Selasa, 06 Januari 2009

Apakah Semua Agama Itu Sama

APAKAH SEMUA AGAMA ITU SAMA

Oleh : Drs. Ihsan


PENDAHULUAN
Ketika jumlah manusia masih terbatas dilingkungan keluarga Bani Adam, problematika mengenai aplikasi kepercayaan tidak terlalu rumit. Hal yang menjadi sebab terjadinya masalah keagamaan dengan cepat dapat diselesaikan oleh Adam. Meskipun demikian formulasi awal perbedaan pemikiran dan konsep pengabdian sebagai wujud pelaksanaan perintah Tuhan telah terjadi dengan sangat radikal bahkan menjadi presedent jelek bagi pengingkaran terhadap kebenaran perintah Allah, sekaligus kemenangan syetan untuk kali kedua setelah penurunan Adam dari surga oleh Allah. Kasus pengorbanan yang dilakukan oleh Qobil dan Habil mencerminkan perbedaan pemahaman mengenai pelaksanaan perintah Agama – yang satu melihat dari kepatuhan, ketaatan dan kesyukuran atas rizki yang di-berikan oleh Allah, yang lain melihat sebagai formalisme dan simbolitas dari pengabdian saja (Qs. Al Maidah : 30)


sehingga yang diberikan kepada Allah bukanlah yang sesungguhnya melainkan hanya separuh hati (Qs. Ali Imron : 92)


Perkembangan populasi manusia yang demikian besar menjadi bersuku bangsa (Qs. Al Hujurat :13) menyebabkan munculnya berbagai interpretasi baru mengenai agama dan kepercayaan yang dianut oleh manusia. Dalam konteks tersebut, Allah berkali-kali menurunkan Rasul dan Nabi untuk menyamakan persepsi tentang eksistensi Tuhan, kebaikan dan hidup setelah berakhirnya kehidupan di dunia – memberi peringatan tentang akibat pengerusakan tehadap alam dan pelanggaran terhadap perintah Tuhan (Qs. Al Baqoroh : 285). Pertanyaan yang kemudian berkembang – apakah semua/ajaran agama itu sama ?.


APAKAH SEMUA AGAMA SAMA
Apakah semua agama itu sama ? jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentu multi dimensi artinya apapun jawaban yang dikemukan tentu mengandung kebenaran atau dibenarkan, walaupun kebenaran tersebut hanya bersifat subyektif (kebenaran berdasarkan persepsi keyakinan yang bersangkutan). Ada dua kemungkinan jawaban yaitu :
A. Sama
Jika di jawab sama, maka kemungkinan argumentasi yang dikembangkan adalah :
1. bahwa semua agama mempunyai visi dan misi yang sama. Setiap Agama memiliki Visi tentang penyembahan terhadap Tuhan – yang mungkin menjadi perbedaan dalam prosesi kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan hanya pada aplikasi atau aktualisasi penyembahan dan kepercayaan tersebut.
Secara global Agama juga memiliki misi yang sama yaitu terwujudnya kehidupan yang damai, sejahtera, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (human-isme), menentang kekerasan dan tindakan pengerusakan. Sehingga tidaklah benar, jika terorisme dikaitkan dengan agama tertentu, walaupun terdapat ajaran yang sangat mendasar dalam agama tersebut berkaitan dengan penggunaan senjata sebagai alternatif pembelaan diri dalam rangka penegakan Agama dan keyakinan kepada Tuhan. Artinya tindakan kekerasan diperlukan untuk menegakkan eksistensi diri dan agar tidak dilecehkan atau diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Dalam perspektif yang sangat khusus, perang bagi umat beragama (umat Islam) adalah keniscayaan, ketika kehormatan diri dan agama dihinakan – ketika atribut-atribut kebesaran Tuhan dirobohkan. Maka lawanlah mereka, sehingga kebenaran (agama) dan keagungan hanya milik Allah (lihat Qs. Al Baqoroh : 190-193 – tentang prosedur dan tujuan perang).


Menyamakan sebuah keyakinan atau agama – sebagaimana yang dijelaskan diatas boleh jadi disemangati oleh sebuah kenyataan bahwa Allah telah menurunkan ribuan Nabi dan puluhan Rasul yang kesemuanya memiliki tugas yang sama yaitu menjelaskan prinsip humanisme, rahmatan lil ‘alamin dan keesaan Allah. Allah menje-laskan bahwa tidak ada perbedaan antara para rasul dan nabi tersebut (Qs. Al Baqoroh : 285). Oleh sebab itu semua manusia memiliki agama yang sama, karena berasal dari sumber yang sama – tidak perduli dari bangsa dan suku apa, agama atau kepercayaan apa. Sungguhpun demikian patutlah kita membaca ulang Qs. Al Baqoroh : 62 – yang oleh kebanyakan dari mereka dijadikan legalisasi bahwa semua bangsa dan agama itu sama – subtansi dari ayat tersebut adalah “orang-orang yang beriman (Islam), Yahudi, Nasrani dan Shobi’ – jika mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal sholeh bagi mereka pahala dari Allah, mereka tidak takut dan tidak pula susah”


2. Bahwa dalam spektrum menjaga kepentingan stabilitas dan politik, maka agama harus ditempatkan dalam posisi dan mendapat penghargaan yang sama baik menyangkut hak hidup maupun kebenaran agama itu sendiri.
Ketika komunitas Madinah terbentuk, Rasulullah sebagai penggagas perlu membi-carakannya dengan baik dengan semua komponen masyarakat Madinah. Hak dan kewajiban masyarakat Madinah disusun dalam sebuah “Traktat Madinah” yang berisi 37 pasal – di dalamnya agama tidak menjadi simbol yang diperdebatkan, karena Rasulullah telah mengisi prinsip piagam Madinah dengan nilai-nilai Qur’ani.
Soekarno pernah menggunakan standar politik untuk menyamakan (membenar-kan) semua agama yang hidup di Indonesia dengan menggunakan Ibarat 4 orang buta yang memegang Gajah – apapun yang mereka pegang, mereka akan mengatakan bahwa yang dipegang tersebut adalah Gajah; artinya apapun pemahaman mereka terhadap agama – berbeda atau tidak, mereka mengatakan bahwa itu adalah nilai-nilai agama dan pasti dai mengatakan agamanya adalah benar (Baca Dr. H.M. Rasyidi – Kuliah Agama di PT).
Yang harus diperhatikan – janganlah menggunakan jargon “tidak ada perbe-daan dalam agama” dengan maksud memperoleh atau melanggengkan kekuasaan, sebab hal tersebut tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh “Machiavelli” tuju-an menghalalkan segala cara. Lebih jauh – mungkin inilah yang oleh Allah dikatakan “membuat sebuah opini/kitab, lalu ia katakan bahwa opini tersebut adalah ayat-ayat Allah – orang tersebut menjual ayat Allah dengan harga/ongkos yang murah (Qs. Al Baqoroh : 79)


B. Tidak Sama
Pandangan tersebut berkembang dari prinsip-prinsip agama yang diintepretasikan oleh penganutnya. Penganut suatu agama tentu akan mengatakan bahwa agamanya tidak sama dengan agama orang lain, misalnya tentang keimanan terhadap Tuhan – apakah ia menganut prinsip monotheisme (satu Tuhan), politheisme (Tuhan banyak) atau henotheisme (tuhan banyak tapi ada yang paling tinggi). Dalam konsep satu Tuhan itupun terjadi perbedaan dalam penafsiran dan aplikasinya yaitu satu tuhan dalam arti yang sebenarnya seperti dalam konsep tauhid pada agama Islam. Allah adalah Esa, Esa dalam arti yang sebenarnya, bukan satu terdiri dari tiga atau tiga menjadi satu. Di sisi lain ada satu tuhan yang berasal tiga unsur, misalnya Trinitas bagi agama Kristen dan Trimurti bagi agama Hindu. Oleh sebab itu sikap yang baik adalah memahami perbedaan dan tidak berusaha menyamakan (Qs. Al Kafirun : 1-6).


Ajaran bahwa Allah adalah tuhan yang satu dapat dicerna secara rasional dengan berbagai pembuktian yang rasional pula. Adalah sebuah kemustahilan, jika di dunia ini terdapat lebih dari satu tuhan dengan kekuasaan yang sama – karena mereka pasti akan berebut kekuasaan. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Anbiya' ayat 22 : “Andaikan ada tuhan selain Allah di bumi dan langit ini pastilah kehan-curan yang akan di dapat”

Dengan logika yang sistematis tersebut, jika agama dipandang sebagai pengabdi-an kepada Tuhan atau agama tersebut dibangun berdasarkan nilai-nilai ilahiyah dari tuhan yang berbeda, maka bentuk dan wujud pengabdiannya juga berbeda. Jangankan dari Tuhan yang berbeda – ajaran agama dan konsep theologis lainnya diklaim berasal dari tuhan yang sama, pada perkembangannya juga mengalami perbedaan. Apakah perubahan tersebut dikarenakan modifikasi pelaku atau tokoh agama untuk penyesuai-an jaman ataukah karena sengaja dipalsukan.

Terlepas dari perdebatan tersebut, secara subtansial semua agama memiliki prinsip-prinsip yang tidak jauh berbeda. Prinsip-prinsip yang hampir sama tersebut adalah :
A. Visi dan Misi agama yaitu kepercayaan kepada Tuhan dan aplikasinya yang mengarah pada terwujudnya kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan, kecuali sekte-sekte agama yang muncul secara kondisional terutama diluar agama Islam.
B. Adanya Pengakuan sebagai sebuah kebenaran (Claim of Truth) dan pengakuan sebagai keselamatan (Claim of Salvation).
Setiap agama akan memberikan penekanan dan justifikasi kepada pemeluknya bahwa agama yang dianut adalah agama yang benar (Qs. Al Baqoroh : 23-24 dan 147 dan Ali Imron : 60), karena kebenaran agama menjadi alat mobilisasi yang paling utama dalam kaitan penegakan dan pengamalan agama. Jika agama dinyatakan tidak benar, maka ia tidak memilki daya tarik dan rekrut kepada komunitas yang lainnya bahkan untuk bertahan dari gerusan jaman.
Jika agama memiliki status sebagai sebuah kebenaran, maka ia akan berfungsi sebagai instrument keselamatan. Maka tidak berlebihan, jika semua agama mengklaim dirinya mampu menyelematkan semua manusia yang mau bergabung dan melaksanakan tana nilai yang dikembangkannya. Dalam perspektif nilai keislaman, ter-dapat klaim keselamatan bagi manusia yang mengikuti ajaran Islam dan kerugian bagi mereka yang meninggalkan ajaran Islam (Qs. Ali Imron : 19 dan 75).


Bahkan dalam kesempatan yang lain penolakan terhadap ajaran Islam menyebabkan orang tersebut masuk dalam kategori “Bodoh atau tersesat jalan” karena mereka tidak mampu membedakan antara jalan kesesatan dan keselamatan padahal keduanya sungguh sangat jelas (Qs. Al Baqoroh : 256).

Dalam tataran yang lebih praksis, pemahaman terhadap subtansi Agama tersebut, terutama terhadap Claim of Truth dan Claim of Salvation akan mendorong tumbuhnya hal-hal sebagai berikut :
A. Proses Integrasi artinya agama menjadi instrument yang kuat untuk menintegrasikan setiap komponen masyarakat. Cara yang paling efektif untuk membangun kebersama-an adalah melalui pendekatan agama. Wujud dari proses integratif yang dimunculkan oleh agama tersebut dapat berbentuk :
1. Rasa persatuan
2. Adanya prinsip persamaan dan persaudaraaan (Solidaritas umat)
3. Keinginan untuk melindungi sesama ummat baik bidang Sosial, Ekonomi, politik dan hukum.
B. Proses Desintegratif dan Konflik artinya agama merupakan kekuatan yang dominan mendorong terjadinya perpecahan dan pertentangan dalam masyarakat. Agama adalah instrument (alat) yang signifikan untuk memecah belah suatu masyarakat. Ada dua ruang kemungkinan terjadinya desintegrasi dan konflik yang disebabkan oleh agama :
1. Konflik antar pemeluk agama – artinya terjadi peperangan antar pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang, misalnya perang agama antara Islam dan Kristen (perang salib).
2. Konflik intern umat di dalam satu agama (internal agama) – konflik tersebut dapat berkembang karena adanya perbedaan pemahaman terhadap dasar nilai dan wujud aplikasi dari sebuah nilai yang dinyatakan kebenarannya oleh agama tersebut. Konflik internal umat beragama lebih merupakan urusan khilafiah yang furu’iyah dan bukan masuk kepada hal-hal yang sangat mendasar (akidah dan dasar syar’I).

Konflik yang mengarah pada bentuk destruktif yang berkembang dalam masyarakat ter-utama yang berkaitan dengan pemahaman terhadap klaim kebenaran dan keselamatan tersebut lebih banyak disebabkan oleh :
A. Faktor Internal
1. Pemahaman yang keras terhadap konsep Claim of Truth dan Claim of Salvation dengan menekankan pada rekruitmen atau dakwah agama yang agresif dan radikal.
2. Adanya radikalisme oleh suatu kelompok dalam agama – dengan menggunakan pemahaman yang bersifat simbolitas belaka.
3. Sebagian besar umat suatu agama masih berfikir simbolitas dan meninggalkan cara berfikir subtansial.
4. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, memungkinkan orang mudah diprovoka-si oleh orang lain yang menggunakan jargon-jargon dan kaidah agama, padahal mereka hanya mengadu domba dan memecah belah ukhuwah.

B. Faktor eksternal
1. Kelompok X yang memang menghendaki adanya konflik antar agama karena kepen-tingan sosial, ekonomi dan politik tertentu.
2. Pendapat-pendapat Orientalis dan Analis ketimuran yang mempengaruhi pemikiran masyarakat, misalnya analis dari Dr. Samuel Hungtington yang meramal bahwa konflik masa depan (abad 21) akan disebabkan oleh perebutan kepentingan budaya antara Islam (Timur) dan Non Islam (Barat).

Bahwa semua agama menghendaki umatnya berlaku santun, tidak sadis dan menggunakan agama sebagai alaat legitimasi kekerasan dan pengerusakan hak milik orang lain. Oleh sebab itu diperlukan usaha yang efektif untuk menghentikan konflik antar agama dengan elakukan hal-hal sebagai berikut :
A. Memahami aturan agama secara keseluruhan (komprehensif/totalitas) artinya jangan mengambil ajaran yang bersifat keras saja dan meninggalkan ajaran agama yang mendorong tumbuhnya toleransi.
B. Meninggalkan cara pemahaman agama yang bersifat simbolitas dan mengembangkan kebiasaan pengkajian agama yang bersifat subtansial.
C. Meningkatkan kualitas pendidikan umat suatu agama sehingga melahirkan pemahaman yang obyketif dan ilmiyah.
D. Membiasakan hidup dalam perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai sumber keragam-an akan keindahan hidup.

PENUTUP
Allah telah memberikan cara yang paling efektif untuk meredam asumsi-asumsi yang menyesatkan mengenai status agama, demikian juga dengan klaim-klaim yang dilakukan oleh agama-agama tersebut yaitu dengan mengkaji ulang Qs. Al Baqoroh : 256 dan Al Kafirun : 6

DAFTAR RUJUKAN
1. Drs. Nasruddin Razak : Dienul Islam
2. Quraisy Shihab : Membumikan Al Qur’an
3. Fazlur Rahman : Thema-thema pokok Al Qur’an
4. Taufiq Adnan Amal : Islam dan Tantangan Modernitas
5. Harun Nasution : Islam Rasional, gagasan dan pemikiran.

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates