Selasa, 11 Mei 2010
PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA
Editor : Drs. Ihsan
A. KEADAAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.
Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak umat Islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai kebutuhan hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, apabila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya untuk melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan salah satu contoh dari opersionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut. red more
.
Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan modern. Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan sebagai berikut:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai tanda kerasulannya sampai wafat.
2. Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli
3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya.
4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke dunia Barat.
5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon pada akhir abad ke-18 M. sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan modern dari dunia Barat ke dunia Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah pendidikan Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase yang dilaluinya. Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi;
1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
2. Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi
3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
6. Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 – 1965)
7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)
B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA
Sampai hari ini pendidikan tetap dianggap pemerintah sebagai problem solving bagi perbaikan kondisi bangsa yang telah rapuh. Pendidikan tetap di prioritaskan untuk dilestarikan karena merupakan aset mahal bagi suatu negeri. Namun tidak semua pendidikan dapat dijadikan problem solving, hanya pendidikan yang memiliki kualitas atau bermutu terjamin yang dapat menjadi obat atau problem solving bagi perbaikan kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis.
Sebagai sebuah problem solving sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk mengelola pendidikan dengan profesional dan efektif bagi terlaksananya pendidikan yang bermutu. Pemerintah sebagai sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam mengatur, me-manage dan membuat kebijakan tentang pendidikan seharusnya melakukan tugas terebut dengan baik dan profesional.
Dalam menempuh perjalannya, pemerintah (dalam hal ini departemen pendidikan nasional dan departemen agama-ed.) sebagai pengelola kebijakan pemerintah dalam bidang kependidikan masih di rasa kurang mampu dalam merespon dan menjawab tantangan perkembangan bangsa. Sehingga sering kali terkesan pemerintah kurang cakap dalam meelakuan pengelolaan di bidang pendidikan yang sebenarnya menjadi tumpuan bagi pemecahan problem bangsa.
Persoalan pemenuhan kebutuhan pendidikan yang bermutu hingga hari di rasa cenderung tidak terpenuhi, indikasi ini terlihat dari semakin menurunnya indeks prestasi sumber daya manusia yang surveinya dilakukan oleh UNDP (United Nations Development Program) sebuah badan di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations). Indonesia dalam laporan tahun 2002 tersebut berada pada peringkat 110 atau satu tingkat lebih rendah dari prestasi negara tetangga yaitu Vietnam yang baru menglami perang saudara tahun 1960-an.
Namun pemerintah tidak pernah akan menyerah terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan pendidikan bermutu bagi masyarakatnya. Semangat inilah yang akhirnya menyulut para pendidikan untuk ikut berperan aktif dalam mewujudkan cita-cita para founding father bangsa ini sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam upaya perbaikan mutu pendidikan pemerintah selama sekian dekade telah melakukan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada perbaikan mutu walaupun belum terlaksana. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah banyak sekali terkandung kelebihan dan kekurangan. Tetapi selain pemeritah pakar-pakar pendidikan juga tetap berupaya memberikan masukan bagi pengambilan kebijakan yang mampu mengangkat mutu pendidikan.
Carut-marut dari semakin hancurnya kondisi bangsa indonesia dapat di lihat ketika anti klimaks proses pembangunan bangsa yang di prakarsai oleh mantan presiden Soeharto, terjadi pada masa reformasi. Reformasi di akibatkan oleh krisis yang dialami bangsa menjadi sangat parah tidak hanya pada sector ekonomi krisis juga merambah pada sector yang lain yaitu pendidikan, politik kesehatan bahkan keamanan. Dengan reformasi diharapkan kondisi bangsa yang sedang ditimpa krisis multidimensi dapat teratasi.
Sebagai stakeholders pada dunia pendidikan mahasiswa diharapkan dapat berperan lebih baik dalam mengawal proses reformasi pada dunia pendidikan. Namun keterpurukan pada sector pendidikan harusnya dapat di respon lebih baik oleh pemerintah yang memiliki otoritas penuh dalam mengambil kebijakan. Hari ini pemerintah yang dipimpim oleh duet SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla) masih belum memberi perhatian yang lebih kepada sector pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama.
Dalam banyak diskursus pemikiran pendidikan agama Islam di sebutkan bahwa pendidikan agama islam yang sedang dilaksanakan dalam banyak lembaga pendidikan formal belum sesuai dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang system pendidikan nasional (UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003). Hal inilah yang sering di klaim banyak pihak menjadi akar masalah degradasi moral yang sedang terjadi pada bumi pendidikan Indonesia.
Pada dasarnya masalah-masalah yang sedang terjadi pada lembaga pemerintahan yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan adalah masalah yang menjadi akar turunan dari segala macam masalah yang telah terjadi pada dunia pendidikan agama islam Indonesia. Jadi dapat di simpulkan bahwa sebenarnya masalah tersebut muncul dari lembaga pegelola pendidikan yaitu departemen agama dan departemen pendidikan nasional.
Kapita selekta pendidikan Agama Islam di Indonesia secara garis besar dapat di dikotomikan menjadi dua hal yaitu :
1. Politik pendidikan dalam SISDIKNAS
a. Budgeting dalam pendidikan nasional - Permasalah mengenai budgeting adlah masalah yang cukup pelik dan dilematis untuk dicari problem solving-nya. UUD’45 mengamanatkan pada pasal 31 ayat 2 disebutkan minimal pembiayaan pendidikan nasional 20% dari total APBN. Namun pada prakteknya tidak lebih dari 3,49% saja dari total APBN yang di alokasikan untuk pembiayaan pendidikan nasional. Inilah masalah utama yang menjadi rintangan dalam pelaksanaan pendidikan yang maju, adil dan merata.
b. Dikotomi lembaga pendidikan nasional - Banyak pakar pendidikan menilai bahwa dikotomi lembaga pengelola pendidikan yang terbagi dalam Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menjadi awal permasalahan pendidikan yang ada dalam penyamapaian materi pendidikan keagamaan. Hal inilah yang menghambat proses internalisasi pemahaman nilai-nilai keagamaan yang termaktub dalam pendidikan agama.
c. Sarana dan prasarana - Sarpras pendidikan yang belum mendukung mengakibatkan banyaknya hamabatan yang terjadi pada proses penyampaian, pemahaman dan peyerapan nilai-nilai moral keagamaan.
2. Akademik
a. Human resources - Pelaksana pendidikaan agama yang merupakan ujung tombak penyampaian nilai-nilai keagamaan menjadi factor paling penting. Namun hal ini masih belum disadari sebagai yang krusial sehingga cenderung asal-asalan dalam mencari pendidik materi keagamaan. kKondisi ini di perparah dengan kurang propfesionalnya oknum pendidikan dalam membekali diri sebagai pendidik. Kondisi ini terlihat dari cara penyampaian materi, penguasaan metodologi sangat jelas terlihat dalam praktek pengajaran d kelas dan di luar kelas.
b. Kurikulum - Pertentangan mengenai kurikulum pendidikan agama mulai terlihat ketika Depag dengan Diknas ribut mengenai pemberian jam pelajaran pada lembaga yang berada dibawah naungan kedua lembaga tersebut. Depag mengklaim bhwa pendidikan agama adalah wilayah eksklusiv milik nya akan tetapi Diknas juga memberi apologi bahwa kurikulum dirancang oleh diknas sehingga ini menjadi lahan garapan diknas. Lebih jauh pada dasarnya kurikulum yang dirancang pada lembaga sekolah lebih pada aspek kognitif belum kepada aspek afektif dan psikomotor.
c. Evaluasi - Mengenai permasalahan evaluasi, pendidikan agama belum dapat menjadi instrument utama dalam penetuan kelulusan setiap jenjang pendidikan. Inilah yang menurut pesreta didik dianggap bahwa pendidikan Agama tidak menjadi aspek pelajaran yang penting, sehingga cenderung di remehkan.
Dalam perspektif yang lain, Dr. Ainurrfiq Dawam, MA menyoroti perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, yang sampai saat ini masih menduduki rangking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya. Penulis mensenyalir hal ini salah satunya diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sector ekonomi. Fenoemena ini pada gilirannya telah menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan.
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.
Namun realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga.
Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan “asal-asalan” atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan tersebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah. Secara operasional trilogi sistem penidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.
Sebelum masuknya penjajah Belanda triilogi sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian masyarakat pribumi yang masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang diperoleh di dayah, surau, dan pesantren ada juga yang sudah mulai terbuai dengan bujuk rayu para penjajah jahat tersebut.
Sebagian manusia pribumi yang menerima bujukan dan rayuan penjajah di atas adalah manusia pribumi yang telah lupa dan memang secara sadar melupakan ajaran yang mereka peroleh di tempat pendidikannya. Mereka juga terbius dengan iming-iming kekayaan dari para penjajah yang sangat licik. Kelicikan dan kejahatan para penjajah memang tidak pernah diungkap oleh para sejarawan. Kelicikan dan kejahatan penjajah sudah tidak bias diterima manusia normal. Bujukan dan rayuan yang manis dari para penjajah diarahkan kepada manusia pribumi yang kelihatan secara moral, kepribadian, praktik keagamaan masih lemah dan rendah. Moralitas yang rendah, kepribadian yang lemah dan tingkat ketaatan keagamaan minim merupakan sasaran empuk bagi para penjajah.
Trilogi sistem pendidikan Islam di atas mulai tergerus bahkan memang sengaja dibatasi serta dimatikan oleh penjajah. Para penjajah memandang bahwa trilogi sistem pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi hanyalah lembaga agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan asumsi yang demikian, maka menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk mengkerdilkan atau bahkan mematikannya. Di saat yang bersamaan penjajah mendirikan sistem pendidikan alam negara penjajah. Di sini telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yaikni ada ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama dipahami sebagai ilmu-ilmu yang diberikan secara tradisional oleh trilogi sistem pendidikan Islan sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan oleh lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara kaum penjajah dan penduduk asli, maka sebagian besar manusia Indonesia mulai mengalami perubahan dalam kehidupannya.
Mulai saat ini pulalah manusia Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dalam aspek ideologi, ekonomi, politik, maupun moralitas. Dalam aspek ideologi manusia pribumi mulai ada yang bergeser dari ideologi spiritualisme-religius ke ideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi materialisme-kapitalisme adalah ideologi yang lebih mementingkan kekayaan materi dan kekayaan tersebut digunakan untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan cara memeras dan menyiksa para fakir miskin adalah sebuah perilaku para pengkiut ideilogi ini. Dalam aspek ekonomi juga mulai bergeser dari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya mengarah ke orientasi untuk menguasi seluruh kekayaan yang ada, sehingga kekayaan tesrebut hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini memang merupoakan konskuensi logis dari pergeseran ideologi di atas. Karena secara teoritis dan praktis antara ideologi dan perilaku ekonomi akan memiliki kesejajaran dan kesinambungan. Dalam aspek politik kehidupan masyarakat bergeser dari sekedar menjadikannya sebagai sarana untuk menmgembangkan ajaran dan moralitas masyarakat bergeser menjadi sebagai sarana untuk menguasai masyarakat baik secara cultural maupun truktural. Inilah yang belakangan menyebabkan munculnya kekayaan structural dan kemiskinan structural. Yaitu kondisi dan keberlangsungan kehidupan masyarakat dimana yang kaya semakin kayak arena menguasai seluruh akses kekayaan, sedangkan yang miskin semakin miskin karena memang telah direbut seluruh aksesnya oleh orang yang kaya.
Dalam aspek moralitas pergeseran terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Ketika penjajah yang berkuasa di Indonesia, maka konsepsi tentang moral harus mengikuti konstruksi masyarakat penajajah. Sedangkan sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ideologi para penjajah adalah materialisme-kapitalis, maka sesuatu atau seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta l;ebih dari orang tuanya. Demikianlah pergesaran yang terjadi sebagai akibat terjadinya penjajahan di Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang --yang merupakan Saudara Tua (karena sama-sama di benu Asia dengan Indonesia)—pendidikan tradisional mulai mendapatkan angin kemajuan. Namun, semua itu tidak ada artinya karena memang penjajahan Belanda sebagai salah satu bangsa Barat atau lebih dikenal dengan bangsa Barat telah menancapkan ideologi, politk, ekonomi, budaya, dan moralitas kepada masyarakat pribumi, maka angina segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit untuk kemabli lagi ke posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa Barat.
Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang berkiblat pada sistem pendidikan Barat secara praktis dan teoritis berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan nasional. Kedua sistem pendidikan ini merupakan sebuah hasil kompromi para funding father negeri ini.
Kompromi yang diambil para funding father negeri ini adalah bahwa pengabaian sistem pendidikan Islam tradisional akan sangat menyakitkan umat Islam. Mengingat jasa dan pengorbanan para ulama dan santri dari trilogi sistem pendidikan Islam tersebut di atas. Pertimbangan lainnya adalah agar umat Islam memiliki lembaga pendidkkan khusus, sehingga mayoritas penduduk Indonesia tidak mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah. Oleh karena itu, pada masa kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen Agama yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.
Dalam masalah pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini terbukti dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda. Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan nasional mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang berada di bawah payung Departemen Agama “terseok-seok” dalam mengikuti perkembangan zaman.
Sampai pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pemisahan sistem dan pengelolaan pendidikan nasional dan pendidikan Islam masih dipertahankan. Artinya adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan saudara mudanya, pendidikan nasional. Walaupun secara substansial kedua sistem pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia sendiri juga mengalami nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan negara-negara maju.
C. LAIN-LAIN
P endidikan merupakan satu-satunya alternative untuk mencapai sesuatu ini kata pepatah/falsafahnya di agama manapun inipun sudah lumrah di Islam juga ada firman yarfaillahul ladhinah amanu mingkum utulilma darojah setelah memperhatikan dan memperhitungkan semu factor yang telah di kembangkan oleh pemerintah baik melalui jalur ortodok /otoriter mulai dari sifat, keuntungan serta aspek aspek ilmiyahnya suatu pendidikan baik bernuansa agama atau non agama maka prinsip prinsip dasar suatu pendidikan agama menjadi lebih mudah untuk ditegakkan pada fitrahya prinsip-prinsip pendidikan agama :
1. Pendidikan agama harus berbentuk suatu pendidikan yang menyeluruh ,dimana bila dipandang sudut ilmiyah duniawi akan meliputi pendidikan awal sampai ketingkat pendidikan puncak [dasar ,sarjana ] sedang dipandang dari sudut agamawan maka akan meliputi pendidikan untuk bias membaca alkitab dan mengenal tuhan sampai kearah pendidikan pribadi yang bragama oriented
2. Proporsi program pendidikan [kurikulum ] pendidikan agama apkah itu sekolah /universitas universitas ataupun itu pondok- pondok pesantren harus cukup seimbang antara pendidikan ilmiah duniawi dan pendidikan agamani secara secara obyektif biasa di tetapkan bahwa baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan sarjana nya proporsi pendidikan mengenai ilmu duniawi dengan ilmu agama seharusnya 50 % 50% .
3. Metode pemberian materi pendidikan di dalam pendidikan agama untuk masalah ilmu duniawi harus mengikuti perkembangan terakhir dunia ilmu pengetahuan terutama yang telah diterapkan kepada sekolah- sekolah selama tidak bertentangan dengan ajaran agama sedang untuk masalah pembentukan pribadi yang agamani oreiented, yakni pendidikan agama nya harus dirubah menjadi metode yang lebih mengarah pada ruang lingkup masarakat psychomotor , mengimbangi gaya tarik oleh kebudayaan non agama yang setiap hari mampengaruhi para siswa atau mahasiswa diluar lingkungan sekolah atau linkungan fakultasnya . pelaksanaan praktis ajaran agama seperti ibadah berdoa bersama , sopan santun guru terhadap murid maupun sebaliknya di lingkungan sekolah dan semua kegiatan-kegiatan kurikuler saat seperti itu di hentikan , turun kelapangan /masarakat untuk melakukan secara barsama sama kegiatan agama yang hakiki secara periodik serta terus menerus berlatih mengenal arti persaudaraan dalam kehidupan sekolah sehari-hari seperti misalnya beramai ramai menjenguk teman sekolah yang kena musibah [sakit] yang kesulitan uang, pelajaran, tolong-menolong membersihkan lingkungan sekolah, pemberian hukuman berat bagi perkelahian atau pertengkaran sesama murid dan lain lain akan menumbuhkan suatu pribadi yang nantinya diharapkan menjadi lebih insan sejati [manusia fitrah] yakni pribadi yang didalam segala tindak tanduk sehari-hari selalu beorientasi kepada ajaran agama serta mereka tidak segan segan serta kuat motifasinya untuk berjuang mengembangkan kebenaran.
4. lingkungan sekolah harus menggambarkan lingkungan masyarakat agamis yang sesungguhnya yang berarti tidak hanya di tandai oleh adanya greja greja dan mesjid mesjid saja disana namun harus pula meliputi keseluruhan aspek kehidupan lainya seperti pakaiyan siswa dan gurunya ,pergaulan antara para murit dan gurunya serta antara murid dan guru , cara cara mengadakan rapat , diskusi pembelajaran di kelas harus penuh dengan nfas agamis tepat waktu ,mentaati janji serta cara mengemukakan pendapat ,menyanggah pendapat ,dan kedisiplinan sifat ketaatan kapada pimpinan dasar musawaroh dan semacamnya juga kebersihan lingkungan sekolah harus pula terjaga [lingkungan bersih ].
Berdasar kepada prinsip prinsip tersebut di atas maka di bawah ini adalah suatu bentuk penilaiyan terhadap suatu sekolah penilaiyan ini sebenarnya patut memperoleh perhatian yang besar dari kalangan pemimpin pemimpin agama pada pokok keempat dari tulisan ini dengan pertimbangan pertimbangan seperti di ataslah maka seyogyanya penilaian suatu produk sekolah agama adalah sebagai berikut :
1. Tingkatan Dasar
a. Lama pendidikan enam tahun atau lebih-Lulusan pendidikan ini ditarjejkan untuk mempunyai kwalifikasi
b. Bisa diterima di sekolah pertama ukuran ilmiyah duniawi
c. Di tinjau dari iilmiyah agamis – bisa membaca kitab Tuhan, kitab Injil, kitab Zabur, kitab Taurot ,kitab Al-Qur’an serta mengetahui dasar-dasar keimanan.
2. Tingkatan Menengah
Lama pendidikan enam atau lebih bias saja dibagi menjadi 2 tahap, menengah pertama dan tahap menengah keatas
a. Lulusan pendidikan ini ditargetkan untuk mempunyai kwalifikasi
b. Bisa diterima di perguruan tinggi sesuai dengan jurusanya
c. Bisa diterima di perguruan tinggi ukuran ilmiyah duniawi maupun ukuran ilmiyah agamis
d. Mempunyai dasar dasar bahasa [bahasa Inggris ,bahasa Arab, bahasa Mandarin, bahasa Indonisia
e. Misa memahami hukum hukum agama yang murni
3. Tingkatann Perguruan Tinggi
a. Lama pendidikan enam tahun atau lebih lulusan pendidikan ini di targetkan
b. Untuk mempunyai kwalifikasi sebagai berikut ;
c. Menjadi sarjana yang sukses (ukuran ilmu duniawi)
d. Menjadi pribadi yang agamis oriented
e. Mengetahui tentang nilai serta prinsip prinsip agama
Label: Dasar-Dasar Pend. STAIM