Kamis, 11 April 2013
PENGERTIAN, FUNGSI, PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
AGAMA-AGAMA DI DUNIA
Sebuah interpretasi
tentang paradigma “Rahmatal lil ‘Alamin”
Oleh : Drs. Ihsan, M.Pd.I
BAGIAN PERTAMA :
PENGERTIAN DAN FUNGSI AGAMA
I. PENGERTIAN
AGAMA, RELIGION DAN AD DIEN
Terdapat tiga istilah yang sering
digunakan untuk mengambarkan sebuah konsep hubungan manusia dengan Tuhan-Nya,
atau pemaknaan terhadap penyerahan, ritual dan persepsi adanya “realitas”
diluar manusia, yaitu : Agama, Religion dan Ad Dien.
Agama
Agama
yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan gama = kacau)
dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka
kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, selamat dan tentram. Dengan
demikiran prinsip dan misi agama pada
hakekatnya adalah berusaha mewujudkan kehidupan yang tidak kacau. Walaupun
demikian, konsep kedamaian dan kesejahteraan boleh jadi hanya bersifat
sementara dan duniawiyah saja, sedangkan prinsip kesejahteraan yang abadi boleh
jadi tidak menjadi prioritas keberagamaan.
Dalam
memberlakukan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan dan keda-maian
hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama yang berbeda-beda – yang cenderung
men-jadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam kajian ilmu agama
terutama dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan kepercayaan serta
aktualisasi peribadatan mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang
didapat, misalnya balasan amal di akhirat (Surga dan Neraka menurut agama Islam
atau Nirwana dan Hukum Karma menurut agama Hindu).
Aplikasi
hubungan dengan eksistensi yang transendent melahirkan berbagai konsep agama
dan aktualisasinya. Di Indonesia berkembang pemikiran bahwa setiap sesuatu me-miliki
“roh” yang didalamnya tersimpan kekuatan magic dan mistik yang luar biasa.
Konsep animisme menjadi wujud adanya hubungan antara manusia dengan eksistensi
yang transendent dan sudah barang tentu sangat abstrak dan cenderung tidak
dapat dijelaskan realitasnya baik dari segi dogmatik maupun dari segi nalar –
kemudian berkembang menjadi dinamisme.
Prinsip-prinsip
Dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit, karena ia mampu menje-laskan
wujud eksistensi yang transendent dalam beberapa eksistensi yang profan (tidak
suci dan bersifat kebendaan). Ia menganggap bahwa semua benda atau benda
tertentu memiliki kekuatan supra natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan
lewat kehebatan yang diluar kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent
tersebut ternyata tidak hanya masuk pada benda tertentu, melainkan masuk juga
pada binatang atau hewan tertentu yang kemudian dikenal dengan “Totemisme”,
misalnya sapi, ular dan kucing.
Religion
Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion”
untuk menggambarkan hal yang sama dengan agama. Dalam An English Reader’s
Dictionary terdapat tiga kemungkinan kata yang berkait dengan Religion, yaitu
Religi, Religion dan Religious atau Releigiusitas. Pertama; Religi dalam
tinjauan antropologi sering dikaitkan dengan ritual (upacara agama/ ibadah)
untuk menundukkan kekuatan gaib terutama pada masyarakat primitif. Perwujudan
dari konsep Religi tersebut adalah ritus dan peribadatan dalam agama,
pengusiran dan penundukkan kekuatan gaib berupa praktek mistik dan magic dan
masih banyak lagi – baik dalam tataran tingkat modern maupun tingkat
tradisional. Artinya sesekali pada masyarakat modern masih dijumpai ritus-ritus
tertentu dan untuk kepentingan tertentu – misalnya ritus yang didasarkan pada
ramalan perbintangan (astrologi-horoscope).
Kedua; Religion digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan yang
mendasari pri-laku Religi atau ritus-ritus tersebut. Dengan demikian Religi
atau ritus dalam agama tertentu tidak akan mungkin ada jika konsep atau aturan
agamanya tidak ada. Dalam An English Reader’s Dictionary karangan A.S. Homby
dan E.C Pamwell, disebutkan bahwa “Religion is a system of faith and worship
based on such belief” (sistem kepercayaan dan penyembahan yang dibangun
berdasarkan keyakinan tertentu). Maka Religion dalam pandangan seperti ini
hanya memuat dua unsur yaitu :
a.
Faith (kepercayaan – artinya adanya persepsi yang
sadar tentang eksistensi kekuatan diluar manusia yang memperngaruhi
kelangsungan hidup mereka).
b.
Worship (peribadatan/penyembahan – perlu adanya
perwujudan ritus yang kongkrit sebagai penghambaan dan ketertundukkan manusia
terhadap kekuatan tersebut, misalnya dalam bentuk sesaji, kurban dll.).
Dalam
pemikiran yang cukup sederhana – ternyata untuk membuat sesuatu itu menjadi
agama hanya diperlukan dua komponen yaitu komponen kepercayaan (faith) dan
penyem-bahan (worship). Prinsip minimal pembentukan agama tersebut menyisakan
permasalahan yang cukup rumit yaitu mampukah agama tersebut mewujudkan pribadi
yang sejahtera, damai dan selamat terutama untuk untuk kehidupan akhirat yang
justru menjadi tujuan utama beragama. Sebab tidak jarang kita menemukan sekte
atau aliran yang hampir menjadi sebuah agama, tetapi mereka justru menyesatkan
dan mencelakakan pemeluknya.
Oleh
sebab itu dalam pandangan saya – agama yang dibentuk berdasarkan prinsip
mini-malis tersebut perlu diwaspadai, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr.
Nurcholis Madjid – “Kepercayaan yang benar akan melahirkan kedamaian,
kesejahteraan dunia dan akhirat, sedangkan kepercayaan yang salah akan
menyesatkan hidup, merusak dan membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan
manusia serta anti terhadap keselamatan hidup.
Ketiga;
Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang nampakdalam prilaku sese-orang
yang terinternalisasi oleh nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama. Sikap tersebut
menjadi parameter terhadap asumsi seberapa tinggi tingkat penghayatan dan peng-amalan
mereka terhadap nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai dan
tentram, maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan
terhadap ajaran agama – demikian juga semakin keras, kasar, tidak adanya
toleransi dan jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin gersang dan
tidak nampak prilaku keagamaan dalam hidup mereka, boleh jadi sampai pada satu
asumsi bahwa agama tidak dibutuhkan oleh mereka.
Ad Dien
“Ad Dien”. Kata Ad Dien dengan mudah dapat kita temukan
di dalam al Qur’an, karena kata tersebut adalah kesatuan tentang ajaran agama
Islam. Dalam kajian ilmu keislaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama yang
bersumber pada al Qur’an dan Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh fid-Dien” – baik
itu menyangkut kepercayaan (aqoid), peribadatan dan hukum-hukumnya (ubudiyah
dan syari’ah) dan konsep-konsep keagamaan lainnya/Muamalah siyasiyah)
sebagaimana disebutkan dalam QS. At
Taubah :122.
Belakangan
rumpun Ad Dien dikembangkan berdasarkan spesifikasi kajian, sehingga menjadi
disiplin ilmu yang bermacam-macam dengan sistematika dan metodologi yang
berbeda, sedangkan ad Dien itu sendiri menjadi rumah besar bagi rujukan dan
keabsah-an keilmuan Islam. Didalam al Qur’an kita menemukan banyak sekali
kata-kata ad Dien, namun kalau diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu
:
- Aturan-aturan agama (Qs Asy Syuura : 13 dan 21 dan Qs. Al Haj : 78)
- Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam Qs. Az Zumar : 3 dan 11, Al Bayyinah : 5)
- Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4, Ash Shoffaat : 20, Ash Shod : 78; Adz Dzaariat : 13; al Waaqiah : 56; al Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al Infithar : 9, 10 dan 17 dan Al Muthoffifin : 11).
Ketiga unsur pengertian tersebut
memilki keterkaitan yang sangat erat, Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya
menurunkan aturan-aturan agama untuk dijadikan pedoman mengarungi kehidupan
dunia. Pedoman tersebut memerlukan ketaatan dan kepatuhan serta keihlasan yang
maksimal dari manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal moral yang
diinginkan oleh setiap aturan. Sebetulnya Allah tidak membutuhkan ketaatan atau
kepatuh-an dari manusia, sebab Allah sudah memberikan kebebasan memilih bagi
manusia – apakah manusia mau beriman atau tidak (Qs. Al Kahfi : 29), juga tidak
ada paksaan dalam agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan kebenaran
dan kesesatan (Qs. Al Baqoroh : 256). Kepatuhan dan ketaatan tersebut
dibutuhkan untuk mewujudkan hasil yang maksimal dari aktifitas dan pengamalan
terhadap ketentuan tersebut. Setiap hukum dan peraturan memer-lukan kesadaran
dan keihlasan dari pelaku untuk menghasilkan atau mewujudkan maksud diadakannya
hukum tersebut yaitu keselamatan, ketentraman, keteraturan dan kebenaran.
Dalam
kehidupan sehari-hari seringkali kita temukan orang-orang yang mengikuti atau
menjalankan hukum atau agama secara lahiriyah, tetapi secara batiniyah (tidak
nampak) ia mempermainkan hukum atau aturan agama. Aturan agama dapat dijalankan
secara lahiriyah dan batiniyah, maka disinilah pengertian Ad dien yang ketiga
berfungsi – Allah akan menen-tukan dengan sebenar-benarnya siapa hamba-Nya yang
ikhlas dan patuh pada saat hari pembalasan amal yaitu pada hari kiamat nanti.
Menurut
Ulama fiqih; Ad Dien didefinisikan sebagai
الدِّيْنُ هُوَ وَضْعٌ اِلهَيٌّ سَائِقٌ لِذَوِي اْلعُقُوْلِ
بِاحْتِيَارِهِمْ اِلَي الصَّلاَحِ فِي الْحَالِ وَاْلفَلاَّحِ فِي الْمَاًلِ
(“Agama adalah
ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan kepada manusia yang berakal untuk
mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat”)
Dari pengertian tersebut
terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
a.
Bahwa Ad Dien itu adalah aturan-aturan Allah – artinya
segala bentuk hukum dari agama itu bersumber dari Allah, Nabi Muhammad SAW
hanya menyampaikan risalah tersebut kepada manusia tanpa dikurangi atau
ditambahi sedikitpun.
- Diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep manusia yang berakal dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu berakal dalam konteks syar’iyah dan berakal dalam konstek kesadaran berfikir.
Akil-Baligh
dalam konsteks syar’iyah adalah situasi dimana hukum-hukum tentang kewajiban
dan larangan agama dibebankan kepada manusia. Indikatornya adalah ketika
manusia mampu memberikan alternatif dan solusi terhadap permasalahan hidup
dengan sadar (kemampuan akliyah) dan Baligh berarti telah sampai pada masa
kematangan reproduksi nya yaitu dengan keluar sperma bagi kaum laki-laki dan
menstruasi bagi kaum wanita. Terhadap orang yang hilang kesa-darannya baik
karena gila, tidur atau lupa, maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya –
artinya tidak berhak atas dosa atau hukuman, jika ia melakukan kesalahan.
Sedangkan
berakal dalam konteks kesadaran berfikir dapat dibedakan menjadi dua; Pertama
yaitu kemampuan mengurai setiap permasalahan dalam kerangka analitis
sistematis; misalnya dalam tinjauan sebab, akibat dan solusinya dengan dasar
ilmu yang realible – dus kemampuan tersebut lebih mengarah pada aspek
intelektualitas sese-orang. Kedua;
yaitu kesadaran hati (berfikir dengan hati nurani) terkadang seseorang memiliki
kepandaian intelektual, tetapi ia tidak memiliki kepandaian “Hati Nurani/Qolb”.
Ia mengingkari hukum, melakukan zina, mencuri atau perbuatan melanggar hukum
agama lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina itu haram karena
sejelek-jeleknya perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya tidak mampu
menjelaskan hal tersebut didepan gelora Hati dan nafsu syetannya – maka ketika
itu ia tidak berakal sebagaimana firman
Allah dalam Qs. Al A’raf : 178
- Jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk memahami dan menjalankan aturan Allah tersebut, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Artinya bahwa akal yang benar akan membawa pada pilihan yang benar terhadap apa yang diberikan oleh Allah – dan hal tersebut menjadi modal untuk memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan
hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak. Standar keba-hagiaan tidak
dapat diukur dengan seberapa banyak ia mempunyai harta benda melain-kan lebih
mengarah kepada kenyamanan, ketentraman dan kemampuan mengendalikan diri.
Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu karena ia memiliki harta benda,
melain kan adanya kelapangan hati”. Oleh sebab itu, agama tidak menjanjikan
langsung melim-pahnya harta kekayaan melainkan kemantapan bathin yang berujung
pada komit-men dan keuletan berusaha. Bagi mereka dunia adalah tempat
persinggahan sementara dan permainan yang melenakan (Qs. Ali Imron : 185, Al
An’am : 32 dan Hadid : 20), oleh sebab itu kekayaan yang paling sempurna adalah
ketenangan dalam menjalankan agama itu sendiri (Qs. Al Maidah : 3).
Sedangkan
keselamatan hidup di akhirat adalah keberhasilan seseorang dalam mempertanggung
jawabkan semua aktifitas pelaksanaan amanat hidup sebagai hamba Allah (Qs. Adz
Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (Qs. Al Baqoroh : 30) yang sesuai dengan
yang diperintahkan oleh Allah. Pada masa tersebut, manusia tidak dapat mohon
bantuan kepada sesamanya, sebab pada hari itu semua dihisab amal-nya dengan
seadil-adilnya. Harta benda dan anak istrinya yang dulu dibanggakan, sudah
tidak dapat dibanggakan lagi – yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya” dzat yang
Maha Kuasa (Qs. Al Baqoroh : 48, 123 dan 281)
Di
samping Ad Dien, terdapat juga kata “Millah” sebagaimana disebut
dalam beberapa ayat al Qur’an, misalnya Qs. Al Baqoroh : 130 dan 135. Secara
subtantif kata “millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya hidup” yang
dikembangkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Oleh sebab itu keluasan
cakupan Millah tidak dapat melebihi cakupan Ad Dien, karena Millah bisa saja
dikembangkan berdasarkan nilai subtansial dari Ad Dien, sedangkan Ad Dien
terkadang tidak memasukkan millah dari beberapa Nabi atau Rasul sebelumnya,
misalnya Dienul Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak memasukkan ajaran atau
berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi Dawud.
Terdapat
10 ayat yang menjelaskan penggunaan kata “Millah” dan kesemuanya dikaitkan
dengan cara dan gaya hidup Nabi Ibrahim/ملة ابراهيم (Qs. Al
Baqoroh :130 dan 135, Ali Imron : 95, An Nisa’ : 125, Al A’am : 162, Yusuf :
37-38, An Nahl : 123, Al Haji : 78 dan Shad : 7). Nabi Ya’kub yang merupakan cucu nabi Ibrahim,
juga memberikan justifikasi jalan hidup kepada anak-anaknya dengan prinsip “millah Ibrahim” yang bebas dari
unsur kemusyrikan, yaitu :
Dengan demikian subtansi Millah
Ibrahim memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip tauhid yang dibawa oleh
semua Nabi dan Rasul Allah.
Pengertian Millah sebagai jalan
hidup atau style sebuah masyarakat juga nampak pada penggunaan kata millah
dengan bentuk lain sebagaimana tersebut pada Qs. Al Baqoroh : 120, Al A’raf :
87-88, Ibrahim : 13 al Kahfi : 20. Secara khusus dalam Qs. Al Baqoroh : 120 –
kata-kata Millah dikaitkan dengan gaya hidup atau bahkan keyakinan kaum Yahudi
dan Nasrani yang datang sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalah Islam.
II. PERBANDINGAN
ANTARA AGAMA, RELIGION DAN AD DIEN
- Persamaan
Agama,
Religion atau Ad Dien memiliki kesamaan pandangan dalam 3 hal walaupun pada
titik tertentu, aplikasi dan realitas spiritualnya berbeda. Ketiga hal tersebut
adalah :
1. Pengakuan
adanya yang Maha Kuat – yang berada diluar jangkauan manusia (immatrial atau
transendentt) dalam bahasa Islam disebut dengan Allah (Tuhan).
2. Adanya
kehidupan sebagai tempat pembalasan amal manusia, baik itu langsung maupun
tidak langsung, misalnya Surga dan Neraka (Islam) atau Nirwana dan Hukum Karma
(Hindu-Budha).
3. adanya
peribadan atau ritual yang merupakan perwujudan hubungan antara ma-nusia dengan
yang Maha Kuat – tentu dengan berbagai bentuk dan tata caranya.
- Perbedaan
1. Tata
nilai yang dikembangkan oleh Ad Dien (agama samawi) berasal dari Wahyu Allah,
sedangkan Agama dan Religion berasal dari refleksi manusia terhadap peris-tiwa
yang terjadi dilingkungannya.
2. Kebenaran
yang dibawa oleh Ad Dien bersifat mutlak/absolut – karena ia datang dari Allah
(Qs. Al Baqoroh : 147 dan Ali Imron : 60) , sedangkan Agama dan Religion
bersifat Dzanny (spekulatif/sementara) – karena ia datang dari manusia yang
lemah, tak berilmu dan hanya persangkaan saja ( Qs. Al Baqoroh : 78-79).
3. Ad
Dien menjamin bagi pengikutnya dengan “keselamatan dan kebahagiaan” (Qs. Ali
Imron : 85), sedangkan Agama dan Religion tidak menjaminnya bahkan di antaranya
ada yang berujung dengan kebodohan, kesengsaraan bathin dan kese-satan hidup
(Qs. Al Baqoroh : 170 dan Al Anbiya’ : 52-54).
4. Ad
Dien mengajak pada pemeluknya untuk menghambakan kepada Pencipta sekalian,
sedangkan agama dan Religion terkadang mendorong pada penghamba-an kepada
sesama makhluq dan belenggu-belenggu Thogut lainnya.
III.
FUNGSI AGAMA BAGI MANUSIA
Amat
beragam orang mempersepsi keberadaan agama bagi manusia – sebagian di-antara
mereka melihat agama sebagai beban yang amat berat – yang mengganggu aktifitas
kehidupan mereka sehari-hari. Frederich Engle dan Karl Marx membandingkan agama
yang abstrak dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang serba materialis. Bagi
mereka agama tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia terutama dalam pemenuhan
ekonomi dan status sosial – diperlukan usaha keras untuk merubah keadaan sosial
dengan perjuangan kelas dan bukan dengan khutbah-khutbah agama. Jadi agama
(“Tuhan”) tidak diperlukan dalam proses tersebut, maka tidaklah heran kalau
doktrin yang mereka kembang-kan adalah hancurkan agama karena candu bagi
masyarakat.
Setali tiga uang dengan Frederich Nieztche –
filosof eksistensialis asal negara Jerman. Ia mengatakan bahwa dogma-dogma
agama yang dikembangkan oleh para rahib dimaksudkan untuk menafikan peran
sentral manusia yang berasal dari kekuatan fikir manusia. Jadi manusia
membutuhkan agama karena potensi dilemahkan oleh agama itu sendiri. Agar manusia
tidak dibodohi oleh agama dan sudah barang tentu Tuhan, maka manusia harus
menjadi kuat (superman) dan untuk itu sangat perlu dikembangkan slogan “Tuhan telah Mati/The God
is Dead” dalam diri manusia.
Dalam pandangan Islam, agama sangat penting
karena ia menjadi modal dasar dilahir-kannya manusia di dunia untuk melengkapi
kemampuan jasmaniyah. Potensi beragama atau kebenaran yang dimiliki oleh
manusia ada sejak manusia dalam arwah dengan merujuk khusus pada pengakuan
Allah sebagai Tuhan (Prinsip monotheisme) sebagaimana disebut dalam Qs. Al
A’raf : 172. Oleh sebab itu pengingkaran
terhadap eksistensi agama dan Tuhan menjadi sebab awal terjadinya keterpurukan
rohani atau spiritual manusia. Mereka dapat membanggakan diri dengan
popularitas dan intelektualitas yang dimiliki, tetapi mereka tidak tentram,
damai dan tenang dalam kehidupannya dan bahkan ia merasa asing dengan
lingkungan tempat mereka tinggal. Jean Paul Sartre – sastrawan dan juga filosof
Perancis abad 19 mengakui keterpurukan spiritualitas dirinya dalam pesan
terakhir sebelum ia melakukan bunuh diri.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut,
maka agama memberikan nuansa tersendiri dalam kehidupan manusia, yaitu :
1. Membawa
manusia pada jati dirinya yaitu adanya kesadaran spiritual dengan memahami
adanya realitas lain selain manusia.
2. Membimbing
manusia agar menemukan jalan kehidupan yang tenang, tentram dan sejahtera,
karena tujuan beragama agar manusia berjiwa suci dan berakhlaq mulia atau
membawa dan membina manusia dan masyarakat menjadi baik.
3. Membimbing
manusia agar menemukan jalan menuju kebahagian hidup di dunia dan keselamatan
hidup di akhirat dengan jalan tunduk pada kemauan dan kehendak rahman rahim
Tuhan
4. Memberikan
pedoman kepada manusia agar ia dapat mewujudkan fungsi rahmat bagi alam sebagai
tindak lanjut tugas kekhalifaan, juga mengajarkan pentingnya menentukan hal-hal
yang utama dan membatasi hal-hal yang tidak terlalu utama (tidak penting).
5. Agama
memberikan pedoman untuk nentukan kreteria perbuatan baik atau jahat; dengan harapan manusia dapat
menghindarkan diri dari perbuatan jahat yang dianggap dapat mengotori kesucian
jiwa bagi yang mengerjakannya. Dalam konsteks ini agama menentukan norma-norma
kebaikan dan kejahatan. Ia menentukan pula peraturan-peraturan yang harus
dipakai oleh manusia dalam hidup kemasyarakatannya, agar ia jauh dari kekotoran
dan kejahatan.
BAGIAN KEDUA
: APAKAH SEMUA AGAMA ITU SAMA ?
I. PENDAHULUAN
Ketika jumlah
manusia masih terbatas dilingkungan keluarga Bani Adam, problematika mengenai
aplikasi kepercayaan tidak terlalu rumit. Hal yang menjadi sebab terjadinya
masalah keagamaan dengan cepat dapat diselesaikan oleh Adam. Meskipun demikian
formulasi awal perbedaan pemikiran dan konsep pengabdian sebagai wujud
pelaksanaan perintah Tuhan telah terjadi dengan sangat radikal bahkan menjadi
presedent jelek bagi pengingkaran terhadap kebenaran perintah Allah, sekaligus
kemenangan syetan untuk kali kedua setelah penurunan Adam dari surga oleh
Allah. Kasus pengorbanan yang dilakukan oleh Qobil dan Habil mencerminkan perbedaan
pemahaman mengenai pelaksanaan perintah Agama – yang satu melihat dari
kepatuhan, ketaatan dan kesyukuran atas rizki yang di-berikan oleh Allah, yang
lain melihat sebagai formalisme dan simbolitas dari pengabdian saja (Qs. Al
Maidah : 30), sehingga yang diberikan kepada Allah bukanlah yang sesungguhnya
melainkan hanya separuh hati (Qs. Ali Imron : 92)
Perkembangan populasi manusia yang demikian
besar menjadi bersuku bangsa (Qs. Al Hujurat :13) menyebabkan munculnya
berbagai interpretasi baru mengenai agama dan kepercayaan yang dianut oleh manusia.
Dalam konteks tersebut, Allah berkali-kali me-nurunkan Rasul dan Nabi untuk
menyamakan persepsi tentang eksistensi Tuhan, kebaikan dan hidup setelah
berakhirnya kehidupan di dunia – memberi peringatan tentang akibat pengerusakan
tehadap alam dan pelanggaran terhadap perintah Tuhan (Qs. Al Baqoroh : 285).
Pertanyaan yang kemudian berkembang – apakah semua/ajaran agama itu sama ?.
II. APAKAH
SEMUA AGAMA SAMA
Apakah
semua agama itu sama ? jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentu multi dimensi
artinya apapun jawaban yang dikemukan tentu mengandung kebenaran atau
dibenarkan, walaupun kebenaran tersebut hanya bersifat subyektif (kebenaran
berdasarkan persepsi keyakinan yang bersangkutan). Ada dua kemungkinan jawaban
yaitu :
A.
Sama
Jika di jawab sama, maka
kemungkinan argumentasi yang dikembangkan adalah :
1.
bahwa semua agama
mempunyai visi dan misi yang sama. Setiap Agama memiliki Visi tentang penyembahan terhadap Tuhan –
yang mungkin menjadi perbedaan dalam prosesi kepercayaan dan penyembahan kepada
Tuhan hanya pada aplikasi atau aktualisasi penyembahan dan kepercayaan
tersebut.
Secara global Agama juga memiliki misi yang sama yaitu
terwujudnya kehidupan yang damai, sejahtera, menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan (human-isme), menentang kekerasan dan tindakan pengerusakan.
Sehingga tidaklah benar, jika terorisme dikaitkan dengan agama tertentu,
walaupun terdapat ajaran yang sangat mendasar dalam agama tersebut berkaitan
dengan penggunaan senjata sebagai
alternatif pembelaan diri dalam rangka penegakan Agama dan keyakinan kepada
Tuhan. Artinya tindakan kekerasan diperlukan untuk menegakkan eksistensi diri
dan agar tidak dilecehkan atau diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Dalam perspektif yang sangat khusus, perang bagi umat
beragama (umat Islam) adalah keniscayaan, ketika kehormatan diri dan agama
dihinakan – ketika atribut-atribut kebesaran Tuhan dirobohkan. Maka lawanlah
mereka, sehingga kebenaran (agama) dan keagungan hanya milik Allah (lihat Qs.
Al Baqoroh : 190-193 – tentang prosedur dan tujuan perang).
Menyamakan sebuah keyakinan atau agama – sebagaimana
yang dijelaskan diatas boleh jadi disemangati oleh sebuah kenyataan bahwa Allah
telah menurunkan ribuan Nabi dan puluhan Rasul yang kesemuanya memiliki tugas
yang sama yaitu menjelaskan prinsip humanisme, rahmatan lil ‘alamin dan keesaan
Allah. Allah menje-laskan bahwa tidak ada perbedaan antara para rasul dan nabi
tersebut (Qs. Al Baqoroh : 285). Oleh
sebab itu semua manusia memiliki agama yang sama, karena berasal dari sumber
yang sama – tidak perduli dari bangsa dan suku apa, agama atau kepercayaan apa.
Sungguhpun demikian patutlah kita membaca ulang
Qs. Al Baqoroh : 62 – yang oleh kebanyakan dari mereka dijadikan
legalisasi bahwa semua bangsa dan agama itu sama – subtansi dari ayat tersebut
adalah “orang-orang yang beriman (Islam), Yahudi, Nasrani dan Shobi’ – jika
mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal sholeh bagi mereka pahala dari Allah, mereka tidak
takut dan tidak pula susah”
2.
Bahwa dalam spektrum
menjaga kepentingan stabilitas dan politik, maka agama harus ditempatkan dalam
posisi dan mendapat penghargaan yang sama baik menyangkut hak hidup maupun
kebenaran agama itu sendiri.
Ketika
komunitas Madinah terbentuk, Rasulullah sebagai penggagas perlu mem-bicarakannya
dengan baik dengan semua komponen masyarakat Madinah. Hak dan kewajiban
masyarakat Madinah disusun dalam sebuah “Traktat Madinah” yang berisi 37 pasal
– di dalamnya agama tidak menjadi simbol yang diperdebatkan, karena Rasulullah
telah mengisi prinsip piagam Madinah dengan nilai-nilai Qur’ani.
Soekarno
pernah menggunakan standar politik untuk menyamakan (membenar-kan) semua agama
yang hidup di Indonesia dengan menggunakan Ibarat 4 orang buta yang memegang
Gajah – apapun yang mereka pegang, mereka akan mengatakan bahwa yang dipegang
tersebut adalah Gajah; artinya apapun pemahaman mereka terhadap agama – berbeda
atau tidak, mereka mengatakan bahwa itu adalah nilai-nilai agama dan pasti dai
mengatakan agamanya adalah benar (Baca Dr. H.M. Rasyidi – Kuliah Agama di PT).
Yang
harus diperhatikan – janganlah menggunakan jargon “tidak ada perbe-daan dalam
agama” dengan maksud memperoleh atau melanggengkan kekuasaan, sebab hal
tersebut tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh “Machiavelli” tuju-an
menghalalkan segala cara. Lebih jauh – mungkin inilah yang oleh Allah dikatakan
“membuat sebuah opini/kitab, lalu ia katakan bahwa opini tersebut adalah
ayat-ayat Allah – orang tersebut menjual ayat Allah dengan harga/ongkos yang
murah (Qs. Al Baqoroh : 79)
B. Tidak Sama
Pandangan tersebut berkembang dari
prinsip-prinsip agama yang diintepretasi-kan oleh penganutnya. Penganut suatu agama tentu akan mengatakan
bahwa agamanya tidak sama dengan agama orang lain, misalnya tentang keimanan
terhadap Tuhan – apakah ia menganut prinsip monotheisme (satu Tuhan),
politheisme (Tuhan banyak) atau henotheisme (tuhan banyak tapi ada yang paling
tinggi). Dalam konsep satu Tuhan itupun terjadi perbedaan dalam penafsiran dan
aplikasinya yaitu satu tuhan dalam arti yang sebenarnya seperti dalam konsep tauhid
pada agama Islam. Allah adalah Esa, Esa dalam arti yang sebenarnya, bukan satu
terdiri dari tiga atau tiga menjadi satu. Di sisi lain ada satu tuhan yang berasal tiga unsur, misalnya
Trinitas bagi agama Kristen dan Trimurti bagi agama Hindu. Oleh sebab itu sikap
yang baik adalah memahami perbedaan dan tidak berusaha menyamakan (Qs. Al
Kafirun : 1-6).
Ajaran bahwa Allah adalah tuhan yang satu
dapat dicerna secara rasional dengan
berbagai pembuktian yang rasional pula. Adalah sebuah kemustahilan, jika di dunia ini terdapat lebih dari satu
tuhan dengan kekuasaan yang sama – karena mereka pasti akan berebut kekuasaan.
Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Anbiya' ayat 22 : “Andaikan ada tuhan
selain Allah di bumi dan langit ini
pastilah kehancuran yang akan di dapat”
Dengan logika yang sistematis tersebut, jika
agama dipandang sebagai pengabdi-an kepada Tuhan atau agama tersebut dibangun
berdasarkan nilai-nilai ilahiyah dari tuhan yang berbeda, maka bentuk dan wujud
pengabdiannya juga berbeda. Jangankan dari Tuhan yang berbeda – ajaran agama
dan konsep theologis lainnya diklaim berasal dari tuhan yang sama, pada
perkembangannya juga mengalami perbedaan. Apakah perubahan tersebut dikarenakan
modifikasi pelaku atau tokoh agama untuk penyesuai-an jaman ataukah karena
sengaja dipalsukan.
Terlepas
dari perdebatan tersebut, secara subtansial semua agama memiliki
prinsip-prinsip yang tidak jauh berbeda. Prinsip-prinsip yang hampir sama
tersebut adalah :
A.
Visi dan Misi agama
yaitu kepercayaan kepada Tuhan dan aplikasinya yang mengarah pada terwujudnya
kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan, kecuali sekte-sekte agama yang muncul
secara kondisional terutama diluar agama Islam.
B.
Adanya Pengakuan
sebagai sebuah kebenaran (Claim of Truth) dan pengakuan sebagai keselamatan
(Claim of Salvation).
Setiap
agama akan memberikan penekanan dan justifikasi kepada pemeluknya bahwa agama
yang dianut adalah agama yang benar (Qs. Al Baqoroh : 23-24 dan 147 dan Ali
Imron : 60), karena kebenaran agama menjadi alat mobilisasi yang paling utama
dalam kaitan penegakan dan pengamalan agama. Jika agama dinyatakan tidak benar,
maka ia tidak memilki daya tarik dan rekrut kepada komunitas yang lainnya
bahkan untuk bertahan dari gerusan jaman.
Jika
agama memiliki status sebagai sebuah kebenaran, maka ia akan berfungsi sebagai
instrument keselamatan. Maka tidak berlebihan, jika semua agama mengklaim
dirinya mampu menyelematkan semua manusia yang mau bergabung dan melaksanakan
tana nilai yang dikembangkannya. Dalam perspektif nilai keislaman, ter-dapat
klaim keselamatan bagi manusia yang mengikuti ajaran Islam dan kerugian bagi
mereka yang meninggalkan ajaran Islam (Qs. Ali Imron : 19 dan 75).
Bahkan
dalam kesempatan yang lain penolakan terhadap ajaran Islam menyebabkan orang
tersebut masuk dalam kategori “Bodoh atau tersesat jalan” karena mereka tidak
mampu membedakan antara jalan kesesatan dan keselamatan padahal keduanya
sungguh sangat jelas (Qs. Al Baqoroh : 256).
Dalam tataran yang lebih praksis, pemahaman
terhadap subtansi Agama tersebut, terutama terhadap Claim of Truth dan Claim
of Salvation akan mendorong tumbuhnya
hal-hal sebagai berikut :
A.
Proses Integrasi artinya
agama menjadi instrument yang kuat untuk menintegrasikan setiap komponen
masyarakat. Cara yang paling efektif
untuk membangun kebersama-an adalah melalui pendekatan agama. Wujud dari proses
integratif yang dimunculkan oleh agama tersebut dapat berbentuk :
1.
Rasa persatuan
2.
Adanya prinsip
persamaan dan persaudaraaan (Solidaritas umat)
3.
Keinginan untuk
melindungi sesama ummat baik bidang Sosial, Ekonomi, politik dan hukum.
B.
Proses Desintegratif
dan Konflik artinya agama merupakan kekuatan yang dominan mendorong terjadinya
perpecahan dan pertentangan dalam masyarakat.
Agama adalah instrument yang
signifikan untuk memecah belah suatu masyarakat. Ada dua ruang kemungkinan
terjadinya desintegrasi dan konflik yang
disebabkan oleh agama :
1.
Konflik antar
pemeluk agama – artinya terjadi peperangan antar pemeluk agama yang satu dengan
pemeluk agama yang, misalnya perang agama antara Islam dan Kristen (perang
salib).
2.
Konflik intern umat
di dalam satu agama (internal agama) – konflik tersebut dapat berkembang karena
adanya perbedaan pemahaman terhadap dasar nilai dan wujud aplikasi dari sebuah
nilai yang dinyatakan kebenarannya oleh agama tersebut. Konflik internal umat
beragama lebih merupakan urusan khilafiah yang furu’iyah dan bukan masuk kepada
hal-hal yang sangat mendasar (akidah dan dasar syar’I).
Konflik yang mengarah pada
bentuk destruktif yang berkembang dalam masyarakat ter-utama yang berkaitan
dengan pemahaman terhadap klaim kebenaran dan keselamatan tersebut lebih banyak
disebabkan oleh :
A. Faktor Internal
1.
Pemahaman yang keras
terhadap konsep Claim of Truth dan Claim of Salvation dengan menekankan pada
rekruitmen atau dakwah agama yang agresif dan radikal.
2.
Adanya radikalisme
oleh suatu kelompok dalam agama – dengan menggunakan pemahaman yang bersifat
simbolitas belaka.
3.
Sebagian besar umat
suatu agama masih berfikir simbolitas dan meninggalkan cara berfikir
subtansial.
4.
Tingkat pendidikan
masyarakat masih rendah, memungkinkan orang mudah diprovoka-si oleh orang lain
yang menggunakan jargon-jargon dan kaidah agama, padahal mereka hanya mengadu
domba dan memecah belah ukhuwah.
B.
Faktor
eksternal
1.
Kelompok X yang
memang menghendaki adanya konflik antar agama karena kepen-tingan sosial,
ekonomi dan politik tertentu.
2.
Pendapat-pendapat
Orientalis dan Analis ketimuran yang mempengaruhi pemikiran masyarakat,
misalnya analis dari Dr. Samuel Hungtington yang meramal bahwa konflik masa
depan (abad 21) akan disebabkan oleh perebutan kepentingan budaya antara Islam
(Timur) dan Non Islam (Barat).
Bahwa
semua agama menghendaki umatnya berlaku santun, tidak sadis dan menggunakan
agama sebagai alaat legitimasi kekerasan dan pengerusakan hak milik orang lain.
Oleh sebab itu diperlukan usaha yang efektif untuk menghentikan konflik antar
agama dengan elakukan hal-hal sebagai berikut :
A.
Memahami aturan
agama secara keseluruhan (komprehensif/totalitas) artinya jangan mengambil
ajaran yang bersifat keras saja dan meninggalkan ajaran agama yang mendorong
tumbuhnya toleransi.
B.
Meninggalkan cara
pemahaman agama yang bersifat simbolitas dan mengembangkan kebiasaan pengkajian
agama yang bersifat subtansial.
C.
Meningkatkan
kualitas pendidikan umat suatu agama sehingga melahirkan pemahaman yang
obyketif dan ilmiyah.
D.
Membiasakan hidup
dalam perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai sumber keragam-an akan
keindahan hidup.
BAGIAN KETIGA :
KARAKTERISTIK ISLAM SEBAGAI AGAMA SAMAWI !
Pembahasan mengenai agama selalu saja menarik – karena
sangat menarik tersebut ia telah bertahan dalam kurun waktu ribuan tahun.
Ketika Socrates dan Aristoteles mendefinisikan konsep supra natural menjadi
“sebab utama dan atau wajibul wujud”, maka sedikit demi sedikit eksistensi yang
abstrak mengenai Tuhan mulai tergambarkan dalam definisi otak manusia. Dan
ketika Allah menurunkan beberapa Rasul dan ribuan para nabi, maka semakin
jelaslah konsep keberadaan yang abstrak tersebut – melalui sifat dan asma Tuhan
yang bertebaran dalam kitab-kitab suci dan manuskrip-manuskrip kuno tentang
Tuhan, agama dan ajarannya.
Secara umum berkembang sebuah analisa tentang asal usul
agama dalam kehidupan manusia, termasuk didalam jenis dan sifat agama itu –
mulailah para ilmuwan menyatakan bahwa asal mula agama karena manusia
mempersepsi setiap peristiwa yang terjadi diseki-tarnya sebagai sebuah
aktifitas kekuatan gaib atau setidak-tidaknya ia memiliki resonansi kekuatan
gaib. Yang lain berfikiran bahwa asal usul aturan-aturan religius adalah
kehendak yang maha Kuasa untuk membimbing mereka agar menemukan kesejahteraan
dan keda-maian jiwa. Apapun asal usul dan bentuknya sangatlah menarik untuk kita
kaji bersama konsepsi agama dalam perspektif
samawi dan ardhi, termasuk didalamnya “Apakah Islam merupakan agama
Samawi yang terakhir ?.
Kajian yang mendalam
mengenai asal-usul dan sumber ajaran agama telah dilakukan melalui research dan
telah disajika pula dengan sistematis. Kebanyakan para ahli agama membagi agama
dalam perspektif asal usul atau sumber pengembangan dalam 2 kelompok, yaitu
Agama Ardhi dan Agama Samawi.
Agama Ardhi
Secara umum
Agama Ardhi atau agama bumi diartikan sebagai suatu ajaran yang dihasilkan
berdasarkan pemikiran atau refleksi terhadap peristiwa atau kejadian alam yang
berlang-sung disekitar lingkungan hidup mereka. Agama Ardhi juga dinamakan
dengan agama Thobi’i, karena ia berkembang berdasarkan daya insting ketuhanan
dalam diri manusia, sehingga ketika muncul sesuatu yang luar biasa, maka secara
reflektif diasumsi-kannya ia sebagai wujud adanya realitas supra natural.
Sering pula
agama Ardhi dikatakan sebagai agama “Budaya” karena ia berkembang ber-dasarkan
kreatifitas fikir manusia – pedoman dan bentuk ritual yang dilakukan
berdasarkan olah pikir, rasa dan cipta manusia. Dalam konteks tersebut, agama
menjadi bagian dari sebuah rumpun kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh
E.B. Tylor. Ia mengata-kan kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang
meliputi pengetahuan, dogma, nilai-nilai moral, hukum, tradisi-tradisi sosial,
dan semua kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia dalan kedudukannya
sebagai anggota masyarakat. Peneliti lain dari Barat yaitu Merril dan Eldrige
menjelaskan bahwa dasar kebudayaan berasal dari akal manusia. Jika akal manusia
membuat sebuah konsep kepercayaan dan ritualnya, maka ia juga termasuk produk
budaya.
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka semua manusia atau bangsa mempunyai kualifi-kasi untuk
membangun agama dan kebudayaan tersendiri, kebudayaan yang bermanfaat bagi
dirinya dan bangsanya. Dengan demikian kebudayaan tidak terpaku pada hasil ilmu
dan teknologi, melainkan juga termasuk moral dan etika dalam suatu masyarakat.
Jika agama dipandang sebagai sebuah hasil
karya manusia, maka agama yang demikian memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
A.
Hasil berfikir
manusia sebagai wujud kemampuan berbudaya, sehingga manusia mutlak menjadi
kreator (pencipta).
B.
Bentuk dan kebenaran
ajaran agamanya bersifat relatif spekulatif artinya tidak bresifat mutlak benar.
C.
Wujud agama ardhi
bermacam-macam sesuai dengan kemampuan berfikir masyarakat.
D.
Nama agama ardhi
biasanya terkait dengan pembawa atau daerahnya.
Agama Samawi
Kebalikan dari agama
ardhi adalah agama samawi atau agama langit. Disebut agama langit karena
berasal dari langit (samawi) – langit (samawi) selalu digunakan untuk
meng-identifikasi keberadaan Tuhan. Jika kita ingin mengatakan sesuatu itu
berasal dari Tuhan, maka kita menengadah atau menunjuk keatas sebuah
personifikasi langit sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Baqoroh : 29 Dalam
perspektif dogmatika islam terutama ketika membicarakan keberadaan Tuhan
terkadang menggunakan istilah yang abstrak tetapi mengarah pada sesuatu yang
diatas atau sesuatu yang tidak terjangkau pemaknaannya oleh akal manusia,
misalnya arasy (Qs. Thaha : 5).
Seringkali agama
samawi disebut dengan agama wadh’I dan agama wahyu – karena ketentuan-ketentuan
yang dilaksanakan oleh pemeluknya ditentukan langsung oleh Allah dalam bentuk
aturan-aturan agama yang diberikan kepada rasul untuk disampaikan kepada
melalui wahyu-wahyu Allah. Ayat-ayat Al qur'an yang menjelaskan hal tersebut
misalnya :
1.
Qs. Asy Syuura ayat 13
2.
Qs. At Taubah : 37
3.
Qs. Al Haj : 78).
Oleh sebab itu dalam
khazanah keilmuan Islam, agama atau Ad Dien dalam kosa kata al Qur’an
didefinisikan oleh para ulama sebagai “ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan
kepada manusia yang berakal untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan
kese-lamatan hidup di akhirat”.
Ketentuan-ketentuan
Allah yang diberikan kepada umat manusia memiliki dimensi dan subtansi ajaran
yang sama, walau dalam titik tertentu terdapat perbedaan. Perbedaan-per-bedaan
tersebut lebih karena disebabkan faktor
sosio kultural masayarakat pada waktu itu. Dengan demikian agama yang berasal
dari wahyu Allah mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan agama ardhi.
Sifat-sifat agama samawi tersebut adalah :
A. Ajaran
agama berasal dari Wahyu Allah melalui para Rasul/Nabi Allah.
B.
Rasul hanya
menyampaikan ajaran kepada umat manusia dan bukan kreator dari agama yang
disampaikan – Allah adalah pencipta aturan tersebut.
C.
Ajaran agama Samawi
bersifat benar mutlak
D.
nama agama samawi
hanya satu yaitu Islam
ISLAM : AGAMA
SAMAWI
Agama
samawi atau agama wahyu yang dibawa oleh para rasul pada hakekatnya hanya satu
yaitu Islam, karena semua rasul dan umat rasul tersebut beriman kepada Allah,
malaikat, kitab-kitab Allah dan rasulnya – tidak ada perbedaan antara rasul
yang satu dengan rasul yang lainnya (Qs. Al Baqoroh : 285), tetapi dalam
perkembangannya agama yang satu, kalimat yang sama berubah menjadi lebih dari
satu yaitu agama Nasrani, Agama Yahudi dan Agama Islam itu sendiri (dibawa oleh
Nabi Muhammad). Secara dogmatik agama
yang di-bawa oleh para rasul itu bernama Islam – mulai dari Nabi Adam
sampai dengan Nabi Muhammad, termasuk agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi
Isa. Ada beberapa ayat yang menyatakan
bahwa nama agama yang dibawa oleh para
Nabi dan Rasul sebelumnya adalah Islam, misalnya :
A. Nabi Ibrahim dalam Qs. Surat Ali Imron (3) : 67 dan Qs. Al Haj (22) : 78.
B. Nabi Yusuf
(Qs. Yusuf (12) : 101.)
C. Nabi Ya’kub (Qs. Al Baqarah (2) : 132)
D. Nabi Sulaiman (Qs.
An Naml (27) : 29-31).
E. Nabi Isa (Qs. Ali Imron (3) : 52).
Islam
adalah agama Samawi yang diturunkan oleh Allah kepada semua Nabi, dan Risalah
agama (Islam) yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah risalah terakhir.
Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
merupakan penyempurna dan pembetul atau menjadi korektor bagi agama-agama
samawi sebelumnya (Qs. Al Baqoroh : 185) . Singkatnya, nama Islam adalah nama
agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah. Menyebut ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad dengan nama lain selain Islam adalah Murtad, sebab secara
dogmatik, nama aturan dan agama Allah itu adalah “ISLAM”
sebagaimana yang disebut dalam Al Qur’an Surat Ali Imron (3) ayat 19 dan 85 dan
Surat Al Maidah ayat 3 ).
Terminologi
Islam berasal dari kata Arab “Salima”. Dari asal kata tersebut dibentuk kata
“Aslama-Yuslimu-Islam” yang mempunyai 3 arti, yaitu
A. Islam berarti menyerahkan diri – menyerahkan
diri, tunduk, patuh dan taat dalam aturan dan hukum Allah
B. Islam berarti memelihara diri dalam
keselamatan – artinya orang yang menyerahkan diri dalam aturan Allah sehingga
ia akan terselamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat –karena ia telah
berpegang pada tali/ hukum yang kuat.
C. Islam berarti kesentosaan dan kesejateraan –
artinya mereka yang menyerahkan diri
dalam aturan Allah akan mendapatkan kesejahteraan mentalitas (spiritual), ia
tidak khawatir dan sedih (Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) : 112).
Dalam
perkembangannya, agama samawi terutama agama yang diturunkan sebelum Nabi
Muhammad telah berubah namanya menjadi Nasrani dan Yahudi yang sampai saat ini
masih berkembang. Perubahan nama tersebut berkembang sesuai perkembangan
pemikiran penganut agama tersebut kepada pembawanya, misalnya :
A. Agama Yahudi adalah wahyu Allah yang dibawa
oleh Ya’kub untuk bangsa Israel – diteruskan oleh Nabi Yusuf. Salah satu dari
keturunan Ya’kub bernama Yehuda, sehingga agama yang diturunkan oleh keluarga
tersebut kemudian dikenal dengan nama Yahudi.
B. Agama Nasrani adalah Agama yang dibawa oleh
Nabi Isa. Di sebut Nasrani karena Isa lahir di Kota Nazaret. Di samping itu
juga disebut Kristen atau Kristiani artinya pengikut Yesus Kristus dan juga
disebut Masehi karena Isa bergelar Al Masih.
Bagi
orang-orang Barat (orientalis), agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad lebih
sering mereka sebut dengan “Mohammedanisme” atau “Mohammedan” artinya faham
Muhammad. Jika Islam yang bersifat transendental (Wahyu-Samawi) tersebut
dinamakan dengan “Mohammadanisme” maka nilai yang terkandung tidak bersifat
samawi dan benar mutlak, melainkan
berubah menjadi :
A. Ajaran tersebut berasal dari pemikiran Nabi
Muhammad bukan dari Wahyu Alllah. Hal tersebut menempatkan Muhammad sebagai
pencipta. Dalam beberapa teks Al Qur'an Allah secara tegas mendudukkan nabi
Muhammad sebagai :
1. utusan atau penyampai ketentuan-keten-tuan
Allah, sebagaimana tugas rasul-rasul sebelumnya (Qs. Ali Imron : 144)
2. pembawa peringatan dan kabar gembira
misalnya dalam Qs. Al Baqoroh : 119, Al
Isro’ : 105 dan Al Furqon : 56.
3. pembawa rahmat bagi alam semesta (Qs. Al
Anbiya’ : 107)
B. Sifat agama Islam menjadi spekulatif dan
memiliki kualitas sebagai hasil budaya manusia, sehingga kebenarannya menjadi
tidak benar mutlak – sama seperti agama ardhi yang lainya. Padahal apa yang
disampaikan oleh Muhammad adalah kebenaran wahyu dan bukan rekayasa serta
dorongan nafsu dari seorang yang bernama Muhammad (Qs. An Najm : 3-4)
Salah
satu dari orientalis (islamologi) yang menyebut agama Islam dengan
Mohamme-danisme adalah H.A.R Gibb (berkebangsaan Inggris). Dalam sebuah buku
berjudul “Mohamme-danisme”, H.A.R. Gibb mengatakan “Islam is Indied much more
than a system of Theology but it’s a Complex Civilization” – Islam bukan hanya
sekedar system theologi (konsep keimanan) tetapi ia adalah kebudayaan yang
kompleks (luas). Menyamakan Islam sebagai kebudayaan berarti memasukkan Islam
menjadi bagian dari kebudayaan yang merupakan hasil cipta manusia – dengan
demikian Islam dalam konsep Muhammadanisme adalah hasil cipta Nabi Muhammad.
Karena unsur-unsur kebudayaan dalam pengertian Koentjoroningrat yang meng-ambil
pemikiran E.B. Tylor adalah keseluruhan yang kompleks, yang
meliputi pengetahuan, dogma, nilai-nilai moral, hukum, tradisi-tradisi sosial,
dan semua kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia dalan kedudukannya
sebagai anggota masyarakat..
Sedemikian
buruknya prasangka mereka terhadap kebenaran Islam, sehingga Muhammad seorang
rasul yang ummi dan ma’shum dinyatakan sebagai pembuat ajaran yang sesat,
tukang sihir dan orang gila. Disamping memutar balikkan kebenaran, tak
henti-hentinya mereka memo-jokkan umat Islam – belakangan berkembang tesis
bahwa islam dimasa yang akan datang tetap menjadi ancaman serius bagi hegemoni
kekuasaan kafir barat. Islam sering digambarkan sebagai ancaman lipat tiga
yaitu ancaman politik, ancaman peradaban dan ancaman demografi.
Kontestasi
dan konfrontasi sering digambarkan sebagai benturan budaya antara Islam dan
bangsa barat. Adalah Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington yang mengumbar visi
sesat dan konfrontatif mengenai Islam di dunia Barat. Menurut John L. Esposito
yang mengutip pemikiran Bernard Lewis dalam “Islamic Fundamentalism” yang
menjelaskan tentang akar masalah yang membuat komunitas muslim marah (the Roots
of Muslim Rage) adalah “serangkaian panjang dan serangan balik, jihad dan
perang salib, penaklukan dan penaklukan kembali. Dewasa ini banyak sekali dari
dunia Islam yang dikuasai oleh amarah besar terhadap barat. Tiba-tiba Amerika
menjadi musuh terbesar, penjelmaan kejahatan, penentang sengit segala kebaikan
dan terutama penentang sengit Islam”. Mengapa ?.
Demikian
juga dengan ‘The Clash of Civilizations”nya Samuel P. Huntington tak lebih jahatnya
karena memuat asumsi perlawanan dan kebencian Islam kepada Barat. Jelas sekali mereka tidak memahami siapa kaum
muslim itu – mereka hanya menyebut fenomena yang nampak pada watak dan
keanekaragaman kebangkitan Islam yang terwujud melalui beberapa perlawanan dan
radikalisme. Lebih jauh mereka tidak mampu menjelaskan secara adil dan obyektif
alasan dibalik sikap para aktifis atau motor gerakan fundamentalis – mereka
mengkritik, menolak dan menyerang Barat, karena imprealisme dan keberpihakan
Amerika kepada Zionis (Israil) dan dukungan pemerintah-pemerintah Barat pada
rezim penindas. Maka pembaca hendaklah jangan melihat itu sebagai benturan
peradaban atau memegang teguh keyakinan secara membabi buta dan irrasional.
Terlepas
dari hal tersebut diatas, maka sesungguhnya perbedaan pemikiran dan pere-butan
pengaruh antara kelompok muslim dan non Islam (Yahudi dan Nasrani) telah
menjadi fenomena general dalam kehidupan agama dan kepercayaan masyarakat.
Mereka tidak akan pernah berhenti menarik-narik komunitas muslim dalam hegemoni
politik dan keyakinan mereka (Qs. Al Baqoroh : 121). Oleh sebab perlu ditata
kemampuan pemahaman umat Islam mengenai nilai-nilai kebenara agamnya terutama
pengetahuan kebenaran agama Samawi (Islam, Kristen dan Yahudi)
yang berkembang pada saat ini. Berikut ini sekedar indikator pembanding
sebagai salah satu bentuk uji kebenaran yaitu dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
A. Terdapat
konsistensi kebenaran dalam ajarannya.
B. Terdapat
nilai kebenaran dalam kitab dalam perspektif ajaran dan sejarah perkembangannya
C. Ajaran-ajaran
agama tersebut dapat difahami dan dibenarkan oleh akal (Logis).
D.
Ajaran agama
tersebut mempunyai kemampuan untuk mengkontrol, mensuport, menye-lesaikan dan mengatasi permasalahan dunia.
E. Ajaran-ajaran
bersifat tegas dan jelas terutama yang berkaitan dengan Konsep ketuhanan dan
permasalahan non ketuhanan lainnya.
Islam sebagai agama samawi terakhir harus memiliki kualitas yang dapat
memberi memberi penilaian terhadap agama Samawi sebelumnya. Oleh sebab itu
Islam sebagai agama Samawi terakhir memiliki sifat-sifat :
A. Ajaran
Islam bersifat universal artinya ajaran Islam tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, sekaligus tidak hanya terbatas urusan Vertikal saja melainkan meliputi
segala persoalan manusia dalam hidup didunia dan di akhirat
B.
Sebagai Korektor
terhadap ajaran-ajaran agama sebelumnya artinya memberikan pe-nilaian terhadap
kebenaran ajaran agama wahyu yang diberikan kepada nabi sebelumnya yang
berkembang sampai saat ini
C.
Ajaran islam
bersifat fleksibel artinya dapat dilaksanakan oleh siapapun, dengan kondisi
sosial dan fisik yang berbeda sekalipun atau menurut kemampuan manusia itu
sendiri
D.
Tata nilai yang
diajarkan bersifat mutlak benar artinya ketentuan-ketentuan yang di-ajarkan
memiliki kebenaran mutlak. Jika dalam aplikasinya nampak tidak benar, maka
perlu dilakukan kajian ulang supaya menemukan bukti kebenarannya.
E.
Ajaran-ajaran agama
jelas dan tidak diskriminatif artinya berlaku untuk semua orang tampa ada
pengecualian
F. Tata
ajarannya sesuai dengan fitrah manusia artinya sesuai dengan kodrat dan
kebutuhan manusia terhadap aturan hidupnya.
PENUTUP
Untuk
menampilkan Islam yang damai dan penuh kasih sayang, perlu usaha yang tidak kenal lelah terutama
ketika kita berhadapan dengan hegemoni kekuasaan bangsa barat yang selalu
mendiskriditkan Islam – sampaikan kepada mereka bahwa “Islam datang bukan untuk
membuat susah, ia datang untuk memberi peringatan bagi orang-orang yang takut
kepada Allah, karena Islam datang Tuhan pencipta bumi dan langit yang tinggi –
dzat yang bersemayam di Arasy dan dzat yang dalam kekuasaan-Nya apa-apa yang
ada dilangit, di bumi dan diantara keduanya serta apa saja yang di bawah tanah
(Qs. Thaha : 1-6). Oleh karena itu, janganlah bersedih atas keingkaran mereka
terhadap agama Islam.
DAFTAR RUJUKAN
:
1. Drs.
Nasruddin Razak : Dienul Islam
2. Quraisy
Shihab : Membumikan Al Qur’an
3. Fazlur
Rahman : Thema-thema pokok Al Qur’an
4. harun
Nasution : Islam Rasional, gagasan dan pemikiran.
5. ‘Effat
al Syarqowi : Filsafat
Kebudayaan Islam
6. John
L. Esposito : Ancaman
Islam; mitos atau realitas ?
7. Drs.
Nasruddin Razak : Dienul Islam
8. Quraisy
Shihab : Membumikan Al Qur’an
9. Fazlur
Rahman : Thema-thema pokok Al Qur’an
10. Taufiq
Adnan Amal : Islam dan Tantangan Modernitas
11. Taufiq
Adnan Amal : Islam dan Tantangan
Modernitas
Label: Dirosah Islamiyah
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)