Selasa, 11 Mei 2010

AL ASY'ARI; THEOLOG KONTEMPORER PENYEIMBANG PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KALAM

I. SEJARAH RINGKAS ABU HASAN AL ASY'ARI
A. Asal-usul Abu Hasan Al Asy'ari
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

B. Pergualatan Pemikiran Theologi Abu Hasan Al Asy'ari
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah.
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya.
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah. Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah - Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.

Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah
Dalam menginterpretasi pelbagai permasalahan beliau sering kontrapersepsi dengan gurunya sendiri, berikut ini contoh kontroversi yang telah popular yang pada gilirannya membawa Al Asy'ari keluar dari pemikiran Mu'tazilah :
Abu Hasan : Guru, bagaimanakah tanggapan anda mengenai tiga saudara yang mengalami kematian yang masing-masing dari ketiganya punya latar belakang yang berbeda. Orang pertama meninggal dalam keadaan taat kepada Allah I , orang kedua meninggal dalam keadaan maksiat kepada Allah, sedangkan yang ketiga meninggal dalam keadaan masih kecil ?
Abu Ali : Orang pertama akan masuk sorga, orang yang kedua akan disiksa, sedangkan yang ketiga tidak disiksa dan tidak mendapatkan pahala.
Abu Hasan : Wahai guru, bila orang yang ketiga mengajukan protes dengan bertanya kepada Allah I, “Wahai Tuhanku, mengapa engkau mencabut nyawaku dalam keadaan masih kecil dan tidak membesarkan hamba, karena seandainya hamba bisa besar, niscaya hamba akan taat beribadah dan pada akhirnya masuk sorga”. Maka,bagaimanakah jawaban dari Allah I ?
Abu Ali : “karena saya tahu kalau kmu besar nanti, kamu akan maksiat dan akhirnya masuk neraka, maka lebih baik kamu mati dalam keadaan masih kecil saja”.
Abu Hasan : Bila orang kedua protes dan mengajukan somasi, dengan bertyanya kepada Allah I, “Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak mencabut nyawa hamba dalam keadaan masih kecil, karena andaikan hamba mati dalam keadaan masih kecil, niscaya hamba tidak akan masuk neraka”. Bagaimanakah jawaban anda?
Sesaat kemudian Abu Ali Al-Jaba’I kebingungan dan diam seribu bahasa. Dari sinilah kemudian Abu Hasan Al Asy'ari meninggalkan madzhab gurunya bahkan secara frontal beliau menolak faham dan propaganda Madzhab Mu’tazilah.


II. PERKEMBANGAN THEOLOGI ASY'ARIYAH
A. Sejarah Singkat Lahirnya Golongan Asy'ariyah
Pada masa imam empat banyak bermunculan bid’ah dan ideologi yang didasari hawa nafsu (tidak berdasarkan dalil syar’ie maupun dalil aqli). Hanya saja belum begitu meluas dan pengaruhnya pun tidak terlalu besar. Baru, setelah mereka wafat, bid’ah-bid’ah yang disebarkan semakin bertambah kuat dan tersebar luas. Fenomena ini memotifasi para tokoh agama dari golongan madzahibul arba’ah untuk mencegah tersebarnya bid’ah dan berusaha mempertahankan aqidah para Ulama Salaf. Hingga akhirnya pada abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan Al Asy'ari (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abu Mansur aL-Maturidi di Samarkand dalam memperjuangkan dan mempertahankan keabadian aqidah-aqidah yang sesuai dengan sunnah Nabi r dan Thoriqoh para Sahabat aL-Mahdiyyin.
Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan per-bedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Mu’tazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya. Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah• di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah.
Abu Hasan Al Asy'ari adalah tokoh ahli tauhid penganut madzhab Imam Syafi’I, Sedangkan Abu Mansur aL-Maturidi adalah pengikut madzhab Imam Hanafi. Meskipun keduanya menganut madzhab yang berbeda, namun keduanya sama-sama mempunyai charisma yang tinggi serta mendapat simpati dari berbagai kalangan umat, sehingga mereka memposisikan kedua imam ini sebagai tokoh madzhab pilihan dalam permasalahan ushuluddin, yang kemudian madzhab ini lebih dikenal dengan Asy’ariyyah (setiap pengikut Abu Hasan aL–Asy’arie) dan Maturidiyyah (setiap pengikut Abu Mansur aL-Maturidi) dan untuk membedakan kedua golongan ini dengan golongan Mu’tazilah.
Abu Hasan Al Asy'ari dikenal berhasil mengambil jalan tengah (tawasuth, moderat) dari pertikaian teologis pada zamannya Jalan tengah yang ditawarkan adalah pengakuan terhadap rasionalis, tapi pada tingkat tertentu harus tunduk kepada wahyu. Fungsi rasionalitas digunakan untuk menterjemahkan, menjelaskan dan menafsirkan wahyu. Bukan mempertanyakan wahyu itu sendiri. Karena itu bila akal tidak mampu menjelaskan wahyu, dengan kata lain akal mempunyai keterbatasan, sedangkan wahyu tidak, karena termasuk bagian dari sifat Allah yang qadim. Asy’ari juga mengakui “otoritas salaf”. Dalam pandangannya, gagasan-gagasan dan kesepakatan dalam masyarakat salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dapat dijadikan pijakan hukum melalui metode ijma’ dan qiyas. Suatu metode yang menyerupai gagasan yang pernah ditelorkan Imam Syafi’I dalam ilmu ushul fiqih. Gagasan Asy’ari itu kemudian diperhalus oleh Imam Manshur al-Maturidi. Menurut Maturidi, wahyu harus diterima secara penuh. Akal harus berperan mentakwilkan wahyu. Ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau Tasybih (Allah serupa dengan makhluk) harus di tafsirkan secara majazi (kiasan) bukan literal.
Konklusi Asy’ariyah inilah yang kemudian berkembang baik dan mendiaspora menjadi panutan. Tidak hanya kalangan awam, melainkan pula para ahli hadits, fiqih dan tauhid. Pengikutnya kemudian diberi label Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah oleh az-Zabidi (w.1205M), seratus tahun kemudian. Suatu label yang pernah juga digunakan oleh Hasan al-Bashri untuk merujuk komunitas “ahli ilmu dan ibadah” yang tidak memihak Mu’awiyyah, Syi’ah dan khawarij. Dan memang gagasan Asa’ari dalam bidang tauhid dapat ditarik lebih jauh akar pemikiran-pemikirannya pada gagasan yang dikembangkan Hasan al-Bashri.
Kendati pada awal mulanya hanya diminati ahli fiqih, hadits dan kalangan awam, namun gagasan Asy’ari dengan cepat diadopsi oleh para penguasa Muslim. Mereka tertarik dengan tekanan Asy’ari terhadap tertib sosial untuk mewujudkan dan me-laksanakan syari’at Islam

B. Perkembangan dan Tokoh-tokoh Theologi Asy'ariyah
Terdapat 3 periode dalam pergulatan kehidupan theologis Al Asy'ari yang masing-masing memiliki konsep yang berbeda dan hal tersebut merupakan per-kembangan ijtihadnya dalam masalah akidah, karena secara umum Al Asy'ari kurang memiliki reputasi dibidang Fiqih. Ia sendiri merupakan penganut mazhab Syafi'i – salah satu tokoh fiqih yang termasuk dalam rumpun Sunni, disaming Imam Malik, Hambali dan Hanafi.
1. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
2. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu :
a. Al-Hayah (hidup)
b. Al-Ilmu (ilmu)
c. Al-Iradah (berkehendak)
d. Al-Qudrah (berketetapan)
e. As-Sama' (mendengar)
f. Al-Bashar (melihat)
g. Al-Kalam (berbicara)

Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemua-nya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.

3. Periode ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
a. Takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
b. Ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
c. Tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
d. Tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.

Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.

Perkembangan theology Asy'ariyah diisamping melalui hasil karya tulis yang sangat baik, maka pikiran-pikiran yang dikemukakannya juga mampu menyeret kinerja intelektual ulama pada waktu itu, sehingga theology Asy'ariyah berkembang dengan pesat terutama pada masa Waziar Nizamul Mulk – lebih-lebih setelah dibukanya madrasah Nizamiyah yang memang secara khusus menyebarkan pemikiran theology Sunni dan mazhab Fiqh Imam Syafi'i. Tokoh berikut ini disamping merupakan pengembang utama pemikiran Asy'ari, ia juga merupakan kritikor terhadap pemikiran Asy'ariyah yang justru karenanya, pemikiran Asy'ari menjadi lebih popular dan menyita perhatian kaum intelektual pada wwaktu itu. Diantara tokoh yang berjasa mengembangkan theology Asy'ariyah adalah :
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam per-wujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya

2. Abdul Malik al Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 H. dan wafat pada tahun 478 H. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan

3. Abu Hamid Al Gazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.

III. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN THEOLOGI ASY'ARIYAH
A. Sifat-Sifat Allah dan Antropomorphisme
Allah mempunyai sifat mengetahui, hidup, mendengar, melihat, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sifat-sifat tersebut berada di luar zat Allah dan bukan zat Allah itu sendiri. Jadi, Allah mengetahui dengan pengetabuan-Nya, bukan dengan zat-Nya. Ini berbeda dengan Muktazilah yang meyakini bahwa Allah mengetahui dengan zat-Nya
Tuhan dan sifat-sifatnya; Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip .
Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah mempunyai mata, muka, tangan, dan lain sebagainya seperti disebutkan dalam Alquran (QS Arrahman [55) 27 dan QS Alqamar [54] 14).
Artinya :"Yang berlayar dengan pemeliharaan kami sebagai belasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh)".

Artinya :" Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.".

Dalam kedua ayat tersebut terdapat teks "Pengawasan" dan "Wajah/Dzat" yang lebih mirip kepada antropomorphisme, Akan tetapi kesemuanya tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana bentuk-bentuk-Nya.

B. Keadilan Tuhan
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.

C. Kedudukan Al Qur'an, akal dan Wahyu
Al Quran adalah kalam (firman) Allah dan bukanlah makhluk yang diciptakan. Nah, karena Alquran adalah firmah Allah, pastilah Alquran itu bersifat kekal.
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat : Artinya: “ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi” .
Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk. Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.

D. Melihat Tuhan
Melihat Allah di akhirat - manusia dapat melihat Allah dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai wujud. Melihat Allah di akhirat - manusia dapat melihat Allah dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai wujud.
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.

E. Perbuatan Manusia (Free Will)
Perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah. Paham Al-Asyari itu dikenal dengan paham al-kasb. Al-Asyari mengakui bahwa dalam diri manusia terdapat daya, tetapi daya itu tidak efektif.
Kebebasan dalam berkehendak (free will) merupakan penjabaran dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistic dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia) .

F. Al Manzilah Bain al Manzilatain
Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.

G. Pelaku Dosa Besar
Orang Mukmin yang melakukan dosa besar tetap dianggap Mukmin selama ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia hanya termasuk orang durhaka. Masalah apakah ia akan diampuni atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada Allah. Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

H. Al Ushul al Khamsah Mu'tazilah
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut :
1. Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
2. tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
3. Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
4. Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
5. Amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim

Pemikiran Al Asy'ari yang menyebar dikalangan umat Islam, bukanlah sebuah pemikiran yang tanpa koreksi dan kontroversi. Terdapat tokoh-tokoh (pengikut Asy'ariyah) yang kemudian melakukan kritik bahkan terkesan menentang apa yang disampaikan oleh Al Asy'ari. Hal tersebut bukan sesuatu yang aneh, karena sudah menjadi kebiasaan atau tradisi intelektual dikalangan umat Islam yaitu berupa kritisisme pemikiran.
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut :
A. Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
B. Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Beliau berbeda pemikiran dalam beberapa hal, misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pun, seperti dikatakan Asy’ari.
C. Imam Al-Ghazali nampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa :
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.

Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah

IV. HUBUNGAN THEOLOGI ASY'ARIYAH DAN MATURIDIYAH
Sepanjang kesaksian sejarah, pada masa kekhalifahan Muawiyah, umat Islam dikenal dalam dua kelompok, yaitu Alawiyah dan Utsmaniyah. Setelah itu, akibat beberapa peristiwa, di masa Umar bin Abdul Aziz (versi pertama), atau di masa kekhalifahan Bani Abbas (versi kedua), istilah Ahlussunnah disematkan kepada Utsmaniyah (para pengikut Utsman), sementara Alawiyah (para pengikut Ali) tetap disebut dengan nama pertama mereka, yaitu Syiah.
Secara umum, umat Islam dibagi menjadi dua kelompok utama: Ahlussunnah dan Syiah. Ahlussunnah bercabang kepada beberapa mazhab kalam (teologi), yang terpenting di antaranya adalah Mu`tazilah, Ahlul hadits (hadis centris), Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Wahabiyah. Mu`tazilah adalah hasil dari pertentangan antara keyakinan Khawarij dan Murjiah.
Sebelum mazhab kalam Asy'ariyah dan Maturidiyah muncul, komunitas Ahlussunnah mengikuti dua mazhab Mu`tazilah dan Ahlul hadits atau Hanbaliyah. Akibat pertentangan keyakinan antara Mu`tazilah dan Ahlul hadits, para ulama Ahlussunnah berinisiatif untuk mereformasi mazhab mereka, khususnya untuk menghadapi prinsip-prinsip kalam Mu`tazilah. Buah dari reformasi ini, adalah kemunculan dua mazhab baru bernama Asy'ariyah dan Maturidiyah. Sehingga di masa ini, istilah Ahlussunnah wal Jama`ah khusus diberikan kepada dua mazhab terakhir ini.
Pendiri mazhab Asy'ariyah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Sezaman dengan mazhab Asy'ariyah, Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Kedua tokoh Sunni tersebut memiliki cita rasa intelektual yang berbeda, tetapi dalam hal tertentu memiliki kesamaan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena pergulatan pemikiran dan sosio cultural yang melingkupinya. Namun perlu ditegaskan, walaupun terdapat perbedaan diantara kedua, mereka memiliki gaya dan visi-misi yang sama yaitu menyeimbangkan pemikiran kalam dari Rasionalisme murni dan Fatalisme menjadi pemikiran yang berkeseimbangan dan berdasar kaidah salafi-sunni.

A. Persamaan Pemikiran Maturidiyah dan Al Asy'ariyah
Ada banyak kesamaan antara dua mazhab ini. Keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Dalam rangka mereformasi dan mengembangkan akidah Ahlussunnah di hadapan Mu`tazilah, Abu Hasan Asy`ari menempuh jalan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam banyak kasus, ia memilih sikap jumud `ala dhawahir (hanya memerhatikan sisi lahiriah) dan jarang menggunakan akal dan argumentasi. Namun Abu Manshur Maturidi menjadikan metode Abu Hanifah sebagai dasar teologi Ahlussunnah dan banyak menggunakan argumentasi rasional. Perbedaan mendasar dalam metode ini pula yang memunculkan perbedaan pendapat antara teologi Maturidiyah dan Asya`irah dalam sebagian masalah. Karena itu, metode Maturidiyah lebih jauh dari tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tajsim (menganggap Tuhan memiliki bentuk seperti materi) serta lebih dekat kepada tanzih (penyucian). Sementara metode Asya`irah lebih condong kepada tasybih dan tajsim.
Parameter utama dalam perbedaan mazhab-mazhab Ahlussunnah adalah masalah husn wa qubh `aqli (baik dan buruk rasional) dan persoalan-persoalan terkait akal dan argumen rasional. Jika Mu`tazilah disebut sebagai simbol husn wa qubh `aqli, maka Maturidiyah berada di tingkat kedua, Asya`irah di tingkat ketiga, sementara Hasyawiyah menolak sepenuhnya masalah husn wa qubh `aqli. Sedangkan Wahabiyah adalah mazhab baru gabungan dari Hasyawiyah dan Hanbaliyah
1. Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
2. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
3. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
4. Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an pada surat al-Qiyamah : 23
5. Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.”(Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6)
6. Tentang Al qur'an - Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq. Lebih lanjut kedua mazhab ini menjelaskan bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah kalam nafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalam lafdhi (lafal) yang bersifat hadits (baru). Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak. Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah
7. Terkait kepemimpinan – Kepempimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat.
8. Melihat Allah – Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa ilihat dengan kaif dan had.
9. Pelaku dosa besar – Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.”(Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3)

B. Perbedaan Pemikiran Maturidiyah dan Al Asy'ariyah
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, terdapat persamaan dan perbedaan pemikiran antra Abu Mansur al Maturidi dan Abu Hasan Al Asy'ari. Sungguhpun mereka dinyatakan sebagai tokoh sentral pemikiran Ahlus Sunnah Waljamaah. Theologi Mathuridiyah dan Asy'ariyah yang memiliki perbedaan diantaranya adalah :
1. Tentang perbuatan manusia - Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
2. Tentang kewajiban Tuhan - Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
3. Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
4. Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
5. Tentang sifat-sifat khabariyah (sifat-sifat Alah yang tersebut dalam Al Qur'an, seperti yadullah [tangan Allah] dll), Asya`irah meyakini makna lahiriah ayat tanpa takwil dan tafwidh (menyerahkan maknya kepada Allah), sedangkan Maturidiyah menerima tafwidh dan menolak takwil. Sementara prinsip Mu`tazilah dalam masalah ini adalah menakwilkan sifat-sifat khabariyah.
6. Asya`irah menganggap makrifat Allah wajib berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, sementara Maturidiyah, seperti halnya Mu`tazilah, berpendapat bahwa kewajiban mengenal Allah bersifat rasional.
7. Karena Asya`irah mengingkari husn wa qubh `aqli, maka mereka berpendapat bahwa perbuatan Allah tidak berlandaskan tujuan. Namun Maturidiyah mengatakan bahwa perbuatan Allah berasaskan maslahat, sebab mereka menerima konsep husn wa qubh `aqli dalam sebagian tingkatannya.
8. Asya`irah berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, sementara manusia adalah wadah bagi perbuatan-Nya. Untuk menghindar dari problem jabr (determinasi), mereka mengemukakan solusi ‘kasb’. Maturidiyah menolak tafwidh (manusia bertindak bebas dan menafikan intervensi kekuasaan Tuhan) Mu`tazilah serta jabr Ahlul hadits dan Asya`irah. Mereka berpendapat bahwa meski perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, namun di saat yang sama, ia adalah pelaku dan kasib (hasil) perbuatannya sendiri.
9. Seperti kaum `Adliyyin, Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepada dzati dan fi`li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifat fi`li-Nya qadim seperti sifat dzati.
10. Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.
11. Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.
12. Takwin (sifat mewujudkan Allah) - Takwin adalah sifat Allah yang qadim, tetapi berbeda dengan qudrah, karena terkadang yang di ta’alluqnya qudrah tidak wujud sama sekali, sedangkan yang dita’alluqi sifat takwin itu pasti maujud, sebab qudrah berta’alluq dengan sesuatu yang mungkin, sedangkan takwin berta’alluq dengan wujudnya sesuatu. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat dalam hakikatnya takwin, apakah takwin adalah dzatnya mukawwan atau bukan. Mathuridi berpendapat bahwa takwin bukanlah dzatnya mukawwan, sedangkan Asy’ariyyah berpendapat sebaliknya.
13. Itstitsna - Itstitsna adalah ucapan seseorang “Insya’allah saya termasuk orang mukmin” dalam hal ini Asy’ariyyah memperbolehkan ucapan tersebut, sedangkan Mathuridiyyah melarangnya.
14. Imannya seorang yang taqlid - Dalam hal ini Mathuridiyyah menganggap cukup imanyya orang yang taqlid, sedangkan Asy’ariyyah sebaliknya. Meskipun di antara mereka terjadi perbedaan pandangan dalam memberikan analisa, tapi di antara mereka tidak saling membid’ahkan apalagi mensyirikkan yang lain. Dalam Syarhul Aqidah karya Ibn Hajib, Imam Assubuki memberikan statemen “Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah telah sepakat pada satu aqidah dalam hal sifat-sifat wajib, ja’iz dan mustahil bagi Allah, meskipun mereka berbeda dalam refrensi, dalil dan dasarnya”

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates