Minggu, 25 Januari 2009

Pembaharuan Islam di Mesir

SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN
DAN PENGARUH EKSPEDISI NAPOLEON
TERHADAP GAGASAN PEMBAHARUAN DI MESIR

Oleh : DRS. IHSAN


Mesir adalah sebuah negara yang mempunyai peranan sangat penting dalam per-jalanan sejarah kehidupan manusia. Mesir dengan segala perniknya memberikan nuansa tersendiri bagi kehidupan manusia. Mesir adalah sebuah negara yang didalamnya mengan dung konflik, kontroversi dan pertentangan antara kebenaran dengan kebathilan, antara kemunfikan dengan kejujuran dan antara kekuasaan dengan ketertindasan struktural.
Mesir adalah sebuah negara yang menghiasi sepertiga bahasan dan ayat Al Qur’an dan juga sebagian besar dari kata-kata hikmah yang diberikan oleh Rasulullah yang me-makai latar belakang Mesir. Dengan demikian, Mesir adalah sebuah istilah generik yang dapat dipakai untuk mengungkapkan sebuah kenyataan dan pergulatan antara kebenaran dan kecongkokan seorang manusia yang patut dijadikan sebagai peringatan kehidupan.
Mesir dan sungai nil yang merupakan salah satu sungai terpanjang di dunia telah memberikan satu bentuk kehidupan manusia sejak ribuan tahun SM. Di dalamnya telah lahir berbagai bentuk kebudayaan yang sangat menarik perhatian dunia, bahkan sampai saat ini kebudayaan klasik Mesir menjadi daya tarik wisatawan yang tentunya mem-berikan devisa yang tidak kecil. Bentuk-bentuk kebudayaan Mesir merupakan perwujud-an cita rasa sosial dan keagamaan mereka terutama sebagai wujud realisasi dan ritus agama yang mereka yakini. Bentuk Kuburan dalam format Piramid dan Spink adalah per-wujudan keagamaan mereka sekaligus sebagai simbol status sosial masyarakat Mesir, di samping itu berkembangnya pengawetan mayat (MUMMI) merupakan bentuk kebu-dayaan yang sangat tinggi.

Bagaimanapun juga, Mesir tidak dapat dipisahkan dari pergulatan dan percaturan sejarah kehidupan manusia. Bahkan Mesir dapat disebut sebagai istilah generik untuk segala sesuatu yang menggambarkan adanya pergulatan kebenaran dan kebathilan. Bagai-mana tidak, sejarah keberadaan Mesir telah dimulai sejak Nabi Ibrahim, ketika beliau me-lakukan perjalanan Kenabian untuk memenuhi panggilan Allah, khususnya menuju tanah yang dijanjikan oleh Allah dalam hal ini adalah Makkah. Nabi Ibarahim yang pada awal-nya mendiami tanah Palestina, mendapat perintah Allah untuk menyebarkan agama, dan kemudian sampailah Ia di Mesir yang pada saat itu dipimpin oleh Raja sangat kejam.
Peristiwa Nabi Ibrahim, nampaknya merupakan rangkaian awal dari perseteruan antara Islam dengan orang-orang yang mengganggap dirinya sebagai kebenaran mutlak, karena selang beberapa tahun kemudian muncul kembali pergulatan sejarah yang tidak mungkin dilupakan oleh umat Islam yaitu pertarungan kepercayaan dan keimanan antara Nabi Musa dan Fir’aun. Pertentangan antara Nabi Musa dan Fir’aun adalah pertarungan dua lambang kebenaran dan kebathilan yang terbinasakan oleh kecongkakan egoisme dan subyektifitas diri, oleh hawa nafsu dan kesombongan yang memuncak dalam diri ma-nusia.
Kesombongan Fir’aun ternyata juga diikuti oleh kroni-kroninya atau mereka yang berlindung dibawah ketiak pemerintah untuk mempertahankan status quo, walaupun de-mikian banyak juga di antara mereka yang berusaha mendobrak ketidak seimbangan struktural melalui gerakan anti penindasan dibawah kepemimpinan Nabi Musa. Ber-dasarkan kisah-kisah sejarah pergulatan tersebut, maka menurut Dr. Ali Syari’ati memberikan gambaran tentang adanya beberapa simbol macam manusia yaitu :
1. Fir’aun adalah simbol seorang penguasa yang melupakan kebenaran, sehingga ia ber-tindak diluar sisi kemanusiaan, misalnya memerintah dengan otoriter, menindas dan melecehkan nilai kemanusiaan (membunuh anak laki-laki), bahkan mengaku sebagai Tuhan. Di sampin itu ia didukun oleh pejabat negara yang culas, penjilat dan hanya mempunyai keinginan untuk emmpertahankan status quo saja. Pejabat itu adalah Haman.
2. Bal’am adalah simbol seorang ulama, intelektual dan cendekiawan pelacur artinya ia mengerahkan kemampuan dan fatwanya untuk kepentingan sponsor atau mereka yang menyewa.
3. Qorun adalah simbol seorang konglomerat yang telah kehilangan sisi kemanusiaan dan kedermawanannya sehingga ia tidak mempunyai kepedulian terhadap nasib bangsa dan manusia pada umumnya.

Ketiga orang tersebut sekarang menjadi legenda yang tiada habis-habisnya untuk diceritakan terutama bagi mereka yang menginginkan suatu perbedaan antara kebenaran dengan kebathilan. Seiring dengan terpuruknya Fir’aun dikaki Nabi Musa yang berhasil membawa kaum Israil dari penindasan, nampaknya Mesir telah menjadi sebuah sejarah yang terlupakan. Akan tetapi sejak awal abad ke 4 M. Telah berkembang kekuasaan baru yang juga tidak kalah hebatnya dengan penguasa Fir’aun, karena didalamnya terdapat semangat religiusitas Kristiani. Kekuasaan baru tersebut merupakan kepanjangan ke-kuasaan Romawi di Barat yang beribukota di Konstantinopel; ia merupakan negara adi kuasa bersama dengan Parsi di Timur.
Kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai Ibu Kota merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam datang yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir, misalnya :
1. Mesir sebagai kota yang penuh dengan catatan kebudayaan dan telah berusia ribuan tahun, ketika daerah atau negara lain belum tumbuh dan berkembang.
2. Mesir merupakan pusat perdagangan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.
3. Mesir mempunyai pelabuhan Iskandariyah, yang sangat berarti baik dilihat dari segi politik maupun perekonomian.
4. Mesir merupakan sentral pengembangan ajaran kristiani untuk kawasan Timur, walau dalam perkembangannya terutama saat-saat kehadliran Islam mengalami konflik ke-agamaan (Ortodoks dan Modern) yang kemudian mempermudah masuknya Islam di Mesir.

Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengem-bangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target pengembangan misi Keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat meng-hambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena berkem-bangnya konflik keagamaan.
Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya :
1. Menjadi sentral pengembangan Islam diwilayah Afrika, bahkan menjadi batu lon-catan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia).
2. Menjadi kekuatan Islam di afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
3. Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
4. Menjadi wilayah penentu dalam pergualatan perpolitikan umat Islam, termasuk di-dalamnya adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”

Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan ke-sejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari segi ekonomi dan politik, ia memberikan sum-bangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadliran Imam Syafi’i, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal.
Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil dengan formar perpo-litikan yang baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar islam, yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah di Spanyol. Kehadliran Mesir bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh aliran/sekte Syi’ah (kerajaan Syi’ah) telah membe-rikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat Islam mengalami kemunduran. Statemen ter-sebut bukanlah sebuah apologi, karena bukti-bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai, misalnya berdirinya Universitas Al Azhar yang didirikan oleh Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam.


PERAN MESIR PADA ABAD PERTENGAHAN DAN EKSPEDISI NAPOLEON DI MESIR

Peran sentral Mesir nampaknya masih terus berlanjut, ketika dunia Islam mengalami masa yang sangat suram, masa kemunduran dan kemandegan berfikir. Pada masa kemun-duran Islam, Mesir tetap bertahan dengan kemampuan yang dimiliki, misalanya :
1. Eksistensi Daulat Bani Fathimiyah yang merupakan bukti keberadaan Islam disaat kita mengalami kemunduruan.
2. Menjadi basis mobilisasi tentara dalam rangka perang salib.
3. Menjadi pusat pengembangan kajian keislaman melalui Universitas Al Azhar.
4. Menjadi pusat pengembangan Ekonomi Islam melalui perdagangan (Pelabuhan Is-kandariyah Mesir).

Namun demikian nampaknya sejarah kemunduran Islam tidak dapat dihentikan hanya dengan mengandalkan Mesir, dengan Daulat Fathimiyah atau Universitas Al Azharnya. Nampaknya Mesir hanyalah sebuah lantera kecil yang menerangi gelapnya malam, karena ternyata Mesir juga memberi andil terhadap reduksi kemampuan berfikir dika-langan Islam. Al Azhar yang selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu Agama dan me-larang segala bentuk kajian keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah.
Di samping itu, Mesir juga mempunyai andil masuknya kekuasaan asing melalui proses perdagangan yang dilakukan di Pelabuhan Iskandariyah, maka secara tidak langsung Mesir sangat rentang terhadap adanya dominasi dan eksploatasi ekonomi yang dilakukan oleh kekuatan asing. Kekuatan asing yang datang di Mesir sudah barang tentu membawa tata nilai dan kebudayaan yang berbeda dan keadaan tersebut jelas memberi pengaruh terhadap perkembangan sosial keagamaan di Mesir.
Kondisi sosial dan rapuhnya kekuatan Islam di Mesir menyebabkan kekuatan asing dengan mudah masuk, misalnya Napoleon, yang melakukan ekspedisi ke Mesir dan mendarat di Iskandariyah pada tahun 1798 ( 9 tahun setelah Revolusi Perancis pada tahun 1789). Kehadliran Napoleon di Mesir memberikan beban dan gangguan psykologis yang tidak sedikit, karena dengan kehadlirannya akan menyebabkan gangguan struktural, ekonomi dan politik bagi umat Islam di Mesir, terutama dalam kaitan arti penting Mesir sebagai batu loncatan politik dan pengembangan kekuasaan asing di Afrika, sebab dengan dikuasainya Mesir, maka dapat dipakai sebagai basis pengembangan kekuasaan Perancis di Afrika atau tempat yang lain.

Kehadliran Napoleon di Mesir secara makro telah mengangkat Mesir menjadi ke-kuatan baru di Afrika, apalagi dengan dilakukan program pembangunan terusan Suez oleh Ferdinand De lesep, yang secara politik ekonomis memberikan keuntungan yang luas biasa, yaitu :
1. Memangkas jarak dan rute perjalanan/pelayaran yang selama ini dilalui oleh Kapal Dagang dari Eropa ke Afrika atau Asia.
2. Mengundang pola baru dalam sektor perekonomian dengan memberdayakan terusan suez sebagai pintu gerbang masuknya barang dan jasa.
3. Secara politik Mesir adalah sebuah negara yang sangat di andalkan oleh Perancis terutama nilai strategis pada sektor ekonomi dan percaturan politik Afrika.

Di samping keuntungan-keuntungan politik-ekonomis yang sudah barang tentu di-miliki oleh Perancis, maka kehadliran Napoleon dan pembukaan terusan Suez memberi-kan dampak tersendiri bagi perkembangan Islam di Mesir. Yang sudah pasti adalah ber-kembanganya sikap keterbukaan berfikir dan terjadinya transformasi budaya antara pen-duduk asli (Islam) dengan orang pendatang, yang datang ke Mesir dalam rangka melaku-kan perdagangan dan kegiatan politik. Disamping itu hal tersebut, juga kita temukan be-barapa perkembangan baru yang terjadi akibat proses tersebut, misalnya :
1. Bekembangnya cakrawala berfikir baru yang lebih rasional dan moderat.
2. Berkembangnya sistem pendidikan yang lebih terbuka dengan berorientasi pada sikap rasional dan sistematis.

Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak berkembang di-kalangan Umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan menimbulkan rekasi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan sufisme dan mistisisme.
Walaupun demikian, kehadliran Napoleon sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat peng-kajian dan pembaharuan dalam Islam.


BUKU REFERENSI

1. Dr. Ali Syari’ati : Tentang Sosiologi Islam
2. Dr. Muhammad Heykal : Sejarah Islam
3. Philip K. Hitti : Sejarah Arab
4. Dr. Harun Nasution : Islam di tinjau dari berbagai aspeknya.
5. Drs. Imam Munawir : Pembaharuan Islam dari Masa ke Masa.











PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR
Suatu telaah kritis terhadap proses pembaharuan
islam kontemporer

Oleh : DRS. IHSAN


PENDAHULUAN
Islam kontemporer merupakan istilah untuk menyebut suatu keadaan yang terjadi saat ini, berlangsung pada saat kita telah meninggalkan kehidupan abad pertengahan, kehidupan yang didominasi oleh rasa ketidakberdayaan intelektual dan kesadaran keyakinan akibat penyakit psykologis yang telah lama diderita oleh umat Islam.
Islam kontemporer juga merupakan istilah generik yang dapat dipakai untuk menyebut suatu program dan aksi yang menginginkan proses pembaharuan dalam kerangka berfikir dan aktuali-sasi Islam dimasa yang akan datang terutama dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahu-an dan teknologi yang sarat dengan keragaman penemuan dan inovasi.
Dengan visi dan gagasan tersebut, bukan berarti Islam akan dihadapkan kepada suatu ke-inginan untuk melakukan aktualisasi berdasarkan statemen dan pernyataan ilmiyah yang bersifat relatif, menafsirkan dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan yang spekulatif adanya, melainkan ingin melihat kebenaran isyarat Qur’aniyah yang dikembangkannya terutama me-ngenai tesis dan aksioma ilmu pengetahuan di dalam al Al Qur’an. Karena menempatkan Islam (Al Qur’an) dengan aksioma ilmu pengetahuan dan teknologi seperti itu , akan menyebabkan Islam menjadi sangat tidak bernilai dan direndahkan kapasitasnya. Namun demikian, Islam tidak berarti poby dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena ternyata jumlah isyarat-isyarat ilmu pengetahuan lebih banyak ketimbang permasalahan theologis itu sendiri, yang memang hanya dapat didekati tampa pendekatan Iptek.
Problem-problem kontemporer yang dialami oleh umat Islam, memang tidak bersifat theologis atau kepercayaan dan keimanan, sebab problem-problem theologis telah habis masa edarnya pada abad ke 18, ketika Muhammad Bin Abdul Wahab menggerakkan umat untuk mengubur habis keyakinan sesat dan segala bentuk peribadahan yang tidak ada dasarnya. Sedangkan problem umat Islam kontemporer adalah kelemahan aktuali-sasi dan apresiasi keilmuan yang diisyaratkan oleh Al Qur’an, yang berakibat pada keti-dak mampuan umat Islam bertahan ditengah-tengah gemuruhnya perkembangan dunia.
Secara umum ada perbedaan yang sangat mendasar terhadap sasaran dan obyek pembaharuan Islam pada abad ke 18 yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan pembaharuan Islam pada abad ke 19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho dll.

Gerakan pembaharuan Islam pada abad ke 18 yang dikenal dengan gerakan Wahabi mem-punyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sebagai gerakan theologis artinya sasaran pembaharuan adalah pemurnian cara pengamalan umat Islam dan sekaligus ajaran Islam, dengan hanya bersandar pada konsep kepercayaan dan peribadahan yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits.
2. Sebagai gerakan Literalis dan Tekstualis artinya gerakan yang hanya mengakui otoritas teks Al Qur’an dan Al Hadits dengan menekankan pentingnya formalitas dalam pengamalan agama, dan bukan hanya diamalkan dalam bentuk bathiniyah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufis dan pengamal mistisisme. Dengan demikian gerakan ini adalah gerakan antibode dari sufisme dan mistisisme.
3. Sebagai gerakan anti Intelektual dan Filsafat artinya gerakan yang mengedepankan rasionalisme dalam beragama, terutama dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadits. Gerakan ini hanya mematuhi kebenaran Al Qur’an dan Al Hadits dan bukan kebenaran rasional atau Filsafat, hal tersebut untuk menjaga kemurnian Islam.
4. Sebagai gerakan anti kejumudan dan kemandegan berfikir dengan mengatakan bahwa pintu Ijtihad masih terbuka, dalam rangka melahirkan tradisi dan kebebasan berfikir dikalangan umat Islam. Walaupun demikian, gerakan tersebut tidaklah se-buah gerakan rasional dan juga bukan gerakan sufisme, karena gerakan ini berdiri di antara intelektualisme dan kehangatan serta kesalehan sufisme dan mistisisme.

Pola dan bentuk gerakan pemabaharuan tersebut diatas berbeda dengan modus gerakan pem-baharuan kontemporer yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghoni dan Muhammad Abduh di Mesir. Pola pembaharuan Islam Kontemporer lebih mengarah kepada :
1. Pembaharuan system berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang dogmatik.
2. Upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.

Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dan modus operasi pembaharuan Islam di Mesir, maka tidak akan lepas dari dua orang yaitu Jamaluddin Al Afghoni dan Muhammad Abduh.


JAMALUDDIN AL AFGHANI : API PEMBAHARUAN DI MESIR.
Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang anak dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Pada umur 18 tahun ia telah menguasai berabagi cabang ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama. Karena keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut ia telah mempesona dunia intelektual dan politik dengan gaya agitasinya yang sungguh menakjubkan. Pengaruh agitasinya tersebut telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul) yang memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada 1867, sebagai awal dari petualangan keilmuan dan politiknya.
Di India, Jamaluddin juga melakukan agitasi untuk membangkitkan semangat perlawanan terutama terhadap pemerintah kolonial. Agitasi tersebut juga menimbulkan dampak yang luar biasa, yang memaksa dia meninggalkan India dan pergi ke Hejaz (Makkah). Kemudian pergi ke Mesir untuk membangkitkan semangat persaudaraan Islam pada tahun 1857, tetapi dia tidak lama, karena ia kemudian pergi ke Turki dengan sasaran pada Universitas Istambul, yang serta kehadlirannya menarik minat kalangan perguruan tinggi tersebut dan menyebabkan tumbuhnya kecemburuan dikalangan akademisi Universitas Istambul, maka ia kemudian kembali lagi ke India untuk kali kedua pada tahun 1869.

Tapi nampaknya India adalah sebuah persinggahan sementara, karena ternyata pengaruh Jamaluddin telah menumbuhkan semangat kebangsaan untuk melawan Inggris, yang sudah barang tentu sangat dibenci oleh mereka. Maka pada tahun 1871 ia pergi ke Mesir untuk kali ke-dua dan berdiam di sana selama 8 tahun (1879). Setelah itu ia kembali lagi ke India tepatnya di Hyderabad Deccau, pada tahun 1879 dan menerbitkan sebuah buku yang sempat menggegerkan dunia barat yaitu “Pembuktian kesalahan kaum Matrialis”.
Jalamaluddin nampaknya identik dengan petualangan intelektual dan politik, sebab bukan hanya bumi Tuhan yang di Timur saja, yang sempat disinggahi, tetapi bumi Tuhan yang lain, di Eropa juga menjadi ladang persemaian agitasi solidaritas Islam. Di Perancis ia menggunakan media komunikasi sebagai instrumen penyebaran ajaran solidaritasnya. Al Urwat al Wutsqo adalah media cetak yang memberi andil besar bagi tumbuhnya rasa bangga terhadap diri, ter-utama sebagai pemeluk agama Islam. Setelah itu ia kemudian pergi ke London pada tahun 1891 untuk mensosialisasikan gagasan Pan Islamisme dan kebangkitan umat Islam.
Pada tahun 1892 ia kembali ke Istambul dan mendapat sambutan yang luar biasa dari kerajaan Turki Utsmani dengan diberi hadiah uang 775 pound dan tempat tinggal yang sangat layak, akan tetapi jiwa Jamaluddin bukanlah jiwa konseptor yang hanya duduk di belakang meja, tetapi jiwa dia adalah konseptor dan petualang, maka ia kemudian pergi ke Parsi untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat, mengkritik habis pola pemerintahan otokrasi Shah Nasiruddin Qochar, yang ternyata efektif membangkitkan perlawanan rakyat, sehingga Shah Qachar terbunuh pada 1 Mei 1895 dalam pergolakan rakyat tersebut.
Walaupun demikian, nampaknya petualangan Jamaluddin Al Afghani harus terhenti oleh kekua-saan Tuhan, karena pada tahun 1895 ia terkena serangan kangker rahang dan pada 9 Maret 1897 ia dipanggil Allah untuk mempertanggung jawabkan amal duniawinya.

Jika kita simak dengan teliti perjalanan sejarah kehidupan Jamaluddin, maka dapat diambil satu pengertian bahwa untuk menumbuhkan semangat kerakyatan dan kebebasan seseorang harus mampu menempatkan diri sebagai konseptor, pelopor dan pelaksana, sehingga ia merupakan contah yang sangat akseptible, kredible dan penuh dengan inovasi dalam setiap gerakannya.Untuk itu diperlukan pribadi yang cerdas, berwibawa, ramah dan sangat tegas. Dalam hal ini Edward G. Brownk mengatakan bahwa Jalamaluddin Al Afghani adalah sebuah pribadi yang sangat rendah diri, selalu berbicara hal-hal yang baik dan tidak pernah berbicara hal-hal yang tidak senonoh. Ia adalah seorang orator yang tidak ada bandingnya, tidak pernah minum minuman keras dan terpe-ngaruh oleh kehidupan dunia, ia sangat keras tetapi tidak bertemparemen panas (galak) ia ramah tetapi selalu bebas dapat bergaul. Ia berani menentang bahaya dan sangat bertanggung jawab, ia mempunyai pengetahuan yang mengagumkan bahkan seakan-akan tahu sebelum orang itu menga-takan, tapi ia tidak pernah menikah bahkan seakan-akan tidak memperdulikan wanita.
Seperti yang dikemukakan dimuka, bahwa semangat pembaharuan di Mesir bekembang sebagai anti tesis dari keberadaan bangsa Perancis yang datang melalui Ekspedisi Napoleon. Secara umum memang keberadaan Napoleon telah sedikit banyak memberikan semangat berfikir bebas, tetapi ia tidak cukup kemampuan untuk membangkitkan semangat kebangsaan umat Islam telah tertidur oleh kekuasaan dan kekuatan bangsa Barat itu sendiri.

Melihat hal tersebut, maka orientasi pembaharuan Islam Mesir terutama yang dilakukan oleh Jamaluddin Al Afghani lebih mengarah kepada pembaharuan cara berpolitik dikalangan umat Islam. Oleh sebab itu gerakan pembaharuan Mesir atau gerakan Jamaluddin Al Afghani adalah gerakan Politik. Untuk mengetahui lebih jelas pemikiran pembaharaun Jamaluddin Al Afghani, berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya :
1. Islam mengalami kemunduran dan kejumudan berfikir bukan disebabkan oleh karena Islam tidak lagi lagi sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan keadaan masa kini, melainkan karena umat Islam tidak mampu menginterpretasikannya dengan kemampuan ijtihad dan ke-banyakan umat Islam telah meninggalkan ajarannya dengan mengikuti ajaran baru yang di-manipulisir untuk kepentingan asing.
2. Bahwa kemunduran Islam dilapangan politik disebabkan oleh :
Desintegrasi politik atau perpecahan dikalangan umat Islam
Corak pemerintahan yang bersifat Absolut (otoriter)
Pemimpin negara yang tidak disukai oleh rakyat (tidak kredible).
Mengabaikan masalah pertahanan atau militerisasi.
Administrasi dipegang oleh mereka yang tidak berkopenten.
Adanya intervensi oleh negara asing.

Untuk itu diperlukan pola pemerintahan yang dapat menarik partisipasi masayarkat secara aktif dalam bentuk demokratisasi dan terbentuknya majlis syuro yang menjamin adanya partisipasi masyarakat secara komunal dan individual.

3. Bahwa untuk pembaharuan dan pengembangan semangat keislaman perlu digalakan solidaritas Islam dalam bentuk program aksi “PAN ISLAMISME” . Gerakan Pan Islamisme tersebut berusaha melakukan pembaharuan di bidang perpolitikan Islam dengan tujuan menyadarkan umat Islam dari bahaya dominasi bangsa asing. Oleh sebab itu perlu diadakan kegiatan-kegiatan :
Agitasi dan propaganda untuk menggerakkan kaum muslimin agar melakukan pergerakan pemikiran dan pergolakan kebangsaan.
Melakukan gerakan anti Eropa mulai tahun 1882 sebagai reaksi masuknya Inggris pada tahun 1880.
Melakukan agitasi dan klarifikasi guna merubah sikap dan pandangan bangsa Eropa yang mengatakan bahwa :
a. Nasionalisme dan Patriotisme bukanlah sebuah gerakan fanatisme dan ekstrimisme
b. Penghargaan dan kemulyaan diri yang sedang diperjuangkan bukanlah sebuah Chauvinisme seperti yang dituduhkan oleh bangsa asing.

4. Bahwa untuk mensosialisasikan dan mengembangkan gagasan pembaharuan politik, maka di-dirikan media “Al Urwat Al Wutsqo” yang didirikan di Perancis pada tahun 1884 bersama murid nya yaitu Muhammad Abduh, yang hanya berumur 8 bulan, tetapi mempunyai dampak yang luar biasa, yaitu :
Berkembangnya semangat menentang bangsa Barat
Adanya usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaah Islam
Adanya semangat untuk mempersatukan umat Islam di dunia (Pan Islamisme).

Demikian pokok-pokok pikir yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al Afghani yang pernah dikembangan pada awal abad ke 19. Prinsip pemikiran tersebut oleh Jamaluddin dikembangkan dengan radikal dan revolusioner. Barangkali hal tersebut disebabkan bahwa gerakan pembaharuan Islam ala Jamaluddin adalah gerakan politik yang tentu menempatkan jargon Anti Dominasi Barat sebagai agenda aksinya.
Beberapa pemikir Islam seperti Dr. Fazlur Rahman memberikan penilaian bahwa gerakan pembaharuan (Modernisasi) Politik Jamaluddin Al Afghani adalah sebuah gerakan kesatuan Dunia Islam (Pan Islamisme) dan Populisme. Gerakan Pan Islamisme adalah gerakan untuk mem-bangkitkan semangat kesatuan dalam Islam yang dipicu oleh bangsa asing. Sedangkan gerakan Populisme adalah gerakan pemberdayaan masyarakat dan rakyat dari ketimpangan dan keter-tindasan struktural.
Lebih dari itu ia mengatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang didukung oleh Rakyat, karena pemerintahan yang didukung oleh konstitusi akan dapat berdiri, berjalan stabil dan dapat bertahan dari intrik-intrik bangsa asing.

MUHAMMAD ABDUH DAN KIPRAHNYA DALAM AGENDA PEMBAHARUAN ISLAM KONTEMPORER.
Ada sosok pembaharu yang sangat kita kenal dan tidak mungkin terlupakan oleh sejarah pembaharuan Islam di Mesir yaitu Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua orang tersebut mempunyai hubungan yang sangat dekat dan erat karena kedua tokoh tersebut adalah Guru dan Murid. Namun demikian tidak berarti terdapat kesamaan visi dan pemberdayaan umat melalui program pembaharuan Islam. Pembaharuan Jamaluddin Al Afghani adalah pembaharuan (modernisasi) politik Islam yang menekankan adanya kebangkitan dan rasa solidaritas keislaman (Pan Islamisme) yang diaplikasikan dengan pendekatan radikal dan revolusioner, karena keadaan pada saat itu menghendaki gerakan revolusioner untuk membangkitkan semangat keislaman dan keagamaan. Sedangkan Muhammad Abduh melakukan program pembaharuan pada segala bidang dengan agenda aksi yang bersifat evolusi dan sentuhan kearah pergerakan pemikiran.
Di samping itu, menurut Dr. A.Hanafi terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara pembaharuan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang terhimpun dalam ge-rakan Wahabi dengan gerakan Pembaharuan Muhammad Abduh. Gerakan Wahabi (Gerakan abad XVIII) adalah gerakan Theologis artinya melakukan upaya purifikasi kepercayaan dan ke-imanan, sehingga terlepas dari noda syirik dan TBC lainnya. Gerakan Wahabi adalah juga gerak-an literalisme dan tekstualisme yang hanya menerima otoritas Al Qur’an dan Al Hadits dan menolak otoritas pemikiran rasional dan logika Filsafat (logika Yunani), namun demikian ia juga memasukkan agenda pendobrakan pintu ijtihad dan melarang segala bentuk taklid dalam diri umat Islam. Dari pokok pemikiran tersebut nampak terjadi inkonsistensi dan inkontruksi dalam berfikir dan bergerak, terutama pengharaman penggunaan rasio dan penggalakan ijtihad.
Sedangkan gerakan Muhammad Abduh adalah gerakan pembaharuan yang Konprehensif. Gerakan pembaharuan yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, aspek hukum, politik, theologi dan pendidikan yang kesemuanya telah hilang dari pangkuan Islam. Di samping itu ia melakukan gerakan rasionalisasi dalam Islam dengan menempatkan pemikiran Filsafat dan Logika Yunani sebagai instrument memahami ajaran Islam.

Muhammad Abduh dilahirkan di Mualat Nasar Mudiriyah Mesir Hilir pada tahun 1849, dan pada umur 10 tahun (th. 1859) ia telah mampu menghafal Al Qur’an. Pada tahun 1866 ia mema-suki pendidikan di Universitas Al Azhar dan di pusat pengkajian Islam ini mulai tampak ke-mampuan intelektual yang sangat luar biasa. Hal tersebut dibuktikan dengan kritik pendidikan yang dikembangkannya, ia melihat bahwa system pendidikan di Universitas Al Azhar sangat kuno dan lamban untuk dapat mengikuti perkembangan zaman serta sangat terikat dengan aturan-aturan tradisional, untuk itu perlu diganti dengan metode modern yang ternyata lebih efektif (Pelajaran 2 tahun dapat diselesaikan dalam waktu 1 hari).

Pada saat menjadi rektor Universitas Al Azhar tahun 1901, ia melakukan reformulasi system pendidikan di lembaga kajian kebanggaan Islam tersebut. Ia mengatakan bahwa pendidikan harus memperhatikan relevansi dan signifikansinya terhadap kehidupan manusia. Ada dua dasar pertimbangan diberlakukannya pokok kajian keilmuan, yaitu :
1. Relevensi ilmu dengan alokasi waktu yang dibutuhkan
2. Relevansi ilmu dengan kebutuhan hidup manusia (Human Needs).

Dengan demikian suatu ilmu itu tidak perlu diajarkan dan sekaligus dipelajari kalau secara prinsip tidak mempunyai relevansi dengan kebutuhan hidup manusia dan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Pembaharuan aspek sistem pendidikan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap berkembangnya kualitas umat Islam dan kalau itu terjadi akan men-dorong lahirnya gerakan baru yaitu gerakan kesadaran kemanusiaan.
Di samping pemikiran-pemikiran tersebut, juga terdapat program pembaharuan lain yang ternyata juga sangat penting, karena menyangkut jiwa dan api Islam dalam diri umat. Pemba-haruan bidang theologi adalah purifikasi ajaran Islam untuk memperoleh semangat keislaman, yang dilakukan dengan jalan :
1. Memerangi sikap hidup yang fatalisme dan taklid
2. Melakukan liberalisme dalam pemikiran dan pemahaman keislaman, terutama dalam memahami hukum-hukum Islam tetapi masih dalam kerangka menjaga kesucian dan ke-benaran wahyu itu sendiri.
3. Melakukan upaya pembangunan kembali (Reformulasi) teks hukum Islam klasik agar lebih sistematis dan rasional sehingga dapat memberi manfaat bagi kehidupan.
Dalam konteks seperti itu, maka sosok Muhammad Abduh adalah seorang rasionalis dan me-nekankan pemikiran filsafat sebagai landasan dalam berfikir keislaman. Bagaimanapun sangat kurang representatif jika kita menilai Muhammad Abduh hanya dengan mengkaji pemikiran-pemikiran tersebut di atas, untuk itu diperlukan perluasan pemikiran lain, yang kemudian dapat kita pakai sebagai parameter untuk membandingkan antara pola pembaharuan Muhammad Bin Abdul Wahab dengan Jamaluddin Al Afghani dan dengan Muhammad Abduh itu sendiri. Berikut ini adalah pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh :
1. Logika (Cara berfikir Rasional)
Mengakui adanya kebenaran Logika (hasil pemikiran manusia)
Bahwa pengakuan kebenaran logika yang membawa pada pengkajian filsafat harus ke-pada teks aslinya dan bukan kepada teks komentar yang dihasilkan.
Kepercayaan dan keimanan dapat diperkokoh dan dipertebal dan bukannya diperlemah keadaannya dengan memberikan bukti-bukti rasional.
Logika atau pemikiran rasional kritis bukanlah sebuah “Academic Exircise” tetapi meru-pakan instrument positif untuk membentuk pemikiran yang konstruktif.
Logika adalah kunci terbukanya pintu ijtihad
Islam rasional adalah bentuk pemahaman terhadap ajaran Islam yang membebaskan diri dari ketergantungan, karena kehadliran Islam adalah pembebasan dari ketergantungan terhadap pendeta dan perantara lain dan langsung berhadapan dengan Allah.

2. Etika atau moralitas manusia.
Bahwa perbedaan buruk dan baik adalah suatu yang natural atau alami, sehingga dapat diketahui oleh akal tampa bimbingan wahyu artinya tampa harus ada dan menanti turunnya Wahyu.
Bahwa Islam harus mengakui natural morality (moralitas atau kebenaran alami) yang seharusnya tidak ada perbedaan dengan Religiositas Morality (kebenaran berdasarkan agama) artinya bahwa sesuatu yang dianggap benar oleh natural morality seharusnya juga benar apabila dihadapkan pada Religiositas Morality. Hal tersebut disebabkan adanya satu anggapan bahwa kebenaran atau kebathilan merupakan sesuatu yang otonom dalam prinsip moralitas. Pemikiran tersebut juga dikembangkan oleh Mu’tazilah, Al Farabi dan Ibnu Rusyd.

3. Konsep Sosiol (nilai kemasyarakatan)
Bahwa masyarakat tumbuh dan berkembang secara evolusi atau mengikuti hukum alam, sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Khuldum dalam buku Mukaddimahnya. Sebagaimana buku Risalah At Tauhid karya Muhammad Abduh. Bahkan dalam konsep kemasyarakatan, Muhammad Abduh selalu menampilkan hasil pemikiran umat Islam, dengan demikian ia bermaksud untuk mengangkat kembali kebudayaan Islam ditengah-tengah pergulatan pemikiran dan kebudayaan dunia.
Masyarakat atau manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan integrasi sosial baik secara fisik, intelektual dan moral , untuk amat sangat sulit jika manusia hidup dalam kesendirian dan tidak integrated. Manusia membutuhkan solidaritas dan kesatuan dalam hidup, lebih dari itu maka pendidikan masyarakat harus diarahkan kepada hal yang bersifat Altruistik.


Pemikiran pembaharuan tersebut dilakukan dalam rangka membangkitkan kembali dunia Islam agar ia dapat berkembang dalam aktualisasi dunia yang sangat cepat dan aplikatif tersebut. Secara khusus bahwa program pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai 3 tujuan utama, yaitu :
1. Membebaskan akal manusia dari rutinitas yang membosankan
2. Membebaskan manusia Islam dari budaya imitasi (meniru) yang cenderung mencerabut rasa kebanggaan diri dan kemampuan aktualisasi diri.
3. Membebaskan manusia muslim dari kemandegan berfikir (Stagnasi Intelektual).


Demikian pola pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh, yang nampaknya sangat berbeda jargon, program dan metodenya dengan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Perbedaan tersebut bukan saja kepada dua sosok pembaharu tersebut, melainkan mengarah kepada kesimpulan bahwa ada perbedaan visi pembaharuan pada abad ke 18 dan ke 19 sebagaimana yang dikemukakan diatas
Demikian mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan kajian keislaman dan pembaharuan Islam itu sendiri.



BUKU REFERENSI
1. Dr. Falzlur Rahman : Islam.
2. Loph Stodart : Dunia Baru Islam
3. Dr. Muhammad Heykal : Sejarah Islam
4. Drs. Imam Munawir : Pembaharuan Islam dari masa ke masa

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates