Minggu, 11 Januari 2009

PERBEDAAN PEMIKIRAN DALAM HUKUM DAN THEOLOGI ISLAM
Sebuah Kajian tentang sejarah, sebab dan
bagaimana cara mengatasinya

Oleh : Drs. Ihsan


Bagian I : Paradigma perbedaan

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda (Subtansi Hadits) : “Bahwa ummatku akan terpecah menjadi 70 (71-72) golongan, semuanya masuk Neraka kecuali satu yaitu golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Hadits tersebut menjadi sebuah paradigma kleniscayaan adanya perbedaan. Secara umum terdapat dua indikator besar, yaitu :
A. Indikator angka 70 (71-72) – penjelasan mengenai jumlah kelompok dalam dikalangan umat sebanyak 70 (71-72) dapat digambarkan melalui 2 pendekatan sebagai berikut :
1. Simbolitas artinya angka tersebut hanya sebuah penggambaran tentang potensi dominan adanya perpecahan (perbedaan) pemikiran dalam beberapa golongan – dalam konteks bahasa dinamakan dengan “hiperbola” artinya melebihkan sesuatu untuk menggambarkan sesuatu yang besar.
2. Kuantitas artinya angka tersebut bisa jadi menunjukkan jumlah kongkrit golongan dikalangan umat Islam. Jika pendekatan tersebut dikembangkan, maka akan mengalami kesulitan terutama standar dan universalitas pendekatan tersebut, misalnya mengenai Kapan itu terjadi, siapa mereka dan dimana itu terjadi apakah ia bersifat teritorial/ wilayah – Desa, Regional, National ataukah International).


B. Indikator kelompok yang selamat (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) – penjelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah juga merupakan sesuatu yang krusial dan harus hati-hati dalam menjelaskan, karena hal tersebut menyangkut beberapa klaim keselamatan dan kebenaran kelompok atau aliran dikalangan umat islam. Secara umum penje-lasan mengenai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dapat diambil dengan “pendekatan Institusional dan subtansial”
1. Makna Intitusional – artinya setiap institusi yang mencamtunkan identitas ahlu sunnah wal jama’ah akan selamat. Pemaknaan tersebut nampak kurang realible, karena boleh jadi mereka tidak sungguh menjalankan dan komitmen terhadap “Sunnah”.
2. Makna subtansial adalah makna identitas bagi orang-orang yang mempunyai komit-men terhadap ajaran Nabi Muhammad. Sesuai dengan apa yang terkandung dalam kata “Ahli” yang berarti pemilik dan pemegang dalam hal ini pemegang komitmen terhadap ajaran Rasulullah. Oleh sebab itu pemaknaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah hanya dengan pendekatan institusional barangkali perlu dikaji ulang kebenarannya, kalau dalam prakteknya ternyata mereka tidak memiliki komitmen terhadap makna subtansialnya.

Dalam beberapa kesempatan Al Qur’an menuturkan harapannya agar manusia (umat Islam) jangan berpecah belah, karena keadaan tersebut sangat tidak menguntungkan bagi pengem-bangan potensi keumatan – perpecahan akan menguras energi umat terutama untuk mencari alasan dan dukungan kelompok, lebih dari itu perpecahan akan menyisakan dampak psykologis bagi umat yang tidak akan hilang dalam kurun dan ruang waktu yang singkat. Oleh sebab itu Al Qur’an menganjurkan setiap umat Islam untuk berpegang teguh pada tali Allah – sebuah istilah untuk menyebut kebenaran Al Qur’an dan sistem yang dibangunnya yaitu Islam dan jangan berpecah belah sebagaimana firman Allah dalam Qs. Ali Imron : 103



Walaupun demikian, Al Qur’an tidak menafikan adanya perbedaan yang kemungkinan akan terjadi pada setiap manusia – mengapa demikian, karena manusia itu sendiri diciptakan oleh Allah dengan modal dan bentuk yang berbeda-beda, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (Qs. Al Hujurat : 13). Oleh sebab itu Allah telah memberikan rumusan yang sangat jelas untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap perbedaan dikalangan umat Islam, di antaranya :
A. Jangan mengolok-olok kaum yang lain, jangan mencela diri sendiri dan jangan memanggil dengan panggilan yang buruk dan jangan berburuk sangka, jangan mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan menggunjing (Qs. Al Hujurat : 11-12).


B. Jika terjadi perbedaan pendapat, maka damaikanlah dan jika satu golongan berbuat aniaya kepada golongan lainnya, perangilah mereka sampai ia kembali kepada jalan Allah (Qs. Al hujurat : 9). Setiap orang mu’min adalah saudara, maka damaikanlah diantara kedua saudaramu itu dan bertakwalah (Qs. Al Hujurat : 10).

C. Jika kita berbeda pemikiran dalam suatu urusan agama atau kehidupan lainnya – maka harus kembali kepada Allah dan Rasulnya, karena itu adalah sebuah kebaikan dan sebaik-baiknya jalan (Qs. Al maidah ayat 2 )


Dan lebih dari itu janganlah perbedaan dijadikan jalan bersekutu dalam dosa sebagaimana firman Allah dalam Qs. An Nisa’ : 59.

Melihat hal-hal tersebut diatas, sesungguhnya perbedaan adalah sesuatu yang natural, alami dan pasti akan terjadi. Yang harus segera kita lakukan adalah mengorganisir perbedaan itu menjadi kekuatan yang besar, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap dua masa yang berbeda yaitu golongan Muhajirin dan Anshor. Bagaimana hebatnya bangunan sosial yang dibangun oleh Islam di Madinah – orang Muhajirin yang tidak memilik harta benda tetapi memiliki tauhid dapat dengan mudah beradaptasi dengan golongan Anshor. Golongan Anshor yang merupakan pemilik rumah dan tanah kehidupan di Madinah dapat mengeliminir ego sectoral dan status sosial lainnya demi meneggkan kalimat Allah. Itulah inti perbedaan dalam kesatuan sebagaimana yang dikemu-kakan oleh Gustave E. Von Grunebaum dalam buku “Islam; kesatuan dalam keragaman”.


Bagian II : Perbedaan-Perbedaan Pemikiran Dalam Hukum;
Sejarah Dan Sebab-Sebabnya

A. Zaman Nabi
Perbedaan pemikiran dikalangan umat Islam sudah terjadi sejak terbentunya komunitas umat Islam itu sendiri. Pada zaman Nabi, perbedaan pemikiran juga terjadi bahkan lebih tajam, tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan mereka larut dalam konflik – karena setiap perbedaan yang berkembang telah mendapatkan solusi dan jawaban dari Nabi.
Beberapa peristiwa yang terjadi dan sempat menjadi polemik terutama yang berkaitan dengan hadits jenis taqrir (Hadits dalam bentuk persetujuan dari Nabi) harus menunggu legitimasinya dari Rasulullah. Sepanjang belum mendapatkan pengabsahan Rasulullah, maka hall tersebut tetap menjadi sebuah perbedaan dalam komunitas umat Islam, misalnya kasus orang junub sedangkan tidak ada dan yang ada hanya setumpuk pasir, kasus kehalalan biawak dan juga konfrontsi pemikiran terhadap perintah Rasulullah berkaitan dengan Sholat Jama’ atau tidak Jama’ di Bani Quroidah.
Keadaan tersebut sangat menguntungkan bagi umat Islam, mengingat hal tersebut terjadi pada awal pembentukan hukum dan tata nilai Islam. Peristiwa-peristiwa tersebut akan menjadi presedent yang baik bagi generasi berikutnya, karena ia akan dicatat dalam teks Hadits atau diwariskan dalam teks aktual sunnah dalam bentuk tradisi dan kebiasaan syar’iyah umat Islam. Justru jika tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang kontroversial tersebut ajaran Islam tidak akan memiliki kohesifitas dalam tataran sejarah dan generasi berikutnya akan mengalami kesulitan untuk menentukan dan menemukan presedent yang sama.
Terdapat beberapa hal yang sangat berpengaruh dalam proses munculnya perbedaan pemikiran dikalangan umat Islam pada masa Rasulullah, yaitu :
Rasa Fanatisme dan perasaan Su’ubiyah yang berlebih-lebihan – terkadang hal tersebut masih muncul dalam pemikiran umat Islam.
Ajaran Agama Islam baru berkembang dan setiap permasalahan yang muncul merupa-kan dasar diletakkannya ajaran agama.
Tingkat kemampuan dan pemahaman umat islam yang masih kurang – ingat sebagian besar pengikut umat Islam pada waktu adalah budak dan orang-orang yang tertindas oleh struktur sosial dan politik bangsa Quraisy – mereka kurang terpelajar. Meskipun demikian para shahabat dengan cepat melakukan proses pembelajaran dan pada saat Rasulullah wafat mereka sudah menjadi “Scholarship” yang handal.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan oleh Rasulullah sangat berhasil yaitu dengan didokumentasikannya “al Qur’an” oleh Zaid bin Tsabit – bahan-bahan tersebut akhirnya menjadi faktor dominan pengumpulan dan penulisan kembali Al Qur’an sebagai pedoman umat Islam. Demikian juga dengan kodifikasi Hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz yang berhasil menyelamatkan catatan interpretatif prilaku Rasulullah sepanjang hidupnya.

B. Setelah Nabi Muhammad Wafat
Masa Shahabat
Setelah zaman Nabi, perbedaan pemikiran tidak dapat langsung memperoleh alternatif pemecahan yang bersifat absolut, maka disinilah berkembang pertimbangan-pertimbangan kritis dari para pemikir umat – yang kemudian membentuk sebuah metode pemikiran dan diikuti oleh umat sesudahnya, kelompok dan komunitas fiqhiyah tersebut pada hakekatnya menunjukkan keragaman dan khazanah intelektual umat Islam, baik yang terpola dalam bentuk Madzhab atau sekte pemikiran theologis. Yang pasti bahwa permasalahan itu berkembang karena teks dasar Islam sendiri (Al Qur’an dan al Hadits) yang kemudian mendapatkan apresiasi dan penafsiran yang berbeda, sekaligus dihadapkan pada bentuk permasalahan yang sama sekali baru.
Walaupun demikian, kita masih dapat menguraikan dengan jelas alur sejarah yang me-nyebabkan berkembangnya perbedaan pemikiran dalam hukum Islam, yaitu:
Perbedaan yang disebabkan oleh Teks Al Qur’an :
a. Teks al Qur’an terkadang mengandung arti mujmal (global) dan umum
b. Teks Al Qur’an terkadang mengandung pengertian lebih dari satu (multi Inter-pretasi)
c. Teks Al Qur’an terkadang bersifat tekstual dan maknawiyah (konstektual)
Perbedaan yang disebabkan faktor manusia :
a. Perbedaan cara pandang terhadap Teks Al Qur’an dan Al Hadits yaitu cara berfikir
- Tekstual = sesuai dengan bunyi teks
- Kontekstual = pengertian luasnya (kandungan maknanya).
b. Adanya perbedaan tentang kedalaman/kualitas ilmu yang dimiliki oleh umat Islam.
c. Adanya perbedaan metode dan dalil yang digunakan dalam menghukumi permasalahan yang sama.
d. Masuknya unsur fanatisme atau ego sektoral (golongan).
e. Adanya kecenderungan, orientasi dan kepentingan indvidu dalam percaturan pemikiran.
Perbedaan yang disebabkan oleh Faktor lingkungan
a. Adanya perbedaan situasi sosio kultural yang berkaitan dengan hukum yang sama.
b. Penyerapan terhadap tradisi yang berbeda berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Dampak perkembangan budaya yang berbeda yang melahirkan kecenderungan masyarakat yang berbeda.

Secara khusus, Abdul Wahab Kholaf melihat bahwa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pemahaman dikalangan para Shahabat dalam menetapkan hukum peristiwa adalah sebagai berikut :
1. Kebanyakan nash-nash hukum dalam al Qur’an dan As Sunnah tidak bersifat qoth’I (tegas dan jelas) indikasinya terhadap permasalahan yang dimaksud nash tersebut, melainkan hanya dhonni (banyak kemungkinan) indikasinya.
2. As Sunnah pada waktu belum dibukukan
3. Lingkungan hidup dimana mereka bertempat tinggal tidaklah sama dan kemaslahatan-kemasalahatan serta kebutuhan yang mereka rasakan bertingkat pula.
Lebih lanjut Abdul Wahab Kholaf dalam buku “Khulashoh Tarikh Tasyri’ menjelaskan bahwa pada periode shahabat yang berakhir kira-kira pada abad pertama Hijriah, rujukan pengembangan ajaran Islam berkisar pada Al Qur’an dan Al Hadits serta beberapa hasil pemikiran Ijtihadi dari para Shahabat itu sendiri. Al Qur’an pada masa ini telah dikodifikasi dengan baik dan menjadi rujukan pokok bagi umat Islam, sedangkan al Hadits sampai berakhirnya periode Shahabat belum terbukukan – semula Umar Bin Khatab ingin membukukannya, tetapi beliau merasa khawatir jangan-jangan pembukuan Sunnah itu malah mengakibatkan campur aduk antara Sunnah dengan Al Qur’an.
Walaupun demikian beberapa shahabat memiliki manuskrip yang lengkap mengenai prilaku Rasulullah, misalnya Amru Bin Ash mempunyai sebuah lembaran prilaku Rasul yang bernama “ Ash Shodiqoh” . Shahabat-shahabat terkemuka lainnya sangat berhati-hati untuk mendapat jaminan kepercayaan periwayatan As Sunnah. Kehati-hatian mengenai kebenaran Sunnah tersebut dapat dilhat pada sikap :
1. Abu Bakar As Siddiq – ia tidak menerima hadits yang disampaikan perowi, kecuali disaksikan oleh seseorang saksi.
2. Umar Bin Khattab – ia meminta kepada perowi hadits mendatangkan bukti-bukti, bahwa dia benar-benar sudah menerimanya dari Nabi.
3. Ali bin Abi Thalib – ia meminta agar supaya perowi Hadits mau bersumpah.

Tokoh yang menjadi rujukan dalam persoalan hukum dan pokok-pokok ajaran lainnya diperkirakan berjumlah kurang lebih 130 orang, di antara shahabat yang tersohor memberikan tersebut adalah :
1. Di Madinah – Shahabat yang menjadi rujukan adalah mereka orang yang termasuk keluarga dan shahabat dekat Rasulullah. Mereka adalah Abu Bakar as Siddiq (13 H), Umar Bin Khatab (23 H), Utsman bin Affan (35 H), Ali bin Abi Thalib (40 H), Zaed bin Tsabit (45 H), Ubay bin Kaab (21 H), Abdulloh bin Umar (73 H) dan Aisyah Ra.
2. Di Makkah – Shahabat yang terkemuka adalah Abdullah bin Abbas (68 H)
3. Di Kufah – mereka sebenarnya adalah shahabat yang pindah dari Madinah karena sesuatu hal yaitu Ali bin Abi Thalib (40 H) dan Abdullah Ibnu Mas’ud (32 H).
4. Di Basroh – Basroh adalah kota besar umat islam lainnya yang berkembang kemudian setelah Madinah, para shahabat yang tinggal di kota tersebut adalah Anas bin Malik (93 H) dan Abu Musa al Asy’ari (44 H).
5. Di Damaskus (Syam/Syiria) adalah kota keluarga bani Umaiyah, karena setelah berakhirnya kekuasaan khulafaur rasyidin, Syam kemudian menjadi pusat pemerintahan khilfah Islam. Para shahabat yang tinggal di kota ini adalah Muadz bin Jabal (18 H) dan Ubadah bin Shomid (34 H).
6. Di Mesir – yang tinggal di kota Mesir adalah Abdullah bin Amer bin Ash (65 H).

Masa Tabi’in dan Tabiit Tabi’in
Periode Tabi’in dan Tabiit Tabi’in dimulai pada abad ke dua Hijriah dan berakhir pada pertengahan abad ke empat Hijriyah – jadi kurang lebih berlangsung selama 250 tahun. Pada masa ini dinamakan dengan periode pembukuan dan imam-imam mujtahidin, sebab pada masa tersebut berlangsung proses pematangan dan pembukuan metodologi peng-ambilan dan penetapan hukum berdasarkan konsep ijtihadi – juga masa dimana para mujtahidin menorehkan tinta emas dalam pemikiran dan kodifikasi hukum Islam.
Fatwa para mufti dari kalangan Shahabat dan juga komentar brilian mereka terhadap al Qur’an dan As Sunnah tersimpang dengan rapi dan menjadi dasar pembentukan perundang-undangan pada masa berikutnya – maka tidak berlebih kalau mereka disebut sebagai peletak dasar metodologi pengambilan hukum (istimbaty), mereka mampu mengambil hukum-hukum terhadap apa yang sudah terjadi dan hal-hal yang mungkin akan terjadi.
Lantas apa yang menyebabkan mereka mampu mengembangkan sistem hukum dan per-undang-undangan yang demikian mapan – Abdul Wahab Kholah memiliki penjelasan yang cukup menarik tentang hal tersebut, menurutnya sedikitnya terdapat 4 faktor dominan pe-nyebab keemasan sistem pembentukan hukum Islam, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pemerintahan Islam pada periode ini sudah meluas daerah kekuasaannya dan berjauhan batas ujung dan latar belakang kebangsaan serta budayanya – keluasan wilayah terse-but memunculkan problematika hukum dan perundangan dalam perspektif syar’iyah, sehingga mau tidak mau para mujtahid berusaha keras untuk mengembalikan persoalan-nya pada sumber-sumber hukum Islam dan memegang teguh nash-nash syar’iyah.
2. Para ulama yang memangku tugas perundang-undangan dan memberi fatwa hukum pada periode ini dapat dengan mudah menyelesaikan problematika hukum mengingat mereka telah memiliki konsederan hukum pada sebelumnya – mereka juga sudah mengetahui peristiwa dan kemuskilan-kemuskilan hukum yang telah diatasi oleh pendahulu mereka.
3. Umat Islam dalam periode ini kuat sekali menjaga diri - supaya amalan-amalan mereka dalam segal bidang dan transaksi-transaksi muamalah sesuai dengan hukum Islam.
4. Pada periode ini lahir pemuka-pemuka agama dengan bakat dan keluasan ilmu – bakat mujtahid tersebut berkembang dengan baik karena didukung oleh lingkungan yang kondunsif untuk perkembangan hukum-hukum Islam, misalnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal.

Para tabi’in berguru dengan sangat serius kepada para shahabat Nabi Muhammad – mereka menghafal Al Qur’an dan menyimak riwayat kehidupan Rasulullah, sehingga ter-kadang se-orang Shahabat memiliki beberapa orang murid dari golongan Tabi’in – diantara tabi’in ter-sebut ada yang memilki keluasan dan kecakapan ilmu melebih shahabat itu sendiri, misalnya Said bin Zubaer. Para Tabi’in juga dikelilingi pengkaji-pengkaji islam generasi berikutnya, mereka adalah para Tabiit Tabi’in. Kemudian Tabiit Tabi’in dikelilingi oleh sekelompok dari generai imam-imam mujtahid empat dan tokoh-tokoh perundang-undangan yang sezaman dengan mereka.
Di setiap kota terdapat pemikir dan pengkaji Islam secara bertingkat-tingkat, yang menunjukkan mata rantai pewarisan perundang-undangan Islam. Berikut contoh mata rantai pewarisan tersebut :
Di Madinah
a. Shahabat – Umar bin Khattab (23 H), Ali bin Abi Thalib (40 H), Abdullah bin Umar (73 H) dan dan Zaid bin Tsabit (54 H).
b. Tabi’in – Said bin Al Musayyab (94 H), Urwah bin Zuber (94 H)
c. Tabiit Tabi’in – Muhammad bin Syihab Az Zuhri (124 H) dan Yahya bin Said (134 H)
d. Imam Mujtahid – Malik bin Anas (133 H) dan imam mujtahid lainnya.

Di Mekkah
a. Shahabat – Abdullah bin Abbas (68 H).
b. Tabi’in – Ikrimah (107 H), Mujahid (103 H) dan Atho’ (114 H).
c. Tabiit Tabi’in – Sufyan bin Uyyanah (198 H) dan Muslim bin Chalid
d. Imam Mujtahid – Imam As Syafi’i dan imam mujtahid lainnya.

Di Kufah
a. Shahabat – Abdullah bin Mas’ud (32 H)
b. Tabi’in – Al qomah bin Qois (60 H) dan Qodi Syurc (78 H)
c. Tabiit Tabi’in – Ibrahim an Nachoi (95 H)
d. Imam Mujtahid – Hammad bin Abi Sulaiman (120 H) guru besar Imam Abu Hanifah dan rekan-rekannya.

Di Mesir
a. Shahabat – Abdullah bin Amr bin Ash (65 H).
b. Tabi’in – Yazid bin Habib (128 H)
c. Tabiit Tabi’in – Al Laits bin Saad (175 H) dan rekan-rekannya dari Bani Abdil Hakam
d. Imam Mujtahid – Imam As Syafi’i ketika pindah dari Bagdad ke Mesir.


SEKILAS MENGENAI MADZAHIBUL ARBA’AH
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa perbedaan pemikiran telah terjadi sejak masa Rasulullah masih hidup, namun perbedaan tersebut tidak menjadi masalah yang berlarut-larut, karena dengan cepat dapat dikonsultasikan kepada Rasulullah. Tetapi pada periode Shahabat mulailah timbul beberapa perbedaan pendapat, sehingga dalam menetap-an hukum suatu kejadian terdapat beberapa fatwa yang beraneka ragam.
Perbedaan tersebut merupakan keniscayaan karena adanya perbedaan pemahaman maksud nash-nash akibat perbedaan tingkat kecerdasan dan aspek tinjauannya. Dalam soal pengunaan As Sunnah juga terjadi keragaman pendapat – sebagian mereka memegangi as Sunnah tetapi kedalaman pengetahuan mereka tentang As Sunnah juga berbeda. Sebagian yang lain tidak memegani As Sunnah karena kepentingan-kepentingan tertentu dan juga tingkat kecerdasan para pemuka pembuat perndang-undangan. Fakta tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemikiran dikalangan umat Islam dalam hal furu’ (cabang hukum) saja, tidak sampai pada tingkat ushul (pokok-pokok perundang-undangan).
Pada abad ke 2 Hijriah, perbedaan dikalangan pemuka perundang-undangan tidak hanya terbatas pada tiga sebab yang menjadi pokok perbedaan dikalangan Shahabat tidak hanya menyangkut furu’ melainkan sudah melewati batas ushul, misalnya perbedaan tentang sumber-sumber hukum, bertentangan dengan pengambilan hukum dari perundang-undang-an dan prinsip-prinsip bahasa yang ditetapkan untuk memahami nash-nash. Kenyataan tersebut memunculkan golongan dengan aliran hukum yang tertentu.
Perbedaan pemikiran tentang penetapan sumber-sumber hukum atau sumber pe-netapan perundang-undangan, nampak pada hal-hal sebagai berikut :
Cara menerima atau menguatkan Sunnah dan dasar-dasar yang digunakan untuk menerima satu riwayat diatas riwayat (perowi) yang lain atau menolak riwayat (perowi) yang lain. Para mujtahid Iraq – Imam Abu Hanifah hanya berhujjah dengan hadits mutawatir dan masyhur saja. Mujtahid Madinah – Imam Malik lebih suka pada riwayat dari ulama Madinah, sedangkan yang lain menggunakan hadits yang berasal dri riwayat ahli fiqih walau mungkin berbeda dengan amalan-amalan ulama Madinah. Wal hasil sebagian mereka memandang kuat terhadap suatu Sunnah sedang sebagian yang lain memandang marjuh (tidak kuat).
Mereka berbeda dalam hal fatwa-fatwa indvidual dari shahabat – Golongan Abu Hanifah berpendirian bahwa boleh mengambil fatwa mana saja, tanpa membatasi pada fatwa seorang Shahabat tertentu dan tidak boleh menyalahi fatwa itu secara keseluruhan. Sedangkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa fatwa Shahabat adalah ijtihadiyah individual orang yang tidak maksum, oleh karena itu kadang-kadang boleh berfatwa dengan membedai keseluruhannya.
Mereka berbeda dalam hal qiyas – kalangan syiah dan ad Dhahiriyah menolak untuk berhujjah dengan qiyas.

Dalam hal bertentangan dengan pengambilan hukum dari perundang-undangan, nampak pada polarisasi pemikiran antara “Ahlul Hadits” dan “Ahlul Ra’yu (rasio)”. Ahlil Hadits adalah sebutan untuk mujtahid Hijaz (Saudi Arabia) sedangkan ahlul Ra’yu (rasio) adalah sebutan para mujtahid di Iraq. Sungguhpun demikian tidak berarti produk hukum mujtahid Iraq tidak berdasarkan Hadits atau produk hukum mujtahid Hijaz tidak ada yang memakai ijtihad dengan ra’yu (rasio). Akan tetapi kedua kelompok tersebut bersepakat bahwa Hadits me-rupakan hujjah syara’ hukum yang tetap, sedangkan ijtihad dengan ra’yu (rasio) merupakan hujjah syara’ dalam hal yang tidak ada nashnya.
Adapun perbedaan mereka tentang sebagian prinsip-prinsip bahas nash, ialah bahwa sesuatu itu muncul dari gaya-gaya bahasa Arab – ada yang berpendapat bahwa sesuatu nash itu merupakan hujjah dengan ketetapan hukumnya menurut teks (mantuq) dan me-mahami sebaliknya berarti menimbulkan hukum sebaliknya pula.
Dengan demikiran polarisasi pemikiran dikalangan umat telah berlangsung dalam susun-an genarasi yang cukup banyak – maka bukanlah sesuatu hal yang baru jika pada generasi berikutnya berkembang cara berfikir Madzhabiyah dengan merujuk pada cara berfikir imam mujtahid tertentu atau lebih dikenal “Imam Madzhab”. Produk pemikiran dan ketetapan hukum yang dihasilkan oleh empat imam mujtahid sangat fenomenal – tak lapuk oleh derasnya hujan dan tak lekang oleh panasnya sinar matahari – ia tetap harum memenuhi ruang publik dan kejian keislaman.
Imam mujtahid tersebut pernah menjadi tembok besar kreatifitas pemikiran dan perun-dang-undangan bahkan nyaris tidak ada orang yang berani mengkaji ulang hasil pemikiran-nya. Hasil pemikiran mereka memberangus keberanian intelektual generasi berikutnya – mereka berfikir amat sangat sebanding jika generasi mutakhir menetapkan hukum yang berbeda dengan fatwa imam tersebut, padahal mereka tidak pernah memperlakukan hasil pemikirannya sebagai sebuah kebenaran – mereka meyakini bahwa dirinya masih tetap manusia biasa. Coba perhatikan pesan dan hikmah kedalaman ilmu mereka :
Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi)
a. “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”
b. “Tidak halal bagi seseorang pun mengambil pendapat kami, selama ia tidak menge-tahui dri mana kami mengambil pendapat tersebut”
c. “Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku, untuk berfatwa dengan pendapatku”
d. “Kami manusia biasa belaka, kami mengemukakan satu pendapat hari ini, dan kami tinjau kembali esok hari”
e. “Apabila saya mengutarakan suatu pendapat yang bertentangan dengan al Qur’an dan hadits Rasulullah, maka tinggalkan perkataanku”

Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki)
a. “Saya ini hanya seorang manusia, bisa salah dan bisa benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan al Qur’an dan as Sunnah, maka ambillah pendapat tersebut, dan setiap pendapatku yang bertentangan dengan al Qur’an dan as Sunnah, maka tinggalkanlan pendapat tersebut”.
b. “Tidak ada seorang pun sepeninggal Nabi, kecuali pendapatnya bisa diambil atau bisa juga ditolak kecuali Nabi”.

Imam Asy Syafi’I (Madzhab Syafi’I)
a. “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”
b. “Apabila kalian melihat aku mengatakan suatu pendapat sedangkan telah shahih dari Rasulullah SAW hadits yang menyelisihi pendapatku, maka ketahuilah bahwasanya akalku telang hilang”.
c. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat yang shahih dari Nabi telah menyelisihi pendapatku, maka Hadits Nabi adalah lebih utama, janganlah kalian bertaklid padaku”
d. “Setiap hadits dari Rasulullah SAW, maka itu adalah pendapatku juga, walaupun kalian tidak pernah mendengarnya dariku”.
e. “Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertengangan dengan sunah Rasulullah SAW, maka berpendapatlah kalian sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkan apa yang aku katakan” ( dalam riwayat lain: “Maka ikutilah Sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorangpun”).

Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Hambali)
a. “Janganlah kalian bertaqlid kepadaku dan janganlah pula kalian beraqlid kepada Malik, Asy Syafi’I, al Auza’I dan Ats Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil”
b. “Pendapat al Auza’I, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanya pendapat, bagi saya semuanya sama. Yang menjadi hujjah hanyalah Atsar (Hadists/Sunnah)”.
c. “Barang siapa yang menolak Hadits Rasulullah SAW, maka ia berada pada jurang kehancuran”.
d. “Janganlah kalian bertaqlid dalam agama kalian kepada salah seorang diantara mereka (Imam). Apapun nyang datang dari Nabi dan pada Shahabatnya, maka ambillah, kemudian para Tabi’in, setelah mereka boleh pilih”. Pada suatu ketika beliau juga berkata :”Ittiba’ adalah, seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, kemudian setelah mereka pada Tabi’in ia boleh memilih”.


C. Masalah-Masalah Yang Potensial Terjadi Perbedaan Pemikiran
Jumhur ulama menyatakan bahwa materi keislaman yang dapat dikaji ulang dan kemung kinan terjadi perbedaan adalah masalah peribadahan yang bersifat furu’iyah (detail atau rinciannya) bukan masalah pokok misalnya tentang Keimanan dan perintah Sholat, Puasa, Haji dan Zakat) – Walaupun demikian pada abad ke 2 yaitu masa Tabiiti Tabi’in dan Imam Mujtahid obyek perbedaan pemikiran terbagi dalam dua bagian yaitu :
Hal-hal yang bersifat furu’iyah atau cabang kajian hukum perundang-undangan, misal-nya detail sebuah aplikasi perintah pokok (kesempurnaan wudhu dll).
Hal yang bersifat Ushuliyah atau pokok-pokok keislaman misalnya tentang sumber penetapan hukum perundang-undangan terutama gaya bahasa yang dipakai oleh nash-nash hukum dan juga penerimaan hadits (riwayat/perowi) dan penolakannya.

Dalam perspektif kekinian, permasalahan hukum dan perundang-undangan dalam Islam berkembang dengan cepat bersamaan dengan problematika kehidupan masyara-kat modern yang progresif dan akseleratif. Walau telah banyak melahirkan berbagai pemikiran yang sama sekali baru dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masa Tabiit Tabi’in dan Imam Mujtahid – mereka masih bergulat dalam aspek detail atau furu’iyah, misalnya :
Ubudiyah – Istinjak dengan tisu basah, sholat di pesawat ruang angkasa, bayi tabung dll.
Munakahat – pernikahan dengan telpon atau ijab qobul tidak dalam satu ruang dan waktu karena menggunakan tele conferenc dll.
Muamalah – bentuk traksaksi modern, pencatatan kegiatan ekonomi perdagangan dan jual beli saham dan kegiatan persekutuan dagang dll.
Siasiyah – pembentukan partai politik dan orientasi khilafah dll.
Tamaddun – aplikasi seni budaya dalam kehidupan umat Islam, penggunaan alat-alat publikasi untuk kepentingan masyarakat dan agama.

D. Manfaat Adanya Perbedaan dikalangan Umat Islam
Terdapat empat prinsip dalam penetapan hukum dan peruindang-undangan Islam diantara-nya adalah :
Berangsur-angsur atau secara bertahap dalam menetapkan hukum
Mempersedikit pembuatan undang-undang
Memudahkan dan meringankan beban
Berlakunya undang-undang sepanjang kemaslahatan manusia.
Dalam konteks mempersedikit undang-undang dan meringankan beban dan berlakunya undang-undang sepanjang kemaslahatan memberikan ruang yang cukup lebar bagi pelaksanaan undang-undang dengan memperhatikan kemampuan dasar manusia termasuk didalamnya adalah keragaman budaya yang dimiliki oleh umat Islam, keadaaan sosial ekonomi masyaakat. Ruang kebebasan dan keringanan pelaksaan hukum atau ajaran Islam dapat kita lihat dari beberapa teks Al Qur’an, misalnya :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu” sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Baqarah ayat 185


“Allah menghendaki keringan kepadamu, sebab manusia dijadikan bersifat lemah” sebagaimana firman Allah dalam Qs. An Nisa' ayat 28
߉ƒÌ�ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä† öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»¡RM}$# $Zÿ‹ÏèÊ ÇËÑÈ
“Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” sebagaimana maksud dari Qs. Al Haj ayat 78.


“Thaha – tidak Aku turunkan kepada Al Qur’an untuk membuat kamu susah, kecuali menjadi peringatan bagi mereka yang takut kepada Allah”

“Andaikan aku tidak khawatir menyempitkan umatku sungguh ku perintahkan mereka bersiwak pada setiap sholat” – Hadits Nabi)

Memperhatikan teks-teks dogmatik tersebut, maka ruang melaksanakan ajaran agama berdasarkan kemampuan yang dimiliki sangatlah besar – seiring dengan prinsip dan pene-tapan hukum yang digagas oleh para imam Mujtahid baik yang termasuk kelompok “Madzahibul Arba’ah” atau yang kelompok pemikir lainnya. Kita dapat memilih dan mengkaji alasan-alasan mereka kemudian kita meyakini kebenaran pendapat yang sudah sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan as Sunnag untuk diamalkan. Meskipun ada perbedaan pemikiran dikalangan mereka – merekapun telah berusaha menetapi hukum dasar yang ada dalam al Qur’an dan As Sunnah. Akhirnya kebenaran adalah milik Allah – Allah yang Maha Mengetahui terhadap segala hal.
Bagian III : Perbedaan-Perbedaan Pemikiran Dalam Theologi Islam;
Sejarah Dan Sebab-Sebabnya

A. Pengertian Theologi Islam
Terminologi “Theologi” yang dipakai untuk menyebut hal-hal yang membahas masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan – tidak kita temukan dalam literatur kajian keimanan dalam Islam, sampai ketika umat Islam mengalami kontaks kebudayaan dengan bangsa Yunani dan Persia terutama yang berkaitan dengan pengembangan filsafat ketuhanan. Dalam lieteratur kebudayaan Yunani dan Persia terdapat disiplin ilmu tentang ketuhanan yang disebut dengan “Theodocia” dan dalam bahasa Filsafat ketuhanan juga dikenal kata-kata “Deisme atau Theisme” – keduanya berkaitan dengan eksistensi Tuhan.
Pada awal perkembangan ilmu-ilmu keislaman, kajian yang berkaitan dengan Tuhan dan hubungannya manusia dengan Tuhan disebut dengan “Ilmu Tauhid”. Kata “Tauhid” berasal dari kata dasar “Wahhada” yang berarti “mengesakan” – artinya ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang keesaan Allah – dalam kaitan dengan hal ter-sebut, maka argumentasi yang dikemukan untuk menguatkan eksistensi yang Esa bagi Allah diperoleh secara naqliyah dan jarang sekali menggunakan dalil-dalil Aqliyah. Dalil-dalil naqliyah dinilai lebih akurat dan benar, mengingat problem eksistensi Tuhan harus dijelaskan dengan menggunakan khabar atau tesis kebenaran yang berasal dari Tuhan itu sendiri.
Ketika kita mendeskripsikan sifat dan nama Tuhan, maka argumentasi yang layak dikemukakan harusnya berasal langsung Tuhan, karena hal tersebut menyangkut wujud dan diri Tuhan – bukan sesuatu yang bijak dan benar jika manusia membicarakan eksistensi diri Tuhan dengan menggunakan parameter yang bersifat spekulatif yang kebenarannya hanya berasal dari sangkaan pikir manusia.
Penggunaan ilmu tauhid begitu dominan pada awal perkembangan ilmu-ilmu keislaman, maka muncullah gagasan untuk memperluas obyek kajiannya dengan melakukan pemisah-an-pemisahan keilmuan dalam beberapa spesifikasi (cabang keilmuan) tertentu, diantaranya adalah :
1. Ilmu Ma’rifat – ilmu yang membicarakan cara mengetahui (mengenal) Allah dengan sebenar-benarnya.
2. Ilmu Aqoid – ilmu yang membicarakan masalah-masalah keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan dan yang berkait dengan Tuhan.
3. Ilmu Ushuluddn – ilmu yang membahasa dasar-dasar agama (kepercayaan agama).
4. Ilmu Kalam – ilmu yang membicarakan firman-firman Allah (berkembang kemudian)

Pada abad ke 2 atau tepatnya pada masa Bani Abbasiyah, kajian mengenai Tuhan yang bersifat “Tauhidiyah” yang dogmatis orientis berubah menjadi kajian ketuhanan yang sangat radikal – kajian yang dimunculkan tidak lagi pada sifat dan nama Tuhan yang sudah jelas dalam Al Qur’an dan Al Hadits, melainkan sudah mengarah subtansi sifat dan dzat Tuhan. Lebih jauh perkembangan tersebut meliputi sistem dan metodologi kajiannya dan juga menyangkut materi (obyek) kajian – mereka telah merubah nama ilmu tauhid menjadi “Ilmu Kalam” dan para pelakunya disebut dengan “Mutakallimin”. Perubahan nama tersebut disebabkan oleh :
1. Berkembangnya kecenderungan berfikir rasionalis, sehingga kajian ketuhanan tidak lagi berdasarkan pada kekakuan dogma dan doktrin keagamaan, tetapi telah meng-arah pada kedalaman pemikiran terhadap dogma.
2. Berkembangnya obyek kajian Tauhid menjadi kajian secara radikal mengenai Ke-tuhanan, wujud dan bentuk kebangkitan manusia setelah mati, Surga dan Neraka serta Fungsi akal dan Wahyu dalam kehidupan manusia.
3. Bahwa thema dan pokok kajian yang ramai dan menjadi wacana perbincangan inte-lektual pada saat itu adalah tentang Kalam Allah.
4. Sementara yang lain, menggunakan Ilmu Kalam dipakai sebagai anti thesis merebak-nya Filsafat, dan untuk itu sebagian mengatakan bahwa Filsafat Islam itu adalah Ilmu Kalam, karena mempunyai kajian yang hampir sama.

Pada masa kebangkitan kembali pemikiran islam, kajian mengenai Tuhan lebih dikenal dengan Theologi Islam (Theolog) atau Ilmu Kalam (mutakallimin). Prof. Dr. Harun Nasution menjelaskan bahwa terjemahan yang tepat ilmu kalam adalah theologi Islam, karena obyek kajian yang dikembangkan tidak ada perbedaan. Sungguhpun demikian, konsep theologi lebih banyak dipakai oleh kaum kristen untuk pembahasan-pembahasan al Kitab – orang yang mahir dalam bidang al Kitab dinamakan “Theolog”. Dewasa ini hampir semua kajian mengenai dasar-dasar agama dan ketuhanan dinama-kan Theologi – tidak ketinggalan juga beberapa perguruan tinggi Islam membakukan gelar kesarjanaan dengan spesifikasi kajian dibidang ilmu-ilmu ketuhanan Islam dengan gelar “Sarjana Theologi Islam” atau S.Thi.
Pada awalnya obyek kajian ilmu Kalam hanya berkisar tentang hukum theologis bagi pelaku majlis tahkim – yaitu orang-orang yang terlibat dalam perundingan damai antara Ali bin Abi Tholib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Kemudian berkembang mengarah kepada Subtansi Tuban, Aktifitas Tuhan – baik yang berkait dengan dirinya atau dengan makhluknya, Sifat Tuhan, Utusan Tuhan dan yang berkait dengan aktifitas Utusan Tuhan, akibat dari proses mempercayai atau tidak mempercayai eksistensi Tuhan (Surga-Neraka) dan yang lain.
Dengan demikian yang dimaksud dengan “Perbedaan pemikiran dalam Theologi Islam” adalah perbedaan pemikiran dalam pembahasan mengenai Subtansi Tuban, Aktifitas Tuhan – baik yang berkait dengan dirinya atau dengan makhluknya, Sifat Tuhan, Utusan Tuhan dan yang berkait dengan aktifitas Utusan Tuhan, akibat dari proses mempercayai atau tidak mempercayai eksistensi Tuhan, adanya surga dan neraka dan permasalahan theologis lainnya.


B. Sejarah Konflik Pertama
Pada awalnya konflik theologis dikalangan umat Islam tidak disebabkan oleh masalah Theologis (Subtansi, aktifitas dan sifat Tuhan, utuasan dan akibat mempercayai atau tidak mempercayai eksistensi Tuhan) tetapi disebabkan oleh permasalahan politik yaitu siapa yang berhak menjadi pemimpin (kholifah) setelah Nabi meninggal. Secara kronologis dapat dilihat dari peristiwa politik di bawah ini :
1. Setelah Nabi Meninggal timbul permasalahan politik sebagai berikut :
a. Siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Muhammad thdp umat Islam ( ber-bentuk negara dan memiliki wilayah yang luas).
1. Apakah ahlul bait (keluarga Nabi), jika itu yang dipakai, maka pergantian kholifah dilakukan dengan sistem warisan.
2. Tokoh yang dipilih oleh umat Islam, karena Nabi tidak pernah menunjuk peng-gantinya.
b. Kewenangan apa saja yang dimiliki oleh pengganti Nabi Muhammad – apakah di-samping kewenangan politik juga kewenangan Kerasulan. Pada akhirnya umat Islam sepakat bahwa pengganti Nabi Muhammad hanya memiliki kewenangan Politik.
1. Perbedaan politik tersebut dapat diredam pada masa kholifah Abu Bakar Ash Shiddiq dan Kholifah Umar Bin Khattab, tetapi pada masa pemerintahan Kholifah Utsman Bin Affan konflik tersebut muncul kembali dan mengalami puncaknya pada Kholifah Ali Bin Abi Tholib terutama konflik politik antara Ali Bin Abi Tholib dengan Muawiyah Bin Abu Sofyan yang berakhir dengan Perundingan Damai (Majlis Tahkim/Arbitrase).
2. Majlis Tahkim adalah salah satu solusi yang diupayakan oleh umat Islam untuk meng-akhiri Konflik politik – yang hasilnya sungguh diluar dugaan pendukung Ali yaitu menduduk-kan Muawiyah Bin Abu Sofyan menjadi Kholifah dengan menggusur Ali Bin Abi Tholib. Peristiwa tersebut justru memperpanjang konflik politik umat Islam dan menjadi akar lahirnya konflik Theologis.

C. Majlis Tahkim dan Konflik Theologis
Perundingan damai (Majlis Tahkim/arbitrase) yang memenangkan Muawiyah Bin Abu Sofyan menyisakan bara konflik politik dan theologis umat Islam pada masa berikutnya – dan hal tersebut terlihat pada polarisasi masyarakat baik dilihat dari segi afiliasi politik maupun Theologis.
1. Politik
a. Secara politik umat Islam terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Kelompok Ali (Syiah) mereka menganggap bahwa yang berhak menjadi Kholifah adalah Ali Bin Abi Tholib.
2. Kelompok Muawiyah yaitu kelompok yang mendukung Muawiyah sebagai Kholifah (Muawiyah sebelumnya adalah Gubernur Syiria (Damaskus).
3. Kelompok Khawarij yaitu mendukung Ali yang menentang terhadap hasil Per-janjian Damai termasuk di dalamnya orang yang terlibat dalam Perjanjian Damai.
4. Kelompok Floating Mass yaitu kelompok yang masa bodoh terhadap hasil Perjan-jian Damai artinya tidak menyatakan setuju atau menolak terhadap hasil perjanji-an damai atau konflik antara Ali Bin Abi Tholib dengan Muawiyah Bin Abu Sofyan.
b. Berkembangnya konspirasi politik dari Kelompok Khawarij untuk membunuh mereka-mereka yang terlibat dalam Perjanjian Damai- dan dalam sejarah orang yang berhasil dibunuh adalah Ali Bin Abi Tholib ketika Ali hendak Sholat Shubuh.

2. Theologis
Majlis Tahkim juga membagi umat Islam dalam tiga kelompok Theologis, yaitu :
a. Syiah yaitu kelompok yang menganggap bahwa Kholifah adalah hak Ahlul Bait, sedangkan yang lain tidak berhak.
b. Khawarij yaitu Kelompok yang mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam Perjanjian Damai adalah “Kafir” karena tidak menggunakan Al Qur’an sebagai dasar menghukumi sesuatu. Kelompok khawarij adalah kelompok anti Perjanjian Damai.
c. Murjiah yaitu kelompok orang yang masa bodoh dan mengembalikan segala masalah kepada Allah.


D. Konflik-konflik Theologis pada masa berikutnya :
Konflik-konflik Theologis pada masa berikutnya murni terjadi karena perkembangan ilmu dan masalah Theologis itu sendiri – sedikit sekali yang berkaitan dengan masalah politik. Konflik-konflik tersebut misalnya :
1. Permasalahan apakah manusia berkuasa atas dirinya ketika ia melakukan perbuatan
a. Jabariyah/Jahmiyah/Fatalisme – mereka berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam melakukan aktifitas hidupnya. Manusia hanya men-jalankan ketentuan Tuhan – Tuhan lah yang berkuasa atas perbuatan seseorang.
b. Qodariyah/Mu’tazilah/Rasionalisme – mereka berpendapat bahwa manusia berkuasa atas segala aktifitas hidupnya – manusialah yang merancang dan mewujudkan per-buatan tersebut.
c. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah – untuk menjembatani perbedaam tersebut mereka mengajukan dua pendekatan, yaitu :
1. Ikhtiar bahwa manusia harus berusaha mewujudkan aktifitas tersebut dalam kenyataan. Sebagai aplikasi kebebasan manusia.
2. Tawakkal adalah proses penyerahan diri kepada Allah setelah melakukan usaha sebagai wujud pengakuan bahwa Allah -lah yang menentukan segala hidup manusia.

2. Kedudukan Wahyu dan Akal dalam menemukan kebenaran
a. Qadariyah (mu’tazilah) bahwa manusia dengan akalnya dapat menemukan kebenaran artinya untuk menentukan bahwa itu benar/salah atau baik/buruk cukup dengan menggunakan akal – termasuk menemukan eksistensi Tuhan.
b. Jabariyah/ Jahmiyah bahwa manusia tidak dapat menentukan kebenaran. Kebenaran hanya dapat di ketahui melalui pemberitaan wahyu terutama yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan.
c. Ahlus Sunnah Waljamaah bahwa manusia dengan akalnya memang bisa menentukan baik/buruk atau benar/salah, tetapi bersifat spekulatif. Maka untuk memastikan sebuah kebenaran, manusia memerlukan Wahyu.

3. Permasalahan penggunaan akal untuk kata-kata mustarak atau masalah-masalah theologis yang bersifat sam’iyat dengan menggunakan pendekatan tekstual (menurut kata-katanya) dan pendekatan kontekstual (menurut makna yang tersirat), misalnya
a. Kursi Allah diterjemahkan menjadi kekuasaan Tuhan (Kontekstual) dan kursi Tuhan – tempat duduk Tuhan (tekstual).
b. Yad Allah diterjemahkan menjadi kekuasaan Tuhan (kontekstual) dan tangan Tuhan (tekstual)

4. Kebangkitan manusia di akhirat :
a. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa manusia dibangkitkan oleh Allah dengan jasmani dan Rokhaninya. Siksa Neraka atau kesenangan Surga dirasakan secara Jasmani dan Rokhani.
b. Qodariyah/Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia dibangkitkan oleh Allah hanya rokhaninya saja. Siksa Neraka dan Kesenangan Surga hanya dapat dirasakan secara rokhani karena alam akhirat adalam alam kekekalan sedangkan jasmani merupakan unsur yang tidak memiliki kekekalan.

5. Sifat Jasmaniyah Tuhan artinya apakah Allah memiliki sifat kejasmanian pada saat Allah melihat (bashar/basyiirun), mendengar (sama’/samii’un), berkata (mutakallim-un/kalam). Dalam hal tersebut ada beberapa pendapat :
a. Mu’tazilah/Qodariyah berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat Jasmaniyah sebagaimana yang terdapat pada manusia. Allah melihat, mendengar atau berkatan dengan subtansi (wujud) ketuhanan-Nya.
b. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa melihat, mendengar atau berkatan dengan sifat ketuhanan-Nya. Penggunaan istilah tersebut hanya untuk menggambarkan wujud Tuhan dalam penggambaran kemanusiaan, tetapi unsur yang dipakai untuk melihat, mendengar dan berkata berbeda wujudnya dengan yang dipakai oleh manusia.

6. Pokok-pokok theologis lainnya, misalnya :
a. Orang Islam yang sering berbuat jelek, melahirkan dua permasalahan
1. Apakah orang tersebut tetap orang Islam, orang Kafir ataukah orang Fasik.
2. Tempat mereka dimana apakah di Surga, di Neraka ataukah tempat diantara keduanya)
3. Anak kecil yang meninggal di dunia (di Surga, di neraka ataukah tempat diantara keduanya).


Bagian IV : Penutup
Perbedaan adalah suatu ketetapan Allah yang harus dihadapi oleh semua manusia, tetapi yang lebih penting adalah menyadari adanya sebuah perbedaan dan kemudian memanfaatkan perbedaan itu menjadi sumber kekuatan bagi umat Islam. Jangalah perbedaan menjadi sebab hancurnya sikap kolegial bangsa dan umat.
Terakhir mari kita renungkan firman Allah dalam surat Ali Imron : 135


Artinya :“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (Ali Imron : 135)




Daftar Rujukan :
1. Dr. Fazlur Rahman : Islam
2. Dr. Quraisy Shihab : Membumikan al Qur’an
3. Dr. Harun Nasution : Islam Rasional; gagasan dan pemikiran
Theologi Islam
4. Abdul Wahab Kholaf : Khulashoh Tarikh Tasyri’
5. Muhammad Nashiruddin al Albani : Sifat Sholat Nabi Muhammad SAW
6. Gustave E. Von Grunebaum : Islam kesatuan dalam keragaman
7. Drs. Nasruddin Razak : Dienul Islam

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates