat dan ilmiyah populer agar sesuai dengan kemujuan jaman dan budaya kontemporer.
Perkembangan jaman akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terjadinya perubahan prilaku manusia terutama dalam menanggapi persoalan hidup mereka. Orientasi hidup mereka menjadi demikian rasional dan segala sesuatu nampaknya ingin selalu dapat dibuktikan dengan format-format keilmuan.
Apapun bentuk dari tawaran tersebut, Agama yang selama ini hanya dijalani dengan pe-ngerahan ketaatan dan kepasrahan optimal menjadi tidak relevan dihadapan masyarakat yang hanya menonjolkan sisi rasionalitasnya saja. Cerita Goib yang selama ini hanya membutuhkan pengimanan tampa pertanyaan balik menjadi tidak populer dikalangan manusia terpelajar dan rasional.
Sebagai umat beragama, fenomeno sosial tersebut membuat kita harus mengkaji ulang dan sekaligus bertanya ; Sudah sedemikiankah kondisi obyektif masyarakat kita !, Sudah hilangkan kemampuan agama dalam mensuport dan mempengaruhi pemeluknya ! Maka mau atau tidak mau nampaknya kita harus melakukan “Modernisasi”. Modernisasi dalam pengertian yang seluas-luasnya bukan modernisasi karena suatu desakan yang temporer saja. Ada beberapa alasan yang dapat kita kemukakan untuk menjadikan modernisasi sebagai alternatif, yaitu :
1. Perkembangan dan kemajuan jaman ternyata telah memicu perubahan mendasar terhadap orientasi dan tujuan hidup manusia.
2. Ajaran-ajaran agama itu sendiri memerlukan aktualisasi sehingga ia tetap dapat mengkontrol moralitas manusia.
3. Berkembangnya satu pemikiran bahwa pandangan dan pemikiran orang terhadap agama itu bersifat relatif dan kondisional.
Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat menjadikan agama tetap dihargai sebagai sumber nilai kehidupan, menjadi alat kontrol moralitas manusia, sebab dalam kepentingan itu agama dapat memperlihatkan eksistensi. Untuk memperoleh daya guna seperti itu agama harus dapat memperbaharui dirinya sendiri dalam artian pemeluknya dapat membersihkan citra agama dari suatu yang tidak efektif dan irrasional. Dalam pandangan seperti itu Dr. Nurcholis Madjid memberikan pengertian Modernisme. Ia mengatakan modernisme adalah rasionalisme artinya menata ulang pemikiran dan tata nilai yang tidak rasional untuk memperoleh daya guna dan efektifitas.
Dalam kesempatan yang lain, Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran agama Islam perlu dilakukan sekulerisasi. Sekulerisasi dalam pengertian perlu adanya pemisahan yang tegas segala sesuatu yang merupakan bagian dari agama dengan segala sesuatu yang bukan bagian dari agama. Hal tersebut untuk membersihkan segala hal yang selama ini dianggap bagian dari agama, akan tetapi bukan merupakan bagian dari agama. Segera setelah gagasan sekulerisasi dilemparkan, maka berkembanglah polemik disekitar pemikiran sekulerisasi ajaran Islam tersebut. Sebagian mereka mengganggp bahwa Nurcholis telah terbius westernisasi dan sebagian lagi masih bingung membahas penggunaan kata-kata sekulerisasi dalam ilmu sosial yang dikaitkan dengan agama.
Untuk mengakhiri polemik tersebut sekaligus memberikan penjelasan inti atau dasar gagasan sekulerisasi tersebut, Nurcholis Madjid sekali lagi tampil kepentas wacana pemikiran umat Islam, dengan mengatakan bahwa Modernisasi bukanlah westernisasi melainkan rasionalisasi dan Sekulerisasi adalah uapaya desakralisasi artinya memilah dan meletakkan yang sakral (suci/ agama) adalah sakral dan yang profan (benda/dunia dan bukan agama) adalah profan.
Polemik terhadap kemampuan agama dalam kehidupan manusia tersebut nampaknya telah melahirkan polarisasi pemahaman dan pemikiran dikalangan umat Islam, terutama yang berkaitan dengan kemampuan dan peran agama dalam kehidupan dewasa ini. Namun demikian, tidaklah semua pemeluk Islam beranggapan bahwa Islam telah kehilangan daya tariknya, karena bagaimanapun Islam adalah ajaran kebenaran dan kebenaran itu sendiri me-rupakan alasan untuk dibenci dan dihancurkan. Polemik pemikiran terhadap perlu dan tidaknya modernisasi dalam Islam membuat pemeluk Islam terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Tradisionalis yaitu kelompok yang menganggap bahwa agama itu bersifat dogmatik dan tidak perlu dilakukan pengkajian. Mereka adalah orang-orang fatalisme (jabariyah)
2. Modernisme Klasik yaitu kelompok yang menganut keterbukaan dan kebebasan dalam melakukan penghayatan agama. Bahkan mereka cenderung kebarat-baratan.
3. Universalisme (Internationalis) yaitu kelompok yang menganggap bahwa apa yang ada di-dalam ajaran agama Islam itu telah sempurna dan melebihi dari cukup untuk mengatur kehidupan manusia.
4. Neomodernisme yaitu kelompok yang beranggapan bahwa ajaran agama itu memang sem-purna tetapi untuk aktualisasinya diperlukan metode dan cara sehingga Islam tetap aktual dan dapat mengikuti perkembangan jaman
Menurut Fazlur Rahman (Islam dan Modernitas), Neomodernisme tersebut merupakan konsep unggulan dalam menempatkan ajaran agama Islam dimasa yang akan datang dengan tidak menghilangkan atau kehilangan masa lalunya, sebab ia melakukan dua agenda kegiatan yaitu kegiatan antisipatif kedepan dan meletakkan masa lalu sebagai sumber nilai apabila masa lalu itu baik dan representatif untuk dikembangkan Al Muhafadhotu alal Qodiim Ash Shalih Wa Al Ahdhu bi Al Jadiidi Al Ashlah).
Dari beberapa pemikiran tersebut, maka perlu diketahui bahwa Modernisme yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dan kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Nurcholis Madjid adalah murni rasionalisasi pemikiran dan reformasi pemikirian artinya melakukan pe-rubahan terhadap cara pandang dan pikir mereka terhadap ajaran agama Islam sebagai sumber nilai kehidupan masyarakat. Proses tersebut jelas tidak dimaksudkan untuk memperbaharuhi subtansi dan isi dari ajaran agama itu sendiri.
Nurcholis Madjid melihat bahwa didalam al Qur’an terdapat teks yang menghendaki proses berkembangnya pemikiran dengan melakukan secara terus menerus pembelajaran, pengkajian dan penelitian terhadap alam (QS. Yunus : 101), melakukan pemikiran yang terus menerus terhadap ke-jadian alam (QS. Ali Imron :190-191), dan hidup dengan melakukan analisa dan perbandingan serta tidak taklid (Qs. Al Baqarah : 170). Oleh sebab itu setiap manusia muslim seharusnya me-nya bahwa potensi untuk berbeda dan melakukan perubahan atau pembaharuan dalam Islam senantiasa akan terus terjadi.
Dengan demikian pembaharuan (reformasi dan Modernisasi) diperlukan oleh setiap umat manusia dalam memandang ajaran agamanya dikarenakan beberapa hal, yaitu :
· Kebutuhan natural kemanusia yang juga diakui oleh Al Qur’an.
· Untuk membangun pola pikir yang tangguh
· Untuk melakukan aktualisasi ajaran agama sehingga agama akan tetap dapat mengkontrol moralitas pemeleknya dalam kehdiupan.
TUJUAN DAN SASARAN PEMABAHARUAN
Melihat perkembangan dan kemajuan zama tersebut, maka nampaknya perubahan orientasi dan pemikiran keagamaan harus senantias berubah dan berkembang. Untuk itu maka setiap program pembaharuan dan modernisasi selalu diarahkan untuk aktualisasi dan realisasi ajaran agama se-hingga akan tetap dapat memberikan makna dan arti bagi pemeluknya. Di samping itu pem-baharuan diperlukan dalam rangka untuk membangun kembali semangat dan ketahanan umat Islam terutama menumbuhkan tradisi intelektual dan keilmuan dalam Islam.
Dalam hal ini pembaharuan adalah program rasionalisasi pemikiran dikalangan umat Islam dengan prinsip bahwa Islam itu sangat rasional dan harus didekati dengan pola pemikiran yang benar dan ilmiyah. rasionalisasi juga berarti menghilangkan sesuatu yang tidak semestinya bagi agama Islam.
Dari konsep ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa pembaharuan berfungsi :
· Reaktualisasi ajaran agama Islam dalam kehidupan.
· Rasionalisasi ajaran agama Islam sehingga terbebas dari unsur-unsur TBC (sesuatu yang tidak layak dianalogikan kepada agama).
· Membangun kembali kekuatan Islam untuk mendorong semangat kebangkitan dikalangan umat Islam (Pemikiran, ekonomi dan politik).
Untuk itu sasaran pembaharuan seharusnya diarahkan kepada sesuatu yang reltifitas dan temporer atau kondisional termasuk dalam karegori ini adalah pemikiran yang berkaitan dengan dunia modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan atau dengan kata lain ia harus bersifat antisipatif dan aktualisasi. Pembaharuan tidak termasuk didalamnya kerangka dasar dan bingkai keyakinan (kepercayaan) atau hal-hal yang secara absolut (pasti) telah ditegaskan oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
TERHADAP AJARAN ISLAM
OLEH : DRS. IHSAN
Sesungguhnya Allah akan membangkitkan
Bagi umat ini dalam tiap-tiap seratus tahun
Seorang yang akan melakukan pembaharuan
bagi agamanya (al Hadits)
Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yang sangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab kehidupan manusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akan mengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperoleh kinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan jaman.
Tajdid berasal dari akar kata Arab “JADADA” yang dari kata tersebut terdapat kata “JADID” yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian yang berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu :
· Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru.
· Al Qath’u (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan.
· Roj’i (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya.
Dalam beberapa kesempatan, Al Qur’an menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayat tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakan oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, As-Saba’ 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka meningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualisasi ajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti dari pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu :
· Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinalitas dan kebenarannya bersifat absolut.
· Terdapat penyimpangan dan kerusakan atau ketidakmampuan melakukan aktualisasi ajaran itu sendiri, sehingga kehilangan daya tariknya.
· Terdapat usaha untuk melakukan aktualisasi (menghidupkan) kembali konsep tersebut.
Disamping terminologi Tajdid (Pembaharuan), juga kita temukan teminologi lain yang sebenarnya mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Kata-kata tersebut digunakan untuk mengungkapkan proses reformulasi, pembentukan dan aplikasi ulang Islam sebagai sistem kehidupan dan sumber nilai kehidupan manusia. Reformasi atau pembaharuan tersebut ber-kembangan karena akumulasi sejarah kehidupan umat yang senantiasa dalam ketergantungan struktural dan politik. Ketergantungan Struktural dan Politik pada jaman pertengahan melahirkan sikap hidup yang pesimis, tidak progresif dan menggantungkan nasib hidupnya kepada kekuatan selain Allah; sikap hidup yang didominasi oleh Takhayyul, Bid’ah dan Khurofat menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.
Sikap hidup yang kurang progresif tersebut nampaknya memberi dorongan terbesar bagi tum-buhnya budaya “Taklid”, menerima konsep dan ajaran tampa melakukan proses pengkajian dan analisa terlebih dahulu. Sikap hidup seperti itu rentan terhadap berkembangnya penyakit sosial-psykis lainnya. Maka dalam kurun waktu yang sangat lama, umat Islam tidak mampu melepaskan diri dari dominasi bangsa Barat sampai ketika muncul pemikir-pemikir Islam yang dikenal sebagai Reformis seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Bin Abd. Wahab (Wahabi), Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridho, Jamaluddin Al Afghoni dll. Gerakan tersebut tenyata sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran beragama sekaligus melahirkan gerakan baru yang disebut “Gerakan Kebangkitan Islam”.
PEMBAHARUAN : PERLUKAH TERHADAP PROSES AKTUALISASI AJARAN ISLAM
Ketika pembaharuan pertama kali dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah dan berkembang pesat di penjuru dunia, sebagian orang beranggapan bahwa program tersebut hanya mimpi di siang bolong. Statemen tersebut lahir karena kehidupan umat Islam telah jatuh pada sikap hidup yang sangat naif dan sufistis. Hidup di jaman pertengahan bagi mereka tidak lagi memerlukan sisi dunia tetapi sisi keahiratan, bahkan berfikir dalam Islam pada waktu itu telah diharamkan seiring dengan mundurnya tradisi berfikir di dunia Islam.
Untuk itu “Pintu Ijtihad” telah dinyatakan tertutup bagi umat Islam. Menurut hemat saya Statemen tersebut merupakan pernyataan “Bodoh” yang pernah lahir dalam sejarah kehidupan manusia. Belum pernah ada di dunia manapun seorang dilarang untuk berfikir dan berkarya kecuali di Dunia Islam pada waktu itu. Di satu pihak, kita memang harus mempertanyakan keberadaan dan motif lahirnya pernyataan tersebut, tetapi barangkali hal tersebut muncul karena mereka memang tidak mempunyai kualifikasi berfikir sama sekali atau diadakan untuk mem-berangus tradisi bid’ah atau bahkan yang paling menyedihkan jika hal tersebut dimunculkan untuk menyumbat tradisi berfikir dikalangan umat Islam.
Apapun motif lahirnya pernyataan tersebut, yang pasti bahwa umat islam telah mengidap penyakit yang sangat kronis dan perlu segera disembuhkan agar ia mampu berkembang dan tetap dapat berdiri dengan nilai dan kerangka acuan yang disepakatinya. Penyakit kronis yang sempat diderita oleh umat Islam, sebagaimana yang disebutkan diatas (kebekuan berfikir/lemahnya tradisi keilmuan dan sikap hidup Taklid/tidak mempunyai pendirian, pengamalan agama yang banyak berasal dari bid’ah, takhayyul dan khurafat, ketergantungan struktural dan politik), perlu diadakan atau dibangun dan dikembangkan format baru dunia Islam yang bebas dari TBC, ketergantungan struktural dan politik, kebekuan berfikir dan memulai kehidupan baru dunia Islam dengan sikap yang progresif, bebas dari ketergantungan struktural dan politik dan berkembangnya tradisi keilmuan Islam. Misalnya gerakan Muhyi Ats Tsaris salaf yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah memberikan inspirasi kepada pakar Islam. Di saudi Arabia muncul Muhammad Bin Abdul Wahab (Wahabi) dan di bumi Allah yang lain berkembang gerakan pembaharuan seperti di Mesir dan Indo-Pakistan.
Muhammad Bin Abd wahab (Gerakan Wahabi) melakukan proses pembaharuan di Saudi Arabia. Gerakan wahabi ini memperoleh dukungan politik dari keluarga Ibnu Suud yang berupaya membangun kerajaan di Saudi Arabia. Menurut sejarawan, bahwa keberhasilan gerakan pembaharuan di Saudi Arabia sangat ditentukan oleh kolaborasi antara dua kepentingan tersebut, kepentingan agama dan politik.
Gerakan Wahabi adalah gerakan puritanisasi yaitu pemurnian kembali ajaran Islam dari unsur-unsur bid’ah artinya lebih mengarah pada aspek ubudiyah dan konsep keyakinan. Gerakan tersebut kemudian menyebar kepenjuru dunia lewat pegualatan keilmuan Islam dan per-singgungan beberapa umat Islam dengan umat Islam lainnya lewat perjalanan Ibadah Haji, sedangkan gagasan pembaharuan di Pakistan dan Mesir yang lebih menitik beratkan pada pembangunan kembali pola berfikir dan tradisi keilmuan di dunia Islam, berkembangan ke-penjuru dunia melalui media cetak Al Manar.
Bagaimanapun bentuk dan modelnya, pembaharuan sang diperlukan untuk revitalisasi umat Islam dan membangun kembali semangat keberagamaan yang selama ini hilang akibat ketidakmampuan umat mengkaji dan memahami agamanya, terutama sisi keilmuan dan semangat berfikirnya.
MODERNISASI : SEBUAH TAWARAN UNTUK PEMBERDAYAAN UMAT ISLAM
Modernisasi adalah sebuah program aksi untuk memberdayakan umat Islam agar dapat ber-kembang mengiukuti alur zaman. Program tersebut tidak berarti menjadikan Islam sebagai sumber nilai yang harus mengikuti perkembangan zaman itu sendiri, akan tetapi lebih me-rupakan usaha untuk mengkaji sumber nilai tersebut agar dapat memberi warna.
Menurut Dr. Harun Nasution, modernisasi (Modern/Modernisme) adalalah pikiran, aliran, usaha dan gerakan untuk mengubah paham, adat istiadat, institusi lama dsb sesuai dengan pendapat dan keadaan yang berkembang akibat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Sedangkan menurut Encyclopedia Americana V : 284, modernisasi adalah keseluruhan visi di dalam agama yang didasarkan pada keyakinan bawa ajaran agama perlu ditafsirkan dengan pemahaman filsafat dan ilmiyah populer agar sesuai dengan kemujuan jaman dan budaya kontemporer.
Perkembangan jaman akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terjadinya perubahan prilaku manusia terutama dalam menanggapi persoalan hidup mereka. Orientasi hidup mereka menjadi demikian rasional dan segala sesuatu nampaknya ingin selalu dapat dibuktikan dengan format-format keilmuan.
Apapun bentuk dari tawaran tersebut, Agama yang selama ini hanya dijalani dengan pe-ngerahan ketaatan dan kepasrahan optimal menjadi tidak relevan dihadapan masyarakat yang hanya menonjolkan sisi rasionalitasnya saja. Cerita Goib yang selama ini hanya membutuhkan pengimanan tampa pertanyaan balik menjadi tidak populer dikalangan manusia terpelajar dan rasional.
Sebagai umat beragama, fenomeno sosial tersebut membuat kita harus mengkaji ulang dan sekaligus bertanya ; Sudah sedemikiankah kondisi obyektif masyarakat kita !, Sudah hilangkan kemampuan agama dalam mensuport dan mempengaruhi pemeluknya ! Maka mau atau tidak mau nampaknya kita harus melakukan “Modernisasi”. Modernisasi dalam pengertian yang seluas-luasnya bukan modernisasi karena suatu desakan yang temporer saja. Ada beberapa alasan yang dapat kita kemukakan untuk menjadikan modernisasi sebagai alternatif, yaitu :
1. Perkembangan dan kemajuan jaman ternyata telah memicu perubahan mendasar terhadap orientasi dan tujuan hidup manusia.
2. Ajaran-ajaran agama itu sendiri memerlukan aktualisasi sehingga ia tetap dapat mengkontrol moralitas manusia.
3. Berkembangnya satu pemikiran bahwa pandangan dan pemikiran orang terhadap agama itu bersifat relatif dan kondisional.
Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat menjadikan agama tetap dihargai sebagai sumber nilai kehidupan, menjadi alat kontrol moralitas manusia, sebab dalam kepentingan itu agama dapat memperlihatkan eksistensi. Untuk memperoleh daya guna seperti itu agama harus dapat memperbaharui dirinya sendiri dalam artian pemeluknya dapat membersihkan citra agama dari suatu yang tidak efektif dan irrasional. Dalam pandangan seperti itu Dr. Nurcholis Madjid memberikan pengertian Modernisme. Ia mengatakan modernisme adalah rasionalisme artinya menata ulang pemikiran dan tata nilai yang tidak rasional untuk memperoleh daya guna dan efektifitas.
Dalam kesempatan yang lain, Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran agama Islam perlu dilakukan sekulerisasi. Sekulerisasi dalam pengertian perlu adanya pemisahan yang tegas segala sesuatu yang merupakan bagian dari agama dengan segala sesuatu yang bukan bagian dari agama. Hal tersebut untuk membersihkan segala hal yang selama ini dianggap bagian dari agama, akan tetapi bukan merupakan bagian dari agama. Segera setelah gagasan sekulerisasi dilemparkan, maka berkembanglah polemik disekitar pemikiran sekulerisasi ajaran Islam tersebut. Sebagian mereka mengganggp bahwa Nurcholis telah terbius westernisasi dan sebagian lagi masih bingung membahas penggunaan kata-kata sekulerisasi dalam ilmu sosial yang dikaitkan dengan agama.
Untuk mengakhiri polemik tersebut sekaligus memberikan penjelasan inti atau dasar gagasan sekulerisasi tersebut, Nurcholis Madjid sekali lagi tampil kepentas wacana pemikiran umat Islam, dengan mengatakan bahwa Modernisasi bukanlah westernisasi melainkan rasionalisasi dan Sekulerisasi adalah uapaya desakralisasi artinya memilah dan meletakkan yang sakral (suci/ agama) adalah sakral dan yang profan (benda/dunia dan bukan agama) adalah profan.
Polemik terhadap kemampuan agama dalam kehidupan manusia tersebut nampaknya telah melahirkan polarisasi pemahaman dan pemikiran dikalangan umat Islam, terutama yang berkaitan dengan kemampuan dan peran agama dalam kehidupan dewasa ini. Namun demikian, tidaklah semua pemeluk Islam beranggapan bahwa Islam telah kehilangan daya tariknya, karena bagaimanapun Islam adalah ajaran kebenaran dan kebenaran itu sendiri me-rupakan alasan untuk dibenci dan dihancurkan. Polemik pemikiran terhadap perlu dan tidaknya modernisasi dalam Islam membuat pemeluk Islam terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Tradisionalis yaitu kelompok yang menganggap bahwa agama itu bersifat dogmatik dan tidak perlu dilakukan pengkajian. Mereka adalah orang-orang fatalisme (jabariyah)
2. Modernisme Klasik yaitu kelompok yang menganut keterbukaan dan kebebasan dalam melakukan penghayatan agama. Bahkan mereka cenderung kebarat-baratan.
3. Universalisme (Internationalis) yaitu kelompok yang menganggap bahwa apa yang ada di-dalam ajaran agama Islam itu telah sempurna dan melebihi dari cukup untuk mengatur kehidupan manusia.
4. Neomodernisme yaitu kelompok yang beranggapan bahwa ajaran agama itu memang sem-purna tetapi untuk aktualisasinya diperlukan metode dan cara sehingga Islam tetap aktual dan dapat mengikuti perkembangan jaman
Menurut Fazlur Rahman (Islam dan Modernitas), Neomodernisme tersebut merupakan konsep unggulan dalam menempatkan ajaran agama Islam dimasa yang akan datang dengan tidak menghilangkan atau kehilangan masa lalunya, sebab ia melakukan dua agenda kegiatan yaitu kegiatan antisipatif kedepan dan meletakkan masa lalu sebagai sumber nilai apabila masa lalu itu baik dan representatif untuk dikembangkan Al Muhafadhotu alal Qodiim Ash Shalih Wa Al Ahdhu bi Al Jadiidi Al Ashlah).
Dari beberapa pemikiran tersebut, maka perlu diketahui bahwa Modernisme yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dan kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Nurcholis Madjid adalah murni rasionalisasi pemikiran dan reformasi pemikirian artinya melakukan pe-rubahan terhadap cara pandang dan pikir mereka terhadap ajaran agama Islam sebagai sumber nilai kehidupan masyarakat. Proses tersebut jelas tidak dimaksudkan untuk memperbaharuhi subtansi dan isi dari ajaran agama itu sendiri.
Nurcholis Madjid melihat bahwa didalam al Qur’an terdapat teks yang menghendaki proses berkembangnya pemikiran dengan melakukan secara terus menerus pembelajaran, pengkajian dan penelitian terhadap alam (QS. Yunus : 101), melakukan pemikiran yang terus menerus terhadap ke-jadian alam (QS. Ali Imron :190-191), dan hidup dengan melakukan analisa dan perbandingan serta tidak taklid (Qs. Al Baqarah : 170). Oleh sebab itu setiap manusia muslim seharusnya me-nya bahwa potensi untuk berbeda dan melakukan perubahan atau pembaharuan dalam Islam senantiasa akan terus terjadi.
Dengan demikian pembaharuan (reformasi dan Modernisasi) diperlukan oleh setiap umat manusia dalam memandang ajaran agamanya dikarenakan beberapa hal, yaitu :
· Kebutuhan natural kemanusia yang juga diakui oleh Al Qur’an.
· Untuk membangun pola pikir yang tangguh
· Untuk melakukan aktualisasi ajaran agama sehingga agama akan tetap dapat mengkontrol moralitas pemeleknya dalam kehdiupan.
TUJUAN DAN SASARAN PEMABAHARUAN
Melihat perkembangan dan kemajuan zama tersebut, maka nampaknya perubahan orientasi dan pemikiran keagamaan harus senantias berubah dan berkembang. Untuk itu maka setiap program pembaharuan dan modernisasi selalu diarahkan untuk aktualisasi dan realisasi ajaran agama se-hingga akan tetap dapat memberikan makna dan arti bagi pemeluknya. Di samping itu pem-baharuan diperlukan dalam rangka untuk membangun kembali semangat dan ketahanan umat Islam terutama menumbuhkan tradisi intelektual dan keilmuan dalam Islam.
Dalam hal ini pembaharuan adalah program rasionalisasi pemikiran dikalangan umat Islam dengan prinsip bahwa Islam itu sangat rasional dan harus didekati dengan pola pemikiran yang benar dan ilmiyah. rasionalisasi juga berarti menghilangkan sesuatu yang tidak semestinya bagi agama Islam.
Dari konsep ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa pembaharuan berfungsi :
· Reaktualisasi ajaran agama Islam dalam kehidupan.
· Rasionalisasi ajaran agama Islam sehingga terbebas dari unsur-unsur TBC (sesuatu yang tidak layak dianalogikan kepada agama).
· Membangun kembali kekuatan Islam untuk mendorong semangat kebangkitan dikalangan umat Islam (Pemikiran, ekonomi dan politik).
Untuk itu sasaran pembaharuan seharusnya diarahkan kepada sesuatu yang reltifitas dan temporer atau kondisional termasuk dalam karegori ini adalah pemikiran yang berkaitan dengan dunia modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan atau dengan kata lain ia harus bersifat antisipatif dan aktualisasi. Pembaharuan tidak termasuk didalamnya kerangka dasar dan bingkai keyakinan (kepercayaan) atau hal-hal yang secara absolut (pasti) telah ditegaskan oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
Label: Tarikh Islam
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)