Minggu, 25 Januari 2009

Pembaharuan Islam di Indonesia

SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN DAN
PROSES PEMBAHARUAN ISLAM
DI INDONESIA

OLEH : DRS. IHSAN


Membicarakan Islam di Indonesia membutuhkan kecermatan tersendiri, kecermatan peng-amatan terhadap unsur kebudayaan yang menjadi pendukung dan perluasan Islam terutama di tanah Jawa pada masa Wali Songo. Kecermatan kecenderungan pengamalan agama, yang secara tegas tidak dapat dipisahkan dari unsur asal keagamaan masyarakat Indonesia sebelumnya yaitu Hindu dan Budha. Kecenderungan terjadinya percampuran tersebut nampak sekali pada masyara-kat Jawa Tengah, dengan meletakkan unsur kebatinan dan Kejawen dalam struktur keagamaan Islam, walaupun dalam kenyataannya menimbulkan permasalahan keimanan tersendiri bagi umat Islam.
Unsur Kejawen dan kebatinan menjadi permasalahan pokok bagi umat Islam yang meng-inginkan terbebasnya ajaran Islam dari unsur negatif kebatinan, yang cenderung menjadikan system keimanan Islam menjadi sebuah praktek Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat, dan konsep ini bagi para pembaharu Islam menjadi pokok permasalahan yang harus segera diselesaikan untuk menja-ga dinamika dan Ruh Islam.
Terlepas dari gambaran permasalahan-permasalahan tersebut, sebelum lebih jauh mengkaji situasi sosial keagamaan dan proses pembaharuan Islam Indonesia, nampaknya kita perlu me-lihat perkembangan Islam Indonesia jauh kebelakang, dalam artian melihat Islam dalam tataran dan wacana awal dari sejarah masuk dan perkembangannnya di bumi Indonesia.

Dalam dimensi kesejarahan, masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan berbagai pendapat yang sampai saat ini masih saja menjadi bahan kajian dan pemikiran bagi pakar kesejarahan Islam Indonesia. Permasalahan yang muncul dan kerap menjadi polemik berkaitan dengan masuknya Islam ke Indonesia terutama yang berkaitan dengan kapan ia masuk, dimana daerah yang pertama kali menerima Islam, dan dengan cara atau lewat apa (pembawa) Islam tersebut masuk ke Indonesia.

Di samping permasalahan tersebut, Islam Indonesia mempunyai problem-problem klasik, yang juga dialami oleh sekian banyak wilayah dan daerah Islam yang lain, yaitu problem pe-ngamalan agama yang banyak kemasukan unsur lokal, proses pembersihan dari unsur lokal, yang tidak kalah pentingnya adalah kotroversi proses pembaharuan pada abad ke 19 dan modernisasi Islam pada pertengahan abad XX.


SEPUTAR MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Polarisasi pemikiran dan pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia telah terbentuk sejak para pakar sejarah Islam Indonesia melihat arti pentingnya Islam di Indonesia secara politik dan subtantif (nilai ajaran kegamaan). Kepentingan berdasarkan kepentingan politik akan menem-patkan pendapat dan pemikiran yang didukung, akan lebih tinggi nilai dan kontribusinya di-bandingkan dengan yang tidak mereka dukung, misalnya jika mereka bependapat bahwa Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang Guzarat, maka akan sedikit banyak memberangus peran politik dan ekonomi bangsa Arab. Demikian juga yang berkait dengan kepentingan subtantif ajaran ke-agamaan, maka yang nampak bahwa Islam tidak datang dari negara asal me-lainkan telah terjadi proses adaptasi yang lama dalam sikap dan prilaku pedagang Guzarat, demikian juga seterusnya. Dampak dari polarisasi pendapat dan pemikiran tersebut telah banyak ditulis di berbagai buku sejarah, dan sebagian dari kita ada mengikuti pendapat yang justru lebih menguntungkan kaum orientalis, dan untuk itulah maka dilakukan pengkajian ulang dalam bentuk “Seminar masuknya Islam ke Indonesia”, yang diadakan pada tahun 1958 dan 1963.
Secara umum pelemik pendapat tentang siapa atau dengan cara apa Islam masuk, terpolarisasi pada pendapat atau teori Gujarat, Makkah dan Parsi. Sedangkan polemik tentang kapan Islam masuk ke Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat, yaitu masuk pada abad VII, abad X dan abad XIII.

A. Teori Guzarat (India)
Teori Guzarat besar kemungkinannya dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, sebagai upaya Snouck untuk mengelimir peran serta bangsa Arab dalam proses masuknya Agama Islam di Indonesia, apalagi ketika teori ini dikembangkan Snouck (Belanda) sedang menga-lami per-golakan militer rakyat Aceh. Secara umum teori Guzarat mengatakan bahwa asal dan pembawa agama Islam ke Indonesia adalah orang Guzarat India, yang sejak semula sudah mempunyai hubungan historis dengan Indonesia. Pandangan ini sangat jelas menafikan peranan Bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia, termasuk kemungkinan terjadi-nya percampuran ajaran agama Islam dengan agama Hindu, Budha dan Animisme.
Kebanyakan orang yang menganut teori Guzarat adalah sarjana Barat (orientalis) yang menginginkan target negatif tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut adalah :
Snouck Hurgronje
Islam berasal dan dibawa oleh para pedagang Guzarat India yang datang ke Indonesia. Snouck beralasan, bahwa :
a. Kurangnya fakta/data yang menyatakan peran bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia.
b. Hubungan antara Indonesia dan Guzarat India telah terjalin sejak lama, dan itu terjadi sejak abad I M.
c. Terdapat inkripsi tertua yang ditemukan di Sumatra, yang jelas menyatakan adanya hubungan antara Sumatra dan Guzarat.

W.F. Stutterheim, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang Guzarat. Ia mengatakan bahwa sejak dahulu telah terdapat jalan atau mata rantai per-dagangan antara Indonesia dengan Cambay (Guzarat), Timur Tengah dan Eropah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Nisan Sultan Malikus Sholeh (raja pertama kerajaan Islam Samudra Pasai) mempunyai motif atau berelief Hinduisme, yang dengan mudah dapat di-temui pada setiap Nisan di Guzarat India.

Bernard HM. Vlekke berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa pedagang Guzarat dengan fakta-fakta sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan bentuk dan relief Nisan di Sumatra dengan Nisan di Guzarat India.
b. Adanya pengamalan keagamaan terutama mistik yang mempunyai corak yang sama dengan mistik di Guzarat India.

Schricke (Indonesian sociological studies) juga menyatakan hal yang sama, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Guzarat sejak semula telah berkembang menjadi pusat perdagangan.
b. Sebagai pusat perdagangan, Guzarat mempunyai hubungan yang erat dengan Malaka (Daerah baru yang berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dengan memanfaatkan selat Malaka sebagai jalur dan pelabuhan perdagangan).

Clifford Geertz (The Relegion of Java), yang menyatakan bahwa ajaran agama Islam di Indonesia dipengaruhi oleh Hindu, Budha dan Animisme; yang sebelumnya telah lebih dulu berkembang di Indonesia. Dengan bukti-bukti tersebut, maka berart tidak ada hu-bungan (putus hubungan) antara Indonesia dengan bangsa Arab sebagai sumber ajaran Islam.

Dari berbagai pendapat tersebut, nampak sekali kelemahan-kelemahan yang sama sekali tidak diperhatikan, karena ia hanya menitik beratkan kepada adanya hubungan dagang dan meninggalkan fakta lain yang berkaitan dengan aliran pengamalan agama dan tata bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.

B. Teori Makkah
Teori Makkah kali pertama dikemukakan oleh Prof. HAMKA dalam sebuah ceramah ke-agamaan tentang masuknya Islam di Indonesia, dalam rangka Dien Natalis PTAIN di Yogyakarta pada tahun 1958, dan kemudian ditindaklanjuti pada acara “seminar tentang masuknya Islam di Indonesia” di Medan pada tanggal 17-20 Maret 1963.
Teori Makkah menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh dan me-lalui bangsa (pedagang) Arab, yang datang langsung ke Indonesia, dan Guzarat hanya sebagai tempat persinggahan sementara dari para pedagang tersebut. Bahkan dalam catatan sejarah Farrehand para penyebar Islam tersebut datang langsung dari Arab pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Untuk memperkuat tesis tentang hubungan yang dekat antara Indonesia dan bangsa Arab tersebut terutama dalam proses Islamisasi Indonesia, Prof. HAMKA mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut :
Bahwa orang Makkah (bangsa Arab) merupakan sumber pertama yang membawa agama Islam ke Indonesia, sedangkan Guzarat adalah tempat persinggahan sementara.
Terdapat kesesuaian ajaran yang dianut oleh umat Islam Indonesia dengan umat Islam Makkah atau Mesir (Sumber agama Islam) yaitu Mazhab Syafi’i.
Guzarat sebagai pusat bisnis yang menyebabkan terjadinya hubungan dengan Indonesia, pada masa sebelumnya telah dilakukan oleh bangsa Arab pada tahun 500 SM. Hal ter-sebut dibuktikan dengan :
a. Terdapat perkampungan bangsa Arab di pantai Barat Sumatra, yang pada tahun-tahun berikutnya telah berubah menjadi perkampungan Islam (TW. Arnold 1896, JC. Van Leur 1955 dan Hamka 1958).
b. Terdapat peta bumi yang dimiliki oleh bangsa Arab, yang didalamnya terdapat juga peta Sumatra Indonesia.
Raja Ta Cheh yang diasumsikan sebagai raja dari keturunan bangsa Arab pernah ber-kunjung ke Jawa pada masa pemerintahan Ratu Sima, dan itu terjada pada masa peme-rintahan Kholifah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Dengan demikian, keberadaan Guzarat sebagai pusat perdagangan sebagaimana yang dikemukakan oleh para orientalis, dimentahkan oleh teori Makkah yang menemukan bukti adanya hubungan kenegaraan dan perdagangan antara bangsa Arab dengan Indonesia, jauh sebelum Guzarat tampil kedepan. Dan realitas tersebut memperkuat kesimpulan tentang pe-ranan bangsa Arab dalam islamisasi Indonesia.

C. Teori Parsi
Teori Parsi kali pertama disampaikan oleh P.A. Husain Djojoningrat, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang Parsi. Husain memulai pendapatnya dengan mengemukakan berbagai hubungan kebudayaan antara Indonesia dengan Parsi. Hu-bungan kebudayan tersebut dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
1. Peringatan 10 Muharram (Syuroan) sebagai peringatan kesyahidan Husain. Bentuk peri-ngatan tersebut, misalnya pembuatan Bubur Syuro, Bulan Husain di Minangkabau dan Bulan Tabut di Sumatra Barat).
2. Adanya kesesuaian pengamalan sufi Syekh Siti Jenar dengan al Hallaj, meninggal tahun 922 M, yang masih berkembang lewat puisi dan masih terus dipelajari.
3. Adanya pemakaian tanda baca dalam pembacaan al Qur’an yang berasal dari Parsi, mi-salnya Zabar (Fathah), Ze-‘er (Kasroh) dan P-yes (Dhammah).
4. Guzarat merupakan tempat persinggahan orang-orang Parsi atau ajaran Syiah.
5. Adanya Mazhab Syafi’i yang menjadi aliran keagamaan Indonesia, berasal dari Malabar yang dibawa oleh orang India dan bukan dari Makkah atau Mesir.

Permasalahan lain yang berkembang berkaitan dengan masuknya Islam ke Indoensia adalah Kapan dan dimana Islam tersebut masuk ke Indonesia. Mengenai kapan Islam masuk ke Indo-nesia terjadi perbedaan pendapat antara abad VII, XIII dan abad XVI.
Pada seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963, yang dihadliri oleh banyak pakar keislaman, terpolarisasi menjadi tiga kelompok pendapat. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M, sebagaimana yang dikemukakan oleh JC. Van Leur dan TW. Arnold, termasuk pakar sejarah Islam Indonesia, HAMKA. Untuk lebih jelasnya berikut ini pendapat-pendapat mereka :
1. J.C. Van Leur (Indonesia : Trade and Societiy) :
Pada tahun 674 terdapat perkampungan bangsa Arab di bagian Barat Sumatra.
Pada Abad IV, di Kanton telah terdapat perkampungan bangsa Arab dan pada tahun 618-626 dan seterusnya mereka telah berubah menjadi perkampungan Islam Arab, dan kemu-dian terus menyebar disepanjang jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Pada abad XIII merupakan masa perkembangan Islam dan kemudian pada abad XVI, Islam berkembang menjadi kekuatan politik yang hebat bersamaan dengan menurunnya kerajaan Brahmana (1526) dan Vijayanagar (1556) dan meningkatnya peran Malaka sebagai pusat perdagangan Barat.
Pada abad XIII-XVI, banyak Bupati dan petinggi negara di Jawa masuk agama Islam dalam rangka mempertahankan status Quo (untuk memperoleh legitimasi keagamaan dari rakyat Jawa yang telah menganut agama Islam) dan untuk memobilisasi rakyat dalam menghadapi Portugis dan Belanda.

2. HAMKA, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
Bahwa pada abad XIII telah terbentuk kerajaan Islam di Indonesia, maka menurut logika telah terbentuk satu komunitas masyarakat Islam sebagai pendukung kerajaan tersebut, dan ini tidak mungkin kalau Islam baru masuk pada abad XIII M.
Bahwa terdapat catatan dari Ferran sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Schricke. Ia menyatakan bahwa ada Ekspedisi armada Kapal Parsi sebanyak 35 Kapal yang dipimpin oleh Saad Bin Abi Waqash yang berangkat dari Sailan menunju Sriwijaya.

Sedangkan yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia masuk pada abad XIII se-bagaimana pendapat yang dikemukakan oleh W.F Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para orientalis tersebut menyatakan bahwa :
1. Telah ditemukan kuburan al Malik al Sholeh sebagai raja pertama Islam di Samudra Pasai, wafat pada tahun 1297. (W.F. Stutterheim).
2. Catatan perjalanan Marco Polo yang datang ke Indonesia pada tahun 1292, yang menyatakan bahwa penduduk Wilayah Perlak telah memeluk agama Islam, dan Wilayah merupakan satu-satunya Wilayah Islam di Indonesia (Bernard H.M. Vlekke).


SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN PADA ABAD XVIII
Sebagiamana telah kita ketahui bersama, lewat catatan sejarah bangsa Indonesia, terutama ca-tatan khusus perjalanan umat Islam Indonesia secara politik dan ekonomis. Kita menemukan banyak karya kebudayaan dan keilmuan yang dapat dianggap sebagai salah satu kebanggaan umat Islam tempa dulu.
Di Sumatra, secara politis kita menemukan peninggalan sejarah yang sempat mengharumkan nama Islam sebelum diakhiri oleh kehadliran Portugis dan Belanda, terutama dalam bidang pe-ngembangan perdagangan melalui selat Malaka. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang memberikan tanda bahwa Islam telah Eksis di Indonesia sejak abad XII, dan ke-beradaan Islam di Sumatra tersebut erat hubungannya dengan keberadaan Islam di Jawa, terutama pada masa Wali Songo sebagai motor pergerakan Islam di Jawa.
Raden Paku yang kemudian menjadi salah satu anggota Sunan Songo (Wali Songo) merupakan keturunan dari pemuka Islam di Sumatra, dan dengan demikian secara historis terdapat hubungan yang sangat erat antara penyebar Islam di Sumatra dengan penyebar Islam di Jawa.
Islam di Jawa berkembang dengan pesat setelah Raden Rahmat sebagai Tokoh sentral penyebar Islam di Jawa berhasil melakukan pendidikan anak bangsa dan menjalin hubungan yang harmonis dengan penguasa Majapahit, karena ia sendiri merupakan keluarga kerajaan Majapahit (mem-peristri salah satu putri Majapahit). Keberhasilan Sunan Ampel (Raden Rahmat) menjadi motor penyebar Islam Jawa karena di dukung oleh tiga hal, yaitu :
1. Adanya pusat pendidikan umat yaitu Pesantren Ampel Denta di Ampel Surabaya
2. Adanya kolaborasi antara pendidikan Ampel Denta dengan pejabat Kerajaan Majapahit (salah putra Majapahit yang menjadi murid Raden Rahmat adalah Raden Patah – raja pertama dari kerajaan Islam Demak).
3. Adanya praktek teori rembesan, dimana setiap murid Ampel Denta berkewajiban menye-barkan Islam atau membuka daerah baru untuk pengembangan masyarakat Islam, misalnya Raden Qosim (Sunan Drajat) dan Raden Paku (Sunan Giri Gresik).

Setelah Islam berkembang dengan pesatnya keseluruh penjuru tanah air, mengusai daerah-daerah yang selama ini menjadi basis pengembangan agama Hindu dan Budha (Representasi pe-nganut Hindu adalah kerajaan Majapahit; yang masyarakatnya pindah ke Tengger dan menye-berang ke pulau Bali, sedangkan penganut Budha lebih banyak berkosentrasi di pedalaman Jawa Barat). Islam berkembang menjadi sebuah negara yang sangat disegani mulai pada abad XV, dengan Demak sebagai simbul kemegahannya. Sedangkan di Sumatra Islam telah mengalami per-kembangan yang kurang menguntungkan akibat masuknya bangsa Eropa (Portugis dan kemudian Belanda) di Indonesia.
Perkembangan Islam yang demikian menggembirakan tersebut, diiringi dengan tumbuhnya berbagai permasalahan baru, yang dirasakan oleh pemeluk Islam dalam kerangka pengamalan ke-agamaannya. Permasalahan pertama yang muncul, justru berasal dari para penyebar Islam (Wali Songo) tentang pengamalan tarekat dan praktek sufis versi Al Hallaj yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang; yang menganggap dirinya telah mencapai derajat bersatu dengan Allah dalam satu wujud. Peristiwa sufis tersebut dinamakan dengan “Wihdatul Wujud”, yang berakhir dengan dihukumnya Syekh Siti Jenar oleh para Wali Songo, seperti halnya “al Hallaj” yang dihukum mati oleh para penganut Tasawuf di Bagdad Irak sebelumnya.
Yang kedua; Terjadinya polarisasi dan pengelompokan pendapat Wali tentang boleh atau tidaknya menggunakan kebudayaan lokal, dalam hal ini kebudayaan Hindu dan Budha yang telah berkembang sebelumnya. Sunan Kalijogo, Sunan Bonang dan Sunan Muria menghendaki adanya penggunaan kebudayaan lokal dalam rangka penyebaran misi Islam, hal tersebut mengingat bahwa kebudayaan lokal telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan peng-gunaan kebudayaan lokal akan memudahkan masyarakat memahami ajaran Islam karena meng-gunakan format-format budaya yang sangat dipahami oleh masyarakat. Bukti dari penggunaan kebudayaan lokal dengan format keislaman adalah lahirnya Seni Wayang Kalimasada (Sunan Kalijogo), Gending Bonang (Sunan Bonang) dan tembang Jawa Keislaman misalnya “Ilir-ilir, Maskumambang dan Kinanti.
Kelompok Wali Songo yang lain, menolak penggunaan format kebudayaan lokal, karena menurut mereka penggunaan kebudayaan lokal akan sangat potensial menyebabkan tercampurnya ajaran Islam dengan adat istiadat dan nilai lokal (Hindu-Budha) yang sebelumnya telah berkem-bang di Indonesia. Sehingga Islam akan menjadi sebuah ajaran agama yang bersifat sinkritisme (agama campuran).
Entah karena kekeliruhan persepsi para Wali Songo pengguna kebudayaan lokal sebagai ins-trument penyebaran Islam atau karena yang faktor eksternal, yang jelas bahwa perkembangan Islam pada tahapan berikutnya menjadi sangat adaptif dan rentang terhadap masuknya ajaran lokal, sehingga yang nampak mengemuka adalah Islam yang berwajah “Kejawen” yaitu Islam yang dibalut oleh Sesaji dan praktek animisme lainnya. Apalagi setelah Islam masuk ke wilayah pedalaman Jawa, yang sebelumnya dikenal sebagai Basis Hindu dan Budha, seperti Pajang (Joko Tingkir) dan Kesultanan Islam Mataram II (Yogyakarta).

Pada rentang abad XIII-XVI, perkembangan Islam sebagai agama baru setelah agama Hindu, Budha dan Animisme mencapai puncaknya, ditandai dengan banyak daerah, wilayah dan pe-nguasa yang beragama Islam. Namun demikian memasuki dekade akhir masa Wali Songo, Indonesia telah kedatangan Bangsa Barat (Portugis dan Belanda) yang sedikit banyak menggangu ketentraman kehidupan beragama yang telah mapan. Hal tersebut disebabkan bahwa kehadliran mereka diikuti pula oleh Missionoris /Zending Kristen, di samping karena faktor perdagangan dan penguasaan wilayah yang kaya dengan rempah-rempah.
Pertarungan dua kepentingan tersebut, nampaknya bangsa Barat semakin lama mampu me-nguasai dan bahkan mendominasi pusat kegiatan Islam dan kemudian mendikte segala bentuk kegiatan, tata nilia dan political will (keinginan politik) suatu negara. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kekuatan politik Islam yang diwakili oleh kerajaan Demak (Pajang-Mataram), Banten dan Cirebon berlahan-lahan mengalami kemunduran akibat tekanan bangsa Barat dan terjadinya suksesi kepemimpinan yang selalu berakhir dengan kekalutan politik (Choas).
Melihat realitas politik seperti itu, maka mulai timbul polarisasi politik dan pengamalan ke-agamaan dalam masyarakat Islam Indonesia. Secara politik timbul satu yang menentang ke-hadliran bangsa Barat dan menganggapnya sebagai musuh dan kemudian mengobarkan perla-wanan kerakyatan; Kedua kelompok lain yang menjadikan bangsa Barat tersebut sebagai ken-daraan politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Kaum adat di Minangkabau dan Pangeran Puger dalam kasus perlawanan rakyat Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Polarisasi perlawanan keagamaan adalah dalam bentuk perlawanan Pasif dan perlawanan Aktif, yang oleh Arnold Toynbee dinamakan dengan perlawanan Zelotisme dan Herodianisme. Ze-lotisme adalah system perlawanan yang dilakukan rakyat dengan jalan menghindarkan diri atau mengisolasi diri dari bangsa Barat. Mereka menggunakan daerah pedalaman atau bukit yang sepi sebagai perkampungan baru dan basis kekuatan perlawanan yang baru sebagaimana yang dilaku-kan oleh para Kyai dengan Pondok Pesantren dan Santrinya. Sedangkan perlawanan Hero-dianisme adalah sebuah perlawanan terbuka dengan jalan menerima kehadliran mereka dalam rangka mempelajari kekuatan dan kelebihannya agar dapat dipakai sebagai instrument meng-hancurkan mereka.
Dr. Koentowijoyo beranggapan; jika rakyat Banten dibawah Sultan Agung dapat meme-nangkan pertempuran dengan Belanda (Banten kalah karena tempat persediaan makanan/logistik diketahui Belanda dan kemudian dihancurkan), maka kehadliran bangsa Barat dapat dicegah se-dini mungkin, sehingga Islam dapat berkembang lebih dominan di Indonesia. Kekalahan Banten dan juga kerajaan-kerajaan Islam lain, membuat umat Islam memposisikan diri sebagai oposisi (penentang) bangsa Barat. Perubahan posisi umat Islam tersebut lebih disebabkan karena faktor Politik dan Sentimen keagamaan (bangsa Barat identik dengan agama Kristen).
Kemunduran Islam dalam wacana peran perpolitikan di Indonesia menyebabkan terjadinya proses degenerasi atau adanya generasi yang hilang, dilihat dari segi peran politik, ekonomi dan kemampuan keagamaannya. Maka mulai abad XVIII-XIX mulai berkembang satu kelompok ma-syarakat Islam yang mempunyai kecenderungan berbeda sesuai dengan tingkat ekonomi dan afiliasi politiknya, yaitu masyarakat kelas atas (Belanda), kelas menengah (pejabat dan bangsa ke-turunan) dan kelas bawah (orang pribumi/Islam).
Dalam perspektif yang lebih khusus, berkaitan dengan polarisasi pemahaman dan pengamalan keagamaan umat Islam Indonesia; seorang Orientalis yang bernama Clifford Geertz melakukan penelitian dengan obyek aktifitas umat di daerah Mojokuto (Sampel Jawa). Hasil penelitian ter-sebut ia abadikan dalam buku yang berjudul “The Relegion of Java”. Clifford Geertz mengata-kan bahwa struktur masyarakat Islam Jawa berkaitan dengan pemahaman agama terbagi menjadi tiga varian, yaitu :
1. Varian Santri yaitu kelas umat Islam yang memahami agama dan tidak mempunyai kua-lifikasi lain selain kemampuan agama tersebut, misalnya ekonomi, politik dan budaya.
2. Varian Abangan yaitu kelas umat Islam yang tidak memahami agama Islam dan juga tidak mengamalkan agama Islam, tetapi mereka menyebut dirinya beragama Islam. Mereka itu ada-lah kelompok pedagang yang tidak pernah belajar agama.
3. Varian Priyayi yaitu kelas umat Islam yang memiliki kekuasaan politik atau paling tidak mereka berasal dari struktur yang memiliki kekuasaan, mereka tidak memahami Islam hanya melalui Guru-guru agama di keraton. Pemahaman keagamaan mereka banyak bercampur dengan Hinduisme, Budhisme, dan Animisme atau Kejawen.

Kelas priyayi merupakan kelas utama dalam masyarakat Islam, akan tetapi mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap pengembangan Islam secara total. Mereka telah terkotak-kotak oleh kepentingan politik dan ekslusifisme kehidupan Feodalisme (hidup tertutup dalam lingkup istana dan hanya melakukan hubungan kepada orang yang sepadan). Dalam hal ini telah terjadi pengkotakan masyarakat menjadi kelas Tuan/Gusti (Raja, Priyayi, Belanda) dengan Hamba/ Kawula (rakyat jelata).
Kelas Priyayi yang memposisikan diri sebagai kelas Elit, kelas yang tidak tersentuh oleh ke-banyakan masyarakat Islam, pada gilirannya tidak banyak menolong umat Islam secara keselu-ruhan , terutama dalam peningkatan kualitas umat dan pembinaan kerukunan dan solidaritas umat Islam. Kondisi tersebut yang menyebabkan umat Islam sulit keluar dari kemelut politik, pereko-nomian dan pengamalan keagamaan yang bersih dari TBC, sehingga mayoritas umat tetap berada dalam struktur marginal (pinggiran). Sebagian di antara Varian Priyayi tersebut ada yang hadlir ketengah-tengah umat Islam sebagai hero atau pahlawan rakyat seperti P. Diponegoro, akan tetapi dari struktur Priyayi itu pula muncul anti thesis yang melawan gerakan kerakyatan tersebut.
Kelas santri adalah kelas yang selalu berusaha mengembangkan Islam dan menentang setiap usaha pemerahan dan penguasaan politik oleh bangsa Barat. Sebagaimana yang telah dikemuka-kan oleh Dr. Koentowijoyo di atas, bahwa peran santri lebih bersifat oposisi (Zelotisme) dengan public figur yang kharismatik, mereka dapat menggerakkan perlawanan rakyat atau “Perang Sabil”. Lebih lanjut Cliffaord Geertz melihat peran santri dalam sejarah perjuangan dan pergo-lakannya melawan penjajah, dalam catatan sejarah terjadi sebanyak 4 (empat) kali perlawanan Santri atau perang Sabil, yaitu :
1. Perang Cirebon tahun 1802-1806
2. Perang Diponegaro di Jawa Tengah tahun 1825-1830
3. Perang Paderi (perang antara Ulama dan kaum adat) tahun 1821-1838
4. Perang Aceh tahun 1873-1908

Sedangkan kelompok abangan yang didominasi oleh para pedagang, tidak banyak mengambil peran keagamaan. Ia lebih suka bergumul dengan hal-hal yang bersifat pragmatis dan mendatang-kan keuntungan sampai kemudian mereka bersatu dalam wadah organisasi dagang Islam yaitu SDI tahun 1911 (berubah menjadi SI tahun 1912).

Pada abad XIX M. berkembangan sosio kultural dan keagamaan umat Islam Indonesia me-ngalami titik yang sangat rendah, walau dalam segi perjuangan kemerdekaan Indonesia (Politik) memasuki era baru terutama pada abad XX M. dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo tahun 1908. Kondisi sosio kultural dan keagamaan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengamalan ajaran agama
Pengamalan agama Islam lebih banyak didominasi oleh praktek sufisme dan mistik yang diwujudkan dalam praktek tarekat-tarekat.
Praktek mistik dan sufisme dalam agama Islam lebih dipengaruhi oleh Hinduisme, Budhisme dan Animisme, sehingga pengamalan agama Islam adalah perwujudan praktek TBC.
Beribadah menggunakan fasilitas roh atau perantara lainnya, misalnya Kuburan, Wali dan orang-orang yang dianggap Suci.
2. Pendidikan dan tradisi pemikiran
Tingkat pendidikan umat Islam sangat rendah, dan kalau pun ada, pendidikan tersebut hanya dapat diikuti oleh dua kelompok sosial, yaitu :
· Pendidikan Pondok Pesantren yang mempunyai ciri sebagai berikut :
- Hanya diikuti oleh umat Islam atau santri dengan titik tekan pendidikan ilmu Agama dan mengabaikan pendidikan Umum.
- Pendidikan Pondok Pesantren menggunanakan metode pendidikan tradisional (Sorogan dan Weton).
- Mensyaratkan adanya kepatuhan kepada Kyai atau Guru.
- Out put pendidikan Pondok hanya siap dalam bidang penyiaran agama (‘Ulama dan Da’i) dan kurang mampu berbicara dalam bidang politik
· Pendidikan Umum yang mempunyai ciri sebagai berikut :
- Hanya diikuti oleh bangsa Barat, Priyayi atau pejabat negara dengan titik tekan pada pendidikan Ilmu non agama
- Pendidikan Umum menggunakan metode pendidikan modern (Klasikal, Kuriku-lum dan adanya Evaluasi).
- Out put pendidikan umum hanya menguasi ilmu umum dan cenderung sekuler.
Tradisi berfikir dikalangan umat Islam tidak berkembang bahkan dapat dikatakan mandeg. Umat Islam hidup dalam kejumudan dan kebekuan berfikir, sedangkan umat Islam lain (abangan dan priyayi) mempunyai tradisi berfikir sekuler.

Secara politis, memang umat Islam tidak dapat keluar dari keterkungkungan politis sampai ter-jadinya proklamasi kemerdekaan RI (17 Agustus 1945). Akan tetapi yang disayangkan adalah ketidak mampuan umat untuk membebaskan diri dari ketidakberdayaan spiritual, dengan meletak-kan konsep atau ajaran Islam berbaur dengan Hinduisme, Budhisme dan Animisme. Dan keadaan tersebut diperparah oleh pengamalan agama Varian Priyayi yang meletakkan mistik kejawen ber-dampingan dengan ajaran Islam, bahkan dalam aktualisasinya disahkan dalam bentuk kelem-bagaan dan peraturan. Realitas-realitas tersebut berlangsung sangat lama sampai berkembangnya ide pembaharuan Islam di Indonesia pada abad XX M.


GAGASAN DAN PROSES PEMBAHARUAN ISLAM
Berkurangnya peran politik dan ekonomi umat Islam, terutama pada awal abad ke 17-19 M, menyebabkan umat Islam mengambil peran lain dalam kehidupannya, yaitu peran pemberdayaan umat melalui Pondok Pesantren dan gerakan perlawanan rakyat terhadap bangsa Barat. Namun memasuki abad ke 20 M. umat Islam mengalami pertumbuhan yang menggembirakan terutama yang menyangkut perubahan peran dan partisipasi ekonomi dan politik.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa para penyebar umat Islam yang datang ke Indonesia mempunyai kemampuan interprenuer yang sangat tinggi dan kemampuan tersebut diaplikasikan secara sempurna lewat perdagangan. Para penyebar Islam, yang kemudian di sebut sebagai varian Santri (menurut Cliffort Geertz) berangsur-angsur kehilangan kekuatan interprenuernya dengan hilangnya daerah-daerah pesisir Utara, yang sejak dulu menjadi menjadi basis perdagangan. Setelah bangsa Barat datang, maka peran perdagangan di Pelabuhan Pantai Utara dikuasai oleh bangsa Barat mulai abad ke 18-19 M. dan keadaan ini menyebabkan para santri membentuk ko-munitas tersendiri yang bersifat oposisi, lebih dari itu umat Islam secara struktural menurun kelas nya menjadi kelas bawah dari kelas menengah (kaum pedagang).
Memasuki abad ke XX M. terjadi perubahan mendasar terhadap struktur dan pergerakan sosial masyarakat Islam. Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap peningakatan kualitas dan pemahaman keberagamaan umat. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Semakin banyaknya kaum santri yang menjadi pegawai pemerintah (penghulu) terutama kaum santri yang bertempat tinggal di kota (Masyarakat Kauman), yang menyebabkan mereka masuk pada status Priyayi.
2. Santri-Priyayi tersebut kemudian mendorong lahirnya kelas baru dalam Islam, yang selama ini telah hilang yaitu kelas menengah pedagang,

Terjadinya interaksi yang semakin baik antara kelas santri dan masyarakat (negara) menjadikan santri meningkat statusnya menjadi kelas Priyayi, karena menjadi pejabat negara atau kelas menengah karena melakukan kegiatan perdagangan, menyebabkan umat Islam mulai mema-suki ranah kesadaran dan kebangkitan keagamaan. Dalam pandangan Ahmad Mansyur Suryo-negoro bahwa terjadinya hubungan tersebut mendorong lahirnya :
1. Kelompok terpelajar baru dikalangan umat Islam, karena meningkatnya kesejahteraan rakyat dan kesempatan ekonomik politik.
2. Kelompok Santri-Priyayi yang mempunyai akses yang kuat dibidang ekonomi (perdagangan) terutama umat Islam Jogya dan Solo (dagang batik) dan kepada elit kekuasaan.
3. Perkampungan baru umat Islam di kota-kota (kauman) yang mempunyai kekuatan ekonomi cukup baik.

Pada tahun-tahun awal memasuki abad XX, perkembangan peran umat semakin terlihat dan mengkristal menjadi sebuah organisasi modern. Adalah SDI yang mempelopori kebangkitan umat Islam terutama dalam partisipasi ekonomi, bahkan sementara orang mengatakan bahwa gerakan SDI telah lahir 4 (empat) tahun lebih dulu yaitu tahun 1905, ketimbang organisasi Boedi Oetomo yang lahir pada tahun 1908, sehingga sebenarnya yang layak menjadi tonggak kebang-kitan Nasional Indonesia adalah hari lahirnya gerakan SDI tersebut.
Dalam bidang keagamaan. Lahir gerakan baru, yang merupakan gerakan puritanisme atau gerakan pemurnian ajaran Islam. Gerakan pemurnian ajaran Islam yang kemudian dikenal sebagai gerakan “MUHAMMADIYAH” tersebut dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan (Santri-Priyayi). Se-cara subtansial, gerakan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan banyak dipengaruhi oleh ge-rakan serupa yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia (Gerakan Wahabi).
KH. Ahmad Dahlan ketika mencermati perkembangan kehidupan beragama umat Islam In-donesia, merasa perlu melakukan purifikasi pengamalan ajaran Islam yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan umat Islam Indonesia. Pengamalan ajaran Islam yang banyak dicampuri oleh ajaran Hinduisme, Budhisme dan Animisme; menyebabkan ajaran Islam lebih merupakan per-wujudan dari konsep TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat) yang berakibat hilangnya jiwa dan Ruh ajaran Islam, sehingga pemeluk agama Islam tidak mempunyai semangat (spirit) dan ke-kuatan (Power) untuk keluar dari ketidakberdayaan dan dalam melakukan ibadah kepada Allah atau dalam bahasa yang lain ia telah kehilangan Allah dalam dirinya karena wasilah/perantara dan praktek TBC.
Di samping itu, ia melihat bahwa proses pendidikan umat Islam Indonesia sangat tidak me-nguntungkan bagi pemberdayaan umat secara keseluruhan, karena adanya dikhotomi orientasi dan kepentingan. Pendidikan Pondok Pesantren hanya melahirkan para pejuang, pendakwah agama dan Kyai atau Ulama, dengan mengabaikan pendidikan Umum, demikian juga sebaliknya; pendidikan umum hanya melahirkan sarjana yang sekuler (abangan).

Secara umum, proses purifikasi ajaran umat Islam telah terjadi beberapa kali di Indonesia dengan menggunakan thema dan format yang berbeda. Perbedaan gerakan pembaharuan tersebut dipengaruhi oleh situasi dan letak geografi umat Islam tersebut. Menurut hemat saya, dalam per-jalanan gerakan pembaharuan Islam Indonesia, telah terjadi tiga kali proses pembaharuan, yaitu :
1. Pembaharuan pada abad XVIII oleh kaum Padri Minangkabau, yang dipelopori oleh Imam Bonjol (Kelompok Harimau Nan Salapan). Pembaharuan Padri dilakukan oleh umat Islam Sumatra, ketika umat Islam Sumatra terbelenggu oleh adat dan pengamalan agama yang banyak dipengaruhi oleh Mistik. Bentuk pengamalan agama seperti itu banyak didukung dan dilakukan oleh kaum adat. Pertentangan kaun Adat dengan kaum Padri tersebut menyebabkan kaum adat ter-pinggirkan, dan oleh sebab itu ia minta bantuan kepada Belanda, maka berubahlah pergerakan pembaharuan Islam menjadi gerakan perlawanan rakyat (santri) terhadap kolonial Belanda.
2. Pembaharuan Islam pada awal abad XX yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan ge-rakan anti TBC. Gerakan tersebut merupakan gerakan purifikasi ajaran agama yang selama berabad-abad, ajaran Islam telah berbaur dengan Mistik Hinduisme, Budhisme dan Animisme, sehingga ajaran Islam telah kehilangan daya dobrak dan ruhnya.
3. Pembaharuan Islam Kontemporer pada tahun 1960-an. Pembaharuan tersebut lebih me-rupakan gerakan modernisasi pemikiran dan pemahaman ajaran keislaman yang dilakukan oleh generasi baru umat Islam; sebagai produk lembaga pendidikan umat Islam sendiri.

Gerakan pembaharuan kaum Padri memberikan dorongan teerhadap gerakan serupa di Jawa, namun format dan intensitasnya berbeda. Kalau gerakan Padri pada akhirnya berhadapan dengan kekuatan Kolonial, sehingga mirip sebagai gerakan Politik (Pan Islamisme Jamaluddin Al Afghani), sedangkan gerakan Islam melawan adat (Mistik dan TBC) di Jawa, yang dipelopori oleh Muhammadiyah (SDI dan SI) dapat berkembang dengan baik karena menyangkut pemurnian kepercayaan dan peningkatan kualitas pendidikan umat Islam, melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah dan lembaga pendidikan yang lain.
Gerakan pembaharuan Muhammadiyah lewat pendidikan Modern memberikan dampat yang luar biasa bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang mempunyai kualifikasi multi dimensi, yaitu dimensi ilmu keagamaan dan ilmu (yang disebut) umum. Dengan demikian kader Muhammadiyah mempunyai pemahaman dan ide modernitas tetapi ia tidak kehilangan identitias diri sebagai umat Islam, dengan landasan hidup dari al Qur’an dan al Hadits.
Proses gerakan dan pendidikan Modern Muhammadiyah setelah tahun 1950, nampaknya dapat mengakumulasi dua varian umat Islam yaitu umat Islam santri (sekte agama) dan Priyayi-Abangan (sekte sekuler), dan oleh sebab itu varian Priyayi-Abangan mendapatkan sentuhan agama dan ke-dalaman Islam melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah. Proses interaksi dan hubungan yang kondunsif antara varian Santri dan Priyayi-Abangan telah mementahkan teori Varian dari Clifford Geertz yang dikembangkannya pada sebelum tahun 1950. Hal tersebut di-sebabkan oleh tiga hal, yaitu :
1. Terjadinya interaksi yang semakin mantap antara varian Santri dengan Priyayi-Abangan dan kemudian melahirkan kelompok menengah baru umat Islam, yang semakin diperhitungkan keberadaanya.
2. Kaum Abangan (juga Priyayi) memiliki tradisi baru yaitu mulai belajar dan mengkaji ilmu Agama sehingga melahirkan kelompok umat Islam Abangan (Priyayi) dengan kualitas agama yang baik (Santri).
3. Varian Santri yang selama ini dianggap sebagai bagian eksklusif komponen Umat Islam (ter-tutup dengan segala atribut keagamaannya) mulai terbuka dengan melakukan kajian ilmu-ilmu non agama (memasuki lembaga umum/Non Pondok Pesantren).

Terbukanya wawasan dan pendidikan umat Islam Indonesia telah melahirkan kecenderungan dan wacana baru umat dan sekaligus meningkatnya tingkat pendidikan umat Islam. Dr. Nurcholis Madjid dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa indikasi dari peristiwa terbukanya pe-mikiran dan meningkatnya kualitas umat Islam tersebut adalah lahirnya sarjana Baru Islam pada tahun 1970-an, yang oleh Cak Nur disebut sebagai “Panen Sarjana I”. Panen Sarjana pertama ter-sebut kemudian diikuti oleh Panen Sarjana II (Magister dan Doktor) pada Tahun 1980-an.


MODERNISASI UMAT ISLAM INDONESIA
Meningkatnya derajat pendidikan umat Islam (panen sarjana I /Drs, dan II/Magister-Doktor) sebagaimana yang dikemukakan oleh Cak Nur tersebut, di satu pihak sangat menggembirakan karena hal tersebut akan dapat meningkatkan peran dan sumbangan umat terhadap pembangunan bangsa, akan tetapi dipihak lain adalah lahirnya permasalahan keummatan yang baru. Permasalah an umat Islam kontemporer tersebut adalah adanya perubahan kecenderungan dan orientasi pe-ngamalan dan pemikiran keagamaan umat Islam. Pengamalan keagamaan tidak lagi bernuansa tradisional yang hanya mengutamakan formalisme dan kesemarakan tampa makna, akan tetapi telah mengarah kepada penga-malan keagamaan dengan menekankan aspek nilai dan subtansinya. Sedangkan pola pemikiran dan pemahaman ajaran Islam telah mengarah kepada rasionalisme dan meninggalkan pemikiran ajaran agama secara dogmatik, yang biasanya dilakukan oleh masyara-kat Islam sebelumnya.
Perubahan kecenderungan dan pengamalan keagamaan tersebut, nampaknya telah merubah struktur sosial keagamaan menjadi berbagai varian atau boleh dikatakan mereka telah terbentuk dalam beberapa kelompok, yang kesemuanya memiliki landasan dan kepentingan keummatan tersendiri. Pada tahun 1980-an, Fahry Ali melakukan study atau penelitian tentang polarisasi pe-mikiran umat Islam yang terjadi akibat terbukanya pendidikan dan pemikiran umat Islam. Dalam study tersebut, Fahry Ali menemukan 4 polarisasi pemikiran, yaitu :
1. Tradisional yaitu kelompok masyarakat yang memahami Islam secara dogmatik, tradisional dan terbebas dari kemungkinan penafsiran rasional. Pemahaman Islam dalam perspektid seperti itu, ajaran Islam tidak dapat berkembang dengan baik, karena hanya menonjolkan for-malisme dan ketaatan kepada publik figur yang dianggap mempunyai kemampuan agama yang baik serta mengabaikan pendalaman subtansial. Mereka itu adalah masyarakat Awam.
2. Modernisme yaitu kelompok umat Islam yang memahami Islam dengan menggunakan standar atau prinsip rasional dan terkadang menggunakan standar Barat (Analitis dan Em-piris). Agama dalam pangkuan kelompok modernisme akan mempunyai arti apabila di-lakukan penafsiran-penafsiran dengan menggunakan prinsip rasionalisme dan paradigma perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengagum rasionalisme dan sarjana-sarjana Barat.
3. Universalisme yaitu kelompok umat Islam yang menganggap bahwa agama Islam telah cukup mengandung segala hal yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu untuk me-mahami ajara Islam tidak memerlukan standar dan paradigma dari luar Islam, misalnya ke-budayaan Barat atau yang lain. Kelompok boleh dikatakan sebagai kelompok anti thesis dari Modernisme
4. Neomodernisme adalah kelompok umat Islam yang menyatakan bahwa untuk mempelajari ajaran Islam diperlukan standar atau parameter kebudayaan Barat atau pengertian yang lain ia memerlukan prinsip-prinsip rasional, karena ajaran Islam itu sendiri bersifat rasional. Walaupun demikian, ia tidak boleh meninggalkan ajaran dasar Islam dan khazanah kebu-dayaan Islam masa lalu.

Modernisme di satu pihak akan melahirkan satu kelompok (umat) yang kehilangan ruh dan kedalaman spiritual Islam dengan menitik beratkan pada penggunaan rasional dan kebudayaan Barat, boleh jadi secara ekstrim ia adalah bagian dari konsep Westernisasi. Akan tetapi menggunakan prinsip universalisme secara membabi buta bukanlah sebuah keputusan yang bijak-sana, karena akan menyebabkan Islam menjadi sangat besar dalam kebesaran pemeluk dan ajaran umat Islam itu sendiri (besar dalam tempurung) tetapi kecil atau lemah dalam peran dan akses ter-hadap kepentingan keilmuan dan keduniaan.
Barangkali sudah bertahun-tahun, para pembaharu dan pemikir umat Islam memikirkan ba-gaimana posisi yang paling representatif bagi umat Islam, baik dilihat dari pengembangan ajaran Islam dan peran umat Islam dalam wacana keilmuan dan teknologi dunia. Dalam pergulatan yang tiada henti-hentinya, akhirnya ditemukan format yang sangat mungkin representatif yaitu “NEO MODERNISME”. Konsep tersebut menegakkan Islam dalam dua spektrum (dimensi), yaitu spektrum pengembangan spiritualitas keislaman, termasuk didalamnya khzanah kebudayaan Islam, dan spektrum peran umat Islam dalam percaturan pemikiran keagamaan dan teknologi.
Adalah Dr. Fazlur Rahman yang pertama kali mengemukakan perluanya umat Islam me-lakukan reinterpretasi ajaran Islam dengan menggunakan prinsip rasionalisme, tetapi tidak ke-hilangan ruh atau semangat keislaman, yang oleh Dr. Fazlur Rahman disebut sebagai nilai “ideal moral” dari ajaran Islam, Dalam perspektif seperti itu, ajaran Islam memang bersifat absolut, tetap dan tidak mengalami perubahan subtansinya, akan tetapi untuk melihat seberapa jauh peran Islam dalam menyahuti ajaran Islam, diperlukan aktualisasi ajaran Islam dengan melihat “Ideal Moral” sebagai landasan pengembangannya.
Konsep Dr. Fazlur Rahman tersebut kemudian dinamakan dengan “Neo Modernisme”, yang kehadlirannya di Indonesia dibawah oleh murid-muridnya, yang sempat mengenyam pendidikan di Chicago Amerika yaitu Dr. Nurcholis Madjid. Oleh Cak Nur modernisme Islam dipahami sebagai upaya mencuci habis prinsip-prinsip irrasional yang selama ini menempel pada ajaran Islam dan menyisakan ajaran Rasional Islam. Lebih jauh ia mengatakan bahwa modernisasi Islam adalah :
1. Membersihkan ajaran-ajaran Islam dari debu keduniaan (profan) yang menempel pada ajaran Islam yang suci (sakral) artinya meletakkan bahwa yang suci (Sakral/Ibadah/Akidah) adalah suci dan yang profan (keduniaan dan bukan bagian agama) adalah profan (Desakralisasi).
2. Bahwa modernisasi adalah rasionalisasi dan bukan westernisasi artinya modernisasi adalah membuat Islam dapat berperan secara total dalam wacana sosial - politik, ekonomi, keilmuan dan teknologi dan bukan dalam kerangka mengikuti pragram westernisasi (pembaratan) atau bahkan sekulerisasi (pemisahan atau upaya mengeliminir peran agama).

Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam tersebut, misalnya Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali, MA dan lain-lain.

A. Dr. Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan “Cak Nur” memulai pendidikan dibawah asuhan KH. Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor Ponorogo. Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-dikannya di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1968.
Cak Nur dikenanl sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemikirannya menjadi kerangka kajian dan perkaderan, terutama dilingkungan HMI. Ia merupakan tokoh sentral HMI, dengan menjadi ketua Umum PB HMI selama dua periode (tahun 1966-1969 dan 1969-1971). Ketika ia menjadi tokoh sentral organisasi Mahasiswa terkemuka tersebut ia banyak melontarkan pemikiran modernis, yang kemudian menjadi wacana intelektual muslim Indo-nesia dan untuk intern HMI, Cak Nur membuat rumusan perkaderan yang kemudian disebut dengan NDP (nilai dasar perjuangan) HMI, bersama dengan Endang Saifuddin Anshari dan Mansyur Amin.
Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang me-rupakan Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya, dengan disertasi “Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in Islam”.

Pada saat ia masih menjadi Ketua Umum PB HMI pada tahun 1966, Cak Nur telah melontarkan sebuah wacana pemikiran baru dalam Islam, wacana tersebut sebenarnya sudah menjadi bahasan yang sangar ramai dikalangan Mahasiswa Islam, terutamaHMI, PII dan GPI, bahkan materi perkaderan dilingkungan HMI selalu didominasi oleh pemikiran perlunya pem-baharuan dalam Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pemikiran Islam dengan format ”Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi”.
Lontaran pemikiran dengan format :Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Wester-nisasi” dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislaman dan dunia perguruan Tinggi sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran maha-siswa Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang “Moh. Natsir”, oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai “Natsiris Muda”. Tidaklah berlebih an jika ia dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam ma-nuskrip tersebut ia mengatakan :
1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler
2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah produk paling utama dari Sekulerisme.
3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.

Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia melontarkan pemikiran tentang “Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-tegrasi Umat” pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang “Modernis Sekuler” atau dalam bahasa lain ia mengatakan “Nurcholis before Nurcholis”.
Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Cak Nur. Barangkali sangat mafhum dan dimengerti kalau banyak umat Islam yang mengecap Cak Nur sebagai Modernis Sekuler atau bahkan sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang di-lontarkan sebelumnya (tahun 1968). Dalam makalah tentang “Keharusan pembaharuan pe-mikiran Islam dan masalah Integrasi Umat” secara eksplisit, Cak Nur mengatakan :
1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam
2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan sikap terbuka.
3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam
4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.
5. Perlunya mengambil sikap “Islam Yes, Partai Islam, NO”.

Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional, ulama dan pemikir keummatan adalah penggunaan kata-kata “Sekulerisasi” yang tidak lazim dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Cak Nur) sejak 40 tahun yang lalu dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah “Sekulerisasi” sebagai istilah sosial yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.
Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Cak Nur tampil kembali kepentas pe-mikiran umat Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan ulang konsep “Sekulerisasi” yang dikembangkan sebelumnya. Misi penjelasan tersebut di-kemas dalam thesis “Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam”. Namun penjelasan Cak Nur, nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini masyarakat yang sudah terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali kedua pada pentas pemikiran umat dengan mengatakan “Sekali lagi tentang Sekulerisasi”.
Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Cak Nur membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan catatan kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan itu, Cak Nur menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah “Sekulerisasi” se-bagai instrument untu menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam.Uraian itu ia beri nama dengan “Sekulerisasi ditinjau kembali”.

Perubahan pemikiran yang dilakukan oleh Cak Nur setelah ia kembali dari Amerika pada tahun 1985, tak urung juga menimbulkan permasalahan seputar konsistensi pemikiran Nur-cholis Madjid. Drs. M. Dawam Rahardjo dalam pengantar buku “Islam Keindonesiaan dan Kemodernan” (kumpulan tulisan-tulisan Cak Nur) mengatakan bahwa Nurcholis Madjid tetap konsisten dengan pemikiran, bahkan ia tetap setia dengan prinsip “Monotheisme Radikal” yaitu sikap kritis terhadap hal yang dapat merusak monotheisme. Hal tersebut terlihat dari kritiknya terhadap Rasionalisme mutlak, Sekulerisme, Liberalisme, Individualisme, Kapital-isme, Humanisme sekuler, Pragmatisme, Snouckisme, Islam Phobia dan Atheisme, walaupun dalam kesempatan yang lain ia juga tidak menafikas sisi positif dari beberapa konsep tersebut.
Pada awal tahun 1990-an Cak Nur mengejutkan komunitas umat Islam dengan pen-jelasannya yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebu sebenarnya hanya sebuah kajian termi-nologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari mazhab theologis umat Islam, misalnya :
1. Melakukan penafsiran kalimat “La Illaha Illa Allah” yang diartikan dengan “Tiada Tuhan selain Tuhan”, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan Allah (terdapat al ma’rifat).
2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan, karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).
3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama, yang dia sebut dengan “Agama Hanief atau agama yang lurus”. Oleh sebab itu retorika dakwah kita adalah mengajak umat manusia pada “Kalimat yang sama”.

Nampaknya Cak Nur dilahirkan dengan kapasitas dan pemikiran yang selalu menjadi Head Line atau konsumsi opini yang tidak habis-habisnya. Pada saat Indonesia sedang bergolak menuntut demokrasi, Cak Nur hadlir dengan konsep “Perubahan menit per menit” yang kemu-dian menjadi wacana perpolitikan bangsa di medium Mei 1998. Pada saat kita sedang asyik-asyiknya melakukan pesta Demokrasi seiring dengan tumbangnya batu besar penghalang demokrasi Indonesia, Cak Nur hadlir dengan pemikirannya kritisnya yang khas. Ia mengingatkan bahwa bangsa Indonesia sedang mabuk kepayang dalam demokrasi, yang ia sebut sebagai “Ledakan Partisipasi”. Ledakan partisipasi yang berlebih-lebihan akan menyebabkan adanya Politik emosional dan hal tersebut akan menyebabkan situasi “Choas”, maka jika terjadi situasi Choas, menurut Cak Nur akan mengundang lahirnya orang kuat baru (Strong Man) pasca Soeharto.

B. Munawir Sadzali, MA (Menteri Agama)
Dalam tataran yang lebih khusus, yaitu dilingkungan Departemen Agama, dan barangkali juga berimplikasi secara umum pada umat Islam, Munawir Sadzali MA, tampil dengan gerak-an pembaharuan umat Islam yang sama sekali baru. Gerakan itu menurut saya lebih bersifat sebagai “gerakan pemberdayaan umat Islam” di sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam memasuki tahapan dan format yang sama sekali baru sebagai kelengkapan upaya pem-berdayaan umat Islam. Dalam kerangka pemberdayaan potensi intelektual dan kehidupan sosio keagamaan umat Islam, Munawir Sadzali menawarkan program-program :
1. Reaktualisasi ajaran Islam, dengan melihat makna sosial dan ideal moral dari ajaran Islam (meminjam istilah Fazlur Rahman). Ia mengatakan bahwa ajaran tentang waris (dua banding satu) dan ketentuan sosial lainnya, perlu dilakukan interpretasi ulang, sehingga ajaran Islam tidak bersifat diskriminatif.
2. Bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan umat Islam, diperlukan program pengiriman tenaga pengajar umat Islam kedunia Barat, dengan alasan bahwa umat Islam itu sangat lemah dalam bidang metodologi dan sudah cukup kemampuan dalam pe-nguasaan Materi.

Yang pertama; Munawair beranggapan bahwa ajaran tentang waris yang menyatakan bahwa laki-laki mendapat dua bagian lebih didasarkan kepada kualitas dan bukan pada jenis kelamin seseorang, sehingga konsep tersebut akan sangat relevan jika diberlakukan untuk masyarakat, di-mana seorang perempuan bekerja lebih keras dan yang laki-laki hanya berdiam diri di rumah se-bagaimana yang terjadi pada masyarakat Jawa Tenggah (Solo) atau pulau Bali.
Yang kedua; Munawir beranggapan bahwa kelemahan mendasar umat Islam adalah tidak dikuasainya metodologi yang merupakan instrument dasar bagi pengembangan ilmu pe-ngetahuan dan teknologi, termasuk didalamnya pengembangan pemikiran umat Islam. Maka menurutnya, tempat yang paling cocok adalah universitas-universitas Barat; dan yang perlu diperhatikan bahwa universitas Barat juga mempunyai kajian keislaman yang cukup disegani, misalnya study Islam di UCLA, Montreal, Sorbone, dan yang lain.

Di samping gerakan reaktualisasi dan pemberdayaan metodologi umat Islam ala Munawir Sadzali tersebut, pada dasa warsa berikutnya berkembang satu upaya pemberdayaan pemikiran dan aktualisasi peran Islam dalam pendekatan kultural. Pendekatan Islam dalam perspektif kul-tural tersebut dikemukakan oleh KH. Abdurahman Wahid. Ungkapan yang sempat membuat umat Islam Indonesia bingung adalah ketika Gus Dur mengiyakan “Salam (Assalamu’alaikum Wa rahmatullahi wa barakatuh)” dapat di indonesiakan menjadi “Selamat Pagi” dst.
Pendekatan Islam kultural, menurut hemat saya merupakan pengejawantahan atau penjabaran dari konsep “Islam Yes, Partai Islam, NO” yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1970-an. Islam Yes, Partai Islam, NO dilontarkan oleh Cak Nur pada waktu itu, dimaksudkan untuk mem-berdayakan umat Islam terutama dalam pemikiran dengan menghindarkan diri dari kontroversi atau friksi kepentingan antar umat dan hal tersebut sangat merugikan bagi pertumbuhan umat, karena Islam hanya sebagai kendaraan Politik saja. Konsep Islam Yes Partai No, pada saat itu mendapat kecaman yang luar biasa dari para praktisi dan politikus umat, karena kebisaan mereka yang menggunakan agama atau paling tidak jargon agama untuk kendaran politik mereka merasa terancam. Islam sebagai kendaraan politik pada waktu merupakan Mainstream (arus besar) dan meletakkan Islam sebagai satu ajaran dengan menanggalkan baju politik adalah menentang arus besar (Mainstream) yang sedang mengalir pada wacana perpolitikan umat.
Setelah beberapa tahun berlalu, konsep Islam Yes Partai Islam No muncul kembali dengan baju dan format yang lain, yaitu pendekatan Islam kultural. Pendekatan Islam kultural, menurut Dus Dur sangat cocok untuk masyarakat Islam Indonesia, karena tingkat pengetahuan dan pema-hamannya yang masih rendah dan dengan demikian ia tidak membawa umat Islam berlari mengikuti kompetisi yang tidak mungkin diikutinya. Pendekatan Islam kultural barangkali adalah konsep napak Tilas pendekatan Kultural Wali Songo.
Pada tahun 1990-an, Gus Dur melihat bahwa membawa Islam dalam pergulatan politik Indo-nesia artinya menggunakan pendekatan politik, sangat tidak menguntungkan karena Islam akan dijadikan bahan rebutan atau kue Politik dan setelah mendapatkan kue politik dan pesta kue politik tersebut dilakukan, ummat Islam ditinggal begitu saja dalam keterkoyakan dan perpecahan sosial politik yang sampai saat ini masih membekas dalam dendam politik.

Akan tetapi apa yang terjadi dengan Gus Dur sebagai representasi NU setelah tahun 1998, ternyata pendekatan Islam kultural dengan titik tekan tidak adanya pengerahan umat Islam dalam konstek perpolitikan menjadi mental dan tidak bernilai lagi, walau pada masa sebelumnya Gus Dur secara personal telah aktif dalam pergulatan Politik lewat Forum Demokrasi (FORDEM). Menurut hemat saya Fordem adalah sebuah gerakan moral untuk pendidikan politik dengan tujuan adanya upaya demokratisasi yang bermuara pada peningkatan partisipasi rakyat atau se-luruh komponen bangsa dalam penentuan kebijakan Nasional
Lahirnya PKB sebagai anak kandung NU merupakan wujud perubahan visi Gus Dur atau NU secara keseluruhan, yang dulunya menekankan adanya pendekatan Islam kulturan dan kemudian berubah menjadi pendekatan Islam Politik. Ada alasan klasik yang dikemukakan oleh Gus Dur (NU), bahwa NU selama ini hanya aktif dipakai sebagai kendaraan politik dan tidak pernah diajak ikut naik dalam kendaraan setelah berhasil atau praktisnya NU tidak mendapatkan apa selama Orde Baru.
Terlepas dari peristiwa yang dikatakan oleh Cak Nur sebagai “Ledakan partisipasi” dimana seluruh komponen bangsa berlomba-lomba menyatakan partisipasi politik setelah mampu me-numbangkan rezim yang menyumbat adanya partisipasi rakyat, maka keputusan NU menjadi Ibu Kandung adalah sebuah perubahan mendasar organisasi tersebut, dan mudah-mudah ia tetap komitmen dengan keputusannya dan semoga tidak ada hal yang menyebabkan ia balik kandang sebagai Jam’iyah (perkumpulan) umat Islam lagi setelah kepentingan politiknya tidak berhasil diwujudkan alias “NGAMBEK”. Waallahu ‘alam bis Shawab.

BUKU REFERENSI
1. Prof. Dr. Hamka : Sejarah Umat Islam (Vol. IV)
2. Ahmad Mansyur Suryonegoro : Menemukan Sejarah; wacana pergerakan umat Islam
Indonesia
3. Fachry Ali dan Bachtiar Efendi : Merambah jalan baru Islam
4. Dr. Nurcholis Madjid : Islam Keindonesian dan Kemodernan
5. Clifford Geertz : The Religion of Java (Santri, abangan dan Priyayi)
6. Dr. Harun Nasution : Islam Rasional; gagasan dan pemikiran
7. Dr. Koentowijoyo : Paradigma Islam; interpretasi untuk aksi
8. Prisma : Agama dan Tantangan zaman

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates