Senin, 30 November 2009
TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Oleh :
I H S A N
BAB I
PENDAHULUAN
Satu hal yang paling penting dalam masalah pendidikan formal adalah pengaturan kurikulum. Karena kurikulumlah yang dijadikan sebagai acuan bagi berjalannya proses pendidikan. Bahkan termasuk sebagai acuan bagi evaluasi berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang dilakukan guru/ sekolah.
Dalam sistem pendidikan Islam, tentu kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut. Penyusunan kurikulum diatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar bisa membentuk kepribadian Islam yang sempurna pada peserta didik. Mereka bukan hanya menguasai sainstek, cerdas secara intelektual saja, tetapi juga memahami hakekat diadakannya proses pendidikan itu sendiri.
Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam formal dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik, yaitu (1) pembentukan kepribadian islami), (2)Tsaqafah Islam, dan (3) Ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan ketrampilan). Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian islam yang secara terus menerus pemberiannya untuk semua tingkat, muatan tsaqafah islam dan Ilmu terapan/ilmu kehidupan diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapakan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Namun pertanyaan selanjutnya; apa saja aspek-aspek kehidupan itu ? Jawaban pertanyaan ini setidaknya muncul bebarapa paradigma pengembangan pendidikan Islam yaitu: pertama; paradigma Formisme; kedua; paradigma mekanisme dan ketiga paradigma organisme .
Pertama; paradigma Formisme; dalam paradigma ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau distrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan seperti; laki-laki dan perempuan, madrasah dan non Madrasah, pendidkan keagamaan dan non keagamaan, demikian seterusnya, pandangan ini berlanjut pada cara memandang aspek kehidupan dunia dan akherat. Kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya dietakkan pada kehidupan akherat saja atau kehidupan rohani saja. Oleh kerena itu pengembangannya (PAI) hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, pendidikan (agama) Islam hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan priritual, sementara kehidupan sosial ekonomi politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan lainya dianggap sebagai bidang duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan umum.
Kedua; paradigma mekanisme, paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nila politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinaya/pimpinan dari lembaga tersebut. Terutama dalam membangun kerjasama dengan mata pelajaran/kuliah lain. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa metapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertikal linear.
Ketiga paradigma organisme, paradigma ini memandang bahwa Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem yang berusaha mengembangkan semangat hidup (weltanschanauung) Islam, yang dimanifestasikan pada sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami. Melalui upaya ini maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat diintegrasikan nilai-nilai Ilmu pengetahuan, ilmu agama dan etik, serta mampu melahir-kan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memilki pematangan profesional, dan sekaligus hidup dalam nilai-nilai agama.
Dalam perspektif filsafat pendidikan berkembang pemikiran bahwa pendidikan semestinya mampu menjawab bagaimana dan mengapa pendidikan tersebut diselengga-rakan. Oleh karena itu alur bahasan tulisan ini adalah mengungkap keterkaitan pemikiran filosofis dalam proses perumusan dan pengembangan kurikulum, terutama kurikulum pendidikan Islam ?
BAB II
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang per-tama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates . Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meski-pun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirin-ya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang meng-anggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Dalam konteks ke Indonesia, filsafat diasumsikan sebagai pemikiran yang berarti berarti proses, cara, atau perbuatan memikir; yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. (Moeliono, 1988: 682-683) .
Sedangkan pendidikan berarti suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik), melalui upaya pengajaran dan pelatihan, serta proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik.(Moeliono, 1988: 232).
Maka pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna. (Nizar, 2001:7).
Filsafat pendidikan merupakan pola-pola pemikiran atau pendekatan filosofis terhadap permasalahan bidang pendidikan dan pengajaran. Filsafat pendidikan sebagai salah satu ilmu terapan adalah cabang ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada penerapan pendekatan filosofis pada bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup.
Dasar yang menjadi alasan-alasan bahwa filsafat pendidikan harus dipelajari oleh setiap pendidik atau guru adalah sebagai berikut :
1. Bahwa setiap manusia atau individu harus bertindak termasuk dalam pendidikan, secara sadar dan terarah tujuan yang pasti serta atas keputusan batinnya sendiri.
2. Bahwa demikian pula setiap individu harus bertanggung jawab dalam pendidikan, yang tinggi rendahnya nilai mutu tanggung jawab tersebut akan banyak ditentukan oleh system nilai dasar norma yang melandasinya.
3. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang hidup tentu memiliki filsafat hidup, demikian pula setiap manusia yang hidup dalam bidang dan dunia pendidikan harus memiliki filsafat pendidikan yang merupakan guide post, tonggak papan penunjuk jalan sumber dasar dan tujuan tindakan dan tanggung jawabnya dalam kegiatan pendidikannya.
4. Suatu kenyataan pula bahwa terdapat keragaman aliran-aliran pendidikan, kearah mana individu pendidik harus menentukan pilihannya secara bebas dan bertanggung jawab, terbuka, kritis, dengan meninjaunya dari segala segi.
5. Pada suatu ketika individu pendidik telah menentukan pilihannya maka ia tidak netral lagi dan meyakininya serta mengamalkannya aliran filsafat pendidikannya secara penuh rasa tanggung jawab.
Alasan-alasan tersebut dengan jelas menjelaskan dan memberikan kita keyakinan bahwa filsafat pendidikan merupakan disiplin ilmu yang merupakan condition sinequa non bagi pelaksanaan tugas guru dan pendidikan pada umumnya, termasuk orang tua yang tiada lain pendidikan dalam lembaga pendidikan keluarga.
Lebih lanjut, pemikiran pendidikan Islam memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan kritis terhadap persoalan-persoalan diseputar pendidikan Islam.
2. Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadapajaran Islam dan akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual di luar Islam.
3. Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan, terutama dalam merekonstruksi system pendidikan Islam yang lebih baik.
4. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sisitem pendidikan nasional. Secara khusus, pemikiran tenrtang pendidikan Islam sangat berguna bagi guru atau pendidik dan sebagai bahan masukan bagi merekontruksi pola atau model pendidikan yang lebih adaptik dan integral-dengan nuansa alami- terutama bagi pengembangan system pendidikan di Indonesia, serta memperkaya khazanah perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan.
B. TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi beberapa tipologi, tipologi tersebut adalah:
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi – Tipologi Perenial-Esensialis Salafi lebih me-nonjolkan wawasan kependidikan Islam era salafi, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi – Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Tipologi Modernis - Tipologi Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatau yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif - Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembang-kan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid sangat cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social.
Disamping tipologi yang disebutkan diatas, terdapat beberapa tipologi lainnya. Sebagai bahan perbandingan, berikut tipologi Filsafat pendidikan Islam lainnya yaitu :
1. Tipologi Progressivisme – adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme. Aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal-“The Liberal road to culture”. Progressivisme menolak otoriterisme dan absolutisme dalam bentuk, seperti misalnya terdapat dalamagama, politik, etika dan epistemology.
2. Tipologi Esensialisme – Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan cirri-ciri utamanya yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan initerutama dalam memberikan dasar berpijakmengenai pendidikan yang penuh fleksibelitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik.Tujuan umum aliran ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniature dunia yang bias dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
3. Tipologi Perennialisme – Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perennialisme memberikan jalan keluar berupa”kembali kepada kebudayaan masa lampau”
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada fisafat kebudayaan yang berkiblat dua, yaitu (a) perennialisme yang kebudayaan yang berkiblat theologies-bernaung di bawah supremasi gereja katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas- dan(b) perennialisme sekuler berpegang pad aide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
4. Tipologi Rekonstruksionalisme - Aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran perennialisme dalam hendak mengatasi kritis kehidupan modern. Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya.
5. Tipologi Eksistensialisme – Pada Hakikatnya eksistensialisme adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu:”filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral”
BAB III
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. PENGERTIAN KURIKULUM
Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Tanpa Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang sempurna. Ia merupan ruh (spirit) yang menjadi gerak dinamik suatu sistem pendidikan, Ia juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Bahkan, kurikulum seringkali menjadi tolok ukur bagi kualitas dan penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat menentukan terhadap baik buruk-nya kualitas output pendidikan, dalam hal ini, peserta didik. Dalam kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan; Ia memiliki peran dan fungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi iptek, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan ummat manusia.
Kurikuluim bukan hanya berfungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi dan kristalisai, tetapi Ia juga merupakan wahana dan media trans-formasi. Pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, dituntut mempelopori, memimpin dan mendesain peradaban ummat manusia yang konstruktif, dinamis, produktif dan innovatif, serta mengawal, membimbing, membina, dan mengarahkan perubahan- perubahnya secara proaktif dan dedikatif melalui perubahn-perubahan peradaban yang semakin baik. Dalam konteks ini pula pemilik ilmu pengetauan dan nilai-nilai memerankan dirinya sebagai agent of social canges, agent of social responsibility, agent of innovation and agent of human investment.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Pandangan yang muncul sejak zaman Yunani kuna ini, dalam lingkungan tertentu masih dipakai hingga kini, sebagaimana pendapat Robert S. Zais (1976:7) , “a recesourse of subject matters to be mastered”. Menurut pendapat ini, kurikulum identik dengan bidang studi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar, pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Caswell dan Cambell (1975), “…to be composed of all the experiences children have under the guidance of theachers”. Ronald C Doll (1974:22), menggambarkan kurikulum telah berubah dari kontens belajar (isi) ke proses, dari skop yang sempit kepada yang lebih luas, dari materi ke pengalaman, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, bersama guru atau tidak, ada hubungannya dengan pelajaran ataupun tidak, termasuk upaya guru dan fasilitas untuk mendorongnya. Meskipun, pemaknaan kurikulum demikian, mendapat kritik dari Mauritz Johnson (1967:130), menurutnya pengalaman hanya akan terjadi bila siswa berinteraksi dengan ligkungannya, interaksi seperti demikian bukan kurikulum tetapi pengajaran. Menurutnya, kurikulum hanya berkenaan dengan “… a structured series of intended learning outcomes”, hasil yang dicapai dari hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perencaan dan pelaksanaan isi, kegiatan belajar mengajar, evaluasi termasuk pengajaran .
Mc Donald (1967:3) memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar). Bauchamp (1968) menekankan kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Ia menegaskan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun pelajar .
Hilda Taba (1962) berpendapat, kurikulum tidak hanya terletak pada pelaksana-anya, tetapi pada keluasan cakupannya, terutama pada isi, metode dan tujuannya, terutama tujuan jangka panjang, karena justeru kurikulum terletak pada tujuannya yang umum dan jangka panjang itu, sedangkan imlementasinya yang sempit termasuk pada pengajaran, yang keduanya harus kontinum . Kurikulum, juga me-rupakan perwujudan penerapan teori baik yang terkait dengan bidang studi maupun yang terkait dengan konsep, penentuan, pengembangan desain, implementasi, dan evaluasiya. Oleh karna itu, ia merupakan rencana pengajaran dan sistem yang berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat pengajaran, dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem organisasi sekolah yang menyangkut penentuan kebijakan kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengembangan-nya, penerapan, evaluasi dan penyempurnaannya
Dalam konteks pendidikan Nasional, kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kuriku¬lum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan lahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan ini lebih spesifik mengandung pokok - pokok pikiran, sebagai berikut :
1. Kurikulum merupakan suatu rencana/perencanaan;
2. Kurikulum merupakan pengaturan, yang sistematis dan terstruktur;
3. Kurikulum memuat isi dan bahan pelajaran bidang pengajaran tertentu;
4. Kurikulum mengandung cara, metode dan strategi pengajaran;
5. Kurikulum merupakan pedoman kegiatan belajar mengajar;
6. Kurikulum, dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan;
7. Kurikulum merupakan suatu alat pendidikan.
Rumusan tersebut menjadi lebih jelas dan lengkap, karena suatu kurikulum harus disusun dengan memperhatikan berbagai faktor penting. Dalam undang-undang telah dinyatakan, bahwa: “Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”
B. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan di Indonesia, meskipun secara yuridis formal, kebijakan dan per-undangannya dibentuk setelah kemerdekaan, mereka memiliki akar historis dan perjuangan yang panjang sejak era kolonial, bahkan prakolonial, secara langsung atau tidak telah mewarnai corak dan proses pengambilan keputusan atau policy pandidikan pasca penjajahan dan juga sampai sekarang ini yang mempengaruhi kebijakan pendidkan nasional.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia diakui oleh sejarah. Lembaga pendidik-an Surau di Sumatra sudah dikenal sejak abad ke tujuh, pesantren dan pengajian Al-Qur’an di masjid dan Surau adalah satu-satunya model pendidikan yang ada bagi rakyat biasa. Eksistensi ini tidak tergoyahkan meskipun kemudian disaingi oleh sekolah Belanda dan sekolah pribumi lainnya yang mengambil model sekolah Belanda. Kebijakan pendidikan Belanda merupakan kelanjutan dari kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang portugis yang lebih mengarah kepada kristenisasi. Kebijakan itu berubah dengan kehadiran Jepang yang lebih mengarah kepada Niponisasi.
Merefleksikan tahun 1994 yang lalu, bisa jadi merupakan satu periode penting dalam perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun tersebut, Departemen Agama telah menetapkan berlakunya kurikulum baru (kurikulum 1994) yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah-sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berbeda dengan dengan kurikulum sebelumnya pada 1975, di mana madrasah memberikan 70 % mata pelajaran umum dan 30 % mata pelajaran agama Islam, maka pada kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya (100%) mata pelajaran umum sebagai-mana diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah Depdikbud. Karel A. Steinbrink, seorang sarjana yang telah melakukan kajian tentang sistem pendidikan di Indonesia, berpendapat bahwa madrasah, yang diharapkan menjadi perwujudan sintesa antara pesantren tradisional dengan sekolah umum tidak bisa berjalan dengan baik. Dia menulis seperti berikut ini : “………Kita masih tetap melihat adanya kecenderungan bagi studi agama dalam arti terbatas hanya pada lembaga pendidikan seperti pesantren dahulu, untuk mendidik fungsionaris agama. Hal ini disebabkan para murid yang datang ke pesantren hanya untuk mempelajari agama saja. Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep konvergensi sebagai banyak disinggung di muka tidak dapat diwujudkan. Sintesa tersebut ternyata lemah. Ia mungkin hanya berfungsi sebagai model peralihan dan bukan sebagai alat penghubungan yang permanen antara pesantren dan sekolah umum, menurut kriteria pengetahuan agama yang mendalam, madrasah tidak merupakan satu alternatif yang memuaskan. Pengetahuan umum yang diberikan di sana juga tidak memeneuhi syarat yang diminta yaitu madrasah tidak bisa dianggap sebagai “produk final”, akan tetapi hanya sebagai bentuk sementara saja .”
Penghapusan 30% mata pelajaran Islam bisa dilihat sebagai bentuk kegagalan madrasah mempertahankan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berusaha memadukan pendidikan ilmu-lmu Islam dan ilmu-ilmu modern. Ada dualisme pen-didikan tradisional dan modern merupakan ciri menonjol dan permanen. Dunia pesantren akan terus bertahan dengan sistem pendidikan tradisional-keagamaannya dan sekolah umum akan terus bergerak menjadi lembaga pendidikan modern yang terlepas dari unsur formal keagamaan; sementara madrasah akan kehilangan signifikansinya dalam masyarakat Indonesia.
Begitu pula hal yang sama juga bisa dilihat di awal abad ke-20. Pada periode ini, kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan, atau berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada periode inilah lembaga pendidikan Islam madrasah sebagaimana kita kenal dewasa ini mulai berdiri. Sistem madrasah didirikan sebagai bentuk pembaharuan terhadap sistem pendidikan tradisional, khususnya pesantren di Jawa dan surau di Minangkabau. Sistem pendidikan tradisional ini, bagi para tokoh Muslim saat itu, tidak lagi memadai bagi perkembangan sosial yang berlangsung di tengah masyarakat menyusul modernisasi yang diperkenalkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah. Dalam madrasah, tidak seperti halnya di pesantren dan surau, para siswa tidak saja diberi mata pelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, tapi juga mata pelajaran umum seperti bahasa Inggris dan Belanda dan ilmu-ilmu umum lain yang saat itu hanya diberikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.
C. PERKEMBANGAN BENTUK PENDIDIKAN ISLAM
1. Pendidikan Pada Masa Rasulullah
Perkembangan pendidikan Islam dimulai sejak Rasulullah mengajarkan kepada umatnya kebenaran Islam, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun teerang-terangan. Demikian juga ketika masih berada di kota Makkah atau kota Madinah. Secara umum pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M. atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari–, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya (baca: sunnah dan hadist)
Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab telah berdiri . Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada masya-rakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu Qais ibn ‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik. Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (tahun 610-an M), di masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.
Secara umum, materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih difahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia ber-tingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya .
Pada periode di Madinah, tahun 622-632 M/1-11 H., usaha pendidikan Nabi yang pertama adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan masjid ini, Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa permusuhan, terutama antar penduduk Anshar dan penduduk Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi al-Quran.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pen-didikan oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.
Metode yang dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan perasaan yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan ilmiah. Batasan rasional dan ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran orang yang diajak dialog. Metode pendidikan yang dipakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode peneladanan, yakni Nabi memberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas sehingga masyarakat mudah untuk menirunya. Sedang-kan pada bidang akhlak, Nabi membacakan ayat-ayat al-Quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian dijabarkan makna dari kisah-kisah itu. Sungguhpun demikian, pada materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakan-nya .
2. Pendidikan Pada Masa Khulafaur Rasyisin
Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan fardlu kifayah.
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat .
Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut sorogan , sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama .
Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota Bashrah dan Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat [Mesir]. Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644 M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan menulis, [b] membaca al-Qur’an dan menghafalnya, [c] belajar pokok–pokok agama Islam, seperti cara wudhu’, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a] berenang, [b] mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa . Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari [a] al-Qur’an dan tafsirnya, [b] hadits dan mengumpulkannya, [c] dan fiqh (tasyri). Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman al-Quran dan Hadits secara literal.
3. Pendidikan Pada Masa Bani Umaiyah
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah
Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar , wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.
Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah al-abrasyi. Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang yang masuk dimana khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan rapi, duduk ditempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak meludah dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanyai. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus belajar menjadi pendengar yang baik, sebagaiman ia harus belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si pembicara menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-kata yang kasar dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan” .
Pada zaman ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah .
ilmu tafsir juga tetap menjadi bahan kajian' Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa al-Quran dan pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat. Bersamaan dengan itu, berkembang ilmu nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini .
Selain disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga men-dapat perhatian secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-720 M., pernah mengirim surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pen-didikan alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua blok, yaitu aliran ahli al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Aliran pertama mengem-bangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca: qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-Aswad ibn Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah.
Aliran kedua, ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang menerangkannya. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H./741 M.), dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar (w. 117 H./735 M.) yang keduanya merupakan guru imam Malik ibn Anas (w. 117 H./735 M.)
Dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti dengan lahirnya mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir 96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasiyah .
Di antara jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu dalam tahap perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam ilmu, misalnya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan theologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara permulaan abad II H sampai akhir abad ketiga hijriah merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang .
4. Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum , bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya, terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan juga melakukan investigasi metode pengajarannya . Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang yang dalam ke-biasaannya memang menargetkan tujuannya masing-masing .
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh ‘lembaga’ pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah. Ketujuh lembaga itu adalah lembaga pendidikan dasar [al-kuttab], lembaga pendidikan masjid [al-masjid], kedai pedagang kitab, [al-hawanit al-waraqin], tempat tinggal para sarjana [manazil al-‘ulama], sanggar seni dan sastra [al-shalunat al-adabiyah, perpustakaan [dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm], dan lembaga pendidikan sekolah [al-madrasah] .
Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-‘ulum di Kairo.
Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkannya meliputi : membaca al-quran dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam, seperti wudlu, shalat, dan puasa, menulis, kisah orang-orang yang besar, membaca dan menghafal syair-syair, berhitung, dan pokok-pokok nahwu dan shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan al-Quran dan menulis serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Quran .
Waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga akhir siang [Ashar] . Pada tingkat rendah ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran didepan murid dan murid mengikutinya yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas pada materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain . Tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat.
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran al-Quran, bahasa Arab dan kesusasteraan, fiqh, tafsir, hadits, nahw/sharf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, dan musik . Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada materi-materi berikut: Fiqh [‘ilm al-fiqh], tata bahasa [‘ilm al-Nahw], theologi [‘ilm al-kalam], menulis [al-kitabah], Lagu [‘arudh], sejarah [‘ilm al-akhbar terutama tarikh]. Kedua metode pengajaran bidang intelektual [alm manhaj al’ilmiy al-adabiy] yang meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabi’iyah], filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain .
Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: Tafsir al-Quran, Hadits, Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Nahw/Sharf, Balaghah, bahasa dan satra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: manthiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran .
Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan bakat dan kecenderungan masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat athibba, bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi disana dalam usia 18 tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada orang lain .
Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka para mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan mungkin jadi halaqah-nya ditutup.
Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyususn ta’liqah. Ta’liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta’liqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya .
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode ceramah [al-muhadlarah]. Dalam metode ini, guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi menjadi dua cara, metode dikte [al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [al-qiraat ‘ala al syaikh aw al-‘ardl]. Kedua, metode diskusi [al-munadzarah]. Metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode koresponden jarak jauh [al-ta’lim bi al-murasilah]. Metode ini merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah. Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnya—yang biasanya jarak jauh—untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang didatangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya .
Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain .
Di masa pemerintahan Wazir Nizam al Mulk, berkembang pendidikan yang lebih modern yaitu Nidzamiyyah. Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur, manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajar-an, sistem belajar, pengangkatan guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul menjadi madrasah yang favorit dan bonafit .
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan (beasiswa dan jaminan kesejahteraan), terlebih bagi mereka yang berprestasi. Madrsah Nidzamiyyah menyediakan buku literatur diperpustakaan lebih dari 6000 judul buku. Demikian juga dengan para guru atau Syechpun mendapat perhatian khusus.
Di antara Guru Besar Universitas Nidzamiyah adalah Imam Haramain, tempat di mana Imam al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua kota suci, Makkah dan Madinah. Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12 Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya .
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang mengguna-kan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama .
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum . Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
5. Pendidikan Pada Masa Muhammad bin Abduh
Muhammad Abduh Ibn Hasan Khairullah, lahir di sebuah desa di propinsi Gharbiyyah pada tahun 1265 H/1849 M.Salah satu gebrakan Abduh sepanjang karirnya adalah dalam pembaharuan pendidikan. Abduh menjelaskan bahwa pen-didikan itu penting sekali sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari.
Munculnya pemikiran Abduh tentang pendidikan dilatarbelakangi oleh kondisi social dan pemahaman keagamaan umat Islam Mesir waktu itu. Kondisi tersebut ditandai dengan pemikiran yang statis dan jumud, suburnya taqlid, khurafat, bid’ah, serta system pendidikan yang bersifat dualistic. Kondisi yang sesungguh-nya tidak menguntungkan umat Islam, baik syariat, akidah, moral, maupun system kemasyarakatan.
Di Mesir waktu itu terdapat dua system pendidikan yang satu dengan yang lain sulit untuk dikompromikan. Pertama, Sistem pendidikan yang berorientasi pada agama dan menutup diri terhadap system pendidikan modern, sebagaimana yang dikembangkan oleh Barat. Model seperti ini masih terlihat di pendidikan al-Azhar. Wacana pendidikan agama berada pada posisinya yang tradisional, baik system, kurikulum, materi pendidikan yang berlindung pada warisan literature abad pertengahan. Pendekatan yang demikian menurut Abduh tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu dewasa ini. Karena, metode tersebut merusak tumbuhnya dya nalar (intelektual) peserta didik. Dalam bukunya al-A’mal al-Kamila, Abduh menawarkan pembaharuan intelektual dan renaisans Islam. Maka dari itu, Abduh mencoba menawarkan metode pendidikan yang lebih dinamis dan kondusif bagi pengembangan intelektual peserta didik.
Kedua, system pendidikan menekankan pada aspek kualitas. Model pen-didikan ini berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu modern dan menutup diri dari jamahan ilmu-ilmu agama. Melihat system pendidikan yang terkotak-kotak, maka Abduh mencoba mencairkan kristal pemahaman dikotomik yang selama ini menghantui umat Islam. Upaya tersebut ditujukan guna menyelamatkan umat Islam dari keterbelakangan, terutama dalam membangun wacana kebudayaan kekinian, melalui system pendidikannya yang integral.
Abduh juga memperjuangkan system pendidikan fungsional yang bukan import, yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.
Yang menjadi pertanyaan adalah adakah relevansi pemikiran Abduh dengan pendidikan Islam dewasa ini ?
Pengembangan kualitas manusia dalam kehidupan menurut ajaran Islam haruslah merupakan sintesa dialektika perkembangan dunia dimana ia berada, dengan wahyu ilahiah. Dari interaksi pluraistik itu memungkinkan manusia me-merlukan bantuan orang lain (proses pendidikan). Sedangkan proses pendidikan harus membantu peserta didik untuk mampu berinteraksi secara social dan memanfaatkan alam bagi kehidupannya. Dengan demikian, kebudayaan dan peradapan akan lahir dari hasil proses akumulasi perjalanan kehidupannya. Sudah saatnya bahwa pendidikan perlu dikaji ulang agar bias dan benar-benar mampu berfungsi untuk menumbuhkan daya kreativitas peserta didik yang menunjang kualitas pendidikan, sekaligus melestarikan nilai-nilai Ilahi dan insani serta membekalinya dengan kemampuan yang produktif dan berkualitas.
Abduh memberikan gambaran dan tujuan yang nyata tentang pendidikan, melalui pemikiran-pemikirannya ternyata sangat cocok dan relevan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Pemikiran Abduh secara nyata memberikan peluang seluas-luasnya kepada proses kerja akal untuk berkreasi semaksimal mungkin tanpa ada kekangan dan doktrin-doktrin yang memper-sempit ruang gerak akal.
Bahwa pendidikan bukan hanya milik sekelompok orang, tanpa memandang perbedaan keyakinan, jenis kelamin, suku dan Negara. Sangatlah relevan dengan kebutuhan zaman sekarang, bahwa persaingan untuk mendapatkan pendidikan sangat terbuka luas, tanpa memandang jenis kelamin, suku, bangsa, kaya dan miskin semua mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
BAB IV
PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. KURIKULUM DAN TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Kurikulum bagi sebuah system pendidikan merupakan komponen yang utama – keberhasilan suatu pendidikan salah satunya ditentukan oleh kualitas kurikulum yang ditetapkan atau digunakan dalam proses pembelajaran. Hal tersebut karena kurikulum diasumsikan sebagai rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar), sehingga secara langsung atau tidak langsung kurikulum merupakan dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun peserta didik.
Dalam perspektif filosofis, pemikiran-pemikiran yang berkembang di seputar bagaimana menyiapkan konsep pendidikan yang berdimensi kebijaksanaan (hikmah) menjadi agenda tersendiri untuk menyiapkan perangkat pendidikan yag humanis, jujur dan spiritualis. Pakar filsafat pendidikan Islam membedakan tipologi filsafat pendidikan menjadi beberapa tipologi, yaitu :
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi – tipe perennial-esensialis salafi lebih menonjol-kan wawasan kependidikan Islam era salafi, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Tipologi Modernis - lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatau yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif – mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social.
B. PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANG-AN KURIKULUM
Sadar atau tidak pengembangan kurikulum sangat dipengaruhi oleh latar belakang filosofis yang mempengaruhi pengambil kebijakan pendidikan. Dewasa ini dikembangkan lebih kuat kepada keberhasilan siswa yang memiliki life skill atau keahlian hidup tertentu dalam pendidikan, sehingga kurikulum yang dikembangkan pun mengarah bagaimana pendidikan memberikan bekal ketrampilan hidup yang dapat digunakan oleh siswa untuk bertahan hidup, maka SMK menjadi salah satu primadona pengembangan pendidikan dengan kecenderungan kurikulum seperti itu. Disamping berkembang pemikiran bahwa dengan terbatasnya tempat pendidikan yang tersedia pada Perguruan Tinggi dan kurangnya kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh peserta didik, maka opsi pengembangan ketrampilan menjadi lebih dominant, sekaligus untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan memadahi.
Dalam perspektif Islam, pendidikan sangat erat kaitannya dengan pola pemikiran yang mendasari konsep keagamaan mereka. Jika mereka memiliki filosofi tradisionalis barangkali pengembangan kurikulum yang ada adalah untuk mengembangkan atau bahkan mempertahankan filosofi salaf, demikian juga mereka yang berpandangan khalaf, akan menjadikan tren pemikiran masa depan sebagai dasar pengembangan kurikulum. Madrasah sebagai kelanjutan cetak biru pendidikan Islam setelah tradisi kepesantrenan, memiliki peran yang penting untuk menunjukkan pola dan bentuk pengembangan kurukulum pendidikan Islam.
Dengan mendasarkan pemikiran pada polarisasi pendapat mengenai tipologi Filsafat pendidikan Islam, barangkali dapat ditemukan korelasi antara cara pandang filosofis seorang pendidik dalam menentukan muatan kurikulum yang didesain dan diaplikasikannya terutama perwujudannya dalam bentuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajarannya. Berikut ini bentuk pengaruh yang barangkali muncul berdasarkan tipologi Filsafat Pendidikan Islam yaitu :
1. Jika tipologi Perenial-Esensialis Salafi yang lebih menonjolkan wawasan kepen-didikan Islam era salafi, maka pengaruh yang nampak dalam format kurikulumnya adalah upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Untuk mewujudkan tata nilai tersebut, maka metode-metode pembelajaran-nya biasa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan kepada pembentukan karakter,keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam jalankan tugas-tugasnya. Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah .
Dengan demikian orientasi pendidikan agama Islam diorientasikan pada: (a) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa salaf al-shalih; dan (b) menjelaskan dan menyebar-kan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua orang.
2. Format Perenial-Esensialis Mazhabi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan, akan melahirkan format kurikulum yang bersifat kaku dan terstruktur oleh kepentingan aliran atau mazhab.
Metode-metode pembelajaran yang biasa dilakukan adalah ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan iman-iman mazhabnya, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan kepada pembentukan karakter,keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam jalankan tugas-tugasnya. Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah.
Berdasarkan tipologi di atas pendidikan diorientasikan pada: (a) membantu para peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebe-naran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa pasca salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; (b) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang .
3. Tipologi Modernis yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, akan mengarahkan kurikulum pada pendidikan yang bersifat rekontruksi pengalaman yang terus menerus, meng-upgrade intelligent dan kemampuan mengadakan penyesuaian sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Tujuan pendidikan diorientasikan pada upaya memberikan ketrampilan-ketrampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang selalu berada dalam proses perubahan.
Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative learning,metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah) ,yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut ,merumuskan hipotesis, dan melaksanakan penelitian di lapangan . Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didikuntuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mem punyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif yang mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan perkembangan zaman akan melahirkan konsep kurikulum yang kompromis yaitu memasukkan nilai etis dan modernitas.
Tujuan pendidikan yang didasarkan tipologitersebut adalah: (a) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; (b) menjelaqskan dan menyebarkan warisan ajaran dan nilai salaf atau para pendahulu yang dianggap mapan dalam uji sejarah. Evaluasinya lebih mengguna-kan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social. Tipologi tersebut akan mendorong munculnya kurikulum terutama kurikulum pendidikan agama mengarah kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkan melalui da’wah bi al-hal,baik yang terkait dengan masalah social, ekonomi, politik dan budaya.
Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah social dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Metode yang digunakan adlah simulasi, bermain peranan, internship, work study.
BAB V
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Bahwa terdapat relevansi yang sangat jelas antara tipologi filsafat pendidikan Islam dengan pengembangan kurikulum. Kurikulum atau pengembangan kurikulum berdasarkan asumsi atau gagasan-gagasan mendasar berkaitan dengan pendidikan itu sendiri.
Secara umum bentuk pengaruh tipologi Filsafat Pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut :
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi (wawasan kependidikan Islam era salafi), memberi pengaruh kepada upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, tradisi masyarakat salaf. Sedangkan bentuk metode pembelajarannya dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas dengan pola evaluasi diarahkan pada ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah. Orientasi pendidikan agama diarahkan pada upaya membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa salaf al-shalih; dan menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi (kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin), akan melahir-kan format kurikulum yang bersifat kaku dan terstruktur oleh kepentingan aliran atau mazhab. Metode-metode pembelajaran yang biasa dilakukan adalah ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan iman-iman mazhabnya. Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah. Sedangkan orientasi pendidikannya mengarah pada upaya membantu para peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik dan pertengahan; dan menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya.
3. Tipologi Modernis (kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman), akan mengarahkan kurikulum pada pendidikan yang bersifat rekontruksi pengalaman, mengupgrade intelligent dan kemampuan mengadakan. Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative learning, metode project, dan atau scientific method (metode ilmiah). Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif (kependidikan kompromis masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi-uji falsifikasi dan mengem-bangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa kekinian), akan melahirkan konsep kurikulum yang kompromis yaitu memasukkan nilai etis dan modernitas. Tujuan pendidikannya adalah: membantu peserta didik dalam menguak, mene-mukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada salaf al-shalih dan menjelaskan – menyebarkan warisan ajar. Bentuk evaluasinya lebih menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mem-punyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan (terapi untuk masyarakat maju, individualis dan patologis), akan mendorong munculnya kurikulum pendidikan agama mengarah kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, sebagai kewajiban dan tanggung jawab keagamaan untuk memecahkan melalui da’wah bi al-hal (masalah social, ekonomi, politik dan budaya). Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah social dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Metode yang digunakan adalah simulasi, bermain peranan, interpreneurship, work study.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Syalabi, “Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latief, sedjarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-1,
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 1991),
Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang , 1997), cet. ke-1,
Badr al-Din Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1354 H)
Charles Michael Stanton, “Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300”, Terj. Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1,
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),
Johannes Pederson, “The Arabic Book”, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman, Fajar Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung Mizan, 1996), cet. ke-1,
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. ke-5,
Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth)
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1
H. Ahmad Taufiq, Mengenang Dinasti Saljud dan Madrasah Nidzamiyyah" dalam http://www.misykat-kediri.co.cc/2009/04
Hisham Nashabe, "Muslim Educational Institution: a General Survey Followed by a Monografic Study of al-Madrasah al-Mustansiriyah in Baghdad", (Libanon: Libraire du Liban, 1989),
Husein Al-Kaff, "Kuliah Filsafat Islam " Materi disampaikan di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad) dimuat juga dalam http://aljawad.tripod.com/artikel/ filsafat_ilmu.htm.
Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkem-bangannya
http://bangjackq.blogspot.com/2009/05/perlunya pendidikharus filsafat/ pemikir-an pendidikan Islam
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. ke-2,
M. Ajjaj al Khatib, " Ushul Hadits" (Beirut, Darl Fikr, TTh)
M. Khoirul Anam, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html
Mukhlis Fahruddin, "Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Pengembangannya dalam Menghadapi Problem Pendidikan dalam http://www.mukhlisfahruddin. web.id/ 2009/03/konsep-pendidikan-dalam-al-quran-dan_4555.html
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.),
Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-‘Arabiyah, (Kairo:’Alam al-Kutub, 1977),
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, “al-Tarbiyah al-Islamiyah”, diterjemahkan oleh Bustami A. Ghanidan Djohar Bahry, Dasar-dasar pokok pemikiran Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-7,
Muhammad Thanthawi, Nasy’at al-Nahw wa Tarikh Asyhur al-Nuhat, (ttp: Dar al-Manar, tth.),
Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989).
Sistem, Metode, Dan Kurikulum Pendidikan Islam Klasik dalam http://suwendi 2000.wordpress.com/sistem-metode-dan-kurikulum-pendidikan-islam-klasik/
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. ke-4,
Label: PPS UM Surabaya