Selasa, 06 Januari 2009

SIPILISME
Bahayanya Bagi Eksistensi Ajaran Islam

Oleh : Drs. Ihsan


PENDAHULUAN

Faham, gagasan atau pemikiran manusia terbentuk menjadi sebuah agama atau pseudo agama berlangsung dalam waktu yang cukup lama – sejak ia hadlir sebagai cetusan dan letupan kecerdasan pikir, bergerak lurus kedepan dengan berbagai benturan terhadap nilai ekstern yang berkembang, ia mampu bertahan (survive) dari gerusan pikiran dan zaman melalui berbagai koreksi, bantahan dan juga kemunngkinan dukungan, sehingga pada gilirannya ia menjadi sebuah trend atau mode berfikir, berkeyakinan dan menjadi pedoman atau tata nilai yang diper-tahankan dan disebarluaskan dalam kehidupan.
Penyebaran sebuah faham atau gagasan bisa saja berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama sekali. Aliran Materialisme-Sosialisme lahir pada abad ke 18 dan berjuang terus dibawah pemikiran Frederich Angle dan Kalr Marx sebagai anti thesis adanya Kapitalisme, me-lakukan perjuangan kelas, membela kaum buruh dan rakyat yang tertindas dengan berbagai bentuk revolusi dan atribut kekerasan, kekejaman dan fasisme lainnya – sampai akhirnya ia roboh sendiri juga dihadapan Kapitalisme pada tahun 1992 di belahan dunia yang lain yakni Uni Sovyet. Kapitalisme juga sekali tiga uang, ia berdiri kokoh sejak bergulirnya Revolusi Industri di Inggris pada tahun 1750 M, bersamaan dengan semakin kuatnya modal (kapital) dalam dunia perindustrian dan didukung oleh liberalisme atau kebebasan.

Bangsa Yunani dengan berbagai filosofnya, juga mengekspor faham-faham dunia baik yang berkaitan dengan tata nilai sosial, politik, ekonomi dan agama – mereka harus berjuang sedikit demi sedikit menyeruak keruang pikir setiap manusia. Para penggagas atau ideolog ada yang harus mati dengan minum racun untuk mempertahankan kebenaran yang dipeganginya seperti Socrates dan ada juga yang berkolaborasi dengan penguasa, sehingga gagasan yang absurd pun menjadi ikon negara tanpa harus memeras keringat dan otak untuk mempertahankkannya.
Gagasan mengenai kebenaran Islam – sudah berkembang sejak zaman nabi Adam dan terus dilanggengkan dengan diutusnya sejumlah Rasul dan Nabi. Gagasan tentang keesaan Tuhan juga harus berjuang dengan hebat untuk sekedar menjadi bingkai hidup manusia, terutama umat-umat terdahulu, walau Allah sendiri tidak akan berkurang kekuasaan dan keluhuran-Nya jika saja mereka tidak beriman dan mendustakan kebenaran Islam dengan mengingkari keesaan Tuhan. Tak jarang para pejuang kebenaran dilecehkan, diusir dari tempat tinggalnya bahkan mati terbunuh. Tak jarang juga para pengikut thoguth dihancurkan oleh Tuhan, karena mereka tidak mau mengikuti faham yang benar – padahal mereka memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat dari umat Muhammad SAW sebagaimana Friman Allah dalam Qs. At Taubah ayat 70; Hud ayat 100-101 dan Ar Rum ayat 9.

Semuanya membutuhkan perjuangan untuk bertahan dan menjadi trend setter atau mainstream bagi tata nilai kehidupann di dunia. Kebenaran dan kebatilan berjuang dengan caranya masing-masing – kebenaran berjuang dengan nilai-nilai kemulyaan, kebebasan dari be-lenggu penghambaan dunia dan pengakuan adanya eksistensi Tuhan, sedangkan kebathilan berjuang dengan semangat keserakahan, penuh nafsu dunia, kebebasan yang berbingkai kemunafikan, kerusakan dan aniaya dibawah pengawasan dan bimbingan para Syaithan yang terlaknat. Mereka mendapatkan kenikmatan sesaat, mereka menggali kehancuran diri dengan menipu diri sendiri dbalik kecerdasan pikir dan faham mereka, ia hancur sehancur-hancurnya karena dirinya sendiri dan bukan karena Allah menganiaya mereka. Allah tidak pernah menghancurkan sebuah kaum, karena Allah Maha Rahman dan Rahim. Mereka yang menghancurkan diri sendiri :
“Itu adalah sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami cerita-kan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.
Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun, kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud, 11: 100-101) !

Sembahan-sembahan atau idola-idola baru yang berkembang di dunia modern inilah yang harus kita waspadai sebagai alat penghancuran dan kebinasaan diri – tentu disamping pengaruh adanya tahayyul, bid’ah dan khurafat yang tersebar diberbagai kehidupan masyarakat dan terus ditumbuhkembangkan melalui media TV, juga muncul paham-paham baru yang daya hunjam-nya lebih dahsyat dari bom nuklir karena daya rusaknya tidak hanya dirasakan di dunia melain-kan juga di akhirat yaitu Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme. Oleh karena itu berhati-hatilah dengan keluarga kita – jagalah diri kita dan keluarga kita (mereka) dari ganasnya api neraka (Qs. At Tahrim : 6)


PENGERTIAN
A. Sekularisme
Terminoligi “sekularisasi” dan “Sekularisme” berasal dari kata Latin yaitu “Saeculum” yang berarti abad (age, century, siecle). “Sekular” berarti “seabad”, misalnya pada kata “secular games” yang berarti permainan yang terjadi sekali dalam seratus tahun, atau pada kata “secular trees” yang berarti pohon berumur seabad. Selanjutnya sekular mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup sekarang (temporal, worldly)”. Lawannya adalah bersifat “ukhrawy” atau “bersifat keagamaan (religious, sacred)”. Dalam bahasa Arab kata Sekular diterjemahkan menjadi “alami dan duniawi”.
Kalau kata “sekular” berarti “bersifat duniawi”, maka “sekularisme” berarti “doktrin, policy atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup dari ikatan-ikatan agama”. Dan “sekularisasi” adalah “proses penduniawian, yaitu proses melapaskan hidup duniawi dari kontrol agama”. Prof. Dr. Harun Nasution yang mengambil pemikiran dari J. Richard (The Christian Faith and Scularism) menjelaskan bahwa sekularisme adalah doktrin tentang moralitas sebagai dasar perhatian semata-mata bagi subtansi dalam kehidupan, pertimbang-an yang istimewa terhadap semua hal dari Tuhan atau kehidupan masa datang”, terdapat pula istilah “modern scularisme” yang berarti penolakan terhadap eksistensi Tuhan sebagai satu-satunya sumber spiritual dan kekuatan”.
Sedangkan sekularisasi menurut Niyazi Berkes dalam The Development of scularism in Turky diartikan sebagai “perubahan perorangan, karyawan, tempat tinggal, institusi atau materi klasik bergaya spiritualis yangmenjadi jatuh pada posisi yang duniawiyah”. Dalam pengertian yang lebih simpel sebagaimana yang dikemukakan oleh theolog C.A. Van Peursen – sekularisasi adalah proses pembebasan (pemerdekaan) manusia dari nilai religius dan dari kontrol kekuatan metafisika yang keberadaannya diluar nalar dan bahasa manusia”.
Rujukan pengertian sekularisasi atau sekularisme yang paling mudah dicerna dan men-jelaskan potensi yang dikandungnya bagi ketahanan nilai-nilai agama adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Harvey Cox dalam buku the secular city adalah memotong peran agama dan menuju pada nilai duniawi yang lain, maka secara tidak langsung “secularism” adalah “sebuah praktek atheisme” (practical atheisme) – sekularisme merupakan ideologi yang mengandung ajaran-ajaran yang mengikat atau pandangan dunia baru yang tertutup, sehingga sekularisme dapat berfungsi menyerupai agama baru.
Dari keterangan-keterangan yang diberikan oleh beberapa pengarang tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa inti sekularisme dan sekularisasi adalah melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama. Dalam proses perkembangan selanjutnya proses pemisahan tersebut dapat mengarah pada diabaikannya agama dan akhirnya mungkin sekali pada atheisme (anti Tuhan).

Namun demikian terdapat perbedaan yang sangat jelas antara “sekularisme dan sekulariasasi”. Jika sekularisme adalah sebuah paham tertutup, statis dan hanya memiliki paham keduniaan artinya kehidupan dunia adalah mutlak dan terakhir, tidak ada lagi kehi-dupan sesudahnya – sudah barang tentu keyakinan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh agama, maka sekularisasi adalah proses yang dinamis untuk memisahkan sesuatu yang dianggapnya tidak mendunia (bisa berasal dari dogma-dogma agama) dan konsep tersebut terus berkembang subur dalam masyarakat.
Pada tahun 1970-an pernah terjadi polemik dikalangan scholarship Islam yaitu antara Prof. Dr. H.M. Rasyidi dan Drs. Nurcholis Madjid (Prof.Dr.) berkaitan dengan penggunaan istilah “Sekularisme dan Sekularisasi”. Bagi Prof. Dr. HM. Rasyidi penggunaan Istilah “sekularisasi dan sekularisme” pada kajian sosiologis keislaman sangat tidak relevan, karena inti istilah tersebut mengarah pada peniadaan agama, sedangkan islam meletakkan agama menjadi pedoman dasar peraihan keselamatan – sementara Dr. Nurcholis Madjid meman-dang perlu “sekularisasi” dalam kehidupan beragama untuk mengikis doktrin yang tidak ada kaitannya dengan agama. Walaupun demikian, perlu diperhatikan “apakah kita mampu melakukan sekularisasi tanpa melibatkan sekularisme ?.

B. Pluralisme
Pluralisme berasal dari bahasa Inggris “Plural” yang berarti “jamak atau banyak”. Prof. Drs. S Wojosawasito dan W.J.S. Poerwadarmonto mendefinisikan Pluralisme dengan “hal yang merangkap pelbagai jabatan”, sedangkan pluralis menjadi sebuah sikap dari plural itu sendiri – pluralis berarti “menjadikan bentuk yang banyak”.
Jika pluralisme dimunculkan karena adanya perbedaan dalam kehidupan manusia, maka secara natural manusia diciptakan dalam bentuk dan wujud keragaman yang sangat banyak – jenis manusia yang banyak dengan latar belakang budaya dan pemikiran direspon dengan baik oleh Al Qur’an dengan memberikan tuntunan yang general bagi keseluruhan tata nilai dan tujuan akhir hidup manusia. Perbedaan penciptaan manusia dalam berbagai kabilah atau suku dan bangsa mendorong ditetapkannya apa yang boleh dan tidak boleh dan tentu dalam perbedaan tersebut jangan menjadikan mereka mencaci, menghina, memberi nama yang tidak baik, ghibab, namimah dan menyebarkan fitnah diantara mereka – selanjutnya mereka diharapkan merangkul semua golongan yang berbeda menjadi satu, terutama diantara sesama orang muslim dan mu’min (al Hujurat : 10-12).


Belakangan konsep perlunya memberikan toleransi dan perhormatan terhadap perbedaan dalam hubungan sosial budaya telah dijadikan dasar perlunya dikembangkan perhargaan dan kesatuan dari sekian yang banyak dalam bidang theologi atau agama. Paradigma per-bedaan menjadi kesamaan dalam bidang theologi (agama) melahirkan apa yang disebut dengan “Theologi Inklusif atau Theologi Pluralis”. Dalam pemikiran para theolog pluralis berkembang pendapat bahwa semua agama atau konsep mengenai tuhan itu sama saja. Secara umum pokok-pokok pemikiran theologi inklusif atau theologi pluralis itu adalah :
Kerukunan hidup beragama menjadi isu sentral pengembangan hubungan antar pemeluk dan agama itu sendiri.
Berdasarkan tafsiran kerdil mereka terhadap Qs. Al Baqoroh 62. dinyatakan bahwa keselamatan dalam agama non islam – tidak diarahkan pada formalitas agamanya (agama apa yang dianutnya) tetapi lebih tergantung pada 3 hal yaitu :
a. apakah ia percaya kepada Allah
b. apakah ia percaya pada hari akhir (adanya pembalasan atas perbuatan baik dan buruk), dan
c. apakah ia melakukan perbuatan baik kepada sesama manusia.
Theologi pluralis menolak pandangan atau perlakuan eksklusifisme dalam beragama dan mendorong tumbuhnya paralisme dalam agama-agama artinya menolak pandangan bahwa agama tertentu yang benar sedangkan yang lain sesat.
Bahwa semua agama itu sama tujuannya, yang berbeda hanya cara atau jalan menuju Tuhan, sebab yang lebih penting dari hal tersebut adalah “kepasrahan atau Islam” itu sendiri.
Islam menurut Dr. Nurcholis Madjid adalah istilah generik untuk sikap kepasrah-an ke hadlirat Tuhan. Kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Oleh karena itu semua agama yang benar adalah “Islam”, yakni sikap berse-rah diri kepada Tuhan sebagaimana tersebut dalam Qs. Al Ankabut : 46.

Dengan demikian terdapat banyak agama yang benar dan kebenaran agama bukan monopoli agama Islam saja. Konsekwensi theologi inklusif seperti ini menya-takan bahwa jalan kebenaran dan keselamatan (the truth and salvation) bukan hanya monopoli agama islam, bahkan semua agama memiliki hal sama – orang dapat disebut “muslim” tanpa harus memeluk “agama Islam”. Lebih jauh lagi orang non muslim dapat masuk surga yang penting ia memiliki “sikap pasrah” kepada Tuhan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam dialog agama dapat diambil tiga pola pemikiran atau sikap, yaitu :
a. Sikap Eksklusif – sikap dalam melihat agama lain sebagai agama yang salah dan menyesatkan bagi para pengikutnya.
b. Sikap Inklusif – sikap yang menyatakan bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit atau pararel dari agama kita.
c. Sikap pluralis – sikap yang menyatakan bahwa agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama dan setiap agama meng-ekspresikan bagian penting dari sebuah kebenaran.
Dalam paradigma lama, kegiatan agama-agama penuh dengan prasangka theologis sebagai satu-satunya kebenaran (claim of the only truth) dan label kufur pada pemeluk agama yang lain. Dalam paradigma baru, sikap yang dikembangkan adalah saling meng-hormati (mutual respect), saling mengakui eksistensi (mutual recognition), berfikir dan bersikap positif (positive thinking and attitude) serta pengayaan imam (enrichment of faith). Sejalan dengan itu sikap hidup yang juga harus dikembangkan adalah sikap “relatively absolute atau absolutely relative” yaitu bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi tetap relatif bila dikatakan dengan yang lain.

Dengan demikian pluralisme adalah faham dimana agama-agama diyakini dalam posisi yang sejajar (pararel) dan tidak ada yang paling benar, karena semua agama dalah benar, semua agama adalah sama – yang barangkali berbeda adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu semua agama dapat menyampaikan pemeluknya pada keindahan surga – juga tidak hanya monopoli orang yang beragama Islam, orang Kristen, Yahudi dan pemeluk agama juga dapat masuk ke surga yang penting terdapat sikap “pasrah” atau “Islam” itu sendiri dalam dirinya.

C. Liberalisme
Terminologi liberal telah berkembang pada masa filosof Yunani, walaupun sekedar subtansi-nya saja. Liberal yang berarti “kebebasan” – secara subtansial menjadi tema kajian yang dikembangkan oleh Socrates dalam komunitas kajian “Shopis”. Pada masa pergolakan politik sebelum terjadinya revolusi Perancis – liberalisme dan liberalisasi dalam segala bidang menjadi tuntutan politik masyarakat. Liberalisasi dalam kerangka tersebut lebih diarahkan pada pemenuhan hak-hak sipil dalam pemerintahan, penghargaan hak azasi manusia dan pembiasaan berpolitik yang konstitusional dan tidak bersifat absolutisme. Para penggagas nasionalisme dan filosof politik mendefinisikan kebebasan tersebut dengan slogan “Liberty, Egalite dan Fraternite”.
Perwujudan liberlisme pasca revolusi Perancis mengambil momentum yang sangat beragam dan dibelbagai sisi kehidupan yaitu sosial, ekonomi dan politik itu sendiri. Liberali-sasi kehidupan politik menjadi soko gurunya demokrasi artinya bahwa sebuah prinsip demokrasi akan berkembang jika negara atau institusi tersebut memberikan space atau ruang bebas bagi para partisipannya. Dalam bidang ekonomi – liberalisasi (liberalisme) melahirkan individu-individu yang kreatif dan bebas mengumpulkan modal atau kapital untuk kesejahteraan hidup mereka, maka negara yang menganut prinsip-prinsip demokratis liberalis menjadi ladang yang subur bagi tumbuhnya ekonomi kapitalis.
Sedangkan liberalisme dalam bidang sosial budaya melahirkan individu-individu yang bebas menampilkan dan mengekspresikan potensi diri baik yang dirupakan dalam bentuk pemikiran yang rasionalis, kehidupan yang bebas dan glamour, kehidupan sosial yang semakin individual dan jauh dari penghargaan ingroup atau in community, serta semangat gotong royong (gemenschalf). Dalam aspek budaya – mereka dengan bebas mengeksploa-tasikan seluruh potensi diri baik yang berdimensi artistis dalam arti yang sebenarnya maupun yang semi porno (porno) dengan dalil-dalil keindahan juga dan mereka juga bebas menyebarkannya melalui berbagai media atau lewat dirinya sendiri. Dalam hal tersebut ukuran kesopanan dan kebenaran sesuatu didasarkan pada keindahan subyektif, kegunaan bagi dirinya dan kesenangan yang diraihnya –jadi tidak didasarkan pada komitmen dogmatis dan moralitas yang dihargai oleh semua nilai-nilai agama.
Liberalisme yang dulunya sangat mulia karena menjadi spririt pelepasan diri dari keter-tindasan dan kehinaan akibat belenggu-belenggu politik dan perbudakan – telah disalah-gunakan oleh manusia modern dengan dijadikannya sebagai pijakan atau alat legitimasi bagi seseorang untuk “dapat berbuat apa saja”. Termasuk didalamnya adalah memberikan koreksi dan komentar terhadap kebenaran-kebenaran illahiyah yang telah diturunkan oleh Allah kepada semua nabi dan rasul – yang semua dimaksudkan untuk memberikan tuntunan hidup agar memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup.
Dalam sejarah Islam, Liberalisasi (liberalisme) berfikir telah berkembang dengan pesat pada masa Bani Abbasiyah yaitu dengan berkembangnya aliran theologi “Qodari-yah dan Mu’tazilah”. Kajian-kajian yang mereka kembangkan diseputar theologi sangat-lah liberal dan rasional, akan tetapi liberalitas dan rasionalitas yang mereka kembangkan hanya dalam tataran sebuah kajian keilmuan dan barangkali juga merambah pada paham liberalisme dan rasionalisme pada aspek tertentu. Sungguhpun demikian ter-dapat keseimbangan yang cukup baik antara kaum liberalis dan rasionalis dengan kaum agama (fuqoha dan muhaditsin) – terlebih lagi bahwa liberalisme dan rasionalisme tidak murni diarahkan untuk mewujudkan liberalitas dan rasionalitas agama Islam (al Qur’an dan al Hadits). Mereka menyadari terdapat kesulitan-kesulitan yang luar biasa me-nyangkut problem subtansi atau Tuhan, sehingga mereka juga tidak melakukan libe-ralisasi pemikiran terhadap “Allah” atau ayat-ayat yang “Mutasyabihat”.
Belakangan liberalisme di kalangan pengkaji keislaman atau liberalisme yang berkem-bang dikalangan intern umat islam diarahkan untuk mendestruksikan sebuah komunitas atau spririt tertentu dikalangan umat Islam atau bahkan mereduksi komunitas tersebut dalam komunitas besar umat Islam. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, karena dikalangan umat Islam atau mengkaji keislaman memiliki agenda-agenda terselubung, misalnya :
1. Ide liberalisme (liberalisasi) berkembang dari arahan-arahan pemikir dan kepentingan barat terutama dalam rangka mengebiri kekuatan islam, sehingga liberalisme diagenda-kan untuk menghancurkan Islam dalam tataran konseptual dan nilai-nilai aplikatif umat.
2. Liberalisme (liberalisasi) yang dilakukan oleh pemikir Islam abad pertengahan adalah dalam kerangka melakukan diversifikasi dan permacaman kajian keislaman sekaligus untuk menunjukkan keunggulan ilmuan dan ajaran Islam – sekarang ia diadakan karena keterpurukan pemikir-pemikir Islam yang religius.

Jika kita mengkaji liberalisme dikalangan umat Islam indonesia, maka tidak dapat di-lepaskan dari kamounitas “Jaringan Islam Liberal atau JIL”, atau para pemikir rasionalis sebelumnya, misalnya Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. Gagasan liberalisasi ajaran Islam, barangkali dapat diasumsikan sebagai agenda kaum zionis Yahudi-Nasrani untuk menghancurkan tata nilai Islam pasca mundurnya kekuatan sosialis-komunis sebagaimana yang dikembangkan oleh Samuel P. Huntington yang terlihat emosional dan ambisius dalam upayanya menghancurkan Islam terutama dalam teori “Clash of Civilization”. Sedangkan landasar pemikiran yang cukup sederhana dikalangan liberalis adalah “hancurkan Islam Fundamentalis”. Islam fundamentalis adalah sebutan bagi mereka yang sangat teguh terhadap nilai dogmatis Islam, leibh kuat dan radikal dalam memegang ajaran agama.
Jadi secara ringkas “misi kotor” kaum liberalis atau yang sering menyebut dirinya dengan “Islam Liberal” adalah untuk membunuh perkembangan “Islam militan atau Islam ekstrem atau Islam fundamentalis”. Mereka berpendirian bahwa perkembangan “Islam militan atau Islam ekstrem atau Islam fundamentalis” perlu diwaspadai karena :
1. “Islam militan atau Islam ekstrem atau Islam fundamentalis” akan berdampak buruk pada proses demokratisasi di Indonesia.
2. “Islam militan atau Islam ekstrem atau Islam fundamentalis” biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok agama yang ada dan menjadi penghambat demokrati-sasi.

Dengan demikian “islam liberal” adalah sebuah komunitas yang menjadikan pele-mahan dan penafian Islam yang lurus dan benar – yang oleh mereka sebut sebagai “Islam militan atau Islam ekstrem atau Islam fundamentalis” sebagai tujuan utama gerakannya.


KEPENTINGAN SIPILISME
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sekularisasi (sekularisme), Pluralisasi (plural-isme) dan Liberalisasi (liberalisme) merupakan paham baru dalam konteks pemahaman agama, terutama dalam agama Islam – pada masa kesultanan Utsmaniyah memang telah terjadi proses sekularisasi terhadap nilai-nilai Islam dan budaya Arab di Turki yang dilakukan oleh Mustofa Kemal Pasha, tetapi barangkali perlu ditelisik dari aspek sejarah bahwa sekularisasi yang berkembang pada waktu itu adalah kepanjangan dari proses pembaharuan dengan tujuan meraih kembali hegemoni politik bangsa Turki di Eropa dan Asia sebagai-mana yang pernah mereka diraih pada kurun waktu 5 abad sebelumnya (Turky Ottaman berakhir pada awal abad ke 20 - kisaran 1930-an).
Sekularisme dan sekularisasi yang merupakan salah satu hasil atau cara dari proses pembaharuan terkadang diperlukan dalam pelaksanaan doktrin atau dogma keagamaan. Hal tersebut dimungkinkan jika dogma yang sakral dan illahiyah terinternalisasi oleh nilai-nilai lokal tradisional yang notabene tidak relevan dengan ajaran agama itu sendiri. Tradisi memang memiliki sifat mengikat bahkan dapat mengkontrol dan memberi motivasi bagi masyarakatnya – inilah salah satu sebab penting mengapa agama yang sudah menjadi tradisi dianggap sebagai penghambat kemajuan suatu masyarakat.
Mengingat tradisi yang berkembang dalam masyarakat banyak memperoleh penguatan dari agama atau mungkin tradisi itu sendiri mencari dasar dogma sebagai penguat tradisi atau dalam bahasa lain tradisi tersebut telah menjadi dogma, misalnya suroan, melarung sesaji atau mungkin slametan dalam kerangka sedekah bumi dll – menjadikan sebuah agama itu sangat tidak prospekstif dan modern bagi sebagian pemeluk agama itu sendiri dan pengkaji agama yang rasionalis-modernis. Dalam rangka membersihkan agama dari tradisi-tradisi non agama yang telah menjadi dogma atau bagian dari agama itu sendiri diperlukan apa yang disebut dengan “Sekularisasi”.
Melihat konsep tersebut, Prof. Dr. Harun Nasution mengatakan bahwa dalam sosiologi modern, ada kaitan yang erat antara masyarakat beeragama dengan “Sekularisme atau Sekularisasi”, karena manusia dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama – apakah itu yang dianggap tradisi atau dogma, maka akan terjadi perubahan hidup dalam masyarakatnya, selama orang itu masih terikat pada tradisi dan agamanya, selama itu ia tidak akan mau mengadakan perubahan dalam cara hidupnya. Akan tetapi dalam sejarah pembaharuan dalam masyarakat Islam – pembaharuan yang juga menggunakan prinsip-prinsip pemisahan agama (sekularisasi) tidak mengarah atau dimaksudkan untuk melepaskan diri dari ajaran-ajaran yang bersifat dogmatis, tetapi dari tradisi-tradisi yang telah dianggap sebagai dogma (ajaran/nash agama).
Pemikiran yang hampir sama juga pernah dikemukakan oleh modernis Dr. Nurcholis Madjid – ia mengatakan bahwa “Modernisasi” itu bukan “westerniasi” sebagaimana yang terjadi di Turky, melainkan sebuah gagasan “Rasionalisasi dan desakralisasi”. Rasionasliasi adalah proses menjelaskan dogma-dogma agama dalam kerangka ilmiyah – dapat dipahami oleh akal manusia modern, karena Islam itu agama yang sangat rasional (dimengerti oleh akal). Rasionalisasi juga bukan dimaksudkan untuk menjadikan semua pemeluk agama menjadi rasionalis dan berpaham rasionalisme, sebab terdapat beberapa hal dalam agama yang tidak dapat dipahami oleh akal dan cukup diyakini atau dirasakan eksistensinya oleh hati.
Desakralisasi adalah proses peminggiran tradisi yang tidak suci atau berasal dari pikiran manusia yang menginternalis dalam kumpulan dogma, sehingga seakan-akan menjadi bagian dari dogma itu sendiri. Dalam bahasa yang cukup sederhana Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa desakralisasi adalah usaha membendakan mana yang benda dan mensucikan mana yang harus disucikan atau memperlakukan ia sebagai dogma kepada hal-hal yang memang ia adalah dogma itu sendiri. Contoh dari proses tersebut adalah peminggiran Sarung, kopyah dan klompen sebagai (seakan-akan menjadi) syarat-syarat sah sholat pada masyarakat tertentu menjadi sesuatu yang profan. Larangan atau makruhnya pengunaan celana atau baju dengan model dan kain menyerupai bangsa barat dalam ritual sholat adalah sesuatu yang tidak akan pernah ditemukan dalam konsep syar’iyah manapun, tetapi pernah berlaku pada masa pergolak-an kebangsaan.
Oleh sebab itu pemahaman sekularisasi yang diarahkan untuk memahamkan “pemisahan” dalam kerangka memisahkan roh suci islam dari tradisi yang menghambat laju kebenaran sangat diperlukan, karena hal tersebut dapat menunjukkan eksistensi Islam yang sebenarnya, misalnya memahamkan orang terhadap kekeliruhan fatwa atau pendapat ulama bahwa mempe-lajari ilmu-ilmu astronomi, sejarah, kedokteran dan Filsafat dan lain sebagainya adalah “haram” atau “tidak menjadi sebab masuknya orang beriman ke surga” adalah sebuah kesalahan”. Demikian juga pengharaman penggunaan buku-buku cetak atau produk dari perusahaan non Islam yang berkaitan dengan al Qur’an, al Hadits, Tafsir, ilmu Kalam, Fiqih dan lain sebagainya adalah kesalahan dogmatik yang sangat fatal. Disinilah pentingnya pemisahan itu dilakukan.

Pluralisme adalah sesuatu yang mesti terjadi. Pluralisme dimunculkan karena adanya per-bedaan dalam kehidupan manusia, maka secara natural manusia diciptakan dalam bentuk dan wujud keragaman yang sangat banyak – jenis manusia yang banyak dengan latar belakang budaya dan pemikiran direspon oleh Al Qur’an dengan memberikan tuntunan yang general bagi keseluruhan nilai dan tujuan akhir hidup manusia. Perbedaan penciptaan manusia dari berbagai suku bangsa dan diantara perbedaan tersebut jangan menjadikan mereka mencaci, menghina, memberi nama yang tidak baik, ghibab, namimah dan menyebarkan fitnah diantara mereka – selanjutnya mereka diharapkan merangkul semua golongan yang berbeda menjadi satu, terutama diantara sesama orang muslim dan mu’min (Qs. al Hujurat : 10-12).
Dalam konstek tersebut pluralisme sangat menawan, karena ia menjadi salah satu solusi bagi proses reduksi adanya perbedaan, tetapi jika pluralisme diarahkan pada aspek theologi atau keyakinan beragama maka hal tersebut sangat membahayakan – apalagi mereka sangat membenci ideologi eksklusifisme dimana dalam ideolgi tersebut terdapat space untuk menyatakan bahwa agama yang mereka peluk adalah benar, sedangkan agama yang lain adalah salah dan sesat.

Setali tiga uang dengan “Liberalisasi (Liberalisme). Liberalisme yang dulunya sangat mulia karena menjadi spririt pelepasan diri dari keter tindasan dan kehinaan akibat belenggu-belenggu politik dan perbudakan – telah disalah-gunakan oleh manusia modern dengan dijadikannya sebagai pijakan atau alat legitimasi bagi seseorang untuk “dapat berbuat apa saja”. Termasuk didalamnya adalah memberikan koreksi dan komentar terhadap kebenaran-kebenaran illahiyah yang telah diturunkan oleh Allah kepada semua nabi dan rasul – yang semua dimaksudkan untuk memberikan tuntunan hidup agar memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup.
Dalam sejarah Islam, Liberalisasi (liberalisme) berfikir telah berkembang dengan pesat pada masa Bani Abbasiyah yaitu dengan berkembangnya aliran theologi “Qodariyah dan Mu’tazilah”. Kajian-kajian yang mereka kembangkan diseputar theologi sangatlah liberal dan rasional, akan tetapi liberalitas dan rasionalitas yang mereka kembangkan hanya dalam tataran sebuah kajian keilmuan dan barangkali juga merambah pada paham liberalisme dan rasionalisme pada aspek tertentu. Sungguhpun demikian terdapat keseimbangan yang cukup baik antara kaum liberalis dan rasionalis dengan kaum agama (fuqoha dan muhaditsin) – terlebih lagi bahwa liberalisme dan rasionalisme tidak murni diarahkan untuk mewujudkan liberalitas dan rasionalitas agama Islam (al Qur’an dan al Hadits). Mereka menyadari terdapat kesulitan-kesulitan yang luar biasa menyangkut problem subtansi atau Tuhan, sehingga mereka juga tidak melakukan liberalitas pemikiran terhadap “Allah” atau ayat-ayat yang “Mutasyabihat”.
Jika liberalisasi dalam rangka pemurnian dan penunjukkan kehebatan Islam, maka barang-kali dapat dikembangkan dengan baik. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena untuk memenu-hi standar kebenaran ilmu, seorang ilmuan harus membiasakan diri dalam rasionalitas dan kebebasan dalam melakukan kreasi. Dalam konteks tersebut manusia dapat melihat kebenaran penciptaan alam secara akliyah dan kemudian menyatakan bahwa apa yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang sia-sia dan puncaknya adalah meningkatnya kualitas iman dan takwa kepada Allah. Akan tetapi jika yang diinginkan dalam liberalisasi adalah memper-tanyakan kebenaran Islam – maka hal tersebut harus “ditolak” karena tidak ada kepentingannya bagi Islam dan umat Islam.


BAHAYA SIPILISME
A. Sekularisme
Ide-ide sekuler tanpa kita sadari telah menyeruak ke dinding rumah-rumah kita, kesege-nap pemahaman dan pemikiran anggota keluarga umat Islam. Sehingga kita secara sistema-tis melakukan aktifitas sekuler tetapi kita tidak menyadari bahwa itu adalah sekularisme – bahkan kita secara terbuka dan membabi buta membelanya sebagai kesatuan tata nilai keislaman. Membiarkan alam demokrasi dalam keluarga itu sangaat baik, tetapi menjadikan demokrasi sebagai alasan keragaman keyakinan dan pendapat adalah sebuah malapetaka theologis yang tidak akan pernah berakhir.
Bahaya sekularisme dapat kita perhatikan dengan jelas dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia – keyakinan beragama dan juga dalam kehidupan sosial budaya :
1. Bagi kelangsungan ajaran agama
Pemisahan kehidupan dunia dari agama telah berlangsung cukup lama, namun Allah tidak pernah berhenti mengingatkan mereka tentang adanya kehidupan lain setelah manusia meninggal, tentang pentingnya membatasi diri dari pengaruh kehidupan dunia dan memperturutkan hawa nafsu. Dalam beberapa teks, dijelaskan beberapa bentuk pendapat tentang eksistensi akhirat (akhirat adalah lawan dari duniawi yang dalam bahasa Arab merupakan terjemahan dari “Sekuler”) – mereka adalah :
a. Orang yang bertakwa – sebab salah satu dari sekian banyak ciri orang yang ber-takwa adalah mereka percaya pada hari akhir (Qs. Al Baqoroh : 1-3 dan Ali Imron : 134) – aplikasi dari keyakinan tersebut adalah keyakinan akan ditunjukkannya semua amalan manusia dalam hari pembalasan amal (Qs. Al Zaljalah : 7-8)
b. Orang munafik yang meyakini bahwa kehidupan akhirat hanya sebentar – mereka mengatakan bahwa kami tidak akan tersentuh oleh api neraka kecuali hanya sebentar saja atau dalam waktu yang dapat dihitung sebagaimana tersebut dalam Qs. Al Baqoroh : 80.

Padahal Allah dalam kesempatan memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai perbandingan hari yang berlaku di dunia dan di akhirat. Satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun dalam hitungan waktu di dunia (Qs. Al Haj : 47 dan As Sajdah : 5).

c. Orang Kafir yang meyakini bahwa kehidupan akhirat itu tidak ada, karena kehidupan manusia itu hanya di dunia dan itu yang terakhir. Mereka menolak adanya kebangkit-an manusia – mereka tidak percaya kalau Allah sangat berkuasa membangkitkan manusia kembali dalam bentuk yang utuh. Allah menjelaskan kesalahan pendapat tersebut dengan mengatakan dalam Qs. Al Qiyamah ayat 3-4 :


Keraguan mengenai bagaimana Allah membangkitkan kembali manusia atau apa saja yang sudah mati juga pernah terlintas dalam pergulatan theologis yang dialami oleh Nabi Uzair dan Ibrahim. Ketika Allah menanyakan hal tersebut; Ibrahim menjawab bahwa aku percaya engkau sangat berkuasa, tetapi aku hanya ingin memperoleh ketenangan dan kemantapan dalam hati. Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk menyembelih 4 burung dan meng-acaknya dalam berbagai penjuru arah mata angin dan puncak gunung– lalu Ibrahim diperintahkan untuk memanggil kembali potongan burung tersebut – Allah menyusun kembali potongan-potongan daging dan tulang dalam kehidup-an dan susunan yang sama (Qs. Al Baqoroh : 260)

Jika sekularisme menjadi dasar dan nilai kehidupan manusia, maka agama hanya akan menjadi kredo suci yang tidak memiliki penganut – ia hanya berlaku disaat orang-orang sekuler membutuhkannya saja. Ia telah kehilangan daya kontrol dalam perilaku masayarakat bahkan agama dianggapnya sebagai sumber penghambat bagi kemajuan (progresifitas) dan kebebasan ekspresif manusia. Agama hanya diberlakukan sebagai sebuah simbolisme dan formalisme sosial – agama hanya disapa ketika ada hajatan politik, pernikahan, khitanan dan upacara kematian saja, sedangkan subtansi dan nilai luhurnya diabaikan begitu saja, karena ia lebih tertarik dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh sekularisme dan mungkin oleh Yahudi dan Nasrani. Maka disini berlaku apa yang disampaikan oleh Rasulullah :
“Akan datang suatu zaman, dimana umat islam akan mengikuti suatu kaum, sejeng-kal demi sejengkal, sehasta demi sehasta bahkan jika kaum itu masuk liang biawak, maka umat Islam akan mengikutinya. Shahabat bertanya “apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani”. Nabi bersabda “kalau tidak mereka lalu siapa lagi”.

2. Kehidupan sosial keagamaan
Dampak pemisahan agama dari kehidupan dunia atau bahkan peniadaan peran serta agama dalam kehidupan manusia telah demikian nyata dan merasuk dalam setiap kalbu manusia. Teramat jelas bandingan dari keduanya yaitu masyarakat yang disemangati oleh Agama dan masyarakat yang disemangati oleh sekularisme. Kita memang berada diabad Iptek dan Informasi – manusia dengan mudah memperoleh apa yang dia inginkan dari aspek kebendaan, tetapi pemenuhan kebendaan tersebut tidak dapat menggantikan kerinduhan hati akan keramahan, kekeluargaan dan kegersangan hati. Prinsip hidup yang berkembang di alam sekularisme secara keseluruhan sangat membahayakan bagi umat manusia karena terjadi :
a. Dehumanisasi (dehumanisme) yaitu proses peniadaan nilai-nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap manusia itu sendiri. Bentuk dari dehumanisme adalah semakin asingnya diri manusia dari sebuah lingkungan yang sekalipun sangat ramai (teralienasi). Rumah mewah dengan pagar yang tinggi dengan peralatan deteksi yang canggih disertai berbagai bentuk alarm dan pengaman – menunjuk-kan kecurigaan manusia terhadap manusia yang lain, manusia yang lain adalah faktor ketidaknyamanan dalam hidup. Dampak terdekat dari kehidupan yang teralienasi adalah :
· Hidup dalam kecurigaan dan ketakukan (paranoid), sehingga tidak jarang muncul prilaku sadisme sebagai akumulasi kecurigaan dan ketakutan tersebut.
· Hidup dalam komunitas yang saling tidak mengenal, karena kurangnya komuni-kasi dan bergaul dengan tetannga.
· Mereka disibukkan dengan urusan pribadi dan tidak ada perlunya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan orang lain.
b. Hedonisme – sesuatu dianggap benar kalau memberikan rasa nikmat bagi penggu-nanya. Artinya ukuran kebenaran terhadap sesuatu tidak didasarkan pada parameter transendental yang bersifat absolut dan tentu dapat dimengerti oleh akal dan ilmu, tetapi lebih mengarahpada pemenuhan kebutuhan sesaat yang cenderung formalis saja. Miras dan prilaku patologis lainnya menjadi benar karena mendatangkan kenikmatan bagi pelakunya walaupun hanya sebentar. Mereka telah melupakan kenyataan bahwa dunia hanya sebuah persinggahan sebentar, sebuah senda gurau dan permainan yang melenakan. Ingat “pesta pasti akan berakhir”.
c. Utilitianisme – sesuatu dianggap benar kalau memberi nilai guna bagi dirinya – artinya apapun yang kita kerjakan jika ia mendatangkan nilai guna bagi dirinya, maka benarlah ia. Kasino dan meja judi yang tersebar di seluruh dunia (Las Vegas dan Macau) adalah wujud prinsip hidup sekuler – ia menjadi halal dan benar karena ia mendatangkan kapital bagi pengelolanya, demikian juga dengan prostitusi. Mereka tidak perlu berfikir akibat yang diderita oleh orang lain.
Gay atau homo dan gaya hidup hiterosex lainnya adalah wujud prinsip nilai kegunaan – mereka tidak lagi peduli dengan kisah-kisah umat terdahulu yang telah dihancurkan oleh Allah karena menentang prinsip kemansiaan yang luhur yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul – mereka telah melupakan kisah kaum Ad dan Luth.
d. Maksimalitas – yaitu sebuah pemikiran untuk mewujudkan sesuatu, jika secara teknis memang dapat diwujudkan. Artinya manusia dapat melakukan apa saja dengan pikiran dan ilmu yang dimiliki, manusia dapat membikin apa saja, jika ia mampu melakukannya. Mereka tidak percaya terhadap keterbatasan manusia dan kemaha-kuasaan Allah – jika perlu Tuhan dipensiunkan oleh manusia. Prinsip maksimalitas membawa manusia pada :
· Penghargaan yang tinggi bagi rasio dan peniadaan takdir dan hukum tuhan dalam kehidupan mereka.
· Kesombongan intelektual yang absurd, ketika mereka dapat membuktikan atau menemukan sesuatu, misalnya kloning dll.
· Peniadaan hukum-hukum atau norma tradisional yang terbukti sangat ber-harga untuk menyusun dan membentuk kehidupan manusia yang humanis.

Oleh karena itu perlu direnungkan ungkapan W. Montgomery Watt : “Betul agama mempunyai kelemahan-kelemahannya. Tetapi, bagaimanapun, hanya agamalah yang dapat membawa manusia kepada tata tertib yang stabil di dunia ini”.

B. Pluralisme
Pluralisme adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dibantah, sekalipun demikian pluralisme hendaknya jangan dijadikan sebuah instrument pengaburan nilai-nilai kebenaran theologis – yang keberadaannya memiliki sandaran kepada Dzat yang transendent. Perbedaan keyakinan adalah juga sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipadu-padukan, dicari unsur kesamaannya dan kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Yang diperlukan adalah penghormatan terhadap keyakinan yang berbeda tersebut sebagaimana prinsip dalam Qs. Al Kafirun : 1-6.

Belakangan pandangan perlunya memberikan toleransi dan perhormatan terhadap perbedaan dalam hubungan sosial budaya telah dijadikan dasar perlunya dikembang-kan perhargaan dan kesatuan dari sekian yang banyak dalam bidang theologi atau agama. Paradigma perbedaan menjadi kesamaan dalam bidang theologi (agama) me-lahirkan apa yang disebut dengan “Theologi Inklusif atau Theologi Pluralis”. Dalam pemikiran para theolog pluralis berkembang pendapat bahwa semua agama atau konsep mengenai tuhan itu sama saja. Mereka menolak pandangan atau perlakuan eksklusifisme dalam beragama dan mendorong tumbuhnya paralisme dalam agama-agama artinya menolak pandangan bahwa agama tertentu yang benar sedangkan yang lain sesat. Oleh sebab itu keselamatan bukan hanya milik orang yang beragama Islam – orang non muslimpun dapat selamat karena keselamatan tidak diarahkan pada formalitas agamanya (agama apa yang dianutnya) tetapi lebih tergantung pada 3 hal yaitu : apakah ia percaya kepada Allah, apakah ia percaya pada hari akhir (adanya pembalasan atas perbuatan baik dan buruk), dan apakah ia melakukan perbuatan baik kepada sesama manusia.
Islam menurut Dr. Nurcholis Madjid adalah istilah generik untuk sikap kepasrahan ke hadlirat Tuhan. Kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Oleh karena itu semua agama yang benar adalah “Islam”, yakni sikap berserah diri kepada Tuhan (Qs. Al Ankabut : 46). Dengan demikian terdapat banyak agama yang benar dan kebenaran agama bukan monopoli agama Islam saja. Konsekwensi theologi inklusif seperti ini menyatakan bahwa jalan kebenaran dan keselamatan (the truth and salvation) bukan hanya monopoli agama islam, bahkan semua agama memiliki hal sama – orang dapat disebut “muslim” tanpa harus memeluk “agama Islam”. Karena orang non muslim dapat masuk surga yang penting ia memiliki “sikap pasrah” kepada Tuhan.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam dialog agama dapat diambil tiga pola pemikiran atau sikap, yaitu :
Sikap Eksklusif – sikap dalam melihat agama lain sebagai agama yang salah dan menyesatkan bagi para pengikutnya.
Sikap Inklusif – sikap yang menyatakan bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit atau pararel dari agama kita.
Sikap pluralis – sikap yang menyatakan bahwa agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama dan setiap agama mengekspresi-8kan bagian penting dari sebuah kebenaran.

Dalam paradigma lama, kegiatan agama-agama penuh dengan prasangka theologis sebagai satu-satunya kebenaran (claim of the only truth) dan label kufur pada pemeluk agama yang lain. Dalam paradigma baru, sikap yang dikembangkan adalah saling meng-hormati (mutual respect), saling mengakui eksistensi (mutual recognition), berfikir dan bersikap positif (positive thinking and attitude) serta pengayaan imam (enrichment of faith). Sejalan dengan itu sikap hidup yang juga harus dikembangkan adalah sikap “relatively absolute atau absolutely relative” yaitu bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi tetap relatif bila dikatikan dengan yang lain.

Jika kita cermati dengan menggunakan keyakinan agama yang benar, maka pendapat yang dikemukakan oleh penggiat Pluralisme sangat berbahaya bagi kelangsungan akidah Islam dan umat Islam itu sendiri. Di dalamnya terkandung maksud-maksud untuk mengaburkan akidah Islam dengan telaah-telaah kritis rasionalis. Selanjutnya perlu diungkap ulang bahaya yang akan ditimbulkan akibat kesalahan berfikir kaum pluralis bagi umat Islam :
Semua Agama itu sama – agama relatif sama dalam hal esoterik (kesalehan batin) dan berbeda dalam sisi eksoterik (kesalehan lahir). Artinya ketika agama berbicara mengenai kesalehan individual, ia memiliki nilai-nilai yang sama, tetapi ketika agama berbicara hal-hal yang bersifat ubudiyah atau hubungan kemanusiaan mungkin saja akan berbeda. Sungguhpun demikian terdapat sebuah pemikiran bahwa dalam “satu Tuhan banyak jalan”.

Pikiran tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan prinsip-prinsip theologis Islam – dalam ajaran Islam kesalehan pribadi yang dilakukan oleh semua orang mungkin dinilai secara lahiriyah sama, karena yang nampak adalah sebuah nilai kebaikan dan kebenaran. Tetapi dalam ajaran Islam kesalehan batin (esoterik) yang nampak ternyata memiliki kadar yang berdeda-beda dihadapan Allah dan bukan Tuhan dalam pengertian pluralisme, karena kesalehan batin sangat ditentukan oleh motivasi dan tujuannya. Coba kita perhatikan beberapa penjelasan mengenai kesalehan batin dan kesalehan lahir berikut :
a. Haji yang dilakukan dengan benar dan hanya mengharap ridlo Allah – maka Allah akan memberikan julukan kepada mereka dengan “Haji Mabrur” dan pahala serta tempat kembalinya adalah surga (HR. Imam Ahmad).
b. Barang siapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan tiada guna dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia yaitu dengan meninggalkan minuman dan makanannya (HR. Buchori Muslim)
c. Sesungguhnya amal seseorang ditentukan oleh niatnya dan tiap-tiap perkara ditentukan berdasarkan niatnya pula (HR. Buchori Muslim – Imam An Nawawi di Hadits Ar’ba’in).
d. Perumpamaan orang yang beramal tetapi tidak karena Allah, maka seperti Pertama : debu yang terhempas oleh derasnya air Hujan (Qs. Al Baqoroh : 264)


Kedua ; debu yang terhembus oleh angin kencang (Qs. Al Furqon : 23)
Ketiga ; mereka itu adalah orang Munafik yang menjadikan syetan sebagai teman dekatnya dan syetan adalah sejelek-jelek teman dekat (Qs. An Nisa’ : 27)

Jika tujuan sebuah amal bukan untuk Allah, tetapi untuk semua Tuhan yang sama sebagaimana pengertian agama yang sama yang dikembangkan oleh penganut Pluralisme, maka amal perbuatan kita tidak akan ada manfaatnya dan tidak akan pernah diterima oleh Allah. Lebih dari itu Tuhan dalam pengertian theologi Islam tidak memiliki kesamaan dengan Tuhan dalam persepsi Pluralisme, sudah barang tentu kaidah/pedoman hidup yang dapat menyampaikan kita kepada Allah tidak sama dengan kaidah yang mereka tetapkan untuk dekat pada Tuhan.
Prinsip dogmatik dalam theologi Islam adalah bahwa Allah itu “Wahdaniyat” dan “Qiyamuhu bin nafsihi”, maka sudah barang tentu penyamaan konsep menuju kepada Allah dengan konsep theologi monotheisme non Islam apalagi dengan konsep theologi politheisme sangat tidak berdasar. Allah mengatakan “Andaikan ada Tuhan selain Allah dimuka bumi ini, maka akan rusaklah keduanya” sebagaimana tersebut dalam Qs. Al Anbiya’ ayat 22 dan ingat tujuan amal kita adalah untuk mendapatkan keridloan Allah dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah dan bukan dengan semua jalan sebagaimana firman Allah dalam Qs.Al Baqoroh : 207 dan An Nisa : 113.

Keselamatan bukan hanya milik orang yang beragama Islam – orang non muslim pun dapat selamat karena keselamatan tidak diarahkan pada formalitas agamanya (nama agama apa yang dianutnya) tetapi lebih tergantung pada 3 hal yaitu : apakah ia percaya kepada Allah, apakah ia percaya pada hari akhir (adanya pembalasan atas perbuatan baik dan buruk), dan apakah ia melakukan perbuatan baik kepada sesama manusia.
Paradigma tersebut berkembang dari sebuah penafsiran yang salah terhadap Qs. Al Baqoroh : 62 dan Al Maidah : 69.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa siapapun (Islam, Yahudi, Nasrani dan orang Shobi’in) dapat memperoleh keselamatan, jika melaksanakan tiga hal yaitu percaya kepada Allah, percaya pada hari akhir (adanya pembalasan atas perbuatan baik dan buruk), dan ia melakukan perbuatan baik kepada sesama manusia. Kesalahan yang sangat fatal bagi Pluralisme adalah mereka tidak memberikan penjelasan yang utuh “bagimana beriman kepada Allah itu dalam perspektif Al Qur’an dan Al Hadits” demikian juga dengan konsep theologis mengenai hari pembalasan (hari akhir) dan amal sholeh.
Beriman kepada Allah memiliki kaidah theologis yang berbeda dengan beriman kepada Allah (Tuhan) dalam perspektif Yahudi dan Nasrani yang sekarang berkem-bang. Jika pemahaman eksistensi Allah dalam theologi Islam bervisi tauhid yang sempurna sebagaimana yang dijelaskan dalam Ilmu Tauhid dengan rumusan sifat dan asmaul husna-Nya, maka pemahaman eksistensi Allah dalam theologi Kristen tidak memuat visi tauhid yang sebenarnya. Tuhan Allah ada bersama dengan Tuhan yang lain yaitu Isa al Masih dan Mariam.
Dalam beberapa kesempatan Allah menjelaskan bahwa Isa adalah Rasul Allah sebagaimana juga rasul-rasul Allah yang lain, ia juga butuh makan dan yang lain sebagaimana penjelasan Allah dalam Qs. An Nisa’ : 171-172 dan juga Qs. Al Maidah ayat 72-75

Dalam Qs. At Taubah : 30-31, Allah juga menyatakan bahwa Isa bukan anak Tuhan atau bahkan Tuhan sebagaimana yang ia (orang Nasrani) sangkakan

Dan kita semua memahami bahwa penabalan Isa al Masih dan Mariam menjadi Tuhan bukan ide kreatif dari Isa melainkan dari pengikut Isa itu sendiri sebagaimana isi dialog Allah dengan Isa dalam Qs. Al Maidah : 116.

Jika pemahaman konsep ketuhanan sebagaimana yang didoktrinkan oleh penganut Yahudi dan Nasrani seperti yang kita ketahui sekarang, maka bagaimana ayat tersebut dapat ditafsiri dengan penjelasan yang sederhana seperti itu. Selanjutnya dapat kita kembangkan bahwa aplikasi dari kepercayaan terhadap hari akhir dan amal sholeh juga berbeda dengan apa yang kita miliki. Oleh karena bagaimana orang dapat menjelaskan ukuran keselamatan dengan hanya pada tiga konsep yang belum dijelaskan berdasarkan nilai theologis Al Qur’an dan Al Hadits.
Sungguhpun demikian, ayat tersebut dapat diberlakukan bahwa keselamatan juga menjadi hak orang Yahudi, Nasrani dan Shobi’I – jika mereka mau mengikuti konsep theologis menurut kebenaran theologi Islam berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits, namun hal tersebut sangat tidakl mungkun bagi kebenaran theologi Kristen dan Yahudi – bukankah mereka tidak akan pernah suka melihat orang Islam, sampai orang Islam mengikuti ajaran (jalan hidup) mereka (Qs. Al Baqoroh : 113).

Menolak pandangan atau perlakuan eksklusifisme dalam beragama dan mendorong tumbuhnya paralisme dalam agama-agama artinya menolak pandangan bahwa agama tertentu yang benar sedangkan yang lain sesat. Konsekwensi theologi inklusif seperti ini menyatakan bahwa jalan kebenaran dan keselamatan (the truth and salvation) bukan hanya monopoli agama islam, bahkan semua agama memiliki hal sama – orang dapat di-sebut “muslim” tanpa harus memeluk “agama Islam”. Lebih jauh lagi orang non muslim dapat masuk surga yang penting ia memiliki “sikap pasrah” kepada Tuhan. Islam bagi Dr. Nurcholis Madjid adalah istilah generik untuk sikap kepasrahan ke hadlirat Tuhan. Kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Oleh karena itu semua agama yang benar adalah “Islam”, yakni sikap berserah diri kepada Tuhan.
Statemen sebagaimana tersebut diatas merupakan intisari pemahaman mereka terahadap Qs. Al Ankabut : 46. Dalam surat tersebut dijelaskan larangan berbantah-bantahan bagi ahli kitab, kecuali menghasilkan yang baik dan adanya perintah menya-takan beriman terhadap apa yang diturunkan kepada kita dan kepada mereka. Dan tuhan kita dengan tuhan mereka adalah satu dan kita termasuk orang-orang muslim (berpasrah diri). Ending persaksian sebagai sesama muslim dalam ayat tersebut dija-dikan dasar theologi inklusif atau theologi pluralisme – mereka menganggap bahwa ahli kitab dan umat islam adalah umat yang satu karena diikat oleh Tuhan yang satu. Lebih dari itu bahwa subtansi keselamatan seseorang terletak pada “sikap pasrah” atau muslim.
Jika yang dijadikan komitmen keselamatan adalah “sikap pasrah”, maka se-sungguhnya dalam tinjauan terminologi salah satu dari arti “Islam” adalah kepasrah-an, menyerahkan diri, tunduk patuh dan taat, disamping memiliki pengertian keselamatan dan ke-sejahteraan. Drs. Nasruddin Razak dalam buku “Dienul Islam” juga memberikan pengertian sebagaimana tersebut diatas. Kata Islam berasal dari bahasa Arab “Salima” yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata “Aslama” yang artinya memeliharakan diri dalam keadaan selamat dan menyerahkan diri, tunduk patuh dan taat. Dengan demikian muslim adalah orang yang menyata-kan dirinya telah taat, patuh dan menyerahkan diri kepada Allah.
Sikap kepasrahan dalam dalam konsep ajaran Islam selalu dikaitkan dengan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu islam selalu berkait dengan “Ad Dien” sebagai rumah besar bagi ketentuan-ketentuan tersebut. Kepasrahan yang total tersebut dapat kita lihat dalam Qs. Al Bayyinah ayat 6

Disana dijelaskan bahwa umat Islam tidak diperintah melakukan ibadah kecuali ikhlas karena menjalankan perintah Ad Dien. Kepasrahan seperti itulah yang akan memberikan dampat keselamatan bagi seseorang dalam kehidupan akhirat.
Maka tidak berlebihan kalau kemudian dipertanyakan makna kepasrahan itu dalam perspektif al Qur’an dan al Hadits, sebab bukanlah hal yang tidak mungkin jika terdapat banyak kepasrahan kepada tuhan yang lain. Oleh sebab itu dalam beberapa kesempatan Allah menegaskan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh ketika orang tersebut “menyerahkan diri” kepada Allah dalam perspektif theologi Kepasrahan kepada selain Allah hanya akan melahirkan rasa takut dan kessusahan (Qs. Al Baqoroh : 112).

Kepasrahan tersebut harus secara total dilakukan oleh seseorang yang meng-inginkan keselamatan, karena pengingkaran terhadap sebagian dan pengimanan terhadap sebagian dari perintah akan berakibat kemalangan hidup didunia dan kepedihan siksa diakhirat – mereka adalah orang yang menukar kebenaran atau petunjuk dengan kebathilan atau kesesatan (Qs. Al Baqoroh : 85-86). Untuk itu perlu dilakukan introspeksi diri apakah kita sudah pasrah dalam pengertian Theologi Islam atau kita pasrah sebagaimana kehendak penganjur theology pluralis.
Bentuk dan kepada siapa kepasrahan itu diberikan sangat penting untuk memperoleh keselamatan, karena dalam ajaran islam berlaku prilaku dan tanggung jawab individual dalam kaitan hidup dalam keselamatan atau kerugian di akhirat kelak. Tidak ada yang dapat membantu kita dalam proses justifikasi terhadap bentuk dan kepada siapa kepasrahan itu diberikan – bagi kita adalah kepasrahan itu sendiri dan bagi orang lain adalah kepasrahan dia kepada dzat yang dituju sebagaimana firman Allah da;am Qs. Al Baqarah : 131-132.

Mengingat pentingnya bentuk dan kepada kepasrahan (Islam) itu diberikan, maka jika ada semua dapat menyebut dirinya Islam atau memiliki sikap pasrah, maka tentu kepasrahan yang subtansi dan kaidahnya yang berasal dari Allah (Al Qur’an dan Al Hadits) lah yang dapat membawa kepada keselamatan, sedangkan kepasrahan yang bentuk dan kaidahnya tidak berasal dari Allah akan membawa manusia kepada kesesatan dan kerugian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Allah di dalam beberapa teks suci Al Qur’an :
a. Bentuk dan kaidah kepasrahan yang sempurna adalah kenikmatan yang telah disempurnakan oleh Allah dan Allah menetapkan kepasrahan (islam) dan kaidah-kaidah agamanya sebagai kaidah yang benar dan diridloi oleh Allah (Qs. Al Maidah : 3).
b. Sesungguhnya Ad Dien atau jalan keselamatan yang benar disisi Allah adalah Kepasrahan Allah yaitu kepasrahan dengan bentuk dan kaidah yang ditetapkan oleh Allah (Qs. Ali Imron : 19).
c. Barang siapa yang mencari jalan keselamatan (Ad Dien) selain kepasrahan kepada Allah, tidak akan diterima kepadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi (Qs. Ali Imron : 85).

Penggiat theologi Pluralis menolak tafsiran kepasrahan pada Qs. Ali Imron ayat 19 dan 85 sebagai theologi Eksklusif yaitu menjadikan Islam (kepasrahan dengan bentuk dan kaidah Allah) sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan dan kepasrahan yang laiinya adalah jalan kesesatan. Jika mereka menolak kaidah-kaidah seperti yang digambarkan diatas, maka katakanlah kepada mereka bahwa “sesungguhnya diantara mereka buta huruf, mereka tidak memiliki ilmu sama sekali, kecuali hanya persangkaan saja” (Qs. Al Baqoroh : 78). “Maka kecelakaan besar bagi mereka yang mengarang (me-nafsirkan) dogma, lalu ia dikatakan :”ini dari sisi Allah”, dengan maksud untuk mem-peroleh keuntungan yang sedikit dari perbuatah itu” (Qs. Al Baqoroh : 79). Oleh karena itu berhentilah menjadi agen-agen perusak akidah Islamiyah, karena ia tidak bermanfaat sama sekali bagi diri kalian.


Sejalan dengan itu sikap hidup yang juga harus dikembangkan adalah sikap “relatively absolute atau absolutely relative” yaitu bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi tetap relatif bila dikatakan dengan yang lain.

Jika konsep atau paham “relatively absolute atau absolutely relative” tersebut ber-kembang dikalangan muslim atau dipaksa untuk berkembang dikalangan scholar muslim, maka akibat yang timbul semakin menjauhkan sisi ideal ajaran Islam lingkungan hidup mereka – lebih jauh dari itu akan menimbulkan :
a. Perasaan inferior dikalangan muslim semakin kuat – jika selama ini mereka dipasti-kan terkena penyakit “Islamphobia” atau takut dan khawatir menyatakan Islam, maka bentuk inferioritas lainnya adalah perasaan bahwa ajaran agama Islam yang mereka anut tidak benar mutlak.
b. Kesan bahwa agama yang lain juga benar dan untuk itu tidak perlu ada militansi untuk memperjuangkan dan menunjukkan kebenarannya agama, karena yang lain juga benar. Padahal proses penyebaran dan dakwah kebenaran agama menjadi titik sentral misi “rahmatal lil ‘Alaimin” bagi Islam.
c. Pengerdilan eksistensi Islam secara keseluruhan baik dari sisi universalitas dan kemutlakan ajaran agamanya maupun kelangsungan komunitas muslim.

Dalam pemahaman theologi Islam, keseluruhan ajaran agama Islam memiliki absolutely of truth (mutlak benar), sehingga dengan status Islam memiliki daya tarik dan penetrasi yang kuat bagi para pemeluknya. Kebenaran Islam bukanlah sebuah statemen yang mengada-ada dan tidak dapat dibuktikan kebe-narannya, justru karena kualitas dan cara pembuktian kebenaran yang cukup mudah dan rasional tersebut, para penggiat dan pendukung kemungkaran berusaha mengambang-kan kebenarannya dengan mengatakan “relatively absolute atau abso-lutely relative”. Untuk itu coba bandingkan beberapa pernyataan Al Qur’an mengenai kebenaran mutlak Islam dengan kebenaran yang diusung oleh para Thoghut berikut ini :
1. Bahwa kebenaran wahyu itu dari Allah, maka janganlah kamu menjadi orang-orang yang ragu (Qs. Al Baqoroh : 147, Ali Imron : 60 dan Al Kahfi : 29).
Sedangkan kebenaran thoghut adalah sebuah kegelapan yang berasal dari bisikan syetan yang
2. Kebenaran suatu ajaran agama itu sangat jelas – karena sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengingkari Thoguth, maka ia telah berpegang pada tali yang kuat (kebenaran mutlak). Allah akan menjadi pelindung mereka, yang mengeluarkan mereka dari jalan kesesatan kepada cahaya, dan orang-orang kafir pelindungnya adalah syetan – yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan, mereka kekal di neraka (Qs. Al Baqoroh 256-257).
3. Orang-orang beriman laksana berperang dijalan Allah, sedangkan orang-orang yang ingkar; berperang dijalan Thoghut – sebab itu perangilah kawan-kawan syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya syetan itu lemah (Qs. An Nisa’ : 76)
4. Dan sungguh aku telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyeru “sembahlah Allah dan jauhilah Thoghut”, maka sebagian diantara mereka ada yang men-dapat petunjuk dan sebagian diantara mereka telah pasti kesesatan baginya. Maka perhatikan akhir dari perjalanan hidup mereka (Qs. An Nahl 36).

Berangkat dari teks tersebut, maka bukanlah sebuah kebenaran jika kita menyatakan bahwa kebenaran agama Islam itu relatif atau sebagaimana yang mereka katakan “relatively absolute atau absolutely relative” yaitu bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi tetap relatif bila dikatakan dengan yang lain. Karena kebenaran selain kebanaran Islam dan proses penyembahan atau aplikasinya adalah kebenaran Thoghut yang tempatnya pasti di dalam neraka selama-lamanya.
C. Liberalisme
Liberalisme dengan berbagai jaringannya (JIL) sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka adalah sebuah paham dan komunitas yang mejadikan Islam fundamentalis, Islam militan dan Islam ekstrem sebagai sasaran kritik dengan menggunakan kemampuan media, finansial dan olah kata yang rasional tetapi jauh dari nuansa kebenaran religius dalam perspektif Islam.
Islam liberal mulai dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1950-an. Tapi mulai berkem-bang dengan pesat pada tahun 1980-an lewat gagasan bebas dari Nurcholis Madjid. Meski-pun ia tidak pernah menggunakan istilah “Islam liberal”, tetapi ia tidak pernah menolak ide-ide Islam liberal itu sendiri. Oleh karena itu secara subtansial, Islam liberal tidak jauh beda dengan ide-ide Islam yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid dan kelompoknya yaitu orang yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam secara formal oleh negara, kel-ompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita dan theologi pluralisme.
Luthfi Assyaukanie – salah satu tokoh Islam liberal menjelaskan pendapat Ali Ashgar Fyzee tentang Islam liberal. Ia mengatakan bahwa Islam liberal ingin menyampaikan pesan dengan menghadlirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang non ortodoks, Islam yang kompatibel dengan perkembangan zaman dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
Selanjutnya gerakan liberalisme di Indonesia dijalankan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla. Komunitas ini memiliki jaringan yang sangat luat biasa dan didukung oleh financial yang luar biasa dari The Asia Foundation, sehingga ia tidak akan pernah kekurangan dana untuk melakukan kajian, penetrasi sekuler dan liberal dalam pemikiran dan keyakinan umat Islam. Jaringan yang dimiliki meliputi media masa terkemuka dan radio-radio yang online diberbagai belahan bumi Nusantara.
Secara umum agenda kegiatan JIL adalah menghalang-halangi atau menghambat gerak-an Islam fundamentalis, Islam militan dan Islam ekstrem. Agenda dasar tersebut dirumus-kan dalam empat tujuan, yaitu :
1. Memperkokoh landasan demokrasi lewat penanaman nilai pluralisme, inklusifisme, dan humanisme.
2. Membangun kehidupan keberagamaan yang berlandaskan pada penghormatan atas perbedaan.
3. Mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya Islam) yang pluralis, terbuka dan humanis.
4. Mencegah agar pandangan keagamaan yang militan dan prokekerasan tidak menguasi wacana publik.

Deny JA – kontributor JIL, mengutip pemikiran William Liddle bahwa Islam liberal dapat juga disebut dengan “Islam Subtansialis”,karena mereka memiliki kesamaan karakter. Ada 4 ciri kaum subtansialis di Indonesia, yaitu :
1. Mereka percaya bahwa isi dan subtansi ajaran agama Islam jauh lebih penting daripada bentuk dan labelnya. Dengan menekankan pada ajaran moral, maka ia dengan mudah mengajak agama lain untuk membentuk aturan publik bersama.
2. Mereka percaya, walau Islam itu bersifat univeersal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus diinterpretasi ulang untuk merespon zaman yang terus berubah.
3. Menyadari keterbatasan pemikiran manusia terhadap tafsiran-tafsiran kehendak tuhan, maka kita akan lebih bertoleransi atas keragaman interpretasi dan membuat dialog dengan pihak yang berbeda.
4. Bentuk negara menurut mereka bukan merupakan negara Islam, oleh karena itu mereka tidak akan mendirikan negara Islam – yang menjadikan negara sebagai instrument agama Islam saja. Netralitas negara terhadap pluralitas agama di Indonesia akan sangat mudah diterima.

Pemikiran liberalis sebagaimana yang disebutkan diatas, ternyata bukan hanya berkem-bang di Indonesia – di Mesir jauh sebelum itu juga berkembang pemikiran-pemikiran bebas terutama yang disampaikan oleh Ali Abdur Raziq. Dalam sidang yang dilakukan oleh Dewan Ulama Terkemuka Mesir yang beranggotakan 19 ulama menghasilkan 7 kesimpulan pemikiran yang salah dari Ali Abdur Raziq, yaitu :
Menjadikan syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau tatalaksana urusan duniawi.
Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk mensyiarkan agama ke seluruh dunia.
Menjelaskan bahwa lembaga pemerintahan di zaman Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit dan membingungkan bagi orang yang mencoba memahaminya.
Tanggung jawab Rasulullah hanya menyebarkan syariat tanpa menjadi penguasa.
Menganggap sepi ijma’ shahabat Rasul.
Mengingkari bahwa Qudwat (kehakiman) merupakan fungsi syariat.
Pemerintahan Abu Bakar dan Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan sekuler.

Sebelum melihat bahaya liberalisme bagi kelangsungan akidah Islam pada khususnya dan komunitas umat Islam pada umumnya, perlu dikaji secara mendalam apa yang di-maksud dengan Islam Militan, Islam fundamentalis, dan Islam ekstrem ?.

1. Islam Militan
Kata “Miliatan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai “ber-semangat tinggi, penuh gairah dan berhaluan keras”. Jadi secara leksikal “Islam Militan” dapata diartikan sebagai “Islam yang bersemangat tinggi, penuh gairah dan berhaluan keras”. Ringkasnya Islam yang tidak loyo. Maka jika keberadaan Islam liberal sebagai antitesis dari Islam Militan, maka Islam liberal dapat dimaknai sebagai “Islam yang tidak bergairah alias Islam loyo”.
GH. Jansen mencata bahwa bangkitnya Islam militan lebih banyak disebabkan oleh bagaimana menghadapi tantangan cara hidup bangsa Barat yang sudah menjadi trend setter bagi cara hidup di dunia. Maka muncullah pilihan untuk menggairahkan spiritual Islam agar ia mampu bertahan dan menarik umat Islam dari kehidupan yang kotor.

2. Islam Fundamentalis
Kata Fundamentalis merupakan kata bentukan dari kata “Fundament” yang berarti “dasar”. Maka kata Fundamentalis berarti “sesuatu yang bersifat dasar atau melakukan sesuatu yang sangat mendasar”. Jadi secara leksikal Islam Fundamentalis adalah “ko-munitas umat yang memegang nilai-nilai dengan sangat mendasar, dalam dan radikal”. Selanjutnya istilah “Islam Fundamentalis” lebih banyak berkutat di sekitar masalah politik dan pertarungan kepentingan, sehingga Islam Fundamen-talis diartikan sebagai “anti Barat” atau menurut Dr. Fazlur Rahman sebagai “semangat anti Barat” – sebagai bentuk perlawanan atas hegomoni politik dan ekonomi bangsa Barat terhadap umat Islam.
Semangat anti Barat menjadi rujukan utama bagi lahirnya Islam Fundamentalis terutama di wilayah yang bersentuhan langsung dengan kekuasaan bangsa Barat. Dalam hal melihat keberadaan Islam Fundamentalis – Richard Nixon memiliki pemikiran yang menarik untuk menjelaskan sosok Islam Fundamentalis, yaitu :
a. Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang besar terhadap Barat.
b. Mereka yang bersikeras untuk mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan masa lalu itu.
c. Mereka yang bertujuan untukmengaplikasikan syariat Islam.
d. Mereka yang mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara.
e. Mereka menjadikanmasa lalu itu sebagai penuntun bagi masa depan – mereka bukan orang-orang konservatif, namun mereka adalah orang-orang revolusioner.
3. Islam Ekstrem
Ekstrem atau tatharruf dapat diartikan sebagai “penyimpangan dari garis kebenaran”. Jika kemudian ekstrem tersebut dikaitkan dengan Islam, maka sungguh pengertian menjadi sangat rancu – bagaimana tidak rancu dan bertentangan dengan nilai kebenar-an Islam itu sendiri. Dalam panggung politik istilah “Islam Politik” digunakan untuk menyebut “orang atau kelompok tertentu yang berkeinginan menerapkan syariat Islam secara kaffah”.
Pada hakekatnya penggunaan istilah “Islam ekstrem” merupakan pengulangan lagu lama yang dipopulerkan oleh LB. Moerdani dan Sudomo. Pencipta lagu “Islam ekstrem atau ekstremis” adalah Snouck Hourgronje untuk memberikan label atau stigma kepada setiap kelompok yang menentang pemerintah kolonial. Penggunaan istilah ini juga sering digunakan oleh media masa Barat dan Israel saat menyebut kelompok perlawanan di Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam.
Coba perhatikan apa yang disampaikan oleh Sudomo bahwa ancaman suatu bangsa selalu muncul dari dua kelompok yaitu kelompok disident (pembangkang) yang melaku-kan pemberontakan dan kelompok subeversif. Kelompok subversif terdiri dari dua golongan yaitu golongan ekstrem kiri (komunis) dan ekstrem kanan (militan Islam). Dengan demikian istilah-istilah yang seram dan aneh tersebut tidak pernah kita temukan dalam khazanah keilmuan Islam – ia muncul karena kesera-kahan dan ketakutan bangsa Barat kepada keluhuruan dan gairah umat Islam.

Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut diatas, maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan – bahwa liberalisme terutama liberalisme yang dikembangkan oleh Jaringan Islam Liberal atau Islam Liberal tersebut sangat membahayakan bagi umat Islam dan akidah Islam itu sendiri, karena ia akan menyebabkan setidaknya hal-hal sebagai berikut :
Penggunaan Islam fundamentalis, Islam militan dan Islam ekstrem akan membuat citra Islam secara keseluruhan menjadi jelek dan menakukan terlebih dengan label “teroris”. Mereka sengaja memberi stigma atau label tersebut kepada umat Islam, agar mereka tidak menjadi lawan hegomoni kekuasaan politik mereka – setidaknya umat Islam akan berubah menjadi lebih moderat atau lebih terbuka atau kalau dapat menjadi hamba sahaya politik dan ideologi hidup mereka.
Stigma jelek tersebut akan menyebabkan munculnya skeptisisme dalam beragama Islam atau bahkan menjadi takut menyebut dirinya beragama Islam atau Islam phobia – bentuk Islam phobia tersebut sangat bermacam-macam mulai dari ketakukan menyebut dan melaksanakan ajaran agama sampai pada tingkat malu menjadi orang Islam karena miskin dan bodoh.
Islam dijauhkan dari masalah politik – sebagaimana doktrin Islam liberal bahwa syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau tatalaksana urusan duniawi, maka tafsiran-tafsiran politik dijauhkan dari nilai agama.
Islam dianggapnya sebagai penghambat demokrasi – dengan sikap yang keras dan militan dianggapnya menjadi faktor tereduksinya demokrasi. Jika hal tersebut terjadi, maka sesungguhnya bukanlah monopoli agama yang menjadi faktor terhambatnya atau bahkan hilangnya demokrasi – negara sosialis komunis dan beberapa kelompok fasis mereka mereduksi demokrasi dalam tataran ideologi politik tanpa keterlibatan sama sekali dari agama, karena memang mereka benci pada agama.
Lalu apa dasar mereka mengatakan bahwa Islam militan, Fundamentalis dan Ekstrem menjadi penghambat demokrasi. Sungguh mereka hanya menuntut hak demokrasi yang telah mereka rampas. Para kolonialis dan Zionis dan antek-anteknya telah merampas kampung halaman dan tanah air mereka. Mana yang lebih anti demokrasi antara para kolonialis dengan penuntut hak kemerdekaan dasar manusia seperti di Palestina dan Aljajair serta Turki.
Islam mengajarkan dengan baik demokrasi – demokrasi dalam berbagai bentuk-nya adalah semangat asli ajaran Islam yang diwujudkan dalam kesiapan dan kebia-saan bermusyawarah. Allah memerintahkan kepada semua umat Islam untuk me-nyelesaikan segala perkaranya dengan jalan musyawarah (Qs. Ali Imron : 159) karena ia akan menjadi jalan berkembangnya rohmat Allah.

Bahkan dalam Qs. Asy Syuuro : 38 Allah mensejajarkan Musyawarah dengan kewajiban taat kepada Allah, mendirikan Sholat dan mengeluarkan zakat sebagai-mana bunyi ayat berikut ini :

Pemahaman yang bebas terhadap Islam dan Al Qur’an akan menjadikan pemeluknya kehilangan sentuhan spiritualitasnya bahkan boleh jadi ia akan mengkritik kebenaran tekstual al Qur’an itu sendiri atau menyamakan al Qur’an dengan hasil karya manusia lainnya, yaitu :
a. Mengkritik bahwa Allah memberlakukan asas diskriminasi pada moment-moment tertentu, misalnya :
· Masalah warisan dimana laki-laki dapat 2 bagian dan wanita mendpat 1 bagian – sepintas memang terjadi diskriminasi, tetapi sungguhnya ia merupakan sebuah pembagian yang proporsional berkaitan dengan tugas kaum laki-laki. Lebih dari itu Allah Maha Mengetahui mana yang lebih bermanfaat. Qs. An Nisa’ : 7, 11 dan 31). Hal tersebut lebih terhormat dibandingkan perlakuan bangsa Quraisy terhadap kaum wanita – mereka dapat dibunuh, diperjualbelikan dan bahkan dapat dijadikan barang warisan (Qs. An Nisa’ :3-4)

· Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita – doktrin tersebut mengandung fungsi utama bagi kaum laku karena ia memiliki kelebihan dan tanggung jawab memberi nafkah. Oleh sebab itu ia harus kuat agar dapat menjadi pemimpin (Qs. An Nisa’ : 33) – jadi bukan sebuah pola diskriminatif.

· Jika terjadi perceraian, seorang laki-laki dapat segera menikah sedangkan bagi kaum wanita ia harus menjalani masa “Iddah”. Ketentuan iddah dalam al Qur’an sangat berbeda-beda sesuai dengan kondisi wanita itu sendiri :

- Bagi wanita yang dicerai sedang ia tidak lagi menstruasi (monopouse), maka iddahnya adalah 3 bulan. Bagi wanita yang hamil, maka iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya (Qs. Ath Thalaq : 1-2)
- Bagi wanita yang dicerai meninggal (karena suaminya meninggal) maka iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, jika ia hamil kemudian melahirkan sebelum masa 4 bulan 10 hari habis, maka iddah yang berlaku adalah melahirkan anak yang dikandungnya (Qs. Al Baqoroh : 234).
- Bagi wanita yang dicerai sedangkan ia masih menstruasi, maka iddahnya adalah 3 kali suci (Qs. Al Baqoroh : 228).
- Bagi wanita yang dicerai sedang tidak menstruasi maka iddahnya adalah 3 bulan sedangkan bagi wanita yang hamil, iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya (Qs. Ath Thalaq : 4)

Secara keseluruhan aturan Allah berkenaan dengan masa menunggu (iddah) untuk menikah lagi tidak dimaksudkan untuk memberikan perlakuan istimewa pada laki-laki, tetapi dalam kerangka menjaga dan menjunjung tinggi kehormat-an wanita sendiri dari hal-hal yang dapat merusah martabatnya, misalnya fitnah dan tuduhan berzina.

b. Memahami bahwa Al Qur’an adalah kalam Allah yang berupa bacaan, sedangkan tulisan Al Qur’an adalah produk manusia, sehingga yang sakral (suci) adalah bunyi bacaan itu sendiri dan tulisan al Qur’an tersebut tidak sakral atau profan karena dibuat oleh manusia – jika tulisan al Qur’an itu produk manusia, maka ia dapat diperlakukan sama dengan produk-produk manusia yang lain sebagai sebuah produk budaya – artinya jika produk budaya dapat dilemparkan dan atau diinjak-injak karena manusia sudah bosan, maka al Qur’an pun boleh dicampak-kan.
Pemahaman ini sangat membahayakan bagi kesucian al Qur’an baik dilihat dari bunyi bacaan maupun lafadl al Qur’an itu sendiri. Jika sebuah kain warna merah dan putih dipisahkan dan kemudian anda injak-injak, maka tidak ada seorang pun yang peduli. Ketika kain dwi warna tersebut disatukan dan menjadi sebuah bendera sebuah negara dan kemudian anda injak-injak, maka sama saja ia menginjak-injak kehormatan negara tersebut. Lalu bagaimana dengan al Qur’an – tentu lebih jauh dari permisalan tersebut.

Islam subtansial dan tidak perlu formal – artinya bahwa yang diperlukan dalam ber-agama adalah pemahaman subtansi agama itu sendiri dan bukan pada tingkatan formal-isme atau label agama tersebut, sehingga dapat berintegrasi dengan banyak agama tanpa ada kekhawatiran pemaksaan agama.
Sungguh ini adalah pemahaman yang sangat membahayakan – di dalam ajaran Islam terdapat dua sisi yaitu satu sisi berbentuk pemahaman dan pengamalan agama dan pada sisi yang lain adalah formalisme dalam beragama. Dalam beberapa kajian ilmu tasawuf terjadi perbedaan pemikiran mengenai pengamalan dan formalisme (syariah) dengan pengamalan dan kebatinan. Imam Al Gazali mencela para sufi yang hanya ter-tarik pada sisi batiniyah atau subtansi saja dan meninggalkan formalisme atau ketentuan syariahnya – misalnya mementingkan tawajuh kepada Allah ketika sholat tanpa meng-hadap kiblat yang merupakan syar’i bagi proses ritual tersebut, sebab secara subtansial mereka mengatakan “kemanapun kamu menghadapkan diri disanalah Allah berada” !
Dalam satu formalisme dalam agama Islam sangat diperlukan untuk menunjuk-kan identitas diri sebagai seorang muslim – dan dalam sisi yang lain pemahaman subtansial perlu dikembangan untuk memperkuat daya intelektual dan pemaknaan ajaran agama ditengah-tengah pertarungan pemikiran dan nilai hidup. Banyak ayat al Qur’an yang menjelaskan hal tersebut, misalnya :
a. Dalam banyak persaksian yang dilakukan oleh Nabi atau Rasul dan umat-umat terdahulu mengenai identitas diri, mereka senantiasa secara formal menyebut dirinya dengan sebutan “muslim” misalnya formalisme yang dikemukakan Nabi Ibrahim (Qs. Al Haj : 78; Al Baqarah: 132 dan Ali Imron: 67). Nabi Yusuf (Qs. Yusuf: 101) Nabi Ya’kub (Qs. Al Baqarah : 132); Nabi Sulaiman (Qs. An Naml: 29-31) dan Nabi Isa (Qs. Ali Imron : 52).
b. Jika anda sedang berpuasa, kemudian teman anda mengajak makan atau teman anda marah-marah dan mengajak anda untuk bertengkar, maka formalisme dibutuhkan untuk menjelaskannya “Sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR. Buchori-Muslim di hadits shohihnya).
c. Allah memerintahkan kepada Istri-istri Nabi dan wanita-wanita mu’min untuk mengulurkan jilbabnya agar tertutup auratnya, maka sesungguhnya didalamnya mengandung formalisme yaitu untuk menunjukkan jati diri seorang mu’minah dan agar mereka terjaga kehormatannya dari pelecehan dan gangguan manusia yang lain (Qs. Al Ahzab : 59)


Dengan demikian penekanan pada subtansi sebagaimana yang dikemukakan kelompok Islam liberal lebih mengarah pada proses reduksi ghirah dan identitas muslim. Kalau hal itu terjadi maka kita hampir-hampir tidak lagi memiliki kebanggaan sebagai umat Islam. Lebih dari itu kita dengan sengaja mengabaikan syari’ah yang telah ditentukan oleh Allah untuk ditaati secara keseluruhan.


PENUTUP
Bahwa apa yang telah ditetapkan oleh Allah pasti benar dan sesuai dengan watak dasar manusia – karena Allah Maha Mengetahui dan karena Allahlah yang menciptakan alam dan kita semua serta kekuasaan Allah meliputi segala-galanya (Qs. Al Baqoroh :255 dan Ali Imron : 29,180) dan ilmu Allah sangat luas tidak terjangkau oleh apapun, sekalipun isi bumi dipakai untuk menulis ilmu Allah (Qs. ; Al Kahfi : 110 dan Luqman : 22), sedangkan apa yang kita tetapkan belum tentu benar, karena manusia memiliki keterbatasan dan manusia tidak dibekali ilmu kecuali sedikit (Qs. Al Kahfi : 23 dan Asy Syuura : 85).
Maka tidak ada jalan lain kecuali mengimani apa yang telah ditetapkan oleh Allah dengan jalan mengikuti apa yang telah diperintahkan, janganlah anda lupa atau pura-pura lupa, karena sesungguhnya kita akan dilupakan oleh Allah (Qs. At Taubah : 67 dan Al Hasr : 19) – orang yang berbuat seperti itu diibaratkan oleh Allah sebagai orang yang menenun pakaian, ketika pakaian itu sudah jadi - ia merusak kembali pakaian tersebut (Qs. An Nahl : 92)
Jika kita tidak pernah berhenti mempertanyakan kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah, maka takutlah sesungguhnya kesengsaraan akan ditimpakan kepada mereka, karena mereka mengingkari hukum dan firman Allah, kecuali mereka kembali kepada Allah dan melakukan hubungan kemanusiaan dengan baik - (Qs. Ali Imron : 112)


BUKU RUJUKAN
1. Drs. Nasruddin Razak : Dienul Islam
2. Quraisy Shihab : Membumikan Al Qur’an
3. Fazlur Rahman : Thema-thema pokok Al Qur’an
4. Harun Nasution : Islam Rasional, gagasan dan pemikiran.
5. Dr. Nurcholis Madjid : Islam kemodernan dan Keindonesiaa
6. Dr. Amin Abdullah : Study Islam
7. Imam Muslim : Shahih Muslim
8. Imam An Nawawi : Hadits al Arba’in
9. Adian Husaini : Islam Liberal
10. Sukmajaya Asy’ari : Indeks Al Qur’an

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates