Rabu, 16 Maret 2011

Metode Pendidikan Islam (edit)


METODE PENDIDIKAN ISLAM



A.    PENDAHULUAN
Mengenai mekanisme dalam menjalankan pendidikan Islam Dalam karyanya Tahdzibul Akhlak, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syariat agama memiliki peran penting dalam meluruskan akhlak remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau perlu, al-taubikh (dihardik), diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir (diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman).[1]
Akan tetapi, Berbeda dengan beberapa pandangan teori di atas, Ibnu Khaldun justru berpandangan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun seharusnya tidak dilakukan dalam dunia pendidikan. Karena dalam pandangan Ibnu Khaldun, penggunaan kekerasan dalam pengajaran dapat membahayakan anak didik, apalagi pada anak kecil, kekerasan merupakan bagian dari sifat-sifat buruk. Disamping itu, Ia juga menambahkan bahwa perbuatan yang lahir dari hukuman tidak murni berasal dari keinginan dan kesadaran anak didik. Itu artinya pendidikan dengan metode ini juga sekaligus akan membiasakan seseorang untuk berbohong dikarenakan takut dengan hukuman.[2]
Dari banyak faktor yang menyebabkan gagalnya pendidikan, metode pembelajaran dan mentalitas pendidik memerlukan perhatian khusus. Sebagus apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh dua faktor tersebut, yaitu metode yang tepat dan mentalitas pendidik yang baik, sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara memuaskan atau tidak, bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh karena itu pemeliharaan metode pendidikan Islam harus dilakukan secara cermat disesuaikan dengan berbagai faktor terkait sehingga hasil pendidikan memuaskan.[3] 

B.    PENGERTIAN METODE PENDIDIKAN ISLAM
Tidaklah berlebihan jika ada sebuah ungkapan “aththariqah ahammu minal maddah”, bahwa metode jauh lebih penting disbanding materi, karena sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak.[4]
Salah satu komponen penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan dalam men-capai tujuan adalah ketepatan menentukan metode, sebab tidak mungkin materi pendidikan dapat diterima dengan baik kecuali disampaikan dengan metode yang tepat. Metode  diibarat-kan sebagai alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan, tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efesien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.
Contoh kongkrit adalah apa yang dilakukan Rasulullah SAW saat menyampaikan wahyu Allah kepada para sahabatnya bisa kita teladani,  karena Rasul saw. sejak awal sudah mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya.
Kata metode berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologi, kata metode berasal dari dari dua suku perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui dan hodos berrti “jalan” atau “cara”. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[5] Jika metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi Islami, selain itu metode dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.[6]
Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.[7] Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti cara dalam bahasa Indonesia.[8]
 Sedangkan menurut terminologi (istilah) para ahli memberikan definisi yang beragam tentang metode, terlebih jika metode itu sudah disandingkan dengan kata pendidikan atau pengajaran diantaranya :
1.     Winarno Surakhmad mendefinisikan bahwa metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.[9]
2.     Abu Ahmadi mendefinisikan bahwa metode adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur.[10]
3.     Ramayulis mendefinisikan bahwa metode mengajar adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Dengan demikian metode mengajar merupaka alat untuk menciptakan proses pembelajaran.[11]
4.     Omar Mohammad mendefinisikan bahwa metode mengajar bermakna segala kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, cirri-ciri perkembangan muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.[12]

Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian metode di atas, beberapa hal yang harus ada dalam metode adalah :
1.     Adanya tujuan yang hendak dicapai
2.     Adanya aktivitas untuk mencapai tujuan
3.     Aktivitas itu terjadi saat proses pembelaran berlangsung
4.     Adanya perubahan tingkah laku setelah aktivitas itu dilakukan.

Terdapat istilah lain dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan dengan metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi. Pendekatan merupakan pandangan falsafi ter-hadap subject matter yang harus diajarkan[13] dapat juga diartikan sebagai pedoman mengajar yang bersifat realistis/konseptual. Sedangkan teknik/strategi adalah siasat atau cara penyajian yang dikuasai pendidik dalam mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas, agar bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan baik.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan  pendidikan. Alat ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu polipragmatis dan mono pragmatis. Polipragmatis bilamana metode mengandung kegunaan yang serba ganda, misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi tertentu dapat digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat tergantung pada  si pemakai atau pada corak, bentuk, dan kemampuan dari metode sebagai alat, sebaliknya monopragmatis bilamana metode mengandung satu macam kegunaan untuk satu macam tujuan. Penggunaan mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan kebermaknaan menurut kondisi sasarannya mengingat sasaran metode adalah manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya. 
Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan oleh seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna bila ia mengandung nilai nilai yang intrinsik dan ekstrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk me-realisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.[14]

C.    PRINSIP-PRINSIP DAN DASAR-DASAR METODE PENDIDIKAN ISLAM
Agar proses pembelajaran tidak menyimpang dari tujuan pendidikan Islam, seorang pendidik dalam meggunakan metodenya harus berpegang kepada prinsip-prinsip yang mampu mengarahkan dan kepada tujuan tersebut. Dengan berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut, seorang pendidik diharapkan mampu menerapkan metode yang tepat dan cocok sesuai dengan kebutuhannya.
Dengan berlandaskan kepada ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis, M. Arifin menetapkan sembilan (9) prinsip yang harus dipedomani dalam menggunakan metode pendidikan Islam, kesembilan prinsip tersebut adalah:[15] prinsip memberikan suasana kegembiraan, prinsip memberikan layanan dengan lemah lembut, prinsip kebermaknaan, prinsip prasyarat, prinsip komunikasi terbuka, prinsip pemberian pengetahuan baru, prinsip memberikan model prilaku yang baik, prinsip pengamalan secara aktif, dan prinsip kasih sayang
Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode se-orang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam. Dasar metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah.[16]
1.     Dasar Agamis – maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama (Al Qur’an dan Hadits). Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
2.     Dasar Biologis – perkembangan biologis manusia mempunyai pengaruh dalam perkem-bangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
3.     Dasar Psikologis – perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didiknya.
4.     Dasar sosiologis – saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau dasar ini.

D.    METODE PENDIDIKAN ISLAM
Sebelum Nabi Muhammad SAW. memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah SWT. telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya, dengan potensi fitrahnya yang luar biasa.[17]
Dalam diri Nabi Muhammad SAW., seolah-olah Allah SWT. telah menyusun suatu metodologi pendidikan Islam yang sempurna, suatu bentuk yang hidup dan abadi selama sejarah kehidupan manusia masih berlangsung. Berbagai kepribadian terpuji terkumpul di dalam satu pribadi, yang masing-masing melengkapi bagian-bagian lain, seakan-akan pribadi itu sesuatu yang mempunyai banyak sisi yang berbeda, kemudian dipertautkan menjadi suatu benda yang lebih luas, tersusun rapi menjadi suatu lingkaran yang sangat sempurna dengan unsur-unsur pribadi yang disusun dengan baik dan teratur.
Sebagai manusia pilihan yang sudah dipersiapkan oleh Allah SWT. untuk menyampai-kan risalah Islam, tentu saja dalam melaksanakan tugas tersebut selalu berada di bawah pengawasan dan bimbinganNya, akan tetapi sebagai manusia biasa yang diberikan akal, hati dan indra lainnya, Rasulullah SAW. adalah manusia yang sangat cerdas, kreatif, inovatif dalam menyampaikan risalah Islam yang sekaligus sebagai materi dari pendidikan yang menjadi tugas utama Nabi.
Sebagai pribadi, Rasulullah SAW. memiliki kepribadian dan nilai-nilai kepemimpinan serta pola manajemen yang baik, sehingga strategi pembelajaran Rasulullah SAW. dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa Rasulullah SAW. adalah seorang Rasulullah yang tentunya berbeda dengan manusia biasa yang segala sikap dan tingkah laku serta perbuatannya sangat dipengaruhi bahkan selalu dalam bimbingan wahyu. Tetapi sebagai manusia, Rasulullah memang telah memiliki kepribadian yang terpuji sehingga beliau memperoleh predikat “al-amin” artinya yang jujur, begitupun dengan kemampuan beliau sebagai seorang pemimpin dan kombinasi dari kemampuan dan sikapnya yang mulia serta didukung oleh bimbingan Allah SWT. yang terus menerus, pembelajarannya dapat berhasil dengan baik.
Berdasarkan Hadis-Hadis yang ada, dalam kontek pembelajaran, Nabi Muhammad SAW. sangat kaya dengan  strategi dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikannya, sehingga tujuan pendidikan yang dikehendaki dapat tercapai dengan baik. Beberapa strategi pembelajaran yang dilakukan oleh  Nabi Muhammad SAW. antara lain :
1.      Mendidik dengan Contoh Teladan
Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya. Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode pendidikan yang paling berhasil guna. Hal itu karena dalam belajar, orang pada umumnya, lebih mudah menang-kap yang kongkrit ketimbang yang abstrak.
Nabi Muhammad SAW. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya, dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah SWT., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam shalat dan do’a, bagaimana sujud dengan penuh perasaan, bagaimana tunduk, bagaimana nangis kepada Allah SWT. di tengah malam, bagaimana makan, bagaimana tertawa, bagaimana berjalan. Semuanya itu dilakukan oleh Rasulullah SAW.[18]Seluruh perilaku Rasulullah tersebut  kemudian menjadi acuan bagi para sahabat sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan keteladanan adalah salah satu strategi pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya, hal ini sudah dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW.  Sebagai hasilnya, apapun yang diajarkan dapat diterima dengan segera dari dalam keluarga dan oleh masyarakat pengikutnya, karena ucapannya menembus ke hati mereka.  Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya merupakan cerminan kandungan al-Qur’an secara utuh, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab : 21.

ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Di dalam Al-Qur`an terdapat banyak ayat yang menunjukan kepentingan penggunaan teladan dalam pendidikan, diantaranya yang mengemukakan pribadi-pribadi taladan seperti dibawah ini :
a.     Pribadi Rosululloh : Sesungguhnya Telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.s al-Ahzab : 21)
b.     Pribadi Nabi Ibrahim as. Dan ummatnya : Sesungguhnya Telah ada suri taulad-an yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; (Q.s al-Mumtahanah : 4) Kepentingan penggunaan keteladanan juga terlihat dari teguran Alloh terhadap orang-orang yang menyampaikan pesan tetapi tidak mengamalkan pesan itu, Alloh menjelaskan : Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (q.s al-Shaff : 2)

Beberapa prilaku Nabi Muhammad SAW. yang menjadi “uswah hasanah” antara lain :
a.     Tentang Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW.
Dalam kedudukannya seperti itu, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah meng-anggap dirinya lebih besar dan lebih hebat dibandingkan dengan orang lain, ia tidak gila penghormatan dari orang lain, ia hidup dan berpakaian seperti orang paling miskin, ia duduk dan makan bersama-sama dengan masyarakat (termasuk budak dan hamba sahaya), tidurnya beralaskan tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga ketika ia bangun dari tidurnya masih nampak goresan-goresan tikar di pipinya.
Kerendahan hati adalah salah satu sifat teragung Nabi Muhammad SAW. Dia mencapai derajat tertinggi setiap harinya, dia terus bertambah rendah hati dan tunduk kepada Allah SWT. Satu ketika Nabi Muhammad menggambarkan tentang bagaimana seharusnya seorang beriman hidup di dunia, dalam kata-katanya yang sangat pendek namun penuh makna, seperti HR. Ahmad, Muslim dan Turmuzi dari Abu Hurairah berikut ini :Dunia itu penjara bagi orang yang beriman dan syurga bagi orang kafir”.
Nabi Muhammad SAW. tidak pernah tergoda untuk hidup bersenang-senang di dunia ini, ia telah mewakafkan seluruh kehidupannya untuk mengajak orang lain kembali kepada jalan yang benar, keyakinan bahwa dunia bersifat sementara untuk menuju kehidupan yang abadi di akhirat ia wujudkan dalam gaya hidup kesehariannya, sehingga Rasulullah SAW. benar-benar telah memberikan ketauladanan dalam kesederhanaan hidup di dunia ini.

b.     Tentang Kedermawanan Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW. selama hayatnya dikenal sebagai manusia yang sangat dermawan, ia suka memberikan apa saja yang dimilikinya, dia ikut dalam berdagang sampai ia menjadi Nabi dan mendapatkan banyak harta kekayaan, setelah itu dia dan isterinya membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT, sehingga ketika Khadijah istrinya meninggal dunia, tidak ada uang untuk membeli kain kafan. Rasulullah harus meminjam uang untuk biaya pemakaman istrinya.[19]
Rasulullah SAW. diutus untuk membimbing manusia menuju kebenaran, karenanya ia menghabiskan hidup dan hartanya untuk tujuan tersebut. Jika ia mau, Rasulullah SAW. dapat menjadi orang terkaya di Mekkah, tetapi dia tidak pernah berpikir untuk diri sendiri, yang selalu ia pikirkan adalah umatnya. Rampasan perang yang diperolehnya tidak pernah dikuasai untuk kepentingannya, bahkan yang menjadi haknyapun diberikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW. selalu memberi kepada setiap orang yang meminta kepada-nya, ia tidak pernah mengatakan tidak kepada siapa saja yang membutuhkan pemberiannya, bahkan ketika ada yang meminta sesuatu dan Rasulullah SAW. dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, Rasulullah SAW. memberikan janji untuk memberi permintaan tersebut jika dirinya sudah memiliki.
Rasulullah SAW. juga  selalu memberikan keyakinan kepada para sahabat, bahwa sifat dermawan tidak akan menyebabkan diri menjadi miskin, karena sesungguhnya kekayaan yang paling berharga adalah  kekayaan yang dinafkahkan di jalan Allah SWT. seperti Nabi pernah bersabda kepada Bilal, karena Bilal menyimpan persediaan makanan, dengan dasar takut tidak ada makanan dikemudian hari.Berse-dekahlah hai Bilal, jangan engkau takut dari (Allah) yang mempunyai Arsy menjadi berkekurangan (miskin)”.
Dalam hal kedermawanan, Rasulullah SAW. benar-benar telah memberikan suri tauladan yang dapat dipedomani, sehingga ketika beliau menganjurkan orang lain agar mau bersodaqah dan memiliki sifat pemberi, sesungguhnya beliau telah mencontoh-kan  dalam kehidupannya sehari-hari.

c.     Tentang Tertawa Rasulullah
Nabi Muhammad SAW. tidak saja menjadi contoh dalam persoalan-persoalan yang besar, tetapi dalam hal-hal yang dianggap tidak begitu penting oleh sebagian besar manusia, Rasulullah SAW. tetap saja merupakan sosok yang patut diteladani. Dalam berbagai riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW. adalah sosok manusia yang tidak pernah tertawa terbahak-bahak seperti layaknya kebanyakan orang, apabila me-nemui sesuatu yang lucu atau dalam keadaan gembira suka tertawa terbahak-bahak dalam waktu yang cukup lama, sampai-sampai sakit perutnya karena tertawa tersebut.
Rasulullah SAW. tidak pernah tertawa kecuali terseyum, senyum Rasulullah SAW. sangat mempesona, penuh dengan makna dan menjadikan dirinya semakin berkharisma, jika ia terlanjur tertawa maka Rasulullah segera menutupkan tangan ke mulutnya. Diriwayatkan oleh Ahmad dari  Jabir ibn Samurah ra. ia berkata :“Adalah Rasulullah SAW. Itu lama diamnya, sedikit tertawanya”

d.     Senda Gurau Nabi Muhammad SAW
Sebagai manusia biasa yang bergaul dengan masyarakat luas, Rasulullah SAW. tidak bisa melepaskan diri untuk tidak menyesuaikan suasana kehidupan bermasya-rakat. Nabi Muhammad SAW. bukanlah seorang pemimpin yang kaku dan serba formal dalam bergaul, justru sebaliknya ia dapat hidup dengan sangat luwes dengan berbagai kalangan. Salah satu warna kehidupan bermasyarakat adalah suasana rileks dengan bersenda gurau, dalam hal demikian Nabi Muhammad SAW. ternyata pandai bersenda gurau, bahkan gurauan Nabi Muhammad SAW. adalah gurauan yang penuh dengan makna pendidikan.
Diriwayatkan oleh Al-Turmuzi dari Hasan al-Bisri, ia berkata :”pada suatu hari ada seorang perempuan tua datang menghadap kepada Nabi lalu berkata;” Ya Rasulallah, mohonkanlah kepada Allah, supaya Dia memasukan aku ke dalam sorga.”, mendengar permohonan itu, beliau bersabda   :” hai ummu Fulan, sesungguhnya surga itu tidak akan dimasuki oleh seorang perempuan tua”.    Perempuan itu lalu berpaling dan menangis, oleh karenanya Nabi mengerti bahwa perempuan tadi salah mengerti terhadap perkataan beliau, maka beliau memerintahkan kepada para sahabat (yang kebetulan ada waktu itu) : “Beritahukanlah olehmu pada perempuan itu, sesungguhnya ia tidak akan masuk surga, karena ia seorang perempuan tua, karena Allah berfirman: bahwa sanya Kami menjadikan mereka (para perempuan) itu  dengan kejadian yang baru ; maka Kami menjadikan mereka itu gadis-gadis remaja putri, berkasih-kasihan dengan suami serta bersamaan usia”.
Rasulullah adalah seorang yang bersifat ramah, sewaktu-waktu ia bersenda gurau dengan orang disekelilingnya, akan tetapi senda gurau Rasulullah bukan hanya sekedar melucu yang menyebabkan pendengarnya tertawa terbahak bahak, melainkan dalam senda gurau itu terdapat pesan-pesan kebenaran sebagai mana sabdanya “ bahwasanya aku, sekalipun suka bersenda gurau dengan kamu, tetapi aku tidak akan berkata melainkan yang benar” (HR. Turmuzi dari Abi Hurairah ra.)
Biasanya para raja dan para pemimpin besar yang sangat dihormati dan disegani orang banyak, tidaklah meraka suka tertawa dan bergura dengan rakyat atau orang yang di bawah pimpinannya, karena untuk menjaga kehormatan dan kehebatan-nya, tetapi Nabi Muhammad SAW. sebagai pemimpin umat yang hakiki, tidaklah demikian, beliau tidak khawatir  akan hilangnya kehormatan dan kehebatan dirinya lantaran tertawa dan senda gurau itu. Bahkan senda gurau yang bersih, yang benar, yang pantas dan yang sopan itu menambahkan keeratan perhubungan beliau dengan para sahabatnya.[20]

e.     Pergaulan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW. adalah manusia ideal  yang patut dijadikan teladan dalam segala hal. Sebagai seorang pemimpin ia tidak pernah menyombongkan diri walaupun kepada orang yang lebih rendah darinya. Dalam pergaulan, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah membedakan orang lain dari kedudukannya, ia memberikan penghormatan kepada semua orang, ia menghargai pendapat semua orang, ia bebicara lemah lembut kepada semua orang, baginya kemuliaan orang itu hanya akan dibedakan dihadapan Allah SWT.  
Dalam pergaulan dengan orang lain, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah mengucapkan perkataan-perkataan yang kurang sedap didengar dan mungkin menyinggung perasaan orang lain. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas ibn Malik ra., ia berkata: “ Aku melayani Rasulullah SAW., dalam waktu sepuluh tahun, demi Allah sekali kali beliau belum pernah berkata kepadaku :”uff” dan tidak pula beliau pernah berkata kepadaku yang ku kerjakan; “mengapa kamu mengerjakan demikian dan mengapa kamu tidak mengerjakan demikian?”
Hadis di atas sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW. tidak pernah menyakiti orang lain dengan perkataannya, sekalipun kepada orang yang lebih rendah daripada beliau, Anas ibn Malik merasa sangat tersanjung, karena  Rasulullah SAW. tidak pernah mencela pekerjaannya.

2.     Mendidik dengan Targhib dan Tarhib
Kata targhib berasal dari kata kerja ragghaba yang berarti; menyenangi, menyukai dan mencintai, kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna “:suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan. Semua itu dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat merangsang atau mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya. Secara psikologi, cara itu akan menimbulkan daya tarik yang kuat untuk menggapainya. Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti; menakut nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda tarhib yang berarti; ancaman hukuman.
Metode ini telah digunakan masyarakat secara luas: orang tua terhadap anak, pendidik terhadap murid, bahkan masyarakat luas dalam interaksi antar sesamanya. Al-Qur`an ketika menggambarkan surga dan segala nikmatnya dan neraka dengan segala siksaannya menggunakan metode ini, kemudian pula ketika mengemukakan prinsip logis tentang keseimbangan antara balasan dan perbuatan. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka , Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (Q.s al-Zaljalah : 6-8)
Metode ini sesuai dengan tabiat manusia dimanapun berada, apapun jenis, warna kulit, atau ideologinya. Manusia menurut tabiatnya bertingkah laku sesuai dengan kadar pengetahuannya tentang akibat yang mungkin lahir dari tingkah laku dan perbuatannya, apakah perbuatan itu membahayakan atau menyenangkan. Metode ini digunakan sesuai dengan perbedaan tabiat dan kadar kepatuhan manusia terhadap prinsip dan kaidah islam, sebab pengaruh yang dihasilkan tiap-tiap metode itu tidaklah sama, metode motivasi lebih baik dari pada intmidasi. Yang pertama bersifat positif dan pengaruhnya relatif lebih lama karena bersandar pada pembangkitan dorongan instrinsik manusia, sementara itu metode kedua bersifat negatif dan pengaruhnya relatif temporal (sementara) karena berdasar pada rasa takut.
Untuk kedua istilah itu, Al-Nahlawi mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan  yang membuat senang terhadap suatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan  akhirat yang baik dan pasti serta suka kepada  kebersihan dari segala kotoran, yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal saleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya dan perbuatan buruk. Sementara tarhib ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT., atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT.
Penggunaan metode motivasi (Targhib) adalah prinsip pendidikan yang meng-utamakan  suasana yang menyenangkan dalam belajar. Karena ajaran Islam kata Abdul Fatah Jalal, memberikan prioritas pada upaya menggugah suasana gembira dibanding dengan ancama dan hukuman. Pengutamaan penggunaan metode motivasi atas intimidasi terlihat melalui fakta-fakta sebagai berikut :
a.     Rosululloh saw diutus kepada ummat manusia dengan memberikan kabar gembira : Sesungguhnya kami Telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.(Qs. al-Baqoroh : 119)
b.     Alloh memuji Rosululloh saw yang bersandar pada pemberian kabar gembira dan menyerunya untuk senantiasa menggunakannya : ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. al-Imron : 159)
c.     Dalam hal kebaikan, Alloh melipat gandakan pahalanya, sementara dalam hal keburuk-an, Dia membalasnya setimpal dengan keburukan itu :”Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya. (Qs. al-Imron : 160).

Nabi Muhammad SAW. dalam rangka menyampaikan pendidikan kepada masya-rakat terkadang dengan ungkapan yang bersifat  pemberian rangsangan (targhib) atau dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat ancaman (tarhib), kedua sifat ungkapan ini dilakukan oleh Rasulullah SAW. semata-mata sebagai sebuah strategi, agar pesan-pesan pendidikan dapat sampai kepada obyek pendidikan.
Beberapa bentuk dari targhib dan tarhib yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. antara lain adalah :
a.     Bentuk-bentuk Targhib (rangsangan)
1.     Rangsangan untuk mau menolong antar sesama - HR Muslim dari Abu Qatadah ;“Barang siapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesulitan kesulitan hari kiamat, maka hendaklah dia meringankan beban orang yang susah, atau mengapus utangnya”.
2.     Rangsangan agar mau selalu beribadah – HR. Imam Ahmad, Muslim, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Tsauban dan Abu Darda.  ”Hendaklah kamu banyak sujud kepada Allah, sebab tidaklah kamu sujud satu kali sujud kepada Allah, kecuali Allah mengangkatmu satu derajat dan menghapusnya dari kamu satu kesalahan”
3.     Rangsangan untuk bersikap sabar – HR. Imam Ahmad, Muslim, Tirmizi dari Abu Hurairah :“ Sederhanalah dan berlaku luruslah, maka di dalam setiap musibah yang menimpa seseorang muslim adalah kafarah sampai kepada sebuah petaka yang menimpanya atau sebuah duri yang menusuknya”
4.     Rangsangan untuk beramal kebaikan – HR. Bukhari dari Ma’qal ibn Yassar :“Barang siapa menyingkirkan duri dari jalan dituliskan kebaikan baginya dan barang siapa diterima daripadanya suatu kebaikan niscaya dia masuk surga”
5.      Rangsangan untuk selalu bekerja kerasHR. Imam Ahmad dan Thabrany dari Abu Darda ra.“ Barang siapa menanam bibit tanaman (sekalipun) yang tidak dimakan oleh manusia dan tidak pula oleh makhluk Allah melainkan Allah menuliskan sedekah untuknya”

b.     Bentuk-bentuk Tarhib (ancaman)
1.     Ancaman bagi orang yang sombong : “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dan tidak menghormati yang besar”
2.      Ancaman bagi orang yang bersumpah palsu – HR. Imam Ahmad dari Ahnaf ibn Qais ra.“ Sesungguhnya tidalah seorang hamba atau seorang laki-laki memotong (mengambil) harta orang lain dengan sumpahnya, melainkan dia akan menemui Allah nanti pada hari yang dia menemuiNya dalam keadaan terpotong (cacat tubuhnya)”.
3.     Ancaman bagi yang memfitnah – HR. Buhari Muslim dari Hudzaifah ra. “ Tidak akan masuk sorga seorang yang memfitnah (mengadu-adu)
4.     Ancaman bagi yang berlaku zalim – HR. Abd ibn Humaid dari Sa’id al-Khudri ra :“Wahai manusia, taqwalah kalian kepada Allah, demi Allah tidaklah seorang mukmin berlaku zalim kepada mukmin yang lain, melainkan Allah akan menyiksa-nya pada hari kiamat.

Ucapan-ucapan Rasulullah SAW. di atas menggambarkan, betapa Rasulullah SAW. berusaha untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan ancaman. Metode dengan ancaman perlu dilakukan, mengingat bahwa manusia memiliki tingkat kesadaran yang berbeda-beda. Ada orang yang sudah tersadarkan dan mau berbuat hanya dengan sebuah nasihat, tetapi ada tipe orang yang tidak bisa tersadarkan dan tidak mau berbuat sesuatu kecuali setelah ia memperoleh rangsangan (motivasi) atau memperoleh ancaman.

3.     Mendidik dengan Amtsal (Perumpamaan)
Perumpamaan dilakukan oleh Rasulullah SAW. sebagai salah satu strategi pembe-lajaran untuk memberikan pemahaman kepada obyek sasaran materi pendidikan semudah mungkin, sehingga kandungan maksud dari suatu materi pelajaran dapat dicerna dengan baik, strategi ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit.
Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah SAW. sebagai salah satu strategi pembelajaran selalu syarat dengan makna sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna  menjadi sesuatu yang sangat jelas.
Beberapa contoh pendidikan Rasulullah SAW. yang menggunakan perumpamaan sebagai salah satu strateginya, antara lain sebagai berikut :
a.     Perumpamaan orang bakhil dan dermawan – HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra. “Rasulullah SAW. telah memberikan contoh perumpama-an orang yang bakhil dan orang dermawan, bagaikan dua orang yang memakai jubah (baju) besi yang berat bagian tangan ke teteknya dan tulang bahunya, maka yang dermawan tiap ia ber-sedekah makin melebar bajunya itu sehingga dapat menutupi hingga ujung jari kakinya dan menutupi bekas-bekas kakinya, sedang si bakhil jika ingin sedekah mengkerut dan tiap pergelangan makin seret dan tidak berubah dari tempatnya. Abu Hurairah berkata; Saya telah melihat Nabi SAW. ketika mencontohkan dengan tangannya keadaan bajunya dan andaikan ia ingin meluaskannya tidak dapat”
b.     Perumpamaan orang yang suka memberi dan suka memintaHR. Bukhari Muslim dari Abdullah ibn Umar ra.“ Ketika Nabi berkhutbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, maka bersabda; Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, tangan yang di atas itu yang memberi dan yang di bawah yang meminta”
c.     Perumpamaan Kawan baik dan jelek – HR.  Bukhari Muslim dari Abu Musa ra. “Perum-pamaan duduk dengan orang baik-baik dibandingkan dengan duduk beserta orang-orang, bagaikan pemilik kasturi dengan dapur tukang besi; Engkau tidak akan lepas dari pemilik kasturi , adakalanya engkau membeli kasturi itu atau sekurang-kurangnya mencium baunya. Sedangkan dapur tukang besi membakar tubuhmu atau sekurang-kurangnya engkau mencium bau busuk”

Ketika Rasulullah SAW. memperagakan dengan baju yang dikenakannya untuk mengumpamakan antara orang  dermawan dengan orang yang bakhil akan sangat mudah dipahami oleh orang yang mendengar dan melihat, karena perumpamaannya sangat konkrit (sudah dikenal), pesan ini tentu saja diarahkan agar manusia menjadi orang dermawan, karena dengan sifat dermawan itulah Allah SWT. akan memberikan balasan, sebaliknya sifat bakhil hanya akan mempercepat kemiskinan.
Dalam memberikan pendidikan untuk mengarahkan agar manusia senantiasa berteman dengan orang-orang yang shalih, Rasulullah mengumpama-kan bahwa bergaul dengan orang shalih bagaikan orang yang membawa minyak kasturi, artinya selalu wangi (orang yang bergaul dengan orang yang shalih akan terbawa nama baiknya) dan akan timbul sifat saling memberi dan menolong. Sedangkan orang yang jahat diumpamakan dengan pandai besi (jika tidak mempengaruhi kejahatannya paling tidak akan terbawa dengan identitas jeleknya).
Perumpamaan-perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. jika dimaknai dengan kesungguhan akan banyak ditemukan kandungan hikmah  yang sangat dalam, sehingga kalimat-kalimat singkat dan sederhana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. tersebut mengandung banyak makna tetapi dapat dicerna dengan baik oleh siapapun yang mendengarkannya.

4.     Mendidik dengan Nasehat
Nabi Muhammad SAW. sering sekali kedatangan masyarakat dari berbagai kalangan, mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW.  khusus untuk meminta nasihat tentang berbagai hal,  siapa saja yang datang untuk meminta nasihat kepada Rasulullah SAW., beliau selalu memberikan nasihat sesuai dengan permintaan, selanjutnya nasihat tersebut dijadikan pegangan dan landasan dalam kehidupan mereka.
Al-Qur`an sarat dengan nasihat, Alloh menjelaskan : Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. (Q.s an-Nisa : 58)  Yang dimaksud dengan nasihat ialah : penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghin-darkan orang yang dinasihati dari bahaya serta me-nunjukannya kejalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfa’at. Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan islam dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa peserta didik apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuk relung jiwa melalui pintunya yang tepat.
Cara yang dimaksud adalah hendaknya nasihat lahir dari hati yang tulus, artinya pendidik berusaha menimbulkan kesan bagi peserta didiknya. Hal inilah yang membuat nasihat mendapat penerimaan yang baik dari orang yang diberi nasihat. Kata ini dalam bahasa arab berakar pada kata nashaha dan mengandung pengertian bersih dari noda dan tipuan rajulun nashih al-jaib orang yang tidak memiliki sifat menipu, dan al-nashih berarti madu murni.
Atas dasar ini Abdurrahman an-Nahlawi menjelaskan indikasi nasihat yang tulus ialah orang yang memberi nasihat tidak berorientasi pada kepentingan material pribadi. Sebaiknya dalam metode ini pendidik menggunakan teknik-teknik tidak langsung seperti dengan bercerita dan membuat perumpamaan. Seperti dengan cerita atau kisah yang bermuatan ajaran moral dan nilai-nilai edukatif, seperti cerita yang disajikan dalam al-Qur`an yang tentunya banyak pelajaran dan nasihat yang dapat diambil oleh peserta didik.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal..(Q.s Yusuf : 111). Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang Telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.s al-Taubat : 70)
Ketika menggunakan nasihat itu dengan bentuk kisah-kisah, pendidik dapat mem-bahasnya secara panjang-lebar dan meninjaunya dari berbagai aspek selaras dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Pendidik dapat pula menggunakan pelajaran sejarah untuk menyampaikan ajaran dan nasihat. Banyak umat yang jatuh karena akhlaknya rusak, maka kata Abdurrahman al-nahlawi, bukan untuk menanamkan fanatisme kebangsaan atau keagamaan tertentu, melainkan untuk memetik pelajarannya dan mengetahui intisarinya.
Dari banyak peristiwa tentang pemberian nasihat Nabi Muhammad SAW. kepada yang meminta nasihat (seperti tersebar dalam beberapa buku Hadis), penulis kemukakan beberapa contoh pembelajaran Nabi melalui nasihat antara lain sebagai berikut :
a.     Nasihat tentang menjaga amanat – HR.  Bukhari, Abu Dawud, Al-Tirmizi dari Abu Hurairah :“Tunaikan amanat itu untuk orang yang memberi kepercayaan kepadamu dan jangan engkau khianat terhadap orang yang telah berkhianat kepadamu “ Amanat adalah hak yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya, memelihara amanat buah dari iman, jika iman berkurang, berkurang juga amanat, menunaikan amanat hukumnya wajib. Sebaliknya khianat hukumnya haram sekalipun terhadap yang mengkhianati kita, hal ini menunjukan bahwa kita terlarang bekerja-sama dengan cara saling mengkhianati.[21]  Betapa Rasulullah SAW. memperhatikan persoalan amanah ini, hingga dalam kesempatan lain beliau bersabda yang menegaskan bahwa orang yang tidak melaksanakan amanah dengan benar termasuk salah satu ciri orang munafiq.
b.     Nasihat tentang memelihara ucapan – HR. Ibnu Asakir dari Sha’sha’ah ibn Najiyah ra. “Kendalikanlah lidahmu“ . Nasihat ini diberikan kepada Haris, ketika Haris bertanya perihal yang dapat memeliharanya, lalu Nabi menjawab seperti bunyi Hadis di atas.[22] Lidah atau ucapan jika tidak dikendalikan dengan baik bisa menjadi masalah dalam kehidupan seseorang, sehingga hal ini termasuk yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW. dalam Hadis yang lain Rasulullah SAW. berpesan, jika kita tidak dapat berkata-kata yang bermanfaat lebih baik diam. Artinya, hendaklah setiap perkataan yang keluar dari mulut seseorang dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, sehingga dengan perkataannya itu ia terpelihara, sebaliknya orang akan celaka jika tidak mampu menguasai lidahnya, sepeti kata seorang bijak “lidahmu adalah harimaumu yang sewaktu-waktu siap menerkam dirimu sendiri”
c.     Nasihat tentang kesadaran akan dosaHR. al-Turmuzi dari Uqbah ibn Amir “Kuasailah lidahmu, lapangkanlah rumahmu, dan menangislah atas kesalahan-mu”. Nasihat ini diberikan oleh Rasulullah SAW. kepada Uqbah ibn Amir ketika ia bertanya tentang arti keselamatan, lalu Nabi Muhammad SAW. menjawab seperti Hadis di atas. Menguasai lidah berarti mengendalikannya sehingga tidak membawa kepada kecelakaan, menjauhi fitnah dan menangis penuh penyesalan karena dosa yang dilakukan, karena Allah SWT. menyukai orang-orang yang bertaubat.[23]
Banyak di antara manusia yang bisa berubah perilakunya dari yang kurang baik kepada prilaku yang lebih baik hanya karena ia mendengarkan nasihat, apalagi nasihat tersebut ia minta niscaya akan benar-benar dipedomani. Jika diamanati nasihat-nasihat Rasulullah SAW. di atas sangat pendek dan ringkas namun menunjukan kelugasan, sehingga penerima nasihat tidak perlu menafsirkan ucapan-ucapan Rasulullah SAW. tersebut. Kalimatnya pendek namun jelas tertuju kepada suatu masalah, seperti masalah pentingnya menjaga amanat, masalah bagaimana berbicara yang baik, masalah budi pekerti, masalah penyadaran akan dosa-dosa, semua disampaikan oleh Rasulullah SAW. dengan tidak bertele-tele.

5.     Pembiasaan
Pembiaaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Yang di-maksud dengan kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform, dan hampir-hampir otomatis maksudnya hampir tidak disadari oleh pelakunya. Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak. Mereka belum menginsafi apa yang disebut baik dan buruk dalam arti susila. Demikian pula mereka belum mempunyai kewajiban-kewajbian yang harus dikerjakan seperti pada orang dewasa.
Sunnah Rosululloh saw, yang sangat dikenal sehubungan dengan metode pembiasaan ialah sebagai berikut
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَ اَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهًُمْ اَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ, َفَرَّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى المَضَاجِعْ رواه بو دود
Artinya : “Suruhlah anak-anak sekalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh ahun, dan pukullah mereka apaila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. (H.R Abu dawud)

Menanamkan kebiasaan itu sulit dan kadang-kadang memerlukan waktu yang lama kesulitan itu disebabkan pada mulanya seseorang atau anak belum mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakannya. Apalagi yang dibiasakan itu kurang menyenagkan. Oleh sebab itu, dalam menanamkan kebiasaan diperlukan pengawasan. bahkan dalam hal ini, sebagaimana disarankan Abdulloh Ulwah, pendidikan bisa mengunakan motivasi dengan kata-kata yang baik, bisa memberi hadiah, hingga menggunakan hukuman apabila dipandang perlu dalam meluruskan penyimpangan. Pembiasaan hendaknya disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian terus menerus akan maksud dari tingkah laku yang dibiasakan. Sebab pembiasaan digunakan bukan untu memaksa peserta didik agar melakukan sesuatu secara otomatis tanpa disadari oleh dirinya tetapi dapat melaksanakan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa susah atau berat hati . dismping itu, tingkah laku muslim yang benar adalah yang sejalan dengan hatinya. Sesuai dengan yang ditegaskan oleh Rosul :
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya :”Sesunggunya nilai perbuatan ditentukan oleh niat, dan setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan niat perbuatannya”.

Atas dasar hadis ini juga, pembiasaan yang pada awalnya bersifat mekanistis hendaknya diusahakan agar menjadi kebiasaan yang disertai kesadaran (kehendak dan kata hati) peserta didik sendiri. Hal ini sangat mungkin apabila pembiasaan secara berangsur-angsur disertai dengan penjelasan dan nasihat, sehingga makin lama timbul kesadaran dan pengertian bagi peserta didik.

6.     Metode Persuasif – yaitu meyakinkan peserta didik tetang suatu ajaran dengan kekuatan akal. Metode ini dalam bahasa arab dikenal dengan istilah uslub al-iqna wa al-iqtina. Penggunaan metode ini didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Dengan metode ini pula pendidikan islam menekankan pentingnya memperkenal-kan dasar-dasar rasional dan logis segala persoalan yang dimajukan kepada peserta didik.
7.     Metode Pengetahuan Teoritis – Metode  ini merupakan paling tua dan umum digunakan dalam pendidikan. Termasuk pendidikan Islam. pengetahun teoritis itu penting karena ia mengembangkan akal pikiran manusia dan membantunya untuk membentuk latar belakang kultural yang memungkirinya untuk berinteraksi dengan masyarakatnya.

8.     Mendidik dengan cara memukul
Dalam hal tertentu, khususnya untuk membiasakan mengerjakan shalat bagi setiap muslim sejak dini, Rasulullah SAW. menganjurkan kepada setiap orang tua untuk menyuruh (dengan kata-kata) kepada setiap anaknya, ketika mereka berusia tujuh tahun  agar mau melaksanakan ibadah shalat, selanjutnya Rasulullah SAW. menganjurkan jika anak pada usia sepuluh tahun belum mau melaksanakan shalat maka pukullah ia.
Perintah memukul ini mengandung makna yang sangat dalam, mengingat Rasulullah SAW. sendiri dalam kontek pendidikan, tidak pernah memukul (dengan tangan) selama hidupnya. Perintah ini hanyalah menunjukan ketegasan Rasulullah SAW. untuk menanamkan kebiasaan positif  yang harus dimulai sejak anak-anak. HR. Ahmad dan Abu Daud dari Amir ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata ; “Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat di kala mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena mereka tidak mengerjakannya di kala mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya”.
Memukul dalam hal ini tidak dilandasi oleh emosional dan kemarahan, tetapi sebaliknya memukul dalam konteks Hadis di atas harus dilandasi dengan kasih sayang, keikhlasan dan dengan tujuan semata-mata karena Allah SWT. Dalam peristiwa yang lain (bukan dalam hal shalat) Rasulullah SAW. bersabda; bahwa sebaiknya  pukulan itu dilakukan tidak berkali-kali, bahkan cukup satu kali saja. Hadis riwayat Bukhari dari Anas ibn Malik ra. “ … Sesungguhnya kesabaran itu ketika pukulan pertama”.
Rasulullah SAW. sangat berhati-hati dalam setiap perkataannya, sehingga setiap orang yang mendengarkan sabdanya tidak salah dalam menafsirkan, dalam persoalan “memukul” Rasulullah SAW. membedakan antara pukulan dengan maksud pendidikan shalat (seperti Hadis di atas) dengan pukulan pada hukuman yang memang seharusnya dilakukan, seperti bunyi Hadis berikut ini. HR. Bukhari Muslim dari Abu Burdah ra., bahwa Nabi bersabda :“Tidak boleh dipukul dari sepuluh kali kecuali dalam had yang telah ditentukan hukum had oleh Allah SWT.”
Rasulullah SAW. tidak bermaksud “memukul” untuk menyakiti, karenanya beliau tidak memperkenankan memukul di bagian-bagian vital seperti muka, kepala dan dada. Sikap Rasulullah SAW. ini terbukti ketika dalam sebuah peristiwa perang terjadi perkelahian yang saling memukul muka (pipi), Rasulullah SAW.  sangat khawatir dengan pemandangan itu kemudian  bersabda : “Apakah kau biarkan tangannya dimulutmu dan kau pecahkan dia seperti memecahkan kepala binatang” (H.R. al-Thahawi dan ‘Atha dari Shafwan ibn Ya’la ibn Umayah)
Para filosof dan pendidik muslim seperti Ibnu Sina, al-Gozali, al-Abdari, Ibnu khaldun dan Muammad al-Atiyah al-Abrasyi, mereka secara sepakat berpegang pada prinsip yang menyatakan : اَلــوِقَـايَةُ خَيْرٌ مِنَ العِـــلاَجِ Menjaga (tindakan preventif) lebih baik ketimbang mengobati (tindakan kuratif). Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman :
a.     Hukuman adalah metode kuratif (untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya). Dan pendidik hendaknya tidak boleh menjatuhkan hukuman ketika marah.
b.     Hukuman baru digunakan apabila metode lain seperti nasihat dan peringatan tidak berhasil, guna dalam memperbaiki peserta didik. Abdul Ulwah member-kan langkah-langkah untuk mengingtakan kesalahan yang mereka lakukan : memberi pengarahan, membujuk, memberi isyarat, mencela, mengucilkan, memukul dan yang mengandung pendidikan bagi orang lain. Dalam al-Qur`an prinsip dalam tahapan memberikan hukuman : “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguh-nya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
c.     Sebelum dijatuhi hukuman peserta didik hendaknya lebih dahulu diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki dirinya.
d.     Hukuman yang dijatuhkan hendaknya dapat dimengerti olehnya, sehingga ia sadar akan kesalahan dan tidak mengulanginya.
e.     Hukuman psikhis lebih baik ketimbang hukumnan fisik.
f.      Hukuman hendaknya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi peserta didik, karena peserta didik mempunyai kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan ataupun respons yang dilahirkannya.
g.     Hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya.
h.     Pendidik hendaknya tidak mengeluarkan ancaman hukuman yang tidak mungkin dilakukannya.

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perintah “memukul” hanya dalam masalah shalat, hal ini menggambarkan bahwa shalat adalah salah satu ibadah yang paling pokok dan tidak boleh diabaikan seperti juga sabda beliau bahwa “Shalat itu merupakan tiang agama, barang siapa yang telah medirikan shalat maka ia telah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkan shalat maka ia telah menghancurkan agama”, di sisi lain hal ini juga menggambar-kan ketegasan Rasulullah SAW. dalam menerapkan kebiasaan beribadah sejak dini.
Dari beberapa ucapan Rasulullah SAW. berkenaan dengan “memukul”, dapat juga dimaknai bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. tidak menghendaki pemukulan itu terjadi pada diri anak, ucapan ini hanyalah merupakan ancaman, karena dalam konteks pendidikan ada tipe anak yang memerlukan ancaman  agar dapat melaksanakan perintah tentang kebenaran. Rasulullah SAW. adalah sosok manusia yang tegas dalam kata-kata dan lembut dalam perbuatan, walaupun ia menyuruh memukul, di sisi lain tidak ditemukan bukti-bukti bahwa Rasulullah SAW. pernah melakukan pemukulan terhadap peserta didiknya. Bukti-bukti yang ada justru menerangkan betapa Rasulullah SAW. memiliki perilaku yang lemah lembut dan dengan cara-cara yang baik dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Jangankan pemukulan yang melukai, menyinggung perasaan dengan kata-kata saja beliau tidak pernah melakukannya.


Berdasarkan pendekatan pandangan falsafi terhadap subject matter  yang harus diajar-kan dan selanjutnya melahirkan metode mengajar.[24] Ramayulis menemukan enam pendekatan yang dapat digunakan pendidikan Islam dalam pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu :
1.     Pendekatan pengalaman – yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan, baik secara individual maupun kelompok (the experient is the best teacher).
2.     Pendekatan pembiasaan – yaitu suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja yang kadang kala tanpa dipikirkan. Pendekatan pembiasaan dalam pendidikan berarti memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajarannya.
3.     Pendekatan emosional – yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.
4.     Pendekatan Rasional – yaitu suatu pendekatan mempergunakan rasio dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan dengan akal yang dimilikinya juga manusia juga dapat membenarkan dan membuktikan adanya Allah.
5.     Pendekatan fungsional – yaitu suatu pendekatan dalam rangka usaha menyampai-kan materi agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatan pada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangannya. Ilmu Agama yang dipelajari anak di sekolah bukanlah hanya sekedar melatih otak tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan social.
6.     Pendekatan keteladanan yaitu Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan ke-teladanan baik yang berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah ketauladanan.

E.     METODE MENGAJAR DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai ummat yang telah dianugerahi Allah Kitab AlQuran yang lengkap dengan petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal sebaik-nya mengguna-kan metode mengajar dalam pendidikan Islam yang prinsip dasarnya dari Al Qur’an dan Hadits. Diantara metode-metode tersebut adalah :[25]
1.     Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru mengaju-kan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca. Prinsip dasar metode ini terdapat dalam hadits Tanya jawab antara Jibril dan Nabi Muhammad tentang iman, islam, dan ihsan. Selain itu ada juga hadits yang lainnya seperti hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَقَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُضَرَ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي حَدِيثِ بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

Artinya :”Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr yaitu ibn Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah ibn Abdurrahmân dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda; Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang di antara kalian. Ia mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana pendapat kalian? Apakah masih akan tersisa kotorannya? Mereka menjawab, tidak akan tersisa kotorannya sedikitpun. Beliau bersabda; Begitulah perumpamaan salat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa”. (Muslim, I: 462-463)

2.     Metode Ceramah – adalah cara penyampaian informasi melalui  penutur-an secara lisan oleh pendidik kepada peserta didik. Prinsip dasar  metode ini terdapat di dalam Al Qur’an :

!$£Jn=sù öNßg8pgUr& #sŒÎ) öNèd tbqäóö7tƒ Îû ÇÚöF{$# ÎŽötóÎ/ Èd,ysø9$# 3 $pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $yJ¯RÎ) öNä3ãŠøót/ #n?tã Nä3Å¡àÿRr& ( yì»tG¨B Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ¢OèO $uZøs9Î) öNä3ãèÅ_ótB Nä3ã¤Îm7t^ãZsù $yJÎ/ óOçFZä. šcqè=yJ÷ès? ÇËÌÈ

Artinya : “Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Q.S. Yunus : 23)

3.     Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara penyajian-penyampaian bahan pelajaran dimana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membicarakan dan meng-analisis secara ilmiyah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan atas sesuatu masalah. Abdurrahman Anahlawi[26] menyebut metode ini dengan sebutan hiwar (dialog). Prinsip dasar metode ini terdapat dalam Al Qur’an Surat Assafat : 20-23 yang berbunyi :

(#qä9$s%ur $uZn=÷ƒuq»tƒ #x»yd ãPöqtƒ ÈûïÏd9$# ÇËÉÈ #x»yd ãPöqtƒ È@óÁxÿø9$# Ï%©!$# OçGYä. ¾ÏmÎ/ šcqç/Éjs3è? ÇËÊÈ * (#rçŽà³ôm$# tûïÏ%©!$# (#qçHs>sß öNßgy_ºurør&ur $tBur (#qçR%x. tbrßç7÷ètƒ ÇËËÈ `ÏB Èbrߊ «!$# öNèdrß÷d$$sù 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ËLìÅspgø:$# ÇËÌÈ
Artinya :”Dan mereka berkata:”Aduhai celakalah kita!” Inilah hari pembalasan. Inilah hari keputusan yang kamu selalu mendustakannya(kepada Malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah,Selain Allah; Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Q.S. Assafat : 20-23)

Selain itu terdapat juga dalam hadits yang berbunyi :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.

Artinya: “Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis Ismail dan dia ibn Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu   Hurairah ra. bahwasnya Rasulullah saw. bersabda: Tahu-kah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut)?, jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan harta.Rasul bersabda; Sesungguhnya orang   yang muflis dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat   dengan (pahala) salat, puasa dan zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah (mem- bunuh) ini dan memukul orang ini. Maka orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah habis  sebelum ia bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan dicampakkan  kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka.(Muslim,IV: 1997)

4.     Metode Pemberian Tugas
            Metode pemberian tugas adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut diperiksa oleh gur dan murid harus mempertanggung jawabkannya. Prinsip dasar metode ini terdapat dalam Al Qur’an yang berbunyi  :
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ   قُمْ فَأَنذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ   وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ   وَالرُّجْزَ  فَاهْجُرْ  وَلاَتَمْنُن تَسْتَكْثِرُ   وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
Artinya :”Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balas-an) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah”.

5.     Metode Demonstrasi
Metode demontrasi adalah suatu cara mengajar dimana guru mempertunjukan tentang proses sesuatu, atau pelaksanaan sesuatu sedangkan murid memperhatikannya. Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits yang berbunyi :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.

Artinya: “Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhâb katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami mendatangi Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama (dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw  adalah seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakantentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (al-Bukhari, I: 226)

6.     Metode Eksperimen
Suatu cara mengajar dengan menyuruh murid melakukan suatu   percobaan, dan setiap proses dan hasil percobaan itu diamati oleh setiap murid, sedangkan guru memper-hatikan yang dilakukan oleh murid sambil memberikan arahan. Prinsip dasar metode ini ada dalam hadits :
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ عَنْ ذَرٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبْ الْمَاءَ فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

Artinya: “Hadis Adam, katanya hadis Syu’bah ibn Abdurrahmân ibn Abzâ dari ayahnya, katanya seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattâb, maka katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn Yasir kepada Umar ibn Khattâb, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat, sedangkan saya berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya menceritakan-nya kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw. bersabda: ”Sebenarnya anda cukup begini”. Rasul memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.(al-Bukhari, I: 129)”

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut al-Asqalani, hadis ini mengajarkan sahabat tentang tata cara tayammum dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444) Sahabat Rasulullah saw. melakukan upaya pensucian diri dengan berguling di tanah ketika mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya Rasulullah saw. memperbaiki ekperimen mereka dengan mencontohkan tata cara bersuci menggunakan debu.

7.     Metode Amsal (Perumpamaan)
Yaitu cara mengajar dimana guru menyampaikan materi pembelajaran melalui contoh atau perumpamaan. Prinsip metode ini terdapat dalam Al Qur’an
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّآ أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ
Artinya : “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api  Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. (Q.S. Albaqarah : 17)

Selain itu terdapat pula dalam hadits yang berbunyi :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً .

Artinya; “Hadis dari Muhammad ibn Mutsanna dan lafaz darinya, hadis dari Abdul Wahhâb yakni as- Śaqafi, hadis Abdullah dari Nâfi’ dari ibn Umar, Nabi saw. bersabda: Perumpama-an orang munafik dalam keraguan mereka adalah seperti kambing yang kebingungan di tengah kambing-kambing yang lain. Ia bolak balik ke sana ke sini”. (Muslim, IV: 2146)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan ibn Umar adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut ath-Thîby (1417 H, XI: 2634), orang-orang munafik, karena mengikut hawa nafsu untuk memenuhi syahwatnya, diumpamakan seperti kambing jantan yang berada di antara dua kambing betina. Tidak tetap pada satu betina, tetapi berbolak balik pada ke duanya. Hal tersebut diumpamakan seperti orang munafik yang tidak konsisten dengan satu komitmen.
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih kongkrit syarat dengan makna, sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.

8.     Metode Targhib dan Tarhib
Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan dan hukuman terhadap keburukan agar peserta didik melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits berikut ini :

حدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.

Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku Sulaiman dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari Abu Hurairah, ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia mendapat syafa’atmu pada hari kiamat?, Rasulullah saw bersabda: Saya sudah menyangka, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya tentang hadis ini seorangpun yang mendahului mu, karena saya melihat semangatmu untuk hadis. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku ada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ”Lâilaha illa Allah” dengan ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I: 49)

Selain hadits juga hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ الْجُذَامِيِّ عَنْ صَالِحِ بْنِ خَيْوَانَ عَنْ أَبِي سَهْلَةَ السَّائِبِ بْنِ خَلَّادٍ قَالَ أَحْمَدُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا فَبَصَقَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ فَرَغَ لَا يُصَلِّي لَكُمْ….

Artinya: Hadis Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar memberitakan padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn Khaiwân dari Abi Sahlah as-Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari kalangan sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda ”jangan lagi dia menjadi imam salat bagi kalian”… (Sijistani, t.t, I: 183).

Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian ter-golong şiqah hâfiz, şiqah dan şiqah azaly. Memberikan hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tampa kehadiran imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. Dengan demikian Rasulullah saw. memberi hukuman mental kepada seseorang yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan social. Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati.
Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak me-mungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam.

9.     Metode Pengulangan (Tikror)
Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi ajar dengan cara mengulang-ngulang materi tersebut dengan harapan siswa bisa mengingat lebih lama materi yang disampaikan. Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits berikut :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.

Artinya: “Hadis Musaddad ibn Musarhad hadis Yahya dari Bahzâ ibn Hâkim, katanya hadis dari ayahnya katanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Celakalah bagi orang yang berbicara dan berdusta agar orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya”. (As-Sijistani, t.t, II: 716).

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian ter-golong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah sadũq. Rasulullah saw. mengulang tiga kali perkata-an ”celakalah”, ini menunjukkan bahwa pembelajaran harus dilaksanakan dengan baik dan benar, hingga materi pelajaran dapat dipahami dan tidak tergolong pada orang yng merugi.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu ingatan yang penting.
Latihan mental, mengaktifkan orang yang belajar untuk membayangkan kejadian-kejadian yang sudah tidak ada untuk berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan motorik. Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang. Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi kode verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan dilakukan Rasulullah saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk diingat para sahabat.


DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Ad-Damsyiqi, Al-Hanafi, Ibnu Hamzah Al-Husaini, Asbab al-Wurud, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Ahmadi, Abu dan Joko Triprasetyo, 2005, Strategi Belajar Mengajar, Bandung :   Pustaka setia
 Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Anwar, Qamari, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, Jakarta :       UHAMKA Press. 2003
Al Syaibani, Omar Mohammad,  Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979
Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.
Azizy, Ahmad Qodri A. Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Azra. Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002
Chalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW., Jakarta:  PT. Bulan Bintang, 1994
Echol, Jhon M dan Shadily, Hasan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta :  Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Gulen, M. Fethullah, Versi Teladan: Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. (Terj.), Jakarta:  PT. Rosda Karya, 2002.
H. A. Yunus, Drs., S.H., MBA. Filsafat Pendidikan, CV. Citra Sarana Grafika. Bandung. 1999.
Hitami, Munzir. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Infinite Press, 2004
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Miskawaih, Ibnu. Tahzib al-Akhlaq, Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Nur Uhbiyati., Ilmu Pendidikan Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung, 1998
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Ramayulis dan Nizar Samsu, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2009
Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, 2003
Surakhmad, Winarno, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar, Bandung :  arsito, 1998
Tilaar, Prof. Dr., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung
Tafsir, Dr. Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002
Tafsir, Dr. Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2001
Zuhairini, Dra. Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.


[1] Ibnu Miskawaih, Tahzib al Akhlaq, Mesir; Al Mathbah Al Husainiyayh, (TT) hal 27
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001, hal. 763
[3] Qomari Anwar, Pendidikan Sebagai Karakter Bangsa, Jakarta, UHAMKA Press, 2003, hal 42
[4] ibid, hal. 43.
[5] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, hal. 61 dan Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohya, Kalam Mulia, 2009, hal. 209.
[6] Abuddin Nata, Filsafat Penddikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001, hal. 91
[7] Shalih Abd. Aziz, At Tharbiyah wa Thuriq al Tadris, Kairo, Maarif, 119 H, hal. 196 dan lihat pula Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008, hal. 2-3.
[8] John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 379
[9] Surakhmad, Pengantar Interaksi Belajar  Mengajar, Bandung, Tarsito, 1998, hal. 96.
[10] Abu Ahmadi, Strategi Belajar  Mengajar, Bandung, Pustaka Setia, 2005, hal. 52
[11] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, hal. 3
[12] Omar Muhammad, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hal. 553
[13] Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 209.
[14] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 197
[15] Ibid, hal. 199
[16] Ramayulis dan Samsur Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,  hal 216.
[17] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1997,  hal. 18
[18] M. Fathullah Gulen, Versi Teladan; Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, Jakarta Rosda Karya, 2002, hal. 197
[19] Ibid, hal. 199
[20] Munawar Kholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta Bulan Bintang, 1994, hal. 49
[21] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi al-Damsyiqi, Asbab Al Wurud, Jakarta, Kalam Mulia,2003, hal. 69
[22] Ibid, hal. 379
[23] Ibid, hal. 378
[24] Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 209
[25]  Ibid, hal. 193
[26] Ibid, hal. 194

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates