Selasa, 17 November 2009

Sumber Ajaran Islam

SUMBER-SUMBER HUKUM (AJARAN) ISLAM
DAN MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI


Bagian Pertama ; Sumber hukum Islam
I. Pengertian
A. Sumber; segala sesuatu yang darinya dibagun sebuah ajaran/tata nilai – jika dikait-kan dengan hukum Islam, maka ia berarti dasar, acuan atau rujukan ajaran Islam.
B. Hukum artinya menetapakan sesuatu atau meniadakan sesuatu, Hukum Islam (syariat-hukum Allah) adalah hukum atau undang-undang yang ditentukan oleh Allah melalui Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Menurut Ulama Ushul Fiqih, hukum adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu menjadi syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah.
Sedangkan menurut ulama Fiqih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan syariat berupa “al Wujub, al Mandub, al Hurumah, al Karahah dan al Ibahah”, sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (dibahas lebih detail pada bagian kedua).


II. Sumber hukum Islam
A. Menurut jumhur (mayoritas) ulama – macam-macam sumber hukum Islam terdiri dari tiga pokok yaitu al Qur’an, al Hadits dan ketentuan hukum dari proses Ijtihad. Untuk jenis dan wujud Ijtihad pada awalnya sangat sederhana yaitu Ra’yi atau pertimbangan cerdas dan radikal dari orang tertentu, misalnya gagasan Umar Bin Khattab tentang pembukuan al Qur’an dan penghapusan pemberian harta rampasan bagi mereka yang ikut perang.

B. Dasar urut-urutan sumber hukum Islam adalah
1. Qs. An Nisa’/4 : 59 (lihat galeri hal 74-75)
2. Qs. At Taghabun/64 : 12 (lihat galeri hal 74-75)
3. Hadits Imam Malik dan Hakim :”Telah aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah dan Sunnahku).
4. Dialog yang dilakukan oleh Rasulullah dengan Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal tentang prosedur penentuan hukum seandainya mereka dihadapkan pada suatu masalah yang sama sekali baru dalam dakwahnya.
5. HR. Buchori dan Muslim (lihat galeri hal 74-75).

C. Ijtihad adalah salah satu cara untuk menetapkan hukum suatu masalah jika masalah tersebut tidak ditemukan secara detail atau “Qoth’i dalam al Qur’an dan al Hadits. Bentuk-bentuk ijtihad yang kemudian berkembang adalah Ijma’, Qiyas, Istihsan, al Urf, Istishab, Saddud Darai’ dan al maslahah mursalah.

III. Macam-macam Sumber Hukum Islam
A. Al Qur’an
1. Pengertian – al Qur’an berasal dari kata “Qaraa” yang berarti bacaan. Menurut istilah, al Qur’an berarti Kalam Allah yang merupakan mu’zijat, diturunkan kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis dimushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah”.
Kata-kata Al Qur’an sendiri disebut juga dalam secara tegas pada Qs. Al Qiyamah : ayat 17-18.

2. Masa penurunan Al Qu’ran; al Qur’an diturunkan dalam kurun waktu 22 tahun 2 Bulan 22 hari mulai pada tanggal 17 Ramadlan tahun 40 dari kelahiran Rasulullah bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M pada saat Rasulullah berada di Gua Hiro dan berakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 63 kelahiran Rasullullah bertepatan dengan tanggal 27 Oktober 623 M. saat Rasulullah sedang Wukuf di Arofah pada Haji Wada’ tahun 10 H.

Dalam proses pewahyuan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad, maka terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu :
a. Periodisasi penurunan Al Qur’an
Al Qur’an diturunkan dalam dua periode yaitu Periode Madinah (disebut ayat-ayat Madaniyah) dan Periode Makkah (disebut ayat-ayat Makiyah). Disebut periode Makkah karena diturunkan di Makkah atau wilayah sekitar Makkah atau diturunkan sebelum Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah (berjumlah 19/30 dari isi al Qur’an, ayat-ayatnya berjumlah 4.780), sedangkan disebut periode Madinah karena diturunkan di Madinah atau wilayah sekitar Madinah atau setelah Nabi Hijrah ke Madinah (berjumlah 11/30 dari isi al Qur’an, ayat-ayatnya berjumlah 1.456).
Di samping itu terdapat ciri-ciri yang jelas antara ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah antara lain :
• Ayat-ayat makkiah pada umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat-ayat ma-daniyah umumnya panjang-panjang.
• Pada ayat-ayat makkiyah terdapat perkataan “ ياايهاالناس “, dan sedikit sekali di-temukan perkataan “ياايهاالذين امنوا “, sedangkan dalam ayat-ayat madaniyah terdapat hal sebaliknya.
• Ayat-ayat makkiyah umumnya mengandung masalah keimanan, ancaman dan pahala dan kisah-kisah umat terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti, sedangkan ayat madaniyah mengandung hukum, baik hukum adat maupun hukum-hukum duniawi (ipoleksosbud) atau masalah muamalah.

b. Cara penurunan ayat-ayat al Qur’an.
Penurunan al Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga fase atau masa penurunan, yaitu :
Pertama; dari Allah ke Lauhul Mahfudz (Qs. Al Buruj : 21-22),
       
Kedua; dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah dalam satu jumlah yang utuh sebagaimana HR. Ibnu Abbas (al Qur’an itu dipisahkan dari pembu-atannya lalu diletakkan di baitul izzah dari langit dunia, kemudian malaikat Jibril menurunkan-nya kepada Nabi Muhammad SAW).
Ketiga dari Baitul Izzah ke dalam sanubari (kalbu) Muhammad melalui malaikat Jibril yang secara berangsur-angsur sebagaimana tersebut dalam Qs.Syuara’ ayat 193-194 :

Dan Qs. Al Isra' ayat 106

Nabi Muhammad dalam menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara, diantaranya :
• Malaikat memasukkannya ke dalam kalbu Nabi Muhammad (Qs. Asyuura :51)
• Malaikat menampakkan dirinya berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya.
• Wahyu datang seperti gemerincingnya lonceng.
• Malaikat menampakkan dirinya dalam rupanya yang asli sebagaimana tersebut dalam Qs. An Najm : 13-14 :

c. Hikmah al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur :
• Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan hukum (perintah dan larangan)
• Diantara ayat-ayat tersebut ada yang nasikh dan mansukh (terdapat ayat yang diganti dengan yang lebih baik sesuai berkembangan masyarakat).
• Memberikasan jawaban terhadap pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan.
• Turunnya ayat tersebut sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
• Mempermudah pembacaan dan penghafalannya dan untuk menguatkan hati Muhammad sebagaimana tersebut dalam (Qs. Al Furqon : 32).
d. Nama-nama lain Al Qur’an
• Al Qur’an – artinya bacaan. Nama tersebut lebih sering dipakai untuk menyebut wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagaimana firman Allam dalam Qs. Al Qiyamah : 17-18.
• Al Kitab atau kitabullah – artinya kitab Allah sebagaimana Firman Allah dalam Qs. Al Baqarah ayat 1-2 dan Al An’am ayat 114
• Al Furqon – artinya pembeda antara kebenaran dan kebatilan, jalan terang dan jalan kegelapan, dan antara halal dan haram sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Baqoroh ayat 185 dan Furqon ayat 1.
• Adz Dzikr – artinya peringatan bagi manusia (Qs. Al Hijr : 9)

3. Kedudukan al Qur’an
Al Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dalam ajaran Islam artinya jika terdapat suatu hal maka harus kembali dan merujuk pada al Qur’an. Oleh sebab itu ia memiliki kedudukan yang penting dalam keseluruhan ajaran Islam – kedudukan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Al Qur’an merupakan wahyu Allah untuk Nabi Muhammad SAW.
b. Sebagai mu’zijat Nabi Muhammad SAW
c. Sebagai pedoman hidup manusia untuk meraih kebahagiaan

Al Qur'an secara khusus menyebutkan 3 fungsi sebagaimana firman Allah dalam Qs. Qs. Al Baqoroh : 185. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebagai petunjuk bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan
b. Sebagai penjelas bagi petunjuk-petunjuk Allah (kitab-kitab) yang diberikan kepada umat sebelumnya.
c. Sebagai pembeda antara kebenaran dan kebathilan.

4. Isi Pokok al Qur’an
Secara umum isi pokok al Qur’an diklasifikasikan menjadi 3 pokok yaitu :
a. Prinsip-prinsip tentang akidah (keimanan/keyakinan manusia).
b. Prinsip-prinsip yang mengatur ibadah Mahdhoh/ibadah khusus yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-Nya berupa aturan
c. Prinsip-prinsip yang mengatur muamalah yaitu aturan yang berhubungan dengan sesama manusia dan makhluq Allah yang lain.

B. Al Hadits
1. Pengertian Hadits, As Sunnah, Khabar dan Atsar
a. al Hadits
Kata-kata Hadits dalam bahasa Arab mempunyai 3 pengertian, yaitu Jadid (baru), Qorib yang berarti dekat dan juga berarti Khabar (berita). Sedangkan pengertian Hadits menurut Ulama Hadits adalah; “segala sesuatu yang disandar-kan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan sifat-sifat dan sebagainya”.

b. As Sunnah
As Sunnah berasal dari kata “Sanna - Sunnah” yang memiliki arti sebagai berikut :
• Ketentuan Allah dalam kebiasaan kemanusiaan masa lalu sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Ahzab ayat 62.

• Jalan setapak, prilaku masyarakat, praktek hidup dan tingkah laku baik/buruk.
• Tradisi yang mempunyai kekuatan mengikat dalam masyarakat.

Pengertian Sunnah menurut Ulama Fiqh adalah “segala bentuk yang datang dari Nabi selain al Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetap-an) yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syara’ (hukum Agama)”.
Menurut Ulama Hadits, as Sunnah adalah; “segala yang dinukil dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat moral (khuluqi-yah), sifat jasmaniyah ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul seperti uzlahnya di Gua Hiro’


c. Khabar
Kata-kata Khabar mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang disampai-kan kepada seseorang. Sedangkan penegrtian khabar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang dinukil dari Nabi, juga dari Shahabat atau Tabi’in.
Menurut sebagian ulama, Khabar mempunyai pengertian yang sama dengan Hadits, sedangkan yang lain mengatakan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara Hadits dengan khabar. Hadits adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi sehingga mereka yang ahli Hadits disebut dengan Muhaditsin, sedangkan khabar adalah sesuatu yang dinukil dari selain Nabi dan mereka yang ahli khabar disebut sebagai ahli sejarah.

d. Atsar
Atsar secara terminologis mempunyai pengertian bekas sesuatu, sedang-kan pengertian Atsar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang disandarkan kepada Shahabat Nabi Muhammad SAW.

2. Beberapa Istilah yang berkaitan dengan Hadits
a. Ilmu Mustolahul Hadits – ilmu yang membicarakan masalah Hadits
b. Rawi ialah orang yang menyampaikan atau orang menuliskan Hadits dalam bentuk kitab, misalnya Imam Buchari (Shahih Buchari), Imam Musliam (shahih Muslim) dll.
c. Riwayat adalah proses perpindahan hadits dari orang keorang lain.
d. Matan berarti sesuatu yang nampak dimuka. Dalam konteks ilmu Hadits, Matan berarti kata- kata/Lafadl hadits yang dengan lafadl tersebut terbentuk makna-makna atau pengertian yang lain adalah perkataan yang merupakan akhir sanad.
e. Sanad adalah mata rantai yang mengantarkan kepada matan hadits dengan melewati rawi. Dari kata sanad berkembang pula istilah lain, yaitu :
• Isnad ( menyandarkan sesuatu kepada yang lain atau mengangkat hadits kepada yang mengatakannya atas kepada yang menukilkannya, artinya seorang ahli hadits dalam menerangkan hadits yang diikutinya menjelaskan kepada siapa hadits itu disandarkan).
• Musnid ( orang yang menyandarkan)
• Musnad ( Sesuatu yang disandarkan).

3. Pembagian Hadits
a. Berdasarkan jumlah Rowi
• Hadits Mutawatir artinya hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat tidak mungkin berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad (10 orang). Mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu :
- Mutawatir lafdli yaitu periwayatan hadits yang lafadl-lafadlnya sama
- Mutawatir maknawi yaitu periwayatan hadits yang mempunyai kesamaan dalam makna (pengertian).
• Hadits Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tidak sampai pada derajat mutawatir. Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu :
- Hadits Masyhur – hadits yang diriwayatkan oleh 3 atau lebih dalam satu tingkatan (massa).
- Hadits Aziz – hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang dalam satu tingkatan
- Hadits Ghorib – hadits yang diriwayatkan oleh 1 rawi dalam satu tingkatan.

b. Berdasarkan nilai atau kualitas Hadits
• Hadits Shohih – yaitu hadits yang memenuhi persayaratan kesahihan hadits yaitu sanadnya sambung, rowinya adil, istiqomah, berakhlaq mulia dan tidak fasik dan matannya tidak meragukan atau bertentangan dengan al Qur’an.
• Hadits Hasan – yaitu hadits yang sanadnya bersambung, rawinya adil namun tidak sempurna dzabitnya dan matannya tidak meragukan (tidak syaz) dan berilat (ada cacatnya).
• Hadits Dloif – yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan.

c. Berdasarkan sampai atau tidaknya Hadits itu pada Nabi Muhammad SAW
• Hadits Marfu’ yaitu sesuatu yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan dan takrir baik sanadnya tersebut bersambung, putus atau madhal.
• Hadits Mauquf yaitu sesuatu yang hanya sampai kepada Shahabat Nabi Muhammad.
• Hadits Maqtu’ yaitu sesuatu yang hanya sampai kepada Tabi’in.

d. Berdasarkan dari aspek kewahyuan Hadits
• Hadits Tauqifiy/Hadits Qudsi yaitu hadits yang didasarkan keoada Wahyu Allah dengan menggunakan redaksi Nabi Muhammad SAW, tetapi masih menggunakan kata-kata; Allah berfirman (Qaala Allah, Allah Yaquulu dll).
• Hadits Taufiqiy yaitu hadits yang merupakan interpretasi Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu Allah atau perintah Allah.

e. Berdasarkan bentuk haditsnya
• Hadits Qouliyah yaitu hadits nabi yang berupa perkataan Rasulullah – biasnya dimulai dengan kata-kata “saya mendengar Rasulullah bersabda (قال رسول الله ).
• Hadits Fi’liyah yaitu hadits yang merupakan perbuatan Rasulullah – biasanya dimulai dengan kata “saya melihat” (رئيت رسول الله) dan kebanyakan berkaitan dengan praktek ibadah untuk memberikan contoh yang benar.
• Hadits Taqririyah yaitu hadits yang merupakan tanda persetujuan atau penolkan dari Rasulullah
• Hadits Hammiyah yaitu hadits yang berisi tentang cita dan keinginan mulia Rasulullah.

f. Berdasarkan diterima atau tidaknya sebagai landasan untuk mengesahkan hukum-hukum atau menetapkan hukum-hukum agama :
• Maqbul yaitu hadits yang dapat diterima sebagai dasar legalisasi Hukum. Hadits tersebut sekurang-kurangnya adalah berstatus Hasan atau Shahih.
• Mardud yaitu hadits yang tidak dapat diterima sebagai dasar legalisasi yaitu hadits berstatus sebagai hadits dloif.

4. Hadits Dloif (Hadits yang tidah memenuhi syarat sahih dan hasan)
a. Berdasarkan keterputusan sanad
• Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tabiin tanpa menyebut nama Shahabat sebagai generasi sebelumnya.
• Hadits munqathi’ yaitu hadits salah satu rawinya gugur tidak pada sahabat atau hadits yang salah satu rawinya putus.
• Hadits al Mu’dal yaitu hadits yang dua atau lebih rawinya hilang secara berurutan dalam rangkaian sanad
• Hadits mudallas yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan dari rawi yang sezaman tetapi ia tidak menerima langsung darinya.
• Hadits muallal yaitu hadits yang kelihatannya selamat tetapi terdapat cacat yang tersembunyi baik itu pada sanad maupun matannya.

b. Berdasarkan kelemahan dari perawinya
• Hadits mudtarib yaitu hadits yang kemampuan dan daya ingat perawinya kurang.
• Hadits Maqlub yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya baik sanad, rawi maupun matannya.
• Hadits mudaaf yaitu hadits yang diperdebatkan oleh ulama mengenai lemah dan kuatnya sanad atau matannya.
• Hadits Syaz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang siqoh (kuat) tetapi riwayat-nya menyalahi riwayat orang banyak yang siqoh (kuat) pula.
• Hadits mungkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah dan berbeda dengan hadits diriwayatkan oleh orang yang siqoh (kuat).
• Hadits matruk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu-ragu dalam periwayatan.

5. Kedudukan dan Fungsi Sunnah (Hadits)
a. Kedudukan Sunnah (Hadits)
As Sunnah (Hadits) berkedudukan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al Qur’an. Maka Sunnah mempunyai kekuatan dan sifat yang mengikat bagi pemeluknya sebagaimana Al Qur’an. Kedudukan sunnah berdasarkan dalil yang sangat kuat, di antaranya adalah :
• Argumen kewahyuan artinya bahwa jika kita mengakui kerasulan Muhammad maka ia harus juga menerima segala yang diterima oleh Nabi Muhammad.
• Argumen Al Qur’an yang memberikan perintah kepada umat Islam untuk taat kepada Allah dan Rasulnya (Qs. An Nisa’ 59 dan Al Hasyr : 7).


• Argumen Al Hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan dua pedoman hidup; yang kalau ia dijadikan dasar pijakan hidup, maka tidak akan tersesat, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
• Argumen Ijma Shahabat yang mengakui keberadaan Sunnah dalam sistem ajaran Islam, terutama kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum dan pedoman Hidup manusia.
• Argumen globalitas ayat-ayat Al Qur’an; yang membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW, misalnya penjelasan Sholat, Wudlu dll.
Dengan demikian masalah hukum dan ajaran Islam yang tidak ada dalam Al Qur’an dapat dicari dalam Sunnah, sudah barang tentu dengan mengingat beberapa hal, yaitu :
• Al Qur’an bersifat Qoth’i/pasti kebenarannya, baik secara Ijmali (umum) maupun Tafsiliy (terperinci), sedangkan Sunnah secara Ijmali bersifat Qoth’i, sedangkan secara Tafsiliy bersifat Zhanni.
• As Sunnah merupakan tabyin atau penjelas bagi teks-teks Al Qur’an yang bersifat global (umum)
• As Sunnah sebagai petunjuk teknis terhadap ketentuan/status hukum.

b. Fungsi Sunnah (Hadits) terhadap al Qur’an
• Menguatkan atau mengukuhkan hukum-hukum yang telah ada atau ditetapkan dalam Al Qur’an
• Menjelaskan atau menerangkan makna-makna ayat atau ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam al Qur’an. Proses penjelasannya as sunnah terhadap al Qur’an meliputi :
- Bayan Al Mujmal artinya menjelaskan makna ayat yang bersifat global misalnya tentang Sholat, Wudlu, bersuci dll.
- Taqyid Al Mutlaq artinya memberi batasan hukum-hukum yang bersifat mutlak. Misalmya ketentuan hukum potong tangan.
- Takhsis Al Am artinya memberi batasan dan kekhususan kepada ketentuan hukum-hukum yang bersifat umum, misalnya ketentuan waris bagi orang yang berbeda agama atau kepercayaan.
- Taudih al Muskil artinya menjelaskan sesuatu yang rumit misalnya term. Benang putih dalam kasus batasan fajar bagi orang yang berpuasa.
• Memberikan penjelasan tentang ketentuan yang tidak terdapat dalam al Quran atau menetapkan ketentuan/hukum baru yang tidak ada keterangan di dalam Al Qur’an, misalnya hukum KB atau penjelasan teknis ibadah Haji, Zakat dan Puasa dll.

C. Ijtihad
1. Pengertian
a. Ijtihad berasal dari kata Arab “JAHADA”, yang dari kata-kata tersebut berkembang kata Ijtihad dan Jihad. Dua buah kata yang mengandung pengerahan segala hal dalam bentuk yang sangat maksimal. Jihad secara khusus adalah pengerahan tenaga dan kesengajaan untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat Allah, sedangkan ijtihad adalah pengerahan kemampuan pikir untuk menemukan hukum berdasarkan pengertian tersirat dari dua otoritas hukum Islam.
b. Menurut Ulama, Ijtihad berarti; “mengerahkan segala kemampuan (berfikir) untuk mendapatkan atau memecahkan sesuatu (yang sulit) dan dalam praktek hanya sesuatu yang sangat sulit dan memayahkan”.
c. Menurut para Shahabat, Ijtihad adalah; “Penelitian dan pemikiran untuk menda-patkan sesuatu yang terdekat kepada Kitabulah dan Sunnah Rasul melalui Nash atau maksud umum hikmah syari’ah itu sendiri”.
d. Menurut Ulama Fiqh, Ijtihad adalah; “Pengerahan segenap kemampuan ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat Dhanni (spekulatif) terhadap hukum syari’at”.
e. Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa Ijtihad adalah “pengerahan berfikir untuk memperoleh hukum syara’ yang tidak ada nash (Ijtihad bir Ra’yi)”.

2. Dasar, obyek dan kepentingan Ijtihad
a. Dasar Ijtihad
• Al Qur’an Surat An Nisa 59 (Dan jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan Al Hadits serta keputusan pemimpin (orang-orang yang berilmu) dari antara kamu.
• Al Hadits yang menceritakan prilaku Ali bin Abi Tholib dan Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya memberikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
• Logika berfikir yang menyatakan bahwa perkembangan zaman yang yang komplek dan aplikatif membutuhkan perangkat aktualisasi hukum dan nilai keislaman.

b. Obyek Ijtihad
• Obyek yang boleh
- Peristiwa yang telah ditunjuk oleh nash Dhanni baik dilihat dari kedu-dukannya (Wurud) atau dalalahnya (maksud kata yang diinginkan).
- Peristiwa yang tidak ditunjuk oleh Nash dan tidak ada kesepakatan ulama terhadap peristiwa tersebut.
• Obyek yang tidak boleh
- Hukum yang telah ditunjukkan secara qoth’i (ketentuan yang pasti) baik dilihat dari segi wurud atau dalalahnya (kata yang ditunjukinya).
- Hal-hal yang telah disepakati (ijma’) oleh ulama
- Lapangan hukum yang Ta’abuddi, yang ghoiru ma’qulil makna artinya lapangan hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal seperti 1/6 bagian untuk nenek perempuan dalam bidang waris.

c. Kepentingan Ijtihad
• Ketika Nabi masih Hidup, permasalahan hukum tersebut dapat dikonsultasikan dan dapat diputuskan oleh Nabi. Seteleh Nabi meninggal, hukum suatu masa-lah diputuskan berdasarkan proses Ijtihad dengan dasar al Qur’an al Hadits.
• Hukum-hukum Al Qur’an dan Al Hadits sebagian besar bersifat gelobal dan bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual)
• Masyarakat Islam dan dunia berkembang dengan pesat yang membawa berbagai permasalahan baru – oleh sebab itu hukum Islam harus aktual, dan sanggup menjawab tantangan zaman.
• Dengan adanya ijtihad hukum Islam dapat tumbuh subur, dinamis, lincah dan selalu aktual (tidak ketinggalan zaman).
• Dengan ijtihad para ulama dapat menuangkan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam.

3. Syarat-syarat menjadi Mujathid
a. Faham bahasa Arab termasuk di dalamnya adalah faham tata bahasa, uslub (gaya bahasa) dan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Arab.
b. Menguasai ayat-ayat Ahkam (Imam Gazali minimal 500 ayat ahkam)
c. Menguasai hadits ahkam paling sedikit 2.500-3.000 hadits ahkam
d. Menguasai hukum-hukum yang telah disepakatti oleh Ulama (Ijma’).
e. Menguasai Ushul Fiqh atau kaidah-kaidah fiqhiyah
f. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
g. Bersifat takwa dan memiliki keadilan.

4. Tingkatan dan macam-macam Ijtihad
a. Tingkatan
• Mujtahid Mutlak atau Mustaqil yaitu mujathid yang dalam melakukan ijtihad bersifat mandiri, langsung kepada sumbernya dan tidak dipengaruhi oleh pendapat atau pemikiran ulama lainnya.
• Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang terikat oleh pemikiran, pendapat dan metode mujtahid mutlak
• Mujtahid fil Mazhab yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihadnya terikat oleh mazhab yang dianutnya.
• Mujtahid Murajih yaitu mujtahid yang hanya melakukan perbandingan pemikiran dan pendapat para mujtahid lainnya.

b. Macam-macam ijtihad
• Berdasarkan Metode atau langkah dalam melakukan ijtihad
- Intiqo’i yaitu proses ijtihad dengan melakukan seleksi dan tarjih (memilih pendapat yang kuat) terhadap pendapat dan aliran pemikiran fiqh atau atau pemikiran dari para imam mazhab.
- Insya’i (Darakil Hukmi) yaitu proses ijtihad yang materinya (Problem) sama sekali baru dengan menggunakan Nash-nash yang tafsili atau menggunakan dalil-dalil kulli misalnya Ijma’, Qiyas, Istislah (Maslahah Mursalah) Istihsan, Sadduz Zara’i, Urf dll.

• Berdasarkan Pelaku (Subyek) yang melakukan ijtihad
- Jama’i artinya pelaku ijtihad bersifat kelompok (ijma’)
- Fardi artinya pelaku ijtihad bersifat individual atau perorangan.

5. Bentuk Ijtihad
a. Ijma adalah kesepakatan ulama mengenai suatu masalah yang terjadi pada masa itu berdasarkan ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Al Hadits berupa teks langsung atau hanya Isyarat hukum saja.
b. Qiyas adalah proses menyamakan hukum suatu masalah pada hukum suatu masa-lah yang lain, karena ada kualifikasi yang sama berupa kesamaan sifat, sebab dan akibat – yang dalam kaidah ushul fiqh disebut dengan adanya kesamaan “Illat”, misalnya menyamakan hukum minuman keras dengan khamr karena ada unsur yang sama yaitu memabukkan.
c. Istihsan yaitu menentukan hukum berdasarkan nilai kebaikannya.
d. Istishab yaitu menetapkan hukum berdasarkan ketetapan atau situasi yang berkembang sebelumnya.
e. Urf yaitu mempertimbangkan ketetapan hukum berdasarkan nilai sosial dan tradisi yang berkembang dimasyarakat Islam sebelumnya.
f. Al Maslahah Mursalah yaitu menetapkan hukum berdasarkan nilai kebaikan dan kerusakannya.
g. Saddud Dara’i yaitu menentukan hukum berdasarkan seberapa jauh akibat negatif yang akan ditimbulkannya.



Bagian kedua ; Hukum Taklifi
I. Pengertian Hukum Taklifi
A. Pengertian Hukum dan Hukum Taklifi
1. Hukum artinya menetapakan sesuatu atau meniadakan sesuatu, Hukum Islam (syariat-hukum Allah) adalah hukum atau undang-undang yang ditentukan oleh Allah melalui Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
2. Menurut Ulama Ushul Fiqih, hukum adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu menjadi syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah. Sedangkan menurut ulama Fiqih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan syariat berupa “al Wujub, al Mandub, al Hurumah, al Karahah dan al Ibahah”, sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

B. Pembagian Hukum dalam Islam
1. Hukum Taklifi – yaitu tuntutan allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum Taklifi berkaitan dengan perbuatan orang Mukallaf.
Hukum taklifi hanya diberikan kepada orang-orang mukallaf yaitu orang yang telah akil dan baligh. Akil berarti ia telah mampu menggunakan akalnya baik berupa kesadaran berfikir (ilmiyah) atau adanya kesadaran hati, sedangkan baligh atau sampai adalah indikator dimana seseorang telah dewasa dalam hal reproduksi.
2. Hukum Wadh’I – yaitu perintah Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu hukum. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut :
a. Sebab – yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh al Qur’an dan Hadits bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum; misalnya terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat maghrib. Jika matahari belum terbenam maka tidak ada kewajiban sholat maghrib.
b. Syarat – yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaannya menentukan hukum syara’ tersebut; misalnya haul (satu tahun) menjadi syarat wajibnya zakat bagi harta perniagaan
c. Mani’ (penghalang) – yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab hukum, misalnya najis yang ada di badan atau pakaian menjadi penyebab tidak sahnya sholat seseorang (menghalangi keabsahan sholat).

II. Macam Hukum Taklifi
A. Wajib (Fardhu)
1. Pengertian – wajib atau iijab merupakan pernyataan Allah menuntut mukallaf untuk melaksanakan sesuatu atau perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan mendapat dosa.

2. Lafadl yang menunjukkan kewajiban
a. Berbentuk kalimat perintah (fiil amr) misalnya : اقيموا الصلاة واتوا الزكاة
b. Menggunakan lafald Farada atau kutiba, misalnya : كتب عليكم الصيام
c. Kalimat berita yang bermakna menyuruh : والمطلقت يتربصن بانفسهم ثلثة قروء

3. Macam-macam hukum wajib
a. Berdasarkan siapa hukum itu dibebankan
• Wajib ain yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu dan tidak dapat diserahkan kepada orang lain, misalnya Sholat.
• Wajib Kifayah yaitu kewajiban yang dibebankankepada komunitas muslim dan jika sudah ada yang mengerjakan, maka yang lain bebas, misalnya sholat jenazah.
b. Berdasarkan waktu menunaikan kewajiban
• Wajib Mutlak yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaan-nya misalnya mengqodlo puasa.
• Wajib Mu’aqqa yaitu kewajiban yang telah ditentukan waktu pelaksa-naannya, misalnya sholat lima waktu.
c. Berdasarkan jumlah atau ukuran penunaian kewajiban
• Wajib Muhaddad yaitu ketentuan tentang jumlah atau ukuran sebuah kewajib-an misalnya jumlah rakaat sholat.
• Wajib Ghoiru Muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukan jumlah atau ukurannya, misalnya infaq.
d. Berdasarkan kebolehan memilih jenis perbuatan yang ingin dikerjakan
• Wajib mu’ayyan yaitu ketetapan jenis perbuatan yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditawar, misalnya ketentuan sholat lima waktu.
• Wajib Mukhayar yaitu ketentuan jenis perbuatan yang dapat dipilih atau ditawar, misalnya hukum bagi orang yang melanggar sumpah berupa memberi makan 10 fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka dan atau memerdekan budak.

B. Sunnah (Mandub)
1. Pengertian – Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan mendapat tidak mendapat dosa.

2. Lafadl yang menunjukkan hukum sunnah
a. Menunjukkan kalimat yang berarti sunnah, misalnyaيسن كذا atau ينذب كذا
b. Menggunakan kalimat perintah tetapi tidak menunjukkan kewajiban seperti Sholat Tahajud karena sebagai tambahan saja (Qs. Al Isro : 79)

Kalimat Tahajjud diawali dengan huruf “Fa” yang berarti perintah, tetapi sifatnya menjadi sunnah karena diikuti dengan kata “Nafilatan” yang berarti tambahan atau sunnah.

3. Macam-macam sunah
a. Sunnah Muakkad – sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan, misalnya sholat sunnat rawatib, sholat berjamaah dan membaca ayat al qur’an setelah membaca surat al Fatihah dsb.
b. Sunnah Ghoiru Muakkad – sunnah yang tidak sepenting dengan sunnah muakkad atau tidak sangat dianjurkan untuk dikerjakan, misalnya puasa senin- kamis dsb.
c. Sunnah Mustahab – sunnah yang kalau dilaksanakan menambah keutamaan dari sebuah perbuatan, misalnya menambah sedikit ke atas siku saat berwudlu sebagai sikap hati-hati menjaga batas wudlu.

C. Mubah
1. Pengertian – mubah berarti Allah memberikan kebebasan kepada kita untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut atau perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
2. Lafald yang digunakan untuk menunjukan hukum mubah
a. Menggunakan kalimat “Uhilla” (dihalalkan) seperti yang tercantum dalam Qs. Al Maidah : 96.

b. Menunjukkan kalimat yang berarti tidak dilarang, misalnya kata “La Junaha (tidak berdosa), La Haraja (tidak ada halangan) dan La Itsma (tidak berdosa) seperti yang tercantum dalam Qs. Al Baqoroh : 173.


D. Makruh
1. Pengertian – yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi apabila ditinggalkan mendapat pahala, misalnya meninggalkan makanan yang berbau ketika akan bergaul.
2. Lafadl yang digunakan untuk menunjukkan hukum makruh
a. Menggunakan kalimat “Karaha” atau memakruhkan.
b. Berbentuk kelimat perintah yang tidak mengharamkan karena ada kata “Khoirun lakum” (lebih baik bagimu) seperti tersebut dalam Qs. Al Jumu’ah ayat 9.



E. Haram
1. Pengertian – Haram adalah perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya di-anggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan, maka pelakunya mendapat pahala, misalnya berzina, mencuri, membunuh, durhaka pada orang tua dan lain sebagainya.
2. Lafald yang menunjukkan keharaman
a. Terdapat kata yang bermakna keharaman, misalnya kata “harrama atau hurrima” Juga kalimat yang menggunakan kata “la yahillu” (tidak halal) seperti tersebut dalam Qs. al Baqoroh ayat 229 dan Al Maidah ayat 3



b. Berbentuk kalimat larangan untuk mengerjakan yaitu “Fiil atau La Nahyi” seperti tersebut dalam Qs. An Nisa’ ayat 10

c. Menunjukkan kalimat perintah untuk meninggalkan atau menjauhi yaitu dengan kata-kata “Ijtanibu” (Jauhilah) seperti tersebut dalam Qs. Al Maidah : 90.

3 Comments:

  1. profil sedayulawas said...
    pak fauzan" ada ngak karya tulis antum yang bacaanya sedikit...
    semua bentuk makalah yang lama bacanya..
    profil sedayulawas said...
    sorry pak... tulis sesuatu yang judulnya keren donk pak yang gaul anak muda gituuw,, biar kami tertarik membaca.....
    Unknown said...
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates