Selasa, 11 Mei 2010
ALIRAN QODARIYAH-MU'TAZILAH
(Sebuah Pemikiran antithesis terhadap fatalisme-predestination Jaham Bin Sofwan)
I. SEJARAH PERKEMBANGAN THEOLOGI ISLAM
Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, Gubernur Syam, pada waktu Perang Siffin Di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (Pembelot atau Pemberontak). Kaum Khawarij memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, hanya berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka saja.
Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali, maka kelompok kedua yang muncul kepermukaan yaitu Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka adalah pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali-lah yang berhak menyandang gelar khalifah setelah Nabi Muhammad SAW. bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua ini bahkan dikafirkan oleh Syi’ah.
Selanjutnya muncul pula Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat) tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun kedua (masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah muncul Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan, penganut faham Jabariyah. Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri khas ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin Shafwan. Setelahnya, ada As’ariyah dan Maturidiah.
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa yang zalim.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.
II. SEJARAH PERKEMBANGAN THEOLOGI QODARIYAH-MU'TAZILAH
A. Asal Usul Nama Mu'tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
1. Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).”
2. Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
3. Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
4. Sementara Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Adapun tokoh-tokoh aliran Mu’taziliyah yang terkenal di antaranya adalah :
1. Washil bin Atha’, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
2. 'Amru bin ‘Ubaid, sahabat Washil bin Atha’
3. Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.
4. An-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
5. Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).
B. Perkembangan Theologi Mu'tazilah
Aliran Mu’tazilah ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, antara tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan Khalifa Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Awalnya nama Mu’tazzilah sendiri diberikan oleh orang luar Mu’tazilah, yakni atas dasar ucapan Hasan Al-Bashry setelah melihat Washil bin Atha’ memisahkan diri dari halaqoh yang diselenggarakan olehnya. Hasan Al-Bashry diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut: “I’tazala anna” (dia mengasingkan diri dari kami). Akhirnya orang-orang yang mengasingkan diri itu disebut “Mu’tazilah”, yang dapat diartikan sebagai orang yang mengasingkan diri dari majelis kuliah Hasan Al-Bashry.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
1. Golongan pertama disebut Mu’tazilah I; muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
2. Golongan kedua disebut Mu’tazilah II muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Dalam konstek yang lain, firqoh Mu’tazilah (muncul di tengah umat Islam pada permulaan abad ke 2 waktu antara 105-110 H di kota Basrah Irak) menempuh manhaj dan jalan yang dibangun diatas akal yang menyimpang dalam membahas masalah-maslah aqidah Islam. Mereka adalah pengikut Washil bin Atha’ Al Ghazal yang diusir dari majelis Imam Hasan Al Basri -rahimahullah- karena pernyataannya bahwa pelaku dosa besar berada pada posisi diantara dua kedudukan (manzilah baina manzilatain). lalu dia memisahkan diri (setelah diusir) di salah satu sudut masjid Bashrah, diikuti oleh orang yang setuju/sependapat dengan pemikirannya. Maka disebutlah mereka sebagai Mu’tazilah karena memisahkan diri (I’tazala) dari majelis Imam Hasan Al Basri -rahimahullah- , bahkan dari seluruh umat Islam. Dan dinamakan demikian juga karena pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar telah memisahkan (I’tizala) dari kelompok orang-orang mukmin dan orang-orang kafir (tidak mukmin, tidak pula kafir, namun diantara keduanya).
Kemudian pernyataan tentang pelaku dosa besar itu berkembang dengan masuknya pemikiran-pemikiran lain sehingga terkumpul menjadi prinsip-prinsip mu’tazilah. Seiring dengan kemunculan tokoh-tokoh mereka dari masa ke masa sambil mengusung pemikiran masing-masing, maka jadilah kelompok mu’tazilah ini mengakar di tubuh Umat Islam, dengan berbagai pemikiran yang mereka ‘comot’ dari kelompok-kelompok menyimpang lainnya , diantaranya :
1. Masalah Taqdir - Pemikiran mereka : manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri, terlepas ( tidak ada kaitannya ) dengan ketetapan/taqdir Allah Azza wa Jalla . Pemahaman ini mereka ambil dari Firqoh Qodariyah, sehingga dikenallah mu’ tazilah sebagai kelompok/firqoh Qodariyah dalam masalah pengingkaran terhadap taqdir Allah Azza wa Jalla .
2. Masalah Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla - Pemikiran mereka : Menolak terhadap sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Pemahaman ini mereka comot/ambil dari pemikiran firqoh Jahmiyah (pengikut Jahm bin Shafwan), sehingga daalam masalah asma dan sifat Allah Azza wa Jalla Mu’tazilah sependapat dengan pemikiran Jahmiyyah, juga mereka mengingkari bahwa setiap muslim kelak akan melihat Rabb-nya di akhirat dengan mata mereka.
3. Masalah terhadap pemerintahan dan masalah kepemimpinan - Pemikiran mereka : Amar ma’ruf terhadap pemerintah yang mereka maksud yaitu wajib memberontak kepada pemerintah muslim yang dzalim terhadap rakyatnya), pemikiran ini mereka ambil dari aqidah Khawarij. Pemikiran mereka dalam masalah imamah/ kepemimpinan : Wajib adanya imam atau khilafah pada setiap masa pemikiran ini meraka ambil dari firqoh syi’ah.
Gaya berfikir Mu'tazilah mengalami puncaknya pada masa Al Mansur, namun demikiran perkembangannya tidak lepas dari kondisi umum umat Islam. Muncul dan berkembangnya pemikiran Mu’tazilah didukung oleh banyak faktor, diantaranya :
1. Adanya beberapa fenomena seputar aqidah di tengah kaum muslimin, sehingga memberikan peluang munculnya kelompok ini. hal tersebut muncul akibat mereka mengandalkan pendapat akal daripada Al Qur’an dan Sunnah Shahih dalam mencari solusi bagi fenomena yang ada, sebagaimana dilakukan kelompok sesat lainya.
2. Pembelaan sebagian bani Abbas terhadap mereka, khusunya Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
3. Masuknya pemikiran filsafat Yunani kedalam Islam
4. Pengaruh dari agama lainnya (Yahudi, Nashoro bahkan dari kaum musyrikin).
5. Akibat pendalaman mereka terhadap filsafat, kelompok ini dikenal dengan suka mendebat ketika berhadapan dengan kelompok sesat lainnya seperti rafisdhah, Zanadiqoh dan lainnya. Pada asalnya mereka adalah satu, namun kemudian dalam perkembangannya firqoh ini berpecah menjadi 22 sekte, yang masing-masing bersepakat dalam sebagian pemikiran dan berbeda dalam sebagian lainnya, namun intinya sama yakni mendahulukan akal daripada Al Qur’an dan Sunnah Ash Shahihah
III. POKOK PEMIKIRAN QODARIYAH-MU'TAZILAH
A. Latar Belakang Pemikiran Mu'tazilah
Berbicara tentang Mu’tazilah sebenarnya tidak terlepas dari aliran-aliran yang ada sebelumnya, terutama yang menyangkut permasalahan yang dimunculkan kaum Khawarij terhadap suatu masalah “Orang Yang Melakukan Dosa Besar” yang terkenal dalam istilah Mutakallimin dengan sebutan “Khalqu Af’alil ‘ibad”. Dalam hal ini kaum Azariqah dari golongan Khawarij berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar itu adalah kafir, yaitu kafir terhadap agama, yang berarti keluar dari Agama Islam, dan kekal dalam neraka. Dan dalam pembahasan ini, muncullah beberapa macam pendapat berbeda yang akhirnya membentuk aliran Murji’ah, Jabariyah, dan Mu’tazilah sendiri.
Menurut golongan Murjiah bahwa iman adalah pengakuan tentang kemaha Esaan Allah dan kerasulan Muhammad, yaitu pengakuan hati. Barangsiapa mengakui hal itu berdasarkan kepercayaan, maka dia adalah Mu’min; apakah ia menunaikan kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah ia menjauhi dosa-dosa besar atau ia melakukannya. Sesuai namanya Murji’ah yang berarti “memberikan harapan untuk mendapatkan kemaafan”, maka berdasarkan itu pula mereka meyakini bahwa perbuatan maksiat itu tidak merusak iman, sebagaimana ketaatan yang tidak bermanfaat jika disertai oleh kekafiran. Sehingga jika seorang muslim yang melakukan dosa besar maka ia masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di akhirat nanti.
Sementara golongan Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia (yang baik maupun tercela) pada hakekatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan hanyalah termasuk ciptaan Tuhan, yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demikian maka manusia itu tiadalah mempunyai perbuatan, dan tidak pula mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu, orang mukmin tidak akan menjadi kafir lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab ia melakukannya semata-mata karena terpaksa. Untuk aliran Murji’ah, Jabariyah maupun Khawarij telah dibahas secara terperinci oleh para pemakalah sebelumnya.
Adapun golongan Mu’tazilah, dalam hal ini berpendapat bahwa manusia adalah berwenang untuk melakukan segala perbuatannya sendiri. Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, dan sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu, Mu’tazilah berdalil kepada ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain ialah :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
Artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya” [QS. Al-Mudattsir: 38]
َمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “Maka siapa yang hendak beriman, berimanlah, dan siapa yang hendal kafir, kafirlah!” [QS. Al-Kahfi: 39]
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُوْرًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus), adakalanya dia bersyukur dan adakalanya mengingkari.” [QS. Ad-Dahr: 3]
إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةً فَمَنْ شَآءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلاً
Artinya: “Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.” [QS. Al-Muzammil: 19]
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
ِArtinya: “Barangsiapa berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya, dan siapa berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah Tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-Nya”. [QS. Fushshilat: 46]
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى، وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى. ثُمَّ يُجْزَاهُ اْلجَزَآءَ اْلأَوْفَى
Artinya: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bahwasanya usahanya itu akan diperlihatkan. Kemudian ia akan diberi balasan yang paling sempurna”. [QS. An-Najmu: 39-41]
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ
ِArtinya: “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri”. [QS. An-Nisa’: 111]
Selain itu, bagi aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa kedudukan bagi orang yang berbuat dosa besar, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, melainkan dia akan ditempatkan di suatu tempat yang terletak di antara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain), ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi menjadi fasiq (lihat: Subhi, 1982, Fi ‘Ilm al-Kalam, Iskandariyyah: Tsaqafah al-Jami’ah, hal.67). Dalam doktrin al-manzilah bain al-manzilatain ini, kelompok Mu’tazilah memandang bahwa tokoh-tokoh yang terlibat perselisihan dan pertentangan pada masa pemerintahan ‘Ali adalah sahabat-sahabat Nabi yang shaleh. Namun mereka terpecah, dan kedua-duanya tidaklah benar. Salah satu pihak pasti ada yang berbuat dosa, tapi kita tidak mengetahui yang mana. Karena itu, urusan mereka diserahkan saja kepada Allah. Namun demikian mereka tidak dapat dianggap sebagai mukmin dalam arti yang sebenarnya.
Menurut As-Syahristani dalam Al Milalu Wan Nihal, bahwa bagi Mu’tazilah, iman itu adalah ungkapan bagi sifat-sifat yang baik, yang apabila sifat-sifat tersebut terkumpul pada diri seseorang maka ia disebut mukmin. Dengan demikian, kata mukmin tersebut merupakan suatu nama pujian. Dan orang yang melakukan dosa besar, sedang pada dirinya tidak terkumpul sifat-sifat yang baik itu, maka ia tidaklah berhak untuk mendapatkan nama pujian itu. Dengan demikian ia tak dapat disebut mukmin. Akan tetapi ia bukan pula kafir secara mutlak, karena syahadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang ada padanya tidaklah dapat dimungkiri. Tetapi apabila ia keluar dari dunia ini dalam keadaan berdosa besar dan tidak bertobat kepada Allah, maka dia adalah penduduk neraka untuk selama-lamanya, sebab di akhirat kelak hanya ada dua macam golongan saja, satu golongan di dalam syurga dan yang lain di neraka; hanya saja azab yang dikenakan kepadanya lebih ringan daripada azab yang dikenakan kepada orang-orang kafir.
B. DOKTRIN MU'TAZILAH (AL USHUL AL KHOMSAH – LIMA LANDASAN)
1. Tauhid
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utuma. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah, tapi Mu’tazilah mengartikan tauhid lebih spesifik, yaitu Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeasaan Allah. Tuhanlah satu-satunya Yang Maha Esa tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Menurut Mu’tazilah sifat adalah sesuatu yang melekat. Jadi sifat basar, sama’, qodrat dan seterusnya itu bukan sifat melainkan dzatnya Allah itu sendiri. Bahkan Mu’tazilah juga berpendapat bahwa Al-Qur‘an itu baru (makhluk) karena Al-Quran adalah manifestasi kalam Allah, sedangkan Al-Qur’an itu sendiri terdiri dari rangkaian huruf-huruf, kata, dan bahasa yang salah satunya mendahului yang lain.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh Mu’tazilah menggelari mereka dengan “Mu’atthilah”, sebab mereka telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Sedangkan kaum Mu’tazilah sendiri menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘Adli Wat Tauhid” (pengemban keadilan dan ketauhidan).
Sebelum ke pokok persoalan, kita tidak boleh lupa bahwa yang namanya tauhid itu memiliki beberapa jenis dan tingkatan, yaitu : tauhid zati (keesaan zat), tauhid sifati (keesaan sifat), tauhid af’ali (keesaan perbuatan) dan tauhid ibadi (keesaan ibadah).
a. Tauhid zati : Artinya adalah bahwa zat Allah adalah satu dan tidak terpisah. Tak ada tandingannya. Semua eksistensi yang lainnya adalah merupakan ciptaan-Nya dan eksistensinya jauh dibawah-Nya. Tidak ada satu eksistensipun yang pantas untuk diperbandingkan dengan-Nya.
b. Tauhid Sifati : Artinya adalah bahwa sifat-sifat Allah seperti Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil dan seterusnya itu bukanlah merupakan eksistensi-eksistensi yang terpisah dari zat Allah. Sifat-sifat tersebut identik dengan-Nya, dalam pengertian yang lain bahwa sifat-sifat Tuhan itu adalah sedemikian rupa sehingga sifat-sifat-Nya merupakan realitas zat Allah sendiri, atau dengan kata lain bahwa manifestasi Tuhan itu adalah sifat-sifat ini.
c. Tauhid af’ali : Artinya bahwa semua perbuatan-perbuatan (termasuk perbuatan mansusia,red) ada karena kehendak Alllah, dan sedikit banyak dikehendaki oleh zat suci-Nya.
d. Tauhid ibadi : Artinya adalah bahwa selain Allah tak ada yang patut untuk disembah dan tak ada yang patut untuk diberi dedikasi. Menyembah atau beribadah kepada siapa atau kepada apa saja selain kepada Allah adalah syirik dan orang yang melakukan hal seperti itu dianggap telah keluar dari tauhid islam.
Kalau kita perhatikan sekilas, dari ke empat jenis tauhid tersebut, tiga yang pertama adalah berhubungan dengan Allah sedangkan yang terakhir (tauhid ibadi) adalah berhubungan dengan makhluk. Tapi secara prinsip tidaklah demikian adanya, pernyataan ‘La ilaaha ilallah’ adalah sebuah pernyataan yang meliputi semua aspek tauhid, termasuk didalamnya adalah aspek tauhid ibadi.
Kemudian, dari keempat tauhid tersebut, tauhid zati dan tauhid ibadi merupakan bagian utama dari akidah-akidah utama Islam. Siapapun yang mempersoalkan dan menentang kedua tauhid tersebut maka dia dianggap sudah keluar dari area Islam.
Sekarang kembali ke Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah, yang disebut tauhid itu adalah tauhid sifati, bukan tauhid zati dan tauhid ibadi seperti yang sudah disepakati kebanyakan orang. Bahkan juga bukan tauhid af’ali sebagaimana tauhid yang dipahami oleh kaum asy’ariah.
Maksud tauhid menurut mereka adalah : Menolak sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Apa saja yang berkaitan dengan nama-nama Allah Azza wa Jalla maka mereka kembalikan kepada dzat-Nya (yaitu bahwa nama-nama Allah Azza wa Jalla tersebut hanyalah simbol belaka bagi Allah Azza wa Jalla ), nama Allah Azza wa Jalla tidak mengandung makna berupa sifat-sifatNya, diantara perkataan mereka.
Allah Azza wa Jalla memiliki nama ‘Aliimun (berilmu) tetapi tidak memiliki (sifat) ilmu, Qodiirun (maha kuasa) namun tidak memiliki sifat qudrat (penguasaan), hayyun (Maha Hidup) namun tidak memiliki sifat hayaat (kehidupan); Samiiun (Maha Mendengar) tapi tidak memiliki sifat pendengaran; Bashiruun (Maha Melihat ) tapi tidak memiliki sifat penglihatan. dan begitu seterusnya.
Jika kita perhatikan sekilas, dari ke empat jenis tauhid tersebut, tiga yang terakhir (tauhid ibadi) adalah berhubungan dengan makhluk. Tapi secara prinsip tidaklah demikian adanya, pernyataan ‘La ilaaha ilallah’ adalah sebuah pernyataan yang meliputi semua aspek tauhid, termasuk didalamnya adalah aspek tauhid ibadi. Kemudian, dari keempat tauhid tersebut, tauhid zati dan tauhid ibadi merupakan bagian utama dari akidah-akidah utama Islam yang berhubungan dengan Allah sedangkan mempersoalkan dan menentang kedua tauhid tersebut maka dia dianggap sudah keluar dari area.
Namun bagi Mu’tazilah, yang disebut tauhid itu adalah tauhid sifati, bukan tauhid zati dan tauhid ibadi seperti yang sudah disepakati kebanyakan orang. Bahkan juga bukan tauhid af’ali sebagaimana tauhid yang dipahami oleh kaum Asy’ariah.
Permasalahan yang controversial berkaitan dengan masalah tauhid diantara-nya adalah
a. Mereka mengatakan :” kami menetapkan Allah Azza wa Jalla sebagai dzat (diri) yang qadim (terdahulu), sedangkan orang-orang (Salafi Ahlus Sunnah-red) yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah Azza wa Jalla berarti telah menetapkan banyak dzat terdahulu yang lain bersama dzat (diri) Allah Azza wa Jalla .Kaum Nasrani yang menetapkan banyak dzat terdahulu bersama Allah Azza wa Jalla dihukumi sebagai orang-orang kafir !, maka bagaimana halnya dengan orang-orang yang menetapkannya ?
Bantahan :
Ungkapan mereka ini adalah talbis !! (pengaburan terhadap hakekat) dan kedustaan yang dapat dipahami –secara keliru- oleh orang awam yang mendengarnya bahwa orang-orang (Salafi Ahlus Sunnah –red) yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah Azza wa Jalla berarti menetapkan banyak dzat terdahulu yang lain bersama dzat Allah Azza wa Jalla . Padahal sebenarnya Ahlus Sunnah hanya menetapkan satu dzat yang terdahulu (yaitu Allah Azza wa Jalla ) yang memiliki siat-sifat (sempurna) yang banyak. Mereka menetapkan satu sesembahan saja (yaitu Allah Azza wa Jalla )dan tidak menjadikan sifat-sifat yang dimilikiNya sebagai sesembahan tersendiri, Ahlus Sunnah hanya menetapkan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah ilah (sesembahan) yang tunggal yang memiliki asmaul Husna (nama yang amat sangat indah sekali –red) dan sifat-sifat (yang sempurna).
Apa yang dikatakan Mu’tazilah ini sama persis dengan apa yang dikatakan oleh kaum musyrikin Makkah penyembah berhala ketika mendustakan dakwah Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam . kaum musyrikin tersebut berkata, ”Muhammad menyeru/mengajak manusia kepada sesembahan yang satu, tapi kenyataannya dia mengatakan `Ya Samii` (Wahai Yanag Maha Mendengar), `Ya Bashiir` (wahai Yang Maha Melihat)”, menyeru kepada sesembahan yang banyak.”
Maka Allah Azza wa Jalla membantah –perkataan perkataan dusta mereka- dengan firmanNya, “Katakanlah,” Serulah Allah Azza wa Jalla atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al Asmaaul husna (nama-nama yang indah lagi sempurna)”(QS Al Israa:110).Karenanya Allah Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia adalah sesembahan yang satu/tunggal meskipun memiliki banyak nama yang indah yang diambil dari sifat-sifatNya. Sehingga jelaslah bahwa dzat (diri) Allah Azza wa Jalla itu satu sedangkan sifat-sifatNya banyak.
b. Mereka mengatakan,” Kalau Allah itu Mengetahui dengan (sifat) ilmu di luar daripada dzat-Nya, Hidup dengan (sifat) kehidupan di luar daripada dzat-Nya-sebagaimana halnya yang ada pada manusia-, berarti bahwa disana ada dua unsur yaitu sifat dan (dzat) yang disifati, dan itu adalah keadaan dari suatu jazad (jisim), padahal Allah Azza wa Jalla dijauhkan dari berjasad (berjisim).”
Bantahan :
Kata jisim (jasad) tidak pernah diungkapkan dalam Al Qur’an maupun As Sunnah, baik dengan-kalimat- penetapan maupun peniadaan. Sehingga barangsiapa yang menggunakan kata `jisim` (jasad) adalah apa yang disifati dengan sifat-sifat dan dapat dilihat oleh penglihatan, dapat bicara dan bercakap-cakap dengan yang lain, dapat mendengar, melihat, ridha dan murka, maka semua makna ini adalah memang benar telah ditetapkan untuk Allah Azza wa Jalla , dimana Allah Azza wa Jalla disifati dengan sifat-sifat seperti itu. Maka kita tidak dapat me-nafi-kan (meniadakan)nya hanya karena mereka (muta’zilah) menyebut apa yang disifati itu sebagai jisim (jasad), sebagaimana kita tidak mencela para Shohabat rodliAllahu anhum hanya karena kaum rafidhah menamai/memberikan julukan-kepada orang-orang yang mencintai dan loyal kepada para Shohabat rodliAllahu anhum sebagai kelompok nawashib.
Sedangkan jika maksud kata jisim tersebut adalah bahwa sifat-sifat Allah Azza wa Jalla itu sama atau serupa dengan sifat-sifat MakhlukNya, maka ini adalah perkataan batil !!. Karena Ahlus Sunnah Salafiyyun-yang menetapkan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki sifat-tidaklah menyerupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhlukNya, melainkan Ahlus Sunnah bagi-Nya sifat-sifat yang layak dan sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya tanpa menyerupakan dengan sifat-sifat makhlukNya dan tanpa meniadakan sifat-sifatNya itu. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman : "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy Syuro 11)
Jika Ahlus Sunnah tidak pernah menyerupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk-Nya, dan wahyu juga tidak pernah mengungkapkan kata jisim (jasad), tidak dengan (kalimat) penetapan dan tidak pula dengan (kalimat) peniadaan, maka hal itu tidak mengharuskan Ahlus Sunnah meniadakan sifat-sifat bagi Allah Azza wa Jalla , hanya karena orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah menuduh mereka sebagai kaum mujassimah (yang menyatakan bahwa Allah Azza wa Jalla berjazad).
Kedua pokok syubhat inilah yang mereka dakwahkan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang mereka ingkari. Kemudian dua pokok syubhat ini menjadi dasar dibangunnya syubhat-syubhat mereka lainnya dalam merinci sifat-sifat Allah Azza wa Jalla satu persatu. Diantaranya : Mereka mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk !! bukan Kalamulloh (firman Allah Azza wa Jalla ) yang hakiki karena sebagai konsekuansi pemikiran mereka yaitu menolak sifat kalam (berbicara) bagi Allah Azza wa Jalla . Mereka juga mengingkari ru’yatulloh (bahwa setiap mukmin akan melihat Allah Azza wa Jalla diakherat dengan mata mereka); mengingkari sifat istiwa’ (yakni Allah Azza wa Jalla berada tinggi di atas Arsy-Nya), sifat datang, wajah, dua tangan, mata dan seluruh sifat lainnya (baik sifat dzat maupun sifat perbuatan), Semuanya berawal dari kedua pokok syubhat diatas.
2. Al Adl
Pembahasan Adil terkait dengan perbuatan-perbuatan Allah Azza wa Jalla , berbeda dengan pembahasan tentang tauhid diatas yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla .
Maksud prinsip adil menurut Mu’tazilah adalah “ Semua perbuatan Allah Azza wa Jalla itu baik, Allah Azza wa Jalla tidak melakukan sesuatu yang jelek dan Dia tidak lalai terhadap apa yang wajib atas-Nya.” Hal ini bisa dipahami dari pernyataan salah satu tokoh mereka Ibnu Mantuyah yang berkata,” Bila kita mengetahui ada suatu perbuatan yang telah Allah Azza wa Jalla lakukan, maka wajib bagi kita untuk menghukumi bahwa perbuatan itu baik,dan kita mengetahui bahwa ada padanya sisi kebaikan, baik secara global maupun terperinci. Dan bila dapati suatu perbuatan jelek maka wajib menghukumi bahwa kejelekan itu bukan dari Allah Azza wa Jalla .”
Hal-hal yang menjadi bahasan berkelanjutan dari masalah al Adl diantaranya adalah : "Mereka ini juga dikatakan oleh tokoh sejarahwan kalangan Mu’tazilah, Al Qodhi Abdul jabbar yang berkata,” Salah satu bukti bahwa Allah Azza wa Jalla tidak boleh menginginkan kemaksiatan adalah jika Allah Azza wa Jalla menginginkannya berarti mesti ada pada Allah Azza wa Jalla suatu sifat kekurangan; dan ini tidak boleh pada Allah Azza wa Jalla .”
Ketika kita dapati pernyataan-pernyataan mereka bahwa Mu’tazilah meyakini perbuatan Allah Azza wa Jalla itu semuanya baik. Oleh karena itu mereka menjauhkan dari Allah Azza wa Jalla perbuatan maupun keinginan jelek, yang ujung pemikiran ini adalah merka ingkar terhadap keberadaan Allah Azza wa Jalla sebagai Pencipta perbuatan-perbuatan pada hamba karena ada diantara perbuatan-perbuatan para hamba adalah berupa kejelekan. Sebagaimana mereka mu’tazilah menjauhkan dari Allah Azza wa Jalla kelalaian terhadap apa yang wajib atas diriNya.
Bantahan :
Pernyataan Mu’tazilah bahwa semua perbuatan Allah Azza wa Jalla itu baik, sehingga Allah Azza wa Jalla tidak melakukan kejelekan dan tidak menginginkannya, menurut lahirnya hal ini bisa diterima. karena penciptaan, perbuatan, keputusan dan ketetapan Allah Azza wa Jalla semuanya baik. Sebab Allah Azza wa Jalla mensucikan diriNya sendiri dari perbuatan zhalim. Dan perbuatan dhalim itu hakekatnya adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya., sedangkan Allah Azza wa Jalla telah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai,dan itu semuanya baik. Sedangkan kejelekan itu ada ketika sesuatu diletakkan tidak pada tepatnya, dan jika diletakkan pada tempatnya maka tidaklah jelek.
Maka ketahuilah, bahwa kejelekan itu tidak disandarkan kepada Allah Azza wa Jalla terbukti dengan nama-nama-Nya yang husna (sangat indah sempurna), diantaranya ada namaNya Al Quddus (Mahasuci), yakni Allah Azza wa Jalla disucikan dari segala kejelekan, kekurangan, dan cacat sebagaimana diungkapkan oleh para ahli tafsir dan ahli lughoh/bahasa.
Adapun pernyataan bahwa perbuatan-perbuatan para hamba bukanlah ciptaan Allah Azza wa Jalla karena ada yang jelek, maka ini adalah pemikiran batil !. hal ini bertentangan dengan apa yang dinyatakan sendiri oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al Qur’an bahwa Dia adalah pencipta segala sesuatu, sebagaimana firmanNya : "Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” [QS ar Ra’du 16 dan Az Zumar 62]
Dan lebih tegas lagi Allah menyatakan bahwa Dia menciptakan manusia beserta perbuatannya dalam firmanNya : "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” [QS Ash Shaffat 96].
Dengan Ayat ini, maka Ahlus Sunnah Salafiyyun berpendapat bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk para hamba, kemampuan (qudrot) dan keinginan (iradah) mereka, serta sebab-sebab terlahirnya segala perbuatan mereka (yang baik maupun yang jelek). jadi perbuatan itu disandarkan kepada Allah Azza wa Jalla dari sudut bahwa perbuatan tersebut diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla .Dan disandarkan kepada hamba dari sudut bahwa hamba tersebut sebagai pelaku sebab akibat (yang telah Allah Azza wa Jalla jadikan untuknya).
Dan kunci pertanggungjawaban serta pengikat antara perintah dan larangan, pahala dan siksa adalah iradah (kehendak), yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada hamba, yang dengannya mereka bisa memilih antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Dengan demikian tidaklah hamba itu Majbur [dipaksa] untuk melakukan segala perbuatan yang baik maupun yang buruk, karena ada kehendak [iradah] yang dengan kehendak ini dia bisa memilih antara mengerjakannya atau meninggalkannya.
Tentunya hal ini tidak pula dikatakan bahwa hamba tersebut menciptakan perbuatannya sendiri, karena qudrat (kemampuan) dan iradat (kehendak) pada hamba tersebut hanya merupakan sebab dari terlahirnya suatu perbuatan, dan itu diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla .Sehingga dengan demikian, meskipun seorang hamba telah memiliki qudrat dan iradat untuk berbuat sesuatu akan tetapi bergantung kepada iradat Allah Azza wa Jalla . Jika Allah Azza wa Jalla menghendaki maka perbuatan itu akan berlangsung, sebaliknya jika tidak maka tidak akan berlangsung. Sebagaimana difahami dari ayatNya : "“Dan tidaklah kamu berkehendak (mampu menempuh jalan itu), kecuali bila dikendaki oleh Allah .” [QS Al Insaan 30].
Kemudian berkaitan dengan pernyataan Mu’tazilah, bahwa Allah Azza wa Jalla lalai terhadap apa yang wajib atas diriNya, maka perlu dipertanyakan lebih dahulu, “ Apa yang kalian maksud dengan apa yang wajib atas Allah Azza wa Jalla ?” Apakah hamba mewajibkan atas Allah Azza wa Jalla atau Allah Azza wa Jalla mewajibkan atas diriNya sendiri ?
Jika yang dimaksud yang pertama, maka berarti Allah bukan sebagai pelaku perbuatan yang memiliki ikhtiyar (pilihan/usaha)-karena diwajibkan oleh hamba-, namun hal ini adalah bathil berdasarkan dalil-dalil yang menunjukan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki tindak tanduk pengaturan yang bersifat mutlak (sempurna) terhadap para hamba-Nya berdasarkan kehendak-Nya.
Sedangkan jika yang dimaksud yang kedua, maka hal ini bisa diterima, meskipun hal itu tidak berarti bahwa Allah Azza wa Jalla bukan pelaku perbuatan yang memiliki ikhtiyar, karena Allah Azza wa Jalla tetap memiliki keutamaan dalam apa yang Dia wajibkan atas diriNya sendiri.
Al-Adl masih ada hubungannya dengan tauhid, dengan Al-Adl, Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk, karena Tuhan Maha Sempurna maka Tuhan pasti Adil. Ajaran ini ingin bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar Adil menurut sudut pandang manusia. Dan mereka yakin bahwa Allah itu Maha Adil, maka dia tidak akan menindas makhluk-makhluk-Nya. Prinsip seperti ini pada dasarnya memang disepakati oleh umat Islam, tak ada satupun di antara mereka yang menentang dan mempersoalkan keadilan Ilahi dalam tataran substansi. Kalaupun terjadi perbedaan dan perselisihan, ini biasanya terjadi hanya karena masalah tafsiran saja.
Namun bagi Mu’tazilah, mereka percaya bahwa pada hakikatnya ada tindakan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya adalah ‘adil’ dan sebaliknya, ada juga tindakan dan perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya ‘tidak adil’. Sebagai contoh, kalau Allah memberikan pahala pada orang yang taat dan yang berbuat baik serta memberikan hukuman kepada para pendosa, maka tindakan Allah ini disebut adil, dan Allah memang Maha Adil. Dia (Allah) memberikan penghargaan terhadap yang taat dan menghukum terhadap yang bersalah, dan mustahil Allah akan melakukan hal yang sebaliknya. Memberikan pahala kepada yang berdosa (bersalah) dan menghukum yangyangadil, dan Allah mustahil berbuat seperti itu. taat, karena perbuatan sedemikian sungguh adalah suatu perbuatan tidak
Demikian juga dengan contoh yang lain, misalnya kehendak bebas. Tidak mungkin Allah menciptakan makluk yang tidak mempunyai kehendak bebas, lalu kemudian menciptakan perbuatan dosa dengan tangan makhluk itu dan setelah itu menghukumnya. Itu adalah perbuatan tidak adil, Allah tidak mungkin dan tidak pantas untuk melakukan tindakan yang seperti itu.
Kemudian dari itu, atas nama akidah keadilan Ilahi, kaum Mu’tazilah dengan gigihnya mempromosikan contoh-contoh yang lain dan yang lebih umumMu’tazilah, bahwa pada dasarnya sifat-sifat itu ada pada perbuatan. Sifat jujur, ramah, murah senyum dan lagi tidak sombong misalnya, pada dasarnya adalah suatu sifat yang memang sudah dari sononya memiliki kualitas yang baik. Sedangkan sifat-sifat mudah cemberut, ngambekan, pembohong, munafik, tidak senonoh dan dan lain-lain pada dasarnya memang sudah merupakan suatu sifat yang tidak baik dan buruk pula. Karena itu maka bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya suatu perbuatan itu sebelum ada hukum atau penilaian Allah terhadapnya sekalipun, perbuatan-perbuatan semacam itu memang sudah dari ’sono’nya memang telah menjadi sifatnya. seperti sifat ‘keindahan’ dan ‘keburukan’, ‘baik’ dan ‘buruk’. Menurut pandangan
Konsekuensi logis dari ‘pemikiran’ tersebut adalah bahwa sesungguhnya akal manusia, setidak-tidaknya sebagian akan mampu untuk membedakan sebelah mana yang baik dan sebelah mana pula yang buruk tanpa perlu harus selalu mengacu kepada syariat (hukum) .
Rentetan dari pemikiran ini berlanjut kepada pertentangan yang sengit ke ranah teologi lainnya, misalnya : apakah Allah menciptakan suatu eksistensiMu’tazilah mengklaim kalau Allah menciptakannya tanpa maksud dan tujuan, maka sungguh itu adalah suatu perbuatan yang meng-ada-ada (qabih) dan karena itu mustahil menurut akal yang sehat. itu mempunyai maksud dan tujuan atau tidak. Kaum
Juga perkara yang lain, mungkinkah Allah akan memberikan tugas kepada manusia yang mana tugas tersebut sesungguhnya berada diluar batas kemampuan manusia untuk memenuhinya? Menurut Mu’tazilah , ini juga termasuk hal yang qabih, meng-ada-ada dan mustahil. Persoalan yang aneh seperti itu tidak masuk akal. Tidak mungkin Allah memberikan suatu tugas semacam itu kepada manusia.
Selanjutnya, apakah dalam persoalan keimanan seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang kafir menjadi muslim? Atau sebaliknya apakah seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang preman kemudian berubah menjadi ustadz? Jawaban-nya jelas dan pasti bisa.
Karena jika seseorang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut, maka tidak adil kalau Allah menghukum orang atas perbuatan jahatnya sementara orang itu sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merubah situasinya. Dan berdasarkan kepada prinsip ini, mereka juga disebut “Al’Adliyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat tentang keadilan.
3. Al Wa'ad dan Wa'id
Yang dimaksud oleh firqoh Mu’tazilah disini adalah bahwa Allah Azza wa Jalla wajib melaksanakan ancaman siksanya kepada para pelaku maksiat (terutama dosa besar), sebagaimana melaksanakan janjiNya berupa pahala bagi orang-orang yang taat. Karena –menurut mereka- jika Allah Azza wa Jalla tidak melaksanakannya berarti Allah Azza wa Jalla telah mengingkari apa yang telah Dia janjikan untuk para hambaNya yang taat dan telah berdusta atas apa yang telah Dia ancamkan kepada mereka yang berlaku maksiat. Dan terkait dengan dosa besar , mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar jika mati dalam keadaan belum bertaubat maka maka dia berhak masuk neraka dan kekal di dalamnya sebagaimana orang-orang kafir. Karena Allah Azza wa Jalla telah mengancamnya demikian maka Allah Azza wa Jalla wajib melaksanakan ancamanNya tersebut., hanya saja siksa mereka lebih ringan daripada siksa orang kafir di neraka.
Bantahan :
Pernyataan ini bertentangan dengan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Salafiyah berdasarkan dalil-dalil yang nyata. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa Allah Azza wa Jalla bila menjanjikan sesuatu kepada para hamba-Nya yang taat maka akan Allah laksanakan sebagai bentuk penepatan janjiNya, bukan karena hamba berhak mendapatkannya atau hamba tersebut yang mewajibkan agar Allah Azza wa Jalla memberikan haknya. Ahlus Sunnah juga berpendapat bahwa Allah Azza wa Jalla bisa saja tidak melaksanakan ancamanNya, yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki kemurahan dan pengampun yang karenanya Allah Azza wa Jalla mendapatkan pujian. Sebab semua itu adalah hak Allah, jika Dia berkehendak maka bisa membebaskannya atau jika Dia berkehendak maka bisa menuntutnya. dan seorang manusia dikatakan murah hati tatkala dia merelakan atau tidak menuntut haknya, maka bagaimana halnya dengan Allah, Dzat yang Maha Pemurah, tentu lebih bisa untuk tidak menuntut hakNya. Maka kita dapati banyak Ayat Allah yang menjelaskan bahwa Dia tidak akan mengingkari janjiNya, dan tidak kita dapati satupun ayat yang menyatakan bahwa Allah Azza wa Jalla tidak akan mengingkari ancamanNya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla bisa memaafkan kesalahan dan dosa hambaNya bila Dia menghendaki, namun hal ini khusus untuk dosa-dosa selain dosa syirik yang telah Allah Azza wa Jalla nyatakan secara jelas Dia tidak akan mengampuninya,” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikendakiNya.” [QS An Nisaa 48 dan 116].
Tuhan yang Maha Adil dan Bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Kaum Mu’tazilah yakin bahwa janji dan ancaman itu pasti terjadi, yaitu janji Tuhan yang berupa pahala (surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancamannya yang berupa siksa (neraka) bagi orang yang berbuat durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan bagi orang yang bertaubat.
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih ringan daripada siksa orang yang kafir.[27] Tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihkan hal ini. Dan inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman itu. Sehingga mereka sering disebut dengan Wa’idiyyah
4. Al Manzilah Baina Al-Manzilatain
Prinsip ini seperti kita maklumi berkaitan dengan pelaku dosa besar sebagaimana prinsip sebelumnya. Perbedaaanya bahwa prinsip yang sebelumnya berbicara tentang hukum pelaku dosa besar di akherat; sedangkan dalam prinsip ini yang dibicarakan adalah hukum pelaku dosa beasr di dunia.
Maksud prinsip kelima dari mu’tazilah ini adalah bahwa pelaku dosa besar itu tidak disebut mukmin dan tidak pula kafir, tapi berada diantara dua kedudukan, iman dan kufur, meskipun mereka menyebutnya dengan istilah fasik. hanya saja menurut mereka bahwa dia diakherat masuk ke neraka dan kekal di dalamnya seperti halnya orang kafir, meskipun siksaannya lebih ringan dibanding siksa orang kafir .
Bantahan :
Hal ini sangat bertentangan dengan keyakinan Ahlus Sunnah tentang pelaku dosa besar bahwa Pelaku dosa besar disebut sebagai mukmin yang kurang imannya (atau mukmin yang bermaksiat): ini hukum di dunia. Sedangkan hukum di akherat Ahlus Sunnah berpendapat bahwa pelaku dosa besar masuk dalam kategori ‘dibawah kehendk Allah Azza wa Jalla ‘, bila Allah Azza wa Jalla menghendaki untuk mengampuninya maka Allah akan mengampuninya, atau akan menyiksanya , sebagaimana telah dijelaskan pada prinsip sebelumnya yakni selama doa yang dilakukan bukan syirik karena Allah Azza wa Jalla tidak akan mengampuni dosa syirik itu bila pelakunya belum bertobat sebelum matinya.
Pokok ajaran ini adalah orang Islam yang melakukan dosa besar (ma’siat) selain syirik dan belum bertaubat dia tidak dikatakan mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tetapi fasik. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran saja.
Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq, tidak boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman kerana pengakuan dan ucapan dua kalimah syahadahnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun ‘amal perbuatan dianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya. Sementara di akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan ke dalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orang kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan.
Dalam konteks ini, timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang disebut kafir oleh aliran Mu’tazilah?” Menurut mayoritas kaum Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut pelaku maksiat. Mereka membagi maksiat kepada 2 (dua) bagian, yaitu maksiat besar dan maksiat kecil. Maksiat besar ini dinamakan kufur. Adapun yang membawa seseorang pada kekufuran ada 3 (tiga) macam, yakni :
a. Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
b. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
c. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nash telah disepakati kaum muslimin.
5. Al Amru bi al-Ma'ruf wa nahyu an al-Munkar
Terdapat dua sisi yang perlu disoroti dari maksud prinsip muktazilah yang kelima ini :
a. Yang berkaitan dengan wasilah (cara) dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, yang menurut menuka urutannya yakni dengan lisan dahulu, kemudian jika tidak’mempan’ maka dengan tangan-tanpa pedang-, dan jika tidak mempan maka dengan pedang.
Sementara menurut Ahlus Sunnah ,sesuai hadits Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam urutan amar ma’ruf nahi mungkar adalah dengan tangan –tanpa pedang-, jika tidak mampu dengan tanagn maka dengan lisan, jika tidak mampu dengan lisan, maka cukup dengan hati, maka firqoh Mu’tazilah memulai amar ma’ruf nahi mungkar dengan yang ringan dahulu bau kemudian yang berat, sedangkan Ahlus Sunnah memulai dengan yang berat dulu kemudian kalau tidak manpu dilakukan dengan yang ringan.
b. Menurut mereka boleh memberontak terhadap imam/pemimpin muslim (yang dzalim) dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, dalam pengertian boleh memerangi pemimpin dengan pedang (senjata). Dan bahkan lebih luas daripada itu boleh –menurut merka- memerangi siapa saja yang menyelisihi mereka (tidak terbatas kepada pemimpin/amir/imam saja.
Sedangkan Akidah Ahlus Sunnah meyakini bahwa tidak boleh membe-rontak terhadap imam/pemimpin kaum muslimin dan tidak boleh memerangi setiap orang yang menyelisihi selama mereka masih mendirikan sholat. Karena bila hal itu dilakukan, justru akan menambah kemungkaran yang lebih besar, yakni diantaranya menimbulkan perpecahan di kalangan muslimin dan pertumpahan darah tanpa haq, pahala sementara kemungkaran (awal) kemungkinan tidak hilang. Pemberontakan inilah yang merupakan sumber dari kejelekan dan fitnah sampa kiamat kelak.
Para Shohabat rodliAllahu anhum pernah meminta izin kepada Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam untuk memerangi para pemimpin atau amir yang suka mengkahirkan waktu sholat, namun Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam menjawab,” Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat.” (HR Muslim no 1854).
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup membedakan yang baik dan yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk. Untuk itu, tak perlulah Tuhan mengutus Rasul-Nya. Apabila seseorang tidak mau berusaha untuk mengetahui yang baik dan yang buruk itu, ia akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya. Adapun mengutus Rasul, itu adalah merupakan pertolongan tambahan dari Tuhan, “agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula”.
Selain itu, mereka juga berprinsip bahwa diwajibkan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) apabila mereka telah berlaku dzalim dan sewenang-wenang dalam berkuasa.
Kelima prinsip tersebut di atas merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah.
Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
IV. KELEMAHAN PEMIKIRAN QODARIYAH-MU'TAZILAH
Jika mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal. apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal ?
Jika kita masih memegang teguh al Quran, maka al Quran telah menyiapkan jawabannya. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 7 sebagai berikut :"“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat di atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Quran: pertama, ayat-ayat yang muhkamât. Kedua, ayat-ayat yang mutasyâbihât . Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyâbihât dan mencari-cari ta’wilnya, padahal hanya Allah-lah yang mengetahui ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran mu’tazilah yang telah dipaparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyâbihât. Ambil saja contohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam al Quran) tidak menerangkannya secara detil (tafshîl). Lalu, dengan kecondongannya kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan yang sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalâm, bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasannya menggunkan akal, mereka pun menggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Quran yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Quran adalah makhluk Allah yang berperspektif lelah dan memiliki kekurangan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika mu’tazilah kita golongkan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah meyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al râskhûna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyâbihât, mereka berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Quran mengatakan bahwa orang yang berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dimanakan mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita buka cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyar tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinya, bayangakan hutan dengan binatang-binatang yang mengisinya dengan berbagaimazam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui. Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang Pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata yang mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman :"“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. al Jatsiyah,45;23)
Label: Ilmu Kalam STAIM
1 Comment:
-
- ANNAS said...
29 Maret 2012 pukul 23.48Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.