Senin, 26 Desember 2011
AS SUNNAH (AL HADITS)
Sebuah Kritik Tentang Keabsahan Dan Keberadaannya Dalam Yurisprudensi Islam
Editor : IHSAN [1]
BAGIAN PERTAMA : HADITS DALAM TINJAUAN TEORI
I. BEBERAPA PENGERTIAN AS SUNNAH
Sebagai umat Islam, kita sangat meyakini bahwa Sunnah adalah sumber kedua yang mempunyai otoritas hukum yang sama dengan Al Qur,an. Sunnah adalah sebuah pedoman hidup kedua sesudah Al Qur’an yang senantiasa dipakai untuk menjelaskan segala sesuatu, yang secara tegas tidak dinyatakan dalam Al Qur’an.[2] Dalam kesempatan tertentu Sunnah menjadi penjelas bagi Al Qur’an,[3] namun demikian ada sebagian orang yang tidak meletakkan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua karena dipengaruhi sikap curiga (prejudice) berkenaan dengan sejarah perkembangan Sunnah sendiri.
Jika dilihat dari asal katanya, maka Sunnah mempunyai pengertian sebagai tradisi atau kebiasaan masyarakat yang telah berkembang, apakah kebiasaan itu berdimensi baik maupun buruk. Menurut etimologis, Sunnah mempunyai pengertian sebagai berikut
A. Ketentuan Allah dalam kebiasaan/hukum kemanusiaan masa lalu(Qs.Al Ahzab: 62).
B. Jalan setapak, prilaku masyarakat, praktek hidup dan tingkah laku baik atau buruk.
C. Tradisi bangsa Arab (prilaku atau praktek) yang mempunyai kekuatan normatif dalam kehidupan masyarakat.[4]
Sunnah sebagai tradisi yang mempunyai kekuatan normatif yang hidup dalam masyarakat, sudah barang tentu menjadi amalan dan pedoman hidup masyarakat, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak konsisten melaksanakan tradisi tersebut dinamakan dengan “Bid’ah” artinya orang yang mengada-ada atau tidak konsisten dengan Sunnah. Dalam konteks seperti itu, maka Sunnah bukanlah sebuah konsep kontemporer, yang baru saja berkembang, tetapi ia merupakan tradisi dan prilaku Arab yang mempunyai kekuatan normatif dalam masyarakat.
Al Qur’an dalam beberapa kesempatan menyebut Sunnah untuk mengungkapkan prilaku, tingkah laku dan adat istiadat masa lau yang harus dapat dijadikan kerangka acuan dalam mengarungi kehidupan, misalnya surat Al Isra’ 77, Al Ahzab 62, Al Fathir 63, Al anfal 38 dan surat Al Hijr 8.
Berdasarkan pengertian tersebut, Dr. Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa ada dua subtansi yang dikandung dalam pengertian Sunnah tersebut di atas, yaitu :
A. Terdapat suatu fakta historis (yang didakwakan) mengenai tingkah laku.
Dengan demikian ada dua hal yang mesti menjadi perhatian dalam setiap memahami Sunnah yaitu teks historis dan kemampuan normatifnya. Oleh karena itu untuk memperjelas pengertian Sunnah, berikut ini beberapa pengertian Istilahi Sunnah menurut Ulama Fiqh dan Hadits :
- Ulama Fiqh – Sunnah adalah segala bentuk yang datang dari Nabi selain al Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetapan) yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syara’ (hukum Agama)”.
- Ulama Hadits – Segala yang dinukil dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat moral (khuluqiyah), sifat jasmaniyah (jasmani) ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi Rasul seperti uzlahnya di Gua Hiro’ maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.
Di samping terminologi Sunnah seperti yang dikemukakan di atas, maka kita juga mempunyai term lain yang seringkali dipakai untuk menyebut hal sama tetapi kadang-kadang dipakai untuk menyebut sesuatu yang mempunyai konotasi yang berbeda, yaitu Hadits, Akhbar (khabar) dan Atsar.
Berikut ini adalah pengertian Istilah-istilah tersebut :
A. Hadits - Terminologi Hadits dalam bahasa Arab mempunyai pengertian Jadid (baru), Qorib yang berarti dekat dan juga berarti Khabar (berita). Sedangkan pengertian Hadits menurut Ulama Hadits adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan sifat-sifat dan sebagainya.
- Khabar (Akhbar)
1. Terminologi Khabar mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang disampaikan kepada seseorang. Sedangkan penegrtian khabar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang dinukil dari Nabi, juga dari Shahabat atau Tabi’in.
2. Menurut sebagian ulama, bahwa Khabar mempunyai pengertian yang sama dengan Hadits, sedangkan yang lain mengatakan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara Hadits dengan khabar. Hadits adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi sehingga mereka yang ahli Hadits disebut dengan Muhaditsin, sedangkan khabar adalah sesuatu yang dinukil dari selain Nabi dan mereka yang ahli khabar disebut sebagai ahli sejarah.
- Atsar – Atsar secara terminologis mempunyai pengertian bekas sesuatu, sedangkan pengertian Atsar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang disandarkan kepada Shahabat Nabi Mu-hammad SAW
II. KONTROVERSI PENGERTIAN SUNNAH DAN HADITS
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa pengertian Sunnah adalah tradisi yang mem-punyai kekuatan normatif dan berlaku sejak pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam kondisi tersebut, maka perkembangan Sunnah menjadi sangat penting karena menyangkut penggunaan istilah yang juga dipakai untuk menyebut sesuatu yang mempunyai subtansi sama dengan Sunnah yaitu Hadist.
Pada awal pertumbuhan Islam, Istilah Sunnah dan Hadits mempunyai konotasi yang berbeda sekaligus mempunyai makna yang berbeda pula. Hal tersebur disebabkan pengertian dasar Sunnah yang bersifat natural dan tradisional artinya sudah ada sejak sebelum Islam datang. Bebe-rapa pakar menjelaskan bahwa perbedaan keduanya terletak pada arti intrinsiknya yaitu Hadits berarti penuturan dan prilaku Nabi Muhammad SAW, sedangkan Sunnah adalah hukum yang di-hasilkan dari prilaku Rasulullah tersebut. Dengan kata lain bahwa hadits adalah kendaraan atau sesuatu yang membawa kepada ketentuan hukum, sehingga satu Hadits bisa saja membawa atau mempunyai 3 atau 5 ketentuan hukum.[6]
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa Sunnah adalah keseluruhan tradisi yang telah dikenal baik praktek yang sudah umum dan mapan yang berasal dari masyarakat, sedangkan Hadits adalah penuturan hukum kepastian (keniscayaan) yang dinyatakan oleh rasul, dalam pengertian yang berbentuk tulisan.
Pengertian Sunnah dan Hadits seperti itu sangat potensial melahirkan kontroversi dan per-bedaan pemikiran, terutama bagaimana harus memilih dua pengertian tersebut jika terjadi per-bedaan subtansi. Dalam perspektif seperti ini, Abu Yusuf membuat satu kesimpulan bahwa ia lebih memilih sunnah (tradisi) sebagai kekuatan legalisasi karena menurutnya lebih terjamin ke-asliannya, sedangkan Hadits akan dapat dipakai sebagai intrument legalisasi hukum apabila ia secara subtansial memiliki kesesuaian dengan Al Qur’an dan As Sunnah (tradisi).[7]
Nampaknya deferensi antara Sunnah dengan Hadits tersebut hanya terjadi pada awal perkembangan Islam, hal tersebut disebabkan adanya otoritas mutlak Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW, sehingga Sunnah dan Hadits secara keilmuan belum begitu signifikan untuk dikem-bangkan. Namun demikian setelah masa Imam Syafi’i tidak lagi kita temukan perbedaan pengertian pada dua term (Sunnah dan Hadits) tersebut. Bahkan ia mengatakan bahwa Sunnah bukanlah sebuah tradisi yang secara mutlak dijamin berasal dari Rasul artinya tidak ada kemungkinan terjadi penyimpangan tradisi, oleh karena itu Hadits Rasulullah yang dijamin keasliannya dari pada Sunnah atau tradisi yang mapan itu sendiri.
Dalam kesempatan yang lain, Goldziher mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara Sunnah dan Hadits, bahkan dalam kesempatan tertentu kedua istilah tersebut tidak hanya dipakai untuk sesuatu yang sama tetapi juga mempunyai subtansi yang sama pula, perbedaan di antara keduanya terletak pada :
- Hadits adalah sebuah laporan dan bersifat teoristis, dan
- Sunnah adalah sebuah laporan yang sama yang telah memperoleh kualitas normatif dan menjadi prinsip praktis orang Islam (Muslim) atau menjadi praktek hidup dan aktual.[8]
Bagaimanapun kita mengakui bahwa Sunnah atau Hadits tidak mempunyai perbedaan, bahkan barangkali kita perlu membuat suatu ketetapan yang menyatakan bahwa kita tidak perlu me-lakukan upaya deferensiasi pada dua pengertian tersebut. Namun demikian gagasan untuk tidak membuat suatu perbedaan bukanlah gagasan yang bebas dari kendala,karena ternyata terdapat perbedaan antara Sunnah sebagai tradisi aktual dan mapan kaum muslimin dengan Hadits sebagai laporan teoristis dan tertulis yang diwariskan secara simultan oleh kaum Muslimin.
Dr. Fazlur Rahman membuat analisis yang menarik, ketika mensikapi adanya kontradiksi subtansi kedua term tersebut dengan mengatakan :
- Bahwa Sunnah dan Hadits, kedua ada bersama-sama artinya mempunyai subtansi yang sama dan memperoleh nilai normatif yang sama dari Rasul.
- Bahwa Sunnah sebagai sebagai satu tradisi hidup yang diam pada umat Islam, pasti hidup dalam sebuah generasi berikutnya yang sangat mungkin terjadi perubahan dari praktek atual umat Islam dan terjadi modifikasi-modifikasi subtansial.
- Bahwa bisa saja terjadi modifikasi dan adanya praktek atual tersebut, akan tetapi mesti ada konsep Sunnah yang ideal.[9]
Dengan demikian menurutnya, bahwa Sunnah sebagai tradisi yang normatif dan aktual harus ditafsirkan dengan norma-norma yang disebut oleh Sunnah itu sendiri secara implisit, sehingga tidak ada lagi keraguan, walau ia sebuah tradisi yang aktual (kemungkinan dapat berkembang) dan berubah tetapi hanya dari Hadits yang diriwayatkan secara exprisif atau nyata.
Berangkat dari pemikiran tentang adanya Sunnah Ideal yang mesti ada sebagai antitesis Sunnah aktual atau bisa jadi terjadinya perubahan teks Hadits karena adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang membuat satu teks untuk kemudian disebut sebagai Hadits, maka perlu dibuat satu ketentuan, yang ketentuan itu dapat dipakai sebagai standar dan solusi pemikiran pengkajian Sunnah dan Hadits. Ketentuan-ketentuan itu misalnya :
- Jika Hadits (teks tertulis) secara subtansial banyak dipalsukan sebagaimana yang terjadi pada jaman pertengahan Islam, maka harus kembali pada praktek aktual umat Islam atau Sunnah/ tradisi umat.
- Jika suatu Sunnah yang berkembang itu melenceng, maka harus kembali pada Hadits.
- Jika Sunnah tidak dapat dikendalikan, maka ia harus dikembalikan pada Sunnah periode ter-akhir sebagai Sunnah yang terbaik (Orisional) yaitu Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin.[10]
Bahkan menurut Imam Malik, Sunnah bukanlah sebuah tradisi yang hanya berkembang pada jaman Nabi Muhammad saja, tetap juga tradisi yang berkembang pada masa Sahahabat dan Tabi’in, namun demikian untuk menghindarkan kesalahan yang pada gilirannya berakibat pada kesalahan legalisasi Hukum, maka Sunnah yang dijadikan standar adalah Sunnah yang dilakukan oleh Ummat Islam Madinah. Mengapa demikian, sebab ternyata ada beberapa daerah yang mempunyai tradisi (Sunnah) Islam tersebut, misalnya Sunnah Iraqi, Basrah dan Kuffah.
Lebih lanjut Imam Malik mengatakan bahwa pengertian Sunnah bukanlah sebuah pengertian yang sempit berkenaan dengan tradisi masa lalu umat Islam saja, melainkan pengertian yang sudah kita maklumi dan dikenal, yang termasuk didalamnya adalah :
- Sunnah dalam pengertian perkara-perkara yang telah disepakati
- Praktek atau amal kaum Muslimin.
- Konsensus ulama terhadap sesuatu.
- Buku-buku yang oleh Imam Malik telah disebut Sunah Anu, Fulan atau yang lain.[11]
III. KERAGUAN TENTANG EKSISTENSI SUNNAH RASUL
Sunnah yang didefiniskan sebagai kumpulan tradisi masa lalu, ternyata menyulut satu pertanyaan yang menurut hemat kami bukanlah pertanyaan yang ringan untuk dijawab. Adakah yang disebut sebagai Sunnah Rasul !. Kalau ada, bukankah Sunnah tersebut juga merupakan Sunnah bangsa Arab di masa yang lalu ! dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berkembang diseputar eksistensi Sunnah itu sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut hemat kami pantas berkembang karena memang keberadaan sunnah Islam sangat berhubungan dengan eksistensi Sunnah masyarakat Arab se-belumnya, bahkan ada sebagian Sunnah yang dikembangkan dan diadopsi sebagai bagian dari Sunnah Islam yang telah dilegalisasi oleh Rasulullah. Konsep ziarah ke Baitul Haram merupakan salah satu Sunnah yang dilegalisasi oleh Islam dengan melakukan purifikasi sesuatu yang tidak sesuai dengan subtansi dan esensi keyakinan ajaran Islam.
Menurut Prof. J. Schacth dalam the origin of Muhammadan Jurisprudence, bahwa tidak ada yang disebut sebagai “SUNNAH RASUL”, karena Nabi Muhammad SAW hampir-hampir tidak meninggalkan suatu apapun kecuali Al Qur’an itu sendiri. Statemen bahwa Sunnah Rasul itu tidak ada tersebut berdasarkan pemikiran dan alasan sebagai berikut :
- Bahwa Sunnah Rasul hanyalah sebuah tradisi yang telah dimodifikasi. Tradisi Arab yang telah dilegalisasi oleh Nabi dan dipakai sebagai tradisi baru bagi umat Islam.
- Bahwa konsep Sunnah tidak ditemukan pada awal perkembangan Islam yaitu pada abad 2 H/ 8 M, kalaupun ada, ia tidak dipandang sebagai Sunnah Nabi, tetapi tradisi masyarakat, misalnya Sunnah Madinah, Sunnah Iraqi dll.
- Bahwa Sunnah adalah sebuah produk penalaran sistematis yang dikuatkan dalam teori hukum Islam dan di sana juga ditemukan inkonsistensi antara tradisi awal Islam dengan tradisi yang terakhir atau yang lebih luas lagi. Dengan demikian ia adalah palsu.
- Bahwa Sunnah dalam tataran dan konteks keislaman adalah sebuah statemen dan premis yang mempunyai konotasi politik (di ciptakan untuk kepentingan politik), misalnya statemen Sunnah Umar Bin Khattab, Sunnah Abu Bakar dll. Bahkan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan di anggap karena telah melanggar Sunnah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.[12]
Konsep Sunnah yang kemudian diasumsikan sebagai suatu ungkapan yang ber-konotasi politik memang sedikit banyak berkembang pada periode awal perkembangan Islam, seperti isi surat Hasan Basri dikirimkan kepada Malik, yang didalamnya mengandung ungkapan politik dengan mengatakan “Mengapa kamu tidak mengikuti Sunnah...”.
Apapun alasan yang dikemukakan oleh J. Schacth, nampaknya ia kurang men-dalami Islam baik dilihat dari dimensi kesejarahan atau tekstualits Islam itu sendiri. Sebab menurut pakar-pakar keislaman statemen tersebut ternyata jauh dari kebenaran, walau ia telah menjelaskannya dengan penuh kekaguman. Ahmad Hasan mengatakan bahwa konsep Sunnah sebenarnya adalah konsep tradisional keislaman, yang keberadaanya ada bersama-sama perkembangan ajaran Islam. Bahkan di dalam Al Qur’an telah dikemukakan sebuah perintah untuk mengikuti Contoh atau Uswah dari Rasulullah SAW (lihat Qs. 33 : 21). Lebih lanjut ia mengatakan :
- Bahwa ada perintah Nabi Muhmammad SAW itu mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul, jika kita meninginkan keselamatan hidup.
- Bahwa terdapat kebiasaan yang dilakukan oleh Umar bin Khatab untuk mengajarkan Al Qur’an dan Sunnah, termasuk didalamnya surat Hasan Basri kepada Abdul Malik untuk selalu ingat kepada Sunnah Rasul.
- Bahwa terdapat banyak buku yang ditulis oleh pakar keislaman jauh sebelum Imam Syafi’i lahir (pada abad 2 H/ 8 M.
Berdasarkan argument-argument tersebut, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa keberadaan Sunnah bukanlah sebuah imitasi atau penjiplakan Sunnah terdahulu, tetapi ia merupakan hal sangat mendasar bagi umat Islam sebagaimana fungsi Nabi sebagai Uswah, termasuk didalamnya pidato Nabi Muhammad SAW pada saat Haji Wada’. Dengan demikian terdapat argumen historis dan tekstual yang menguatkan eksistensi Sunnah Rasul.
Dalam perspektif yang lain, Dr. Fazlur Rahman menegaskan bahwa bukanlah sebuah peristiwa yang wajar bila Sunnah Rasul itu tidak ada pada periode awal Islam, sebab Sunnah itu membutuhkan mata rantai yang berkesinambungan. Dengan tegas Fazlur Rahman mengatakan bahwa Sunnah Rasul itu ada sejak tahun 60 H / 680 M, hal tersebut disebabkan :
- System Sunnah atau Hadits itu mempunyai dua komponen yaitu Teks Sunnah dan Isnad Sunnah yang tidak mungkin muncul mendadak tampa suatu perkembangan.
- Pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, Sunnah atau Hadits bersifat Informal, tetapi ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, maka Sunnah berkembang menjadi sebuah gagasan semi formal, dan pada tahapan berikutnya berubah menjadi fenomena yang disengaja dan penuh kesadaran dan pada saat generasi muda lahir maka berkembeng satu fenomena yang akan bertanya pada prilaku Nabi Muhammad tersebut dan kemudian menjadi tradisi verbal (jalan hidup yang jelas) dan non verbal (berkembang secara diam-diam)[13]
IV. KLASIFIKASI SUNNAH
Dalam study Al Hadits kita menemukan banyak terminologi yang penggunaannya berbeda-beda, karena terminologi itu dipakai untuk menentukan kualitas dan kapasitas legal dari Al Hadis itu sendiri. Untuk mengetahui dan mendalami Hadits perlu kita mengetahui Istilah-istilah yang sering dipakai oleh Hadits itu sendiri, misalnya Rowi, Matan, Sanad dan Isnad.
A. Rawi ialah orang yang menyampaikan atau orang menuliskan Hadits dalam bentuk kitab, misalnya Imam Buchari (Shahih Buchari), Imam Musliam (shahih Muslim) dll.
B. Riwayat adalah proses perpindahan hadits dari orang keorang lain.
C. Matan berarti sesuatu yang nampak dimuka. Dalam konteks ilmu Hadits, Matan berarti kata- kata/Lafadl hadits yang dengan lafadl tersebut terbentuk makna-makna atau pengertian yang lain adalah perkataan yang merupakan akhir sanad.
D. Sanad adalah mata rantai yang mengantarkan kepada matan hadits dengan melewati person-person (orang-orang). Dari kata sanad berkembang pula istilah lain, yaitu :
1. Isnad ( menyandarkan sesuatu kepada yang lain atau mengangkat hadits kepada yang mengatakannya atas kepada yang menukilkannya, artinya seorang ahli hadits dalam menerangkan hadits yang diikutinya menjelaskan kepada siapa hadits itu disandarkan).
2. Musnid ( orang yang menyandarkan)
3. Musnad ( Sesuatu yang disandarkan).
Terminologi tersebut nampaknya hanya berdasarkan pada apa yang terdapat pada Hadits itu sendiri, namun demikian konsep tersebut belum dapat memberikan gambaran tentang kualitas Hadits itu sendiri. Untuk itu perlu dilakukan study yang dapat mengantarkan kita pada pengetahuan kualitas Hadits itu sendiri. Berikut ini istilah yang terdapat dalam Hadits yang menunjukkan kualitas Hadits dgn klasifikasi sebagai berikut :
- Dari aspek kuantitas Rowi = Hadits Mutawatir artinya hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat tidak mungkin berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad (10 orang). Mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu : Mutawatir lafdli yaitu periwayatan hadits yang lafadl-lafadlnya sama dan Mutawatir maknawi yaitu periwayatan hadits yang mempunyai kesamaan dalam makna (pengertian) dan Hadits Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tidak sampai pada derajat mutawatir. Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu : Hadits Masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 3 atau lebih dalam satu tingkatan (massa); Hadits Aziz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang dalam satu tingkatan dan Hadits Ghorib yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 1 orang dalam satu tingkatan.
- Dari aspek sampai atau tidaknya Hadits itu pada Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi Hadits Marfu’ yaitu sesuatu yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan dan takrir baik sanadnya tersebut bersambung, putus atau madhal; Hadits Mauquf yaitu sesuatu yang hanya sampai kepada Shahabat Nabi Muhammad dan Hadits Maqtu’ yaitu sesuatu yang hanya sampai kepada Tabi’in.
- Dari aspek kewahyuan Hadits yaitu Hadits Tauqifiy yaitu hadits yang didasarkan keoada Wahyu Allah dengan menggunakan redaksi Nabi Muhammad SAW, tetapi masih menggunakan kata-kata misalnya, Allah berfirman (Qaala Allah, Allah Yaquulu dll). Hadits tersebut dinamakan dengan Hadits Qudsi dan Hadits Taufiqiy yaitu hadits yang merupakan interpretasi Nabi Muhammad SAW
- Dari aspek diterima atau tidaknya sebagai legalisasi Hukum yaitu Maqbul yaitu hadits yang dapat diterima sebagai dasar legalisasi Hukum (Shahih/Hasan) dan Mardud yaitu hadits yang tidak dapat diterima sebagai dasar legalisasi.
- Berdasarkan bentuknya, maka hadits dibagi menjadi
1. Hadits Qouliyah yaitu hadits nabi yang berupa perkataan Rasulullah – biasnya dimulai dengan kata-kata “saya mendengar Rasulullah bersabda (قال رسول الله ).
2. Hadits Fi’liyah yaitu hadits yang merupakan perbuatan Rasulullah – biasanya dimulai dengan kata “saya melihat” (رئيت رسول الله) dan kebanyakan berkaitan dengan praktek ibadah untuk memberikan contoh yang benar.
3. Hadits Taqririyah yaitu hadits yang merupakan tanda persetujuan atau penolkan dari Rasulullah
4. Hadits Hammiyah -hadits yang berisi tentang cita dan keinginan mulia Rasulullah.
F. Berdasarkan diterima atau tidaknya sebagai landasan untuk mengesahkan hukum-hukum atau menetapkan hukum-hukum agama :
1. Maqbul yaitu hadits yang dapat diterima sebagai dasar legalisasi Hukum. Hadits tersebut sekurang-kurangnya adalah berstatus Hasan atau Shahih.
2. Mardud yaitu hadits yang tidak dapat diterima sebagai dasar legalisasi yaitu hadits berstatus sebagai hadits dloif.
G. Hadits Dloif (Hadits yang tidah memenuhi syarat sahih dan hasan)
1. Berdasarkan keterputusan sanad
a. Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tabiin tanpa menyebut nama Shahabat sebagai generasi sebelumnya.
b. Hadits munqathi’ yaitu hadits salah satu rawinya gugur tidak pada sahabat atau hadits yang salah satu rawinya putus.
c. Hadits al Mu’dal yaitu hadits yang dua atau lebih rawinya hilang secara berurutan dalam rangkaian sanad
d. Hadits mudallas yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan dari rawi yang sezaman tetapi ia tidak menerima langsung darinya.
e. Hadits muallal yaitu hadits yang kelihatannya selamat tetapi terdapat cacat yang tersembunyi baik itu pada sanad maupun matannya.
2. Berdasarkan kelemahan dari perawinya
a. Hadits mudtarib yaitu hadits yang kemampuan dan daya ingat perawinya kurang.
b. Hadits Maqlub yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya baik sanad, rawi maupun matannya.
c. Hadits mudaaf yaitu hadits yang diperdebatkan oleh ulama mengenai lemah dan kuatnya sanad atau matannya.
d. Hadits Syaz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang siqoh (kuat) tetapi riwayat-nya menyalahi riwayat orang banyak yang siqoh (kuat) pula.
e. Hadits mungkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah dan berbeda dengan hadits diriwayatkan oleh orang yang siqoh (kuat).
f. Hadits matruk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu-ragu dalam periwayatan.
Klasifikasi Hadits tersebut diatas berkembang setelah umat Islam mampu mengapilikasikan potensi keilmuan umat, terutama dalam perkembangan Ilmu-ilmu ke-agamaan. Hadits itu sendiri dibukukan pada saat kita merasa telah mengalami perbeda-an pemikiran dan praktek keagamaan yang berkembang dimasyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan ko-difikasi Hadits sebagai kita pedoman bagi umat Islam selain Al Qur’an.
V. KEDUDUKAN AS SUNNAH DALAM YURISPRUDENSI ISLAM
Kontroversi eksistensi Sunnah dalam yurisprudensi Islam sebenarnya telah berkembang sejak Nabi Muhammad SAW masih hidu. Pada saat Nabi Masih hidup mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan dan dikatakan oleh Nabi adalah Wahyu Allah, bahkan Akhlak Nabi adalah Al Qur’an itu sendiri. Dan ketika Nabi Muhammad meninggal timbul pertengtangan terhadap gagasan sah atau tidak sahnya, ada atau tidak ada apa yang disebut dengan Sunnah Rasul itu sendiri sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Terlepas dari kontroversi Sunnah dalam yurisprudensi Islam, maka sebagai umat Islam kita harus mengakui bahwa Sunnah mempunyai otoritas yang sama dengan Al Qur’an. Bahkan dengan tegas Imam Hambali, Ibnu Taimiyah dan Muhammad Bin Abdul Wahab hanya mengakui dua otoritas yurisprudensi Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Untuk itu perlu dijelaskan dengan sebenar-benarnya pandangan Islam terhadap As Sunnah dari sisi kedudukan, fungsi dan kekuatan legalitasnya.
- As Sunnah sebagai sumber hukum (kehujjahan) Islam
Sebagai sumber hukum, maka Sunnah mempunyai kekuatan dan sifat yang mengikat bagi pemeluknya sebagaimana Al Qur’an. Sunnah dalam perspektif seperti ini, bukanlah sesuatu yang diadakan tetapi berdasarkan argument-argument yang sangat kuat, di antaranya adalah :
1. Argument kewahyuan artinya bahwa jika kita mengakui kerasulan Muhammad maka ia harus juga menerima segala yang diterima oleh Nabi Muhammad
2. Argument Al Qur’an yang memberikan justifikasi kepada umat Islam untuk taat kepada Allah dan Rasulnya (Qs. An Nisa’ 59 dan Al Hasyr 7).
3. Argument Al Hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggal-kan dua pedoman hidup; yang kalau ia dijadikan dasar pijakan hidup, maka tidak akan tersesat, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
4. Argument Ijma Shahabat yang mengakui eksistensi Sunnah dalam yurisprudensi Islam, terutama kedudukan Sunnah sebagai sumber hokum islam.
5. Argument globalitas ayat-ayat Al Qur’an; yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi dari Nabi Muhammad SAW, misalnya penjelasan Sholat, Wudlu dll.
- Kedudukan As Sunah
Sunnah dalam otoritas hukum Islam adalah sebagai sumber kedua setelah Al Qur’an. Dengan demikian problem Hukum yang tidak ada dalam Al Qur’an dapat dicari dalam Sunnah, sudah barang tentu dengan mengingat beberapa hal, yaitu :
1. Al Qur’an bersifat Qoth’i baik secara Ijmali maupun Tafsiliy, sedangkan Sunnah secara Ijmali bersifat Qoth’i, sedangkan secara Tafsiliy bersifat Zhanni.
2. As Sunnah merupakan tabyin atau penjelas bagi teks-teks Al Qur’an yang bersifat gelobal
3. As Sunnah sebagai petunjuk status.
- Fungsi Sunnah terhadap Al Qur’an
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa Sunnah mempunyai kedudukan tersendiri dalam yurisprudensi Islam. Dalam perspektif yang lebih khusus yaitu kedudukan Sunnah ter-hadap Al Qur’an, maka sunnah berfungsi sebagai berikut :
1. Menguatkan hukum-hukum yang telah ada di dalam Al Qur’an
2. Menjelaskan atau menerangkan makna-makna ayat, yaitu :
a. Bayan Al Mujmal artinya menjelaskan makna ayat yang bersifat global misalnya tentang Sholat, Wudlu, bersuci dll.
b. Taqyid Al Mutlaq artinya memberi batasan hukum-hukum yang bersifat mutlak. Misalmya ketentuan hukum potong tangan.
c. Takhsis Al Am artinya memberi batasan dan kekhususan kepada ketentuan hukum-hukum yang bersifat umum, misalnya ketentuan waris bagi orang yang berbeda agama atau kepercayaan.
d. Taudih al Muskil artinya menjelaskan sesuatu yang rumit misalnya term. Benang putih dalam kasus batasan fajar bagi orang yang berpuasa.
3. Membuat ketentuan/hukum baru yang tidak ada keterangan di dalam Al Qur’an, misalnya hukum KB atau penjelasan Praktek Haji, Zakat dan Puasa
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas, maka Sunnah mempunyai kedudukan yang sangat sentran bagi Al Qur’an karena ia merupakan intepretor dan dalam kesempatan yang lain ia juga dapat membuat ketentuan Hukum Islam yang mempunyai kekuatan mengikat bagi umat Islam. Dalam Ilmu Tafsir, Sunnah diletakkan sebagai sumber penafsiran terhadap ayat-ayat yang bersifat gelobal dan sangat rumit, terutama ketika ia membicarakan berdasarkan konteks kesejarahan yang sudah barang tentu hanya ditemukan berdasarkan uraian-uraian Sunnah.
VI. INGKARUS SUNNAH : SEBUAH GERAKAN ANTI SUNNAH
Ingkarus Sunnah adalah sebuah term untuk menyatakan penolakan seseorang terhadap eksistensi Sunnah sebagai sumber hukum, pedoman dan kerangka acuan bagi umat Islam. Sedang-kan Ingkarus Sunnah sebagai suatu gerakan adalah satu upaya untuk menolak segala sesuatu yang meletakkan hukum, aturan dan pedoman yang berasal dari Sunnah. Oleh sebab itu ingkarus Sunnah sebagai suatu gerakan telah menyusun suatu argument yang dapat dipakai untuk menolak eksistensi Sunnah yang ia kembangkan dalam bentuk ajaran, faham dan aliran pemikiran.
Bentuk ingkarus Sunnah yang paling rendah adalah meragukan kebenaran dan eksistensi Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Bentuk pemikiran-pemikiran yang meragukan keabsahan Sunnah tersebut sebenarnya telah berkembang pada periode awal umat Islam, misalnya penolakan ketentuan hukum zakat yang kemudian menyebabkan terjadinya perang antara umat Islam dan kaum yang menolak zakat. Pada masa Imam Syafi’i berkembang sebuah gerakan pe-nolakan hadits yang dipicu oleh maraknya aksi pemalsuan Hadits pada waktu itu, dan pada saat itu Imam Syafi’i melaku-kan pembelaan yang luar biasa, yang kemudian dijuluki sebagai “Pembela Sunnah”.
Gerakan penolakan terhadap otoritas yurisprudensi Sunnah tersebut didasarkan kepada pemahaman-pemahaman yang terpenggal-penggal terhadap Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Ia melihat beberapa teks Al Qur’an yang dapat dipakai sebagai argument penolakan Sunnah, misalnya :
- Argument Qur’aniyah
1. Qs. An Nahl 89 yang menyatakan bahwa : “ Dan aku turunkan Kitab kepadamu adalah sebagai penjelas bagi segala sesuatu”.
2. Qs. Al An’am 38 yang menyatakan bahwa : “ Tidaklah terlepas (untuk dibahas) di dalam kitab tersebut dari segala sesuatu”.
- Argument Rasional
1. Bahwa pertikaian antar golongan umat Islam telah melahirkan masyarakat baru yang kemudian mendorong lahirnya hadits palsu.
2. Bahwa kemunduran dan deintegrasi umat Islam disebabkan adanya Sunnah terutama pertikaian antara kelompok Ali dan Mu’awiyah.
3. Bahwa konsep Hadits baru berkembang pada zaman Tabi’in atau Tabiit Tabi’in dan ternyata didalam matan hadits tersebut terjadi pertentangan dengan hadits lain, matan hadits dengan ayat Al Qur’an dan matan hadits dengan logika.
4. Bahwa kritik terhadap sunnah kurang betul karena
a. Konsep penelitian sanad artinya sanad baik dan buruk, lahir setelah Nabi Muhammad dan saksi-saksi (Sanad) tidak dapat diperiksa secara langsung.
b. Konsep keadilan sanad berasal dan lahir dari pemikiran ulama.
Berdasarkan argument tersebut, maka Sunnah sangat tidak representatif untuk dijadikan sebagai dasar legitimasi hukum yang harus berlaku bagi umat Islam. Namun demikian argument-argument tersebut bukanlah sebuah alasan yang tampa cacat dan kelemahan, sebab ternyata mereka menggunakan argument Naqli yang dipahami secara terpenggal-penggal.
Imam Syafi’i yang dijuluki sebagai pembela Sunnah mengatakan bahwa terdapat salah persepsi dan penempatan. Lebih lanjut ia mengatakan :
- Kata-kata “Tibyan” sebagai sesuatu yang membutuhkan penjelasan dari Nabi, memer-lukan Ijtihad artinya bahwa ayat tersebut memberikan gambaran gelobal terhadap keluasan kandungan Al Qur’an.
- Kata-kata “Kitab” dalam ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa di dalam catatan laukhul Mahfud terdapat catatan segala sesuatu yang ada dinia ini; sebagai bukti bahwa semua di atur dan dicatat oleh Allah, bukan dalam pengertian kitab sebagai “nama Al Qur’an”.
Di samping terdapat kelemahan pada argumentasi tekstual tersebut, juga kita temukan ke-lemahan pada argument rasional, bahkan menurut hemat kami argument rasionalpun sangat tidak rasional dalam konteks perjalanan sejarah umat Islam. Berikut ini kelemahan-kelemahan argument rasional yang mereka kemukakan, yaitu :
- Sunnah yang dianggap sebagai penyebab kemunduran dan desintegrasi umat Islam sangat tidak benar, sebab sunnah telah mendorong umat Islam untuk melakukan pengkajian ke-ilmuan yang mendorong berkembangnya umat Islam menjadi umat yang mempunyai ke-unggulan pada abad pertengahan.
- Bahwa konsep Sunnah bukan hanya berkembang pada masa Tabi’in dan Tabiit Tabi’in, me-lainkan sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW Tentang adanya larangan untuk menulis Sunnah karena disebabkan kekhawatiran tercampur dengan tulisan Al Qur’an, termasuk didalamnya ada hadits yang bertentangan dan ini berarti tidak semua salah.
- Bahwa kritik terhadap eksistensi Sunnah atau Hadits telah berkembang sejak jaman Nabi terbukti dalam sejarah telah dicatat berbagai peristiwa konfirmatif atau memper-tanyakan ke-benaran sebuah Sunnah kepada Rasulullah yang dilakukan oleh para Shahabat ketika ia me-nerima Sunnah atau hadits dari Shahab lain.
- Sedangkan konsep “Adil” yang diberikan kepada perawi Sunnah atau Hadits lebih menunjuk kepada kualitas integritas keislaman seseorang, yang harus dibedakan dengan istilah “Dabit” yang menunjuk pada kualitas intelektual.
Dengan demikian argumentasi yang dipakai oleh kelompok ingkarus Sunnah sangat tidak rasional dan jauh dari kapasitas kebenaran, untuk itu kita harus dapat membedakan gerakan-gerakan yang bersifat pemikiran artinya hanya dalam tataran dan wacana keilmuan, dengan gerakan-gerakan yang sengaja menempatkan As Sunnah sebagai sesuatu yang ditolak keberadaannya dalam Islam.
BAGIAN KEDUA : HADITS – KRITIK DAN LEGALITASNYA
I. PENGERTIAN KRITIK HADITS
Setiap umat Islam dianjurkan untuk mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah SAW baik melalui ucapan, perkataan atau persetujuan. Mengamalkan sunnah Rasul berarti mengamalkan perintah al-Qur`an. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Keberadaan Rasulullah SAW adalah untuk menjelaskan al-Qur`an? Penjelasan Rasul baik secara teoritis ataupun praktis, merupa-kan landasan hukum yang mesti diamalkan. Posisi sunnah yang begitu esensial, sangat dipahami oleh generasi Islam sepanjang masa. Itulah sebabnya segala cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini. Tidak sedikit di antara mereka yang rela melakukan ekspedisi (rihlah) ke berbagai kota hanya untuk mendengar satu hadits saja. Upaya yang dilakukan tidak berhenti hanya pada pengumpulan hadits-hadits Rasul melalui periwayatan. Namun lebih dari itu, mereka berupaya memisahkan antara hadits yang bisa dijadikan sandaran hukum (seperti hadits shahih dan hasan), dengan hadits yang tidak layak untuk diamalkan seperti hadits dha‟if dan maudhu‟ (palsu).
Upaya pemeliharaan sunnah tersebut terus berlanjut sampai pada fase pembukuan (ashru tadwîn) sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah. Dari sini muncullah segudang karya para ulama hadits yang memiliki orientasi dan metode berbeda. Di antara mereka ada yang menulis tentang biografi seluruh perawi hadits, lengkap dengan komentar ulama atas setiap perawi. Ada juga yang khusus mengumpulkan hadits-hadits shahih; sementara sebagian lain berupaya menginvetarisir para perawi yang dinilai lemah (dhu’afa) dan perawi yang dianggap terpercaya dalam meriwayatkan hadits (tsiqât).
Dari sejumlah karya ini, munculllah metodologi kritik hadits, baik ditinjau dari aspek matan atau sanad; dan pada saat bersamaan muncul juga apa yang dikenal dengan metode tarjîh dalam mengatasi beberapa hadits yang secara tekstual terlihat kontradiktif.
Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, krinein berarti menghakimi, kriterion berarti dasar penghakiman. Dalam konteks tulisan ini kata kritik dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata an-naqd” dipakai untuk arti kritik, atau memisahkan yang baik dari yang buruk. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-jarh wa at-tadil sehingga dikenallah cabag ilmu hadis, al-jarh wa at-tadil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan. Memperhatikan pengertian dan perkembangan istilah tersebut, dalam bahasa Indonesia identik dengan kata menyeleksi yang secara leksikal memiliki arti menyaring atau memilih.[14]
Dalam perspektif yang lain, para orientalis berusaha mencari kelemahan-kelemahan dalam penulisan, pembukuan dan periwayatan hadits, terutama di kalangan para shahabat pasca terbunuhnya Ali bin Abi Thalib – yang menurut mereka telah menyeret hadits pada situasi politik. Kritisisme terhadap situasi politik umat Islam dan belum terbukukannya hadits pada masa itu menjadi bahan kritik bagi kaum orientalis.
Semula bangsa Barat mengkaji Islam hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum, namun pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits Nabawi. Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M), orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang memiliki karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini. Selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht yang juga orientalis Yahudi menerbitkan buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang kemudian dianggap sebagai “kitab Suci” kedua di kalangan orientalis.
Dibanding Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang otentik dari Nabi SAW, khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadits. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schacht memperoleh reputasi yang luar biasa.
Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah, bersandar kepada metodologi yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan interpretasi dan konklusi terhadap teks.
Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah, bersandar kepada metodologi yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan interpretasi dan konklusi terhadap teks.
Sikap seperti ini tentunya bertentangan dengan kaidah dan dasar-dasar penelitian ilmiah, dimana seorang peneliti pada awalnya harus bebas dari hawa nafsu dan ego pribadi. Sejatinya, penelitian itu dilakukan setelah teks dan sumber-sumber yang bisa dipercaya yang ditetapkan melalui proses perbandingan dan uji coba. Hasil dari keduanya yang bisa diambil dan dijadikan sandaran bagi seorang peneliti sejati.
Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Nabi SAW, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama abad pertama dan kedua. Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah:
Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Nabi SAW, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama abad pertama dan kedua. Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah:
A. Hadits tidak ditulis pada masa Nabi Saw
B. Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya sooa kodifikasi hadits
C. Para Shahabat tidak menghafal hadits
D. Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits
E. Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hokum
F. Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits
G. Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM
II. PERKEMBANGAN KRITIK HADITS
A. Aisyah dan Tradisi kritik Hadits pada Masa Shahabat
Pada masa Rasulullah saw, kritik atas hadis tidaklah begitu besar. Keberadaan Rasul di tengah-tengah mereka sudah dianggap cukup untuk menjadi nara sumber atas persoalan-persoalan agama. Pada masa pemerintahan khulafa'urrasyidin, kritik hadis mulai terlihat mencuat. Terbukti dengan semakin berhati-hatinya para sahabat dalam menerima hadis hal ini sebagaimana yang terjadi dengan Abu Bakar saat ditanya tentang bagian warisan seorang nenek. Begitu juga Umar saat bertanya kepada Abu Musa al-Asy‘ari tentang keabsahan anjuran mengetuk pintu sebanyak tiga kali saat bertamu. Bahkan Ali bin Abi Thalib tidak akan menerima hadis dari seseorang, sebelum ia bersumpah[15]. Begitu juga dengan Aisyah yang begitu cerdas dan kritis atas setiap hadits yang disampaikan para sahabat. Hal ini mengindikasikan bahwa para sahabat begitu antusias untuk memelihara sunnah Rasul.
'Aisyah binti Abu Bakr al-Siddiq, salah satu istri Nabi SAW yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan istri-istri Nabi SAW lainnya bahkan kaum perempuan Arab pada umumnya. Nabi SAW menyatakan bahwa 'Aisyah-lah orang yang paling beliau cintai,[16] bahkan Nabi SAW juga mengakui keunggulan[17] 'Aisyah dibandingkan dengan kaum perempuan lain. Hadis yang diriwayatkan oleh 'Aisyah dari Nabi SAW, terbanyak kedua setelah Abu Hurairah RA,[18] sekitar 2210 hadis, dengan standar keshahehah hadis yang sampai kepada kita: 174 hadis memenuhi standar keshahehan yang ditetapkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim, 54 hadis memenuhi standar keshahehan yang ditetapkan oleh imam Bukhari saja dan 68 hadis memenuhi standar keshahehan yang ditetapkan oleh imam Muslim saja.[19] Sedangkan dalam kutub tis'ah (sembilan kitab-kitab hadis) terdapat 5965 hadis riwayat 'Aisyah. 849 hadis dalam shaheh bukhari, 630 hadis dalam shaheh Muslim, 288 hadis dalam Sunan at-Tirmizi, 664 hadis dalam sunan an-Nasa'i, 429 hadis dalam sunan Abi Daud, 386 hadis dalam Ibn Majah, 2396 hadis dalam musnad Ahmad ibn Hanbal dan 323 hadis dalam sunan al-Darimy.
Kedekatan 'Aisyah dengan Nabi SAW, karena sebagai istri beliau, dan banyaknya hadis yang beliau riwayatkan langsung dari Nabi SAW bukanlah yang menjadikan faktor utama beliau mempunyai sikap kritis terhadap suatu peristiwa yang menurutnya tidak sesuai dengan dasar-dasar ajaran agama Islam yang dia ketahui. Kecerdasan dan keberanianlah yang menjadi faktor utama 'Aisyah bersikap kritis terhadap. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana sikap itu dapat muncul pada diri 'Aisyah?, karena tidak setiap orang memiliki sikap seperti ini.
'Aisyah dilahirkan di Mekkah pada tahun ke-enam kenabian, tahun ini dapat dipastikan karena Rasulullah SAW melamarnya pada saat 'Aisyah berusia enam tahun, kurang lebih dua tahun setelah Khadijah wafat, yaitu tiga tahun sebelum hijrah.[20] Kemudian Nabi SAW membina rumah tangga bersama 'Aisyah pada bulan Syawwal, awal bulan ke-18 dari hijrahnya Nabi SAW ke Madinah, pada saat itu 'Aisyah berusia sembilan tahun.[21]
'Aisyah dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan bangsa Arab yang masih murni, karena tradisi Arab saat itu, sebagaimana yang dilakukan terhadap Nabi SAW diwaktu kecil, yaitu menyerahkan 'Aisyah kepada Arab Badui untuk diasuh. 'Aisyah diasuh oleh sekelompok Bani Makzum. Kehidupan suku badui yang masih murni menjadikan 'Aisyah mempunyai kefasihan, keelokan serta karakter Arab yang masih murni. Setelah beranjak dewasa 'Aisyah tinggal dilingkungan keluarga yang agamis karena beliau dilahirkan setelah Islam datang. Ayahnya, Abu Bakr al-Shiddiq, adalah salah seorang yang pertama kali masuk Islam begitu pula ibunya. Sedangkan 'Aisyah masuk Islam bersama kakaknya, Asma', pada saat umat Islam baru berjumlah sepuluh orang. Oleh karena itu 'Aisyah juga dianggap kelompok pertama yang masuk Islam.[22]
Kehidupan kota Mekkah dan hasil asuhan suku Badui serta lingkungan keluarga yang religius, memungkinkan untuk dapat menjadikan 'Aisyah mempunyai kefasihan dalam berbicara bahasa Arab atau dalam menjaga tradisi-tradisi Arab dan mempunyai karakter yang baik dalam bergaul. Akan tetapi apakah lingkungan seperti ini juga yang menjadikan 'Aisyah mempunyai kecerdasan dan sikap kritis terhadap peristiwa yang dialaminya.
Ada dua faktor yang membentuk 'Aisyah mempunyai sikap kritis dan berani untuk mengajukan protes tarhadap sesuatu yang dipandangnya tidak sesuai dengan standar-standar tertentu:
1. Hasil didikan langsung dari Nabi SAW
Hal ini dapat dilihat dari pernyatan 'Umar bin Khattab : “Kami adalah bangsa Quraisy yang mendominasi (menguasai) kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan Anshar, merekalah yang mendominasi (menguasai) kaum laki-laki. Ketika kami bergaul dengan kaum Anshar, kaum perempuan bangsa kami terpengaruh dengan budaya atau adab kaum perempuan Anshar. Aku ('Umar) pernah membentak istriku, kemudian dia membantah (menentang) aku, dan aku tidak suka dibantah. Istriku berkata: 'Mengapa engkau tidak suka aku bantah?, sedangkan istri-istri Nabi SAW saja pernah membantah Nabi SAW, bahkan diantara mereka ada yang menghindari Nabi SAW sampai malam hari.
Pernyataan tersebut amat mengagetkan aku, alangkah buruknya apa yang telah mereka lakukan terhadap Nabi SAW Kemudian aku mengenakan pakaian dan menuju rumah Hafshah. Aku bertanya kepadanya; 'Apakah benar diantara kalian ada yang membuat Nabi SAW marah hingga malam hari? Hafshah menjawab: 'Benar'. Celakalah engkau!, apakah engkau merasa aman dari murka Allah disebabkan murka Rasul-Nya?. Engkau akan celaka, engkau jangan menuntut terlalu banyak, jangan pernah membantah Nabi SAW sedikitpun dan jangan menjauhi beliau. Mintalah yang wajar dan pantas. Engkau jangan cemburu kepada tetangga engkau (yang dimaksud adalah 'Aisyah), dia lebih cantik dan lebih dicintai oleh Nabi SAW [23]
2. Hasil didikan lingkungan kota Madinah.
Kondisi dan sikap kaum perempuan pada saat itu diceritakan kepada Nabi SAW: "Wahai Rasulullah SAW Engkau tahu bahwa kami adalah bangsa Quraisy yang mendominasi kaum perempuan, ketika kami tiba dikota Madinah mereka adalah bangsa yang didominasi kaum perempuan", Nabi hanya tersenyum beberapa kali.[24]
Tersenyumnya Rasulullah SAW terhadap informasi yang disampaikan 'Umar bin Khaththab menunjukkan bahwa Nabi SAW mentolerir terhadap sikap istri-istri beliau yang menurut 'Umar adalah terpengaruh oleh budaya kaum Anshar, dan Nabi SAW tidak melarang terhadap sikap istri-istri beliau, yang menunjukan bahwa sikap seperti itu dibolehkan dalam Islam dan Nabi SAW membiarkanya (sunnah taqririyah).
Ada kemungkinan senyuman Nabi SAW ditujukan kepada sikap 'Umar bin Khaththab yang terkesan tidak menerima perubahan sikap kaum perempuan Muhajirin setelah begaul dengan kaum perempuan Anshar, atau 'Umar belum tahu sikap istri-istri Nabi SAW terhadap Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari, padahal sikap seperti itu adalah ajaran Nabi SAW sendiri.
B. Kritik Hadits pada masa Tabi’in
Ketika permulaan masa tabi’in, geliat kritik hadis semakin besar. Hal ini disebabkan munculnya fitnah yang menyebabkan perpecahan internal umat Islam. Kondisi ini diperparah dengan merajalelanya para pemalsu hadis untuk mendukung golongan tertentu. Iklim yang tidak sehat ini menuntut para kritikus hadits agar lebih gencar dalam meneliti keadaan para perawi. Mereka lalu melakukan perjalanan untuk mengumpulkan sejumlah riwayat, menyeleksi dan membandingkannya, hingga akhir-nya mampu memberikan penilaian atas setiap hadis.
Kritik atas hadis yang mencakup sanad dan matan tidak hanya berkutat di satu kota seperti di Madinah. Akan tetapi menjalar ke seluruh pelosok negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Naisabur dan sebagainya. Di berbagai negeri inilah bermunculan para kritikus hadis sepanjang masa. Mereka senantiasa mengorbankan waktu hanya untuk membersihkan hadis-hadis dari kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas kritik hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama seputar hadits dari segala sisinya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah yang menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadis.[25]
Pada awalnya, kritik hadis hanya ditulis di pinggiran buku-buku hadits seperti: musnad, jawami, sunan dan lainnya. Ulama yang mencoba mengkritisi beberapa hadis, hanya meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis. Kemudian, cara ini dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga menuntut para ulama hadis untuk menuliskan komentar-komentar mereka dalam satu karya tersendiri. Metode kritik hadis ini terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya beberapa karya ulama tentang kritik sanad hadis. Kritikan tersebut ditulis dalam kitab tersendiri dan memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Hal ini dilakukan agar penilaan atas hadis benar-benar objektif sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul Ilal fi Ma ‟rifati l Rijâl, atau: Musnad al-Mu Allal karya Ya‘qub bin Syaibah.
Selanjutnya, penulisan kritik hadis menjadi lebih sistematis dengan dilakukan-nya penelitian atas sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas oleh pakar kritik hadis seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl, dan Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadis dari aspek matan dan perawinya. Setelah sejumlah peninggalan ulama tersebut ditelaah kembali oleh para ulama mutaakhirîn seperti al-Mizzi, Dzahabi, Ibnu Hajar dan lainnya, mereka kemudian meletakkan materi-materi kritikan dalam satu buku tersendiri tanpa memuat sanadnya secara lengkap. Kemudian mereka mendiskusikan (munaqasyah) komentar-komentar ulama hadis, hingga dapat memberikan penilaian akhir pada sebuah hadis.[26]
C. Kritik Hadits Era Kontemporer (orientalis)
Krtitik hadits pada era kontemporer lebih banyak dilakukan oleh kaum orientalis dengan tujuan mencari kelemahan-kelemahan periwayatan hadits, subtansi atau isi hadits yang diperbandingkan dengan prinsip modernitas dan rasionalisme yang mereka kembangkan. Sedangkan kajian hadits yang dikembangkan oleh pakar umat Islam berkisar pada pembuktian dan pembelaan terhadap kesalahan-kesalahan analisis dan paradigam yang dikembangkan oleh para orientalis.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metode-nya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.[27]
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.
Beberapa contoh hadits yang menjadi obyek kritik matan oleh para orientalis yang kemudian terbukti tidak akurat, di antaranya :[28]
1. Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.”
Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahir-an al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji.
Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalam-nya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.
2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi SAW.
Goldziher berpendapat bahwa sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad. Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.
3. Joseph Schacht berkesimpulan bahwa hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah.
Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurespru-dence dan An Introduction to Islamic Law Ia mengatakan, “Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan shahih. Untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.
Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapat-nya dengan para sahabat sampai Rasulullah SAW, sehingga membentuk sanad hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi SAW
Seorang Ahli Hadits abad ini Prof. Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah-naskah klasik. Kesimpul-annya, sangat mustahil untuk ukuran waktu itu para sahabat dan tabi’in yang tempat tinggalnya berbeda wilayah yang sangat berjauhan bisa berkumpul untuk memalsukan hadits. Yang kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut sama padahal para perawinya tidak pernah bertemu.
III. OBYEK KRITIK HADITS
A. Kritik Sanad Hadits
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul SAW dengan masa kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius. Di-antaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi pertama, generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang tidak memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di samping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari masa kini ke masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya berbagai tuntutan mendesak. Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshohihan hadis, kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan dikembangkan hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas sebuah Hadits.
Prof. Ali Mustafa Ya‘kub MA dalam bukunya yang berjudul Kritik Hadits menya-takan bahwa upaya untuk mendeteksi kedhabitan rawi dengan memperbandingkan hadits-hadits yang diriwayatkannya dengan hadits lain atau dengan al-Qur‘an, dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan hadits, yaitu:
1. Memperbandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah Shahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
2. Memperbandingkan hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
3. Memperbandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru hadits.
4. Memperbandingkan suatu hadits yang sedang diajarkan oleh seorang dengan Hadits semisal yang diajarkan oleh guru lain.
5. Memperbandingkan antara hadits-hadits yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan hadits.
Penelitian dan kritik Sanad atau Isnad[30] bertujuan untuk meluruskan dan membongkar kedustaan yang ada dalam khabar dengan melalui dua aspek yaitu:
1. Aspek teoritis, yaitu penetapan kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kedustaan.
2. Aspek praktis, yaitu penjelasan tentang peribadi-peribadi yang dianggap sebagai pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap mereka.
Dalam aspek teoritis, metode kritik para ulama telah berhasil sampai pada peletakan kaedah-kaedah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia. Untuk mengetahui ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung di bidang ini, maka cukuplah kita baca karya-karya yang mereka hasilkan dalam bentuk kaedah-kaedah Al Jarh dan At Ta‘dil, pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu, urutan hirarkisnya yang dimuali dari yang teratas sampai tingkat yang terbawah. Jarh adalah syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, dimana mereka tetapkan dua syarat pokok terhadap perawi yang bisa diterima periwayatannya, yaitu:
1. Al Adalah (keadilan) iaitu seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak muru‘ah (martabat diri)
2. Adh Dhobt iaitu seorang perawi harus menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal atas apa yang diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya dengan metode hafalan, cermat dengan kitabnya kalau dia meriwayatkannya dengan melalui kitabnya.
Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi, curriculum vitae-nya serta penjelasan kualiti atau penilaian terhadapnya. Untuk kepentingan ini terdapat para ulama yang khusus menyusun sejumlah besar karya yang menjelaskan hal tersebut. Dan sudah menjadi satu hal yang tidak diragukan lagi bahawa karya-karya tentang kaedah-kaedah periwayatan dan tentang para perawi itu telah memberi andil yang cukup besar dan penting dalam pemurnian islam dan pelurusan siroh dan sejarah Nabi serta Islam umumnya.
Contoh kritik sanad hadits : Dalam Kitab Shahih Bukhari dalam Syarah al-Karmani, jilid 9, hal.166, no. hadis 4904: Nabi Saw bersabda:“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”, lantas ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata: Ya Rasulallah, istriku keluar menunaikan ibadah haji, sedangkan saya terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “kembalilah! Dan tunaikan haji bersama istrimu”, Shahih Muslim dalam Syarah al-Sanusi, jilid 4, hal. 435, no. hadis 424: Diriwayatkan oleh Abu Ma‟bad, ia berkata: saya pernah mendengar Ibn Abbas berkata: Saya pernah mendengar Nabi Saw berpidato: “janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimya. Tiba-tiba seorang laki-laki bangkit berdiri dan berkata: Ya Rasulallah, sesungguhnya istriku bepergian untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “Berangkatlah dan tunaikanlah haji bersama istrimu”.
Rasulullah 10 H - Ibn Abbas 70 H - Ibn Ma‘bad 104 H - Amru bin Dinar 126 H - Sufyan bin Uyainah 198 H - Ibn Abi Syaibah Zuhair bin Harb Ali bin Abdullah 235 H – 234 H 234 H - Imam Muslim Imam Bukhari 261 H 265 H.
Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim adalah sebagai berikut:
1. Ibn Abbas. Nama lengkapnya: Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al Hashimi. Wafat: 70 H. Guru-gurunya antara lain: Nabi Saw, Abbas bin Abd Muthalib, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Afan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf. Murid-muridnya antara lain: Abu Ma‘bad, Ali dan muhammad bin Abdullah bin Abbas, Abu Imamah bin Sahal, Sa‘ad bin Musayyab, Mujahid, Ata‘. Derajatnya masing-masing tsiqah.
2. Abu Ma‘bad. Nama lengkapnya: Nafidz Abu Ma‘bad. Wafat: 104 H. Gurunya: Ibn Abbas. Murid muridnya: Amru bin Dinar, Yahya bin Abdullah, Abu Zubair, Sulaiman al-Ahwal, Qasim bin Abi Bazah. Derajatnya: Menurut Ahmad bin Hambal, ibn Ma‘in dan Abu Zar‘ah dan Ibn Hibban semuanya Tsiqah.
3. Amru bin Dinar. Nama lengkapnya: Amru bin Dinar al-Maki Abu Muhammad. Wafat: 126 H. Guru-gurunya antara lain: Ibn Abbas, Abu Ma‘bad, Abu Hurairah, Ibn Zubair, Jabir bin Abdullah, Ibn Amru ibn Ash. Murid-muridnya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Qatadah, Ayub, Ibn Juraih, Ja‘far Shadiq, Malik, Daud Abdurrahman, Ibn Qasim. Derajatnya: Menurut Imam Ahmad, Ibn al-Madani; dan Abdiurrahman bin Hakim bersifat Tsiqah.
4. Sufyan bin Uyainah. Nama lengkapnya: Sufyan bin Uyainah bin Ali Imran abu Muhammad al-Kufi. Wafat: 198 H. Guru-gurunya antara lain: Amru bin Dinar, Abdul Malik bin Umair, Abu Ishaq al-Sabi‘I, Aswad bin Qais, Ishaq bin Abdullah. Murid muridnya antara lain: Ibn Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, Ibn Juraij, al-A‘masyi, Muhammad bin Idris. Derajatnya: menurut al Madani yaitu Tsiqah, sedangkan menurut Al ‗Ajli Kufi bersifat Tsiqah Tsubut.
5. Ibn Abi Syaibah. Nama lengkapnya: Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah Ibrahim bin usman. Wafat; 235 H. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd Hamid. Murid- muridnya antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah. Derajatnya: Menurut al-‗Ajli: Tsiqah, Abu Hatim dan Ibn Kharazh bersifat Tsiqah
6. Zuhair bin Harb. Nama lengkapnya: Zuhair bin Harb bin Syaddad al-Harsy abu Khasyamah. Wafat: 234 H. Guru-gurunya antara lain:, Sufyan bin Uyainah, Hafas bin Ghiyas, Humaid bin Abd Rahman, Jarir bin Abdul Hamin. Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah. Derajatnya: Menurut Abu Hatimnbersifat Shaduq; menurut Ali bin Junaid dapat diterima dan menurut Ibn Main bersifat Tsiqah.
7. Imam Muslim. Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abul Husain an-Naisaburi. Wafat: 261 H. Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb, Ibn Abi Syaibah, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru. Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim bin Abu Thalib, Abu Amru al-Kharaf. Derajatnya: Menurut Abi Hitam dan Ibnu Qasim bersifat Tsiqah, sedangkan al-Jarudi berkata bahwa Ia sangat banyak mengetahui hadis.
Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Bukhari adalah -seperti yang telah disebutkan di atas selain Ibn Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb- sebagai berikut:
1. Ali bin abdullah Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Ja‘far, bin Najih Assa‘adi. wafat: 234 H. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Hamad bin Zaid, Hatim bin Wardan, Khalid bin Haris, Abi Dlamrah. Murid-muridnya antara lain: Imam Bukhari, Abu Dawud, Tirmizi, Nasai dan Ibn Majah. Derajatnya: Abu Hatim berkata: Ali adalah orang yang sangat mengerti hadis. Ibn Main berkata: Ia banyak sekali meriwayatkan hadis. Derajatnya Tsiqah.
2. Imam Bukhari. Nama lengkapnya: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari. Wafat: 256 H. Guru-gurunya antara lain: Ali bin Abdullah, Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdullah al-Ansari, Abi ‗Asyim an-Nabil, Abi Mughirah. Murid-muridnya antara lain: Imam Musli, Tirmidzi, Nasai, Tabrani. Derajatnya: Menurut Ahmad al-Mawarzi: Ia banyak mencari hadis, mengetahui dan menghafalnya. Derajatnya Tsiqah.
Menurut Ibn Sirin (33-110 H.) kritik sanad, dalam pengertian jarh (penilaian sisi negatif seorang periwayat hadis) dan ta'dil (penilaian sisi positif seorang periwayat hadis), telah terjadi setelah masa sahabat sekitar akhir abad I Hijriyah, yaitu semenjak terjadinya fitnah. Ibn Sirin menuturkan : “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad (transmisi hadis), namun setelah terjadi fitnah[31] apabila mereka mendengar sebuah hadis, mereka selalu menanyakan sumber hadis. Apabila bersumber dari dari ahl al-sunnah mereka menerima hadis tersebut sebagai hujjah (dalil agama), akan tetapi apabila bersumber dari orang yang suka menyebarkan bid'ah, maka hadis tersebut ditolak[32]
Cikal bakal kritik sanad hadis telah terjadi sejak jaman sahabat walaupun masih dalam kapasitas mencari dukungan riwayat dari sahabat lain sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakr al-Siddiq dalam kasus pembagian warisan untuk seorang nenek seperti yang diriwayatkan oleh Mughirah ibn Syu'bah. Abu Bakar meminta dukungan dari sahabat lain yang mengetahui riwayat tersebut dari Nabi SAW lalu Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian atas riwayat Mughirah ibn Syu'bah.[33]
Abu Bakar meminta kesaksian dari sahabat lain yang mengetahui riwayat tersebut adalah salah satu metode yang dilakukan beliau. Metode ini tidak baku, 'Umar ibn Khaththab juga pernah melakukan hal sama terhadap Abi Sa'id al-Khudri yang mendapat dukungan dari Ubay ibn Ka'ab [34] 'Utman ibn 'Affan [35] dan 'Ali ibn Abi Thalib[36] juga melakan hal yang sama untuk memastikan kebenaran informasi yang sampai kepada mereka yang dinisbahkan kepada Nabi SAW Beberapa sahabat yang dicontohkan diatas mempunyai metode tersendiri dalam memastikan ke-otentik-an sebuah hadis. Abu Bakar al-Siddiq meminta syahadah (saksi), 'Umar ibn Khaththab meminta bayyinah (bukti/saksi), 'Utsman ibn 'Affan meminta Iqrar (pengakuan), sedangkan 'Ali bin Abi Thalib meminta halaf (sumpah).
Cara yang dilakukan oleh sahabat senior yang empat dan sekaligus sebagai Khalifah al-Rasyidin tidak menunjukan adanya indikasi kritik terhadap perawi hadis (orang yang menyampaikan berita), tetapi sekedar tasabbut (memastikan) dan ta'kid (menguatkan). Adanya orang lain (syahid) untuk menjadi saksi tidak menjadikan persyaratan mutlak, karena banyak hadis yang diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad) dapat diterima, yang mereka lakukan hanyalah merupakan tindakan hati-hati (ihtiyath). 'Umar mengungkapkan alasan yang beliau lakukan:[37]
فَقَالَ عُمَرُ لِأَبِي مُوسَى إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنَّ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدٌ
'Umar berkata kepada Abi Musa al-'Asy'ary: "Aku tidak menuduh engkau berdusta, tetapi hadis dari Rasulullah SAW hal yang berat."
Dalam redaksi lain 'Umar bin Khaththab mengungkapkan :
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِأَبِي مُوسَى أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ [38]
'Umar berkata kepada Abi Musa al-'Asy'ary: "Aku tidak menuduh engkau berdusta, tetapi aku khawatir orang akan mudah berkata dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW
Kenyataan diatas jelas menunjukkan bahwa para sahabat senior tidak "berani" melakukan kritik terhadap periwayat hadis (dalam pengertian jarh wa ta'dil). Lain hal yang dilakukan oleh 'Aisyah yang telah "berani" melakukan kritik terhadap perawi hadis yang beliau dengar. Seperti yang beliau lakukan terhadap 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khaththab:
وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ وَذُكِرَ لَهَا أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَغْفِرُ اللَّهُ لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ يُبْكَى عَلَيْهَا فَقَالَ إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا [39]
Qutaibah bin Sa'ad menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas yang dibacakan kepadanya dari Abd Allah bin Abi Bakr dari ayahnya dari 'Amrah binti Abd al-Rahman, bahwa ia mendengar 'Aisyah diceritakan tentang perkataan Abdullah bin 'Umar "Sesungguhnya mayyit disiksa dengan sebab tangisan orang yang hidup". 'Aisyah berkata: "Mudah-mudahan Allah mengampuni 'Abd al-Rahman ('Abdullah bin 'Umar), dia tidak berdusta, tetapi dia hanya lupa atau salah. Yang sebenarnya adalah Rasulullah SAW melewati jenazah Yahudi perempuan yang sedang ditangisi, kemudian Rasulullah SAW bersabda: 'Mereka menangisinya, padahal jenazah tersebut sedang disiksa di dalam kuburnya".
وحَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ هِشَامٍ وَأَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ جَمِيعًا عَنْ حَمَّادٍ قَالَ خَلَفٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَحْفَظْهُ إِنَّمَا مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَازَةُ يَهُودِيٍّ وَهُمْ يَبْكُونَ عَلَيْهِ فَقَالَ أَنْتُمْ تَبْكُونَ وَإِنَّهُ لَيُعَذَّبُ [40]
Khalf bin Hisam dan Abu al-Rabi' secara bersamaan menceritakan kepada kami dari Hammad. Khalf berkata: "Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya berkata: 'Aisyah diceritakan tentang perkataan ibn 'Umar: 'Mayyit disiksa dengan sebab tangisan keluarganya', 'Aisyah berkata: 'Mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada Aba 'Abd al-Rahman yang mendengar sesuatu dan ia tidak menghafalnya. Yang sebenarnya Rasulullah SAW melewati jenazah orang Yahudi yang sedang ditangisi, kemudian Rasulullah SAW bersabda : Kalian menangisinya padahal dia sedang disiksa".
Dua hadis diatas menunjukkan bahwa 'Aisyah telah melakukan kritik sanad terhadap periwayatan yang ia dengar. Pada dasarnya kritikan 'Aisyah adalah pada matn hadis, tetapi sebelum ia menjelaskan matn hadis yang sebenarnya, terlebih dahulu beliau memberikan penilaian kepada orang yang telah meriwayatkan hadis tersebut, hal ini dilakukan agar tidak timbul kesan bahwa orang yang meriwayatkan hadis tersebut secara sengaja telah berdusta atau membuat hadis yang tidak disabdakan oleh Rasulullah SAW
Kata نَسِيَ (lupa), أَخْطَأ (salah ), لَمْ يَحْفَظْ(tidak hafal) adalah kata-kata yang dapat digunakan dalam ilmu kritik sanad (jarh wa ta'dil) untuk menilai sisi negatif seorang perawi hadis. Walaupun belum ada strata tertentu pada masa 'Aisyah (sahabat) untuk menentukan kualitas seorang perawi dalam sisi negatif ataupun positif, seperti yang ada pada ilmu jarh wa ta'dil yang sudah sistematis,[41] paling tidak 'Aisyah telah menunjukkan "keberaniannya" dalam kritik sanad hadis, hal ini merupakan tindakan "revolusioner" yang dilakukan oleh 'Aisyah, karena hal ini dilakukan setelah wafatnya 'Umar ibn Khaththab (23 Hijriyah), berarti masih banyak sahabat-sahabat senior lainnya yang masih hidup dan usia 'Aisyah pada saat baru berumur sekitar 26 tahun. Kata yang diungkapkan oleh 'Umar ibn Khaththab ketika menilai Abu Musa al-'Asy'ary hanya dengan ungkapan لَمْ أَتَّهِمْكَ (aku tidak menuduh kamu berdusta), tetapi 'Aisyah ketika memberikan penilaian kepada 'Abdullah ibn 'Umar dengan penilaian yang tegas لَمْ يَكْذِبْ (dia tidak berdusta), walaupun selanjutnya beliau mengungkapkan penilaiannya dengan kata-kata: وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ (dia lupa atau salah) atau فَلَمْ يَحْفَظْهُ (dia tidak hafal).
Salah satu persyaratan hadis shaheh yang harus dipenuhi oleh seorang periwayat hadis adalah dhabit. Pengertian dhabit adalah seorang periwayat memahami apa yang didengar dan menghafalnya ketika dibacakan. Dia juga harus menjaga hafalannya semenjak dia mendengar hadis tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakan kembali pada orang lain (al-Ada'). Seorang periwayat hadis disebut hafiz dan 'alim, apabila dia meriwayatkan hadis dari hafalannya yang didengar. Seorang periwayat dikatakan fahim apabila meriwayatkan hadis dari pengertian dan pemahannya (ma'nawi). Seorang periwayat juga harus dapat memelihara catatan hadisnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mengganti atau menukar dari aslinya.[42]
Oleh karena itu apabila penilaian 'Aisyah terhadap 'Abdullah ibn 'Umar diterapkan pada sistem penilaian keshahehan hadis yang telah dibakukan, maka hadis riwayat Ibn 'Umar tidak dapat memenuhi standar hadis shaheh, karena ada sifat lupa dan tidak hafal atau ada kesalahan penuturan, hal ini akan sangat fatal akibatnya bila dilakukan oleh seorang perawi hadis. Sedangkan penilaian 'Umar ibn Khaththab kepada Abu Musa al-'Asy'ary لَمْ أَتَّهِمْكَ (aku tidak menuduh kamu berdusta) tidak mempunyai konsekuensi logis terhadap status hadis. Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa 'Aisyah adalah seorang perempuan yang telah melakukan kritik sanad hadis pada masa sahabat, yang kemungkinan belum ada sahabat Nabi SAW lainnya yang pernah melakukan hal sama sebelum itu. Jadi dapat dikatakan bahwa 'Aisyah adalah kritikus sanad hadis pertama.
B. Kritik Matan Hadis
Yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak. Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan matan menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis. Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut diserahkan kepada studi matan hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadis. Berkaitan dengan studi atau penelitian matan hadis, secara garis besar meliputi tiga kegiatan atau tahapan yaitu :
1. Melakukan kritik atau seleksi matan hadis (naqd al-matn),
2. Melakukan interpretasi atau pemaknaan matan hadis (syarh al-matn),
3. Melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadis (qism al-matn).
Ketiga kegiatan tersebut idealnya dapat ditempuh dalam keseluruhan proses studi hadis. Apabila masing-masing dari ketiganya dapat diaplikasikan secara baik, diharapkan dari kegiatan kritik atau seleksi dapat menentukan hadis-hadis yang matannya sahih. Selanjutnya hadis-hadis yang sahih itu bila memerlukan iterpretasi, maka diinterpretasikan untuk memperoleh kandungan maknanya secara proporsional. Sampai pada penelitian tahap kedua ini, matan hadis yang sebelumnya dinyatakan berstatus sahih juga dapat diterima (maqbul) maknanya. Sementara untuk tahapan berikutnya yaitu melakukan tipologi atau klasifikasi dimaksudkan untuk membuat berbagai kategori matan hadis. Tahapan ketiga ini dapat dikatakan bagian dari iterpretasi hadis, hanya saja lebih diorientasikan untuk lebih menjelaskan pemberlakuan dan pengamalan kandungan matan-matan hadis. Dari ketiga tahapan semuanya, diharapkan dapat menghasilkan hadis yang sahih, dapat diterima (maqbul), sekaligus adanya kejelasan dapat diamalkan (ma‘mul bih).[43]
Menurut ibn Sirin (33-110 H.), lain hal dengan kritik sanad yang terjadi setelah fitnah,[44] atau minimal pada masa sahabat sebagaimana yang telah dilakukan oleh 'Aisyah, kritik matan terjadi lebih awal dari kritik sanad, yaitu pada saat Nabi SAW masih hidup. Kritik matan yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Nabi SAW sudah membentuk pola tertentu yang menjadi metode kritik matan pada generasi selanjutnya.[45] Metode yang terpola secara sistematis adalah metode perbandingan (comparrison) dan pertanyaan silang atau rujuk silang (cross question and cross referense).[46] Yang dimaksud kritik matan pada masa Nabi SAW adalah sikap kritis para sahabat terhadap segala sesuatu yang dinilai janggal pada pemahaman mereka.[47]
Dilihat dari perbandingan materi atau objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ;
1. Metode kritik matan hadis pra kodifikasi.
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara umum dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative) dan atau rujuk silang (cross reference). Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:[48]
a. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur‘an yang berkaitan – Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya).
Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an. Demikian juga Aisyah, dalam beberapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis yang disampaikan (diriwayatkan) oleh sahabat lainnya yang menurut pemahamannya tidak sejalan dengan kandungan ayat al-Qur'an. Sebagai contoh beliau mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan ibnu Umar yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut Aisyah hadis tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an.
b. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan – Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas‘ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang telah mengeceknya dari kitab Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.
c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan – Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh Aisyah salah seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu Urwah bin Zubair untuk menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia, kepada Abdullah bin Amr bin al-As (w. 65 H=685 M) yang tengah menunaikan ibadah haji. Abdullah pun menyampaikan hadis yang ditanyakan itu. Karena Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui Abdullah yang naik haji lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya setahun yang lalu. Ternyata lafal hadis yang disampaikan oleh Abdullah sama dengan lafal yang disampaikannya setahun yang lalu.
d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru – Teknik ini misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Ma‘in (w.233 H=848 M) salah seorang ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan karya Hammad bin Salamah (w. 167 H=784 M) seorang kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara menemui-mencermati tulisan 18 orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma‘in menemukan kesalahan-kesalahan baik yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya – Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam bin al-Mugirah yang bersumber dari Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW Ketika waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu).
Mendengar hadis tersebut, Marwan segera menyuruh Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa apabila sesorang pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar karena pada malam harinya bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‗Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepada-nya hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‗Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih mengetahui hadis tersebut
2. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi
Seperti halnya kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelum-nya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, ter-masuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik berikut:
a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur‘an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Mem-bandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma‟na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi perbandingan matan-matan hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda, sementara terdapat ayat al-Qur'an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya).
Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadis melalui ayat al-Qur'an. Teknik ini memang baru merupakan gagasan yang perlu terus dimatangkan dengan cara menguji-cobakan atau mengaplikasikannya. Menurut hemat penulis, kritik matan-matan hadis dengan tolok ukur ayat al-Qur'an, termasuk dari spek analisis dan interpretasnyai, akan sangat bermanfaat dalam menumbuhkan keberanian mengkrtik atau mengoreksi teks/matan hadis, khususnya bagi siapa pun yang menganggap bahwa teks/matan hadis sebagai sesuatu yang telah pasti benar. Padahal, kekeliruan teks/matan hadis bisa saja terjadi mengingat proses periwayatan hadis secara makna, para periwayat yang tidak luput dari kekeliruan, dan proses periwayatan hadis yang memakan waktu cukup panjang.
b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
Agar dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, dalam tahap ini sangatlah diperlukan. Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna. Namun, jika hadisnya hanya satu (teks atau naskah tunggal), tetap bisa diajukan untuk dilakukan kritik matan/teks.
Dari segi kualitas, idealnya matan-matan hadis yang hendak diteliti, sanadnya pun telah diteliti dan dinyatakan sahih. Dengan demikian kegiatan kritik matan merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan kritik sanad. Di samping itu, dalam keadaan tertentu terkadang diperlukan skema sanad dari semua hadis yang dihimpun (melakukan i‘tibar as-sanad) untuk mengetahui kemungkinan ada tidaknya persambugan dan pertemuan para periwayat dalam sanad-sanad tersebut dan keterkaitannya dengan perbandingan susunan redaksi matan di antara matan-matan yang akan dikritisi.
Cara menghimpun matan-matan hadis untuk kepentingan kritik matan ini, ialah dengan melihat kitab-kitab kumpulan hadis yang menggunakan sistematika perbab atau pertema, seperti kitab-kitab hadis yang tergolong kategori sunan. Selain itu, dapat pula mengambilnya dari kitab-kitab kumpulan hadis tematik seperti kitab Riyad as-Salihin karya Imam Nawawi, dan kitab Bulug al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Hanya saja pada kitab-kitab tematik, hadis-hadisnya tidak disertai sanad sehingga ketika diperlukan analisis sanad untuk menelusuri dan membandingkan matan-matannya harus merujuk kepada kitab-kitab aslinya.
Cara lainnya, dapat ditempuh dengan melakukan penelusuran berdasar-kan lafal yang sama atau lafal-lafal yang berbeda namun memiliki kesamaan atau kemiripan makna. Untuk ini dapat menggunakan bantuan al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi. Dapat pula menelusuri hadis-hadis tema-tik dengan bantuan Miftah Kunuz as-Sunnah. Kegiatan menghimpun hadis-hadis yang dikehendaki, sesungguhnya dapat dilakukan secara sangat efisien dan akurat jika memanfaatkan teknologi komputer. Dewasa ini hampir semua kitab yang memuat hadis-hadis Nabi telah dapat diakses dengan komputer.
Setelah matan-matan hadis terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis atau mengkritiknya secara cermat dengan cara membanding-kan matan-matan hadis satu sama lain. Perbandingan matan-matan hadis ter-utama menyangkut persamaan dan perbedaan antar matan dalam pemakaian lafal-lafalnya dan susunan redaksinya. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam perbandingan antar matan itu adalah kemungkinan adanya perbedaan dalam hal tambahan redaksi atau lafal, yakni adanya idraj atau ziyadah. Hal tersebut bisa saja terjadi karena adanya tambahan atau kekurangan lafal atau redaksi baik karena adanya unsur kesengajaan (dengan tujuan yang semula positif), ataupun tidak, atau karena kekeliruan dan kelalaian periwayat yang sifatnya manusiawi.
Secara teknis, metode kritik matan hadis dengan membandingkan antara matan tertentu dengan matan-matan lainnya dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan melakukan perbandingan matan-matan hadis yang redaksinya ada perbedaan. Matan-matan hadis tersebut bisa saja masih dalam satu kitab yang disusun oleh satu penyusun (mukharij), ataupun pada kitab-kitab hadis yang berbeda, namun semuanya bersumber atau bertemu pada satu periwayat yang sama.
Dari perbandingan itu biasanya ada saja perbedaan redaksi, namun perbedaan itu dapat ditoleransi sepanjang kandungannya sama. Namun, perbedaan redaksi menjadi penting dikritisi ketika ternyata di antara matan-matan hadis ada yang memuat kata atau kalimat tertentu sebagai tambahan ataupun kekurangan, sementara kata atau kalimat tersebut memuat informasi yang penting karena dapat menyamakan atau membedakan dengan matan-matan hadis lainnya. Bahkan persoalan sama tidaknya redaksi, bukan sekedar makna yang dikandungnya menjadi sesuatu yang signifikan misalnya matan atau redaksi hadis yang dipakai sebagai bacaan ibadah, seperti bacaan-bacaan dalam salat, haji dan sebagainya. Untuk keperluan kajian metode tematik hadis pun, kritik matan ini sangat membantu. Dalam konteks ini, pengkaji matan-matan secara tematik, tidak akan tergesa-gesa menoleransi perbedaan dan menganggapnya bahwa perbedaan tersebut saling melengkapi atau menguatkan (ikhtilaf at-takamul aw at-tanasuk), namun akan terlebih dahulu menyeleksinya.
Teknik lainnya yang dapat dilakukan ialah dengan cara membanding-kan matan-matan hadis yang termuat dalam kitab-kitab hadis berdasarkan adanya perbedaan penulisan atau cetakan. Tentu saja hal ini dapat dilakukan, karena diawali dari membandingkan matan-matan hadis yang ternyata ada perbeda-an. Contohnya tentang perbedaan redaksi ucapan salam dalam matan-matan hadis pada saat memalingkan wajah atau muka ke kanan dan ke kiri sebagai penutup dalam salat. Dalam berbagai naskah cetakan kitab hadis yang beredar di masyarakat terdapat perbedaan tentang keberadaan lafal “wa barakatuh” dalam ucapan salam.
Dalam naskah cetakan Sunan Abi Dawud misalnya, menurut hasil penelitian Muhamad bin asy-Syaikh Ali bin Adam al-Asyubi,[49] terdapat tiga macam naskah edisi cetakan yang satu sama lain masing-masing ada perbedaan.
Ø Pada naskah pertama, tidak terdapat lafal wa barakatuh” ketika memaling-kan wajah ke kiri, sementara pada cetakan lainnya lafal tersebut disebutkan semuanya baik ketika memalingkan wajah ke kanan maupun ke kiri.
Ø Pada naskah cetakan India yang terdapat di perpustakaan al-Mahmudiyyah di Madinah juz I halaman 138 ucapan asalamu‟alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh diucapkan ketika memalingkan wajah ke kanan-ke kiri.
Ø Edisi naskah cetakan lainnya adalah yang terhimpun dalam al-Kutub at-Tis‟ah (sembilan kitab hadis standar) yang dijadikan rujukaan oleh kitab indek hadis al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi. Serta edisi naskah cetakan yang dikoreksi oleh ‗Izzat ‗Ubaid Da‘as halaman 607. Edisi ini memuat dua macam naskah sebelumnya secara lengkap. Dari semua edisi naskah cetakan Sunan Abi Dawud tersebut, menurut penelitian al-Asyubi yang paling kuat adalah redaksi salam yang memuat lafal wa barakatuh ketika memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri.
Untuk memperoleh otentisitas Hadits, menurut Muhammad Mustafa Azami, maka seseorang harus melakukan kritik Hadits. Menurutnya, kritik Hadits sejauh menyangkut nash atau dokumen terdapat beberapa metode. Namun hampir semua metode itu dapat dimasukkan dalam kategori perban-dingan atau cross reference. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan beliau untuk membuktikan otentisitas Hadits adalah:
Ø Memperbandingkan Hadits-hadits dari berbagai murid seorang syaikh.
Ø Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan.
Ø Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
Metode perbandingan (comparrison) dan pertanyaan silang-rujuk silang (cross question and cross referense) ternyata telah dilakukan oleh para sahabat, terutama oleh 'Aisyah. 'Aisyah adalah orang yang paling "berani" dalam melakukan kritik bukan hanya pada para sahabat Nabi SAW setelah Nabi wafat, bahkan kepada Nabi SAW sekalipun beliau bersifat kritis, seperti yang digambarkan dalam riwayat 'Umar ibn Khaththab. Ibn Abi Mulaikah mengambar-kan sifat 'Aisyah dalam hadis yang beliau terima langsung dari 'Aisyah ; “'Aisyah, isrti Nabi SAW, selalu menanyakan kembali sesuatu yang belum dipahami sehingga beliau paham benar apa yang didengar”.
Sedangkan riwayat-riwayat 'Aisyah yang berisi sikap kritis 'Aisyah terhadap para sahabat telah dikumpulkan oleh Imam Badr al-Din al-Zarkasyi ( 745 H. – 793 H.) dalam karya beliau yang berjudul Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah[51] yang berisi lebih dari 80 hadis kritikan 'Aisyah terhadap para sahabat yang meriwayatkan hadis yang dinilainya terdapat kesalahan dalam periwayatan ataupun kekeliruan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh sahabat beliau yang mendengar atau menyaksikan langsung. Diantara sahabat yang menjadi sasaran kritik 'Aisyah anatara lain Abu Bakr al-Shiddiq, 'Umar bin Khaththab, 'Ali bin Abi Thalib, 'Abdulah bin 'Abbas, 'Abdullah bin 'Umar, Abu Hurairah, Marwan bin Al-Hakam, Abu Sa'id al-Khudri, Ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ary, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqom, Al-Barra' bin 'Azib, 'Abdullah bin al- Zubair, 'Urwah bin al-Zubair, Jabir bin 'Abdullah, Abu Thalhah, Abu Darda', Syaibah bin 'Utsman, Abd al-Rahman bin 'Auf, Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Shiddiq, Fatimah binti Qoisy.
Hadis-hadis kritik 'Aisyah yang dikumpulkan oleh Imam al-Zarkasyi, sebanyak lebih kurang 80 hadis, terhadap 22 orang sahabat Nabi SAW menunjuk-kan kredibilitas 'Aisyah dan kecerdasannya yang diakui oleh sahabat lainnya serta keberaniannya dalam menyikapi segala sesuatu yang dianggapnya janggal dari sudut pandang agama. Periwayatan sebanyak ini yang berisi tentang kritikan 'Aisyah menjadi sangat berharga ketika tidak ada sahabat lain yang melakukan hal yang sama. Ada beberapa sahabat yang melakukan kritik matan, seperti 'Umar ibn Khaththab dan 'Abd Allah bin 'Amr, tapi tidak sebanyak yang dlakukan oleh 'Aisyah sehingga tidak dapat ditentukan pola yang mereka lakukan. Seperti yang dilakukan oleh 'Umar bin Khaththab ketika menanyakan tentang perbuatan Nabi SAW yang berbicara kepada jasad-jasad orang kafir yang terbunuh pada parang badar, dimata 'Umar ibn Khththab tidak mungkin orang yang sudah mati dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup:
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ سَمِعَ رَوْحَ بْنَ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ ذَكَرَ لَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ يَوْمَ بَدْرٍ بِأَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ رَجُلًا مِنْ صَنَادِيدِ قُرَيْشٍ فَقُذِفُوا فِي طَوِيٍّ مِنْ أَطْوَاءِ بَدْرٍ خَبِيثٍ مُخْبِثٍ وَكَانَ إِذَا ظَهَرَ عَلَى قَوْمٍ أَقَامَ بِالْعَرْصَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَلَمَّا كَانَ بِبَدْرٍ الْيَوْمَ الثَّالِثَ أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَشُدَّ عَلَيْهَا رَحْلُهَا ثُمَّ مَشَى وَاتَّبَعَهُ أَصْحَابُهُ وَقَالُوا مَا نُرَى يَنْطَلِقُ إِلَّا لِبَعْضِ حَاجَتِهِ حَتَّى قَامَ عَلَى شَفَةِ الرَّكِيِّ فَجَعَلَ يُنَادِيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ يَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالَ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لَا أَرْوَاحَ لَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ قَالَ قَتَادَةُ أَحْيَاهُمْ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ قَوْلَهُ تَوْبِيخًا وَتَصْغِيرًا وَنَقِيمَةً وَحَسْرَةً وَنَدَمًا [52]
Hal serupa dilakukan oleh 'Abdullah bin 'Amr ketika bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat duduk yang beliau lakukan yang bertentangan dengan sabda beliau sendiri:
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ أَبِي يَحْيَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ حُدِّثْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ قَالَ فَأَتَيْتُهُ فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِهِ فَقَالَ مَا لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قُلْتُ حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَّكَ قُلْتَ صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا قَالَ أَجَلْ وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كِلَاهُمَا عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي رِوَايَةِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي يَحْيَى الْأَعْرَجِ[53]
Dua hadis diatas yang diriwayatkan oleh 'Umar ibn Khaththab dan 'Abdullah ibn 'Amr menunjukkan bahwa keduanya melakukan kritik langsung pada Nabi SAW dengan metode perbandingan, hal serupa juga dilakukan oleh sahabat-sahabat lain baik secara pribadi maupun kolektif. Akan tetapi kritik yang dilakukan oleh 'Aisyah lebih konprehensif dibandingkan sahabat lain. Disamping karena intensitas pertemuan 'Aisyah dengan Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari juga dikarenakan kecerdasan dan keberanian 'Aisyah, minimal untuk bertanya sesuatu yang belum beliau pahami, dan banyaknya hadis yang diriwayatkan oleh 'Aisyah bukanlah faktor yang dominan beliau bersikap kritis, Abu Hurairah adalah perawi hadis terbanyak, 5374 hadis, tapi tidak banyak melakukan kritik terhadap periwayatannya, bahkan Abu Hurairah sendiri yang mendapatkan kritik dari 'Aisyah.[54]
Kritik matan hadis yang dilakukan oleh 'Aisyah mencakup bidang tafsir, Aqidah, Hukum/fiqh dan Sosial kemasyarakatan.
a. Kritik 'Aisyah dalam konteks tafsir al-Qur'an.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَخْبَرَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ [55]
Metode 'Aisyah dalam penafsiran ini adalah berpegang pada pemahaman teks ayat al-Qu'an surat al-Insyiqaq/84 : 8 ; فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا "Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah". Siapapun pada dasarnya, ketika memahami suatu teks yang paling utama dijadikan dasar pemahaman adalah teks itu sendiri. Metode ini adalah dasar dalam memahami al-Qur'an, bahkan pada setiap teks apapun.
Tanpa ada ta'wil dan tafsir dari Nabi SAW ayat ini akan dipahami bahwa setiap orang akan dihisab (dihitung) amal ibadahnya, termasuk orang yang beriman, yaitu orang yang diberikan kitab (catatan amalnya) dari sebelah kanan (al-Insyiqaq/84:7) Maka bagaimana sabda Nabi SAW dapat bertentang-an dengan teks ayat?, bahwa beliau bersabda : مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ "siapa orang yang dihisab akan disiksa" sedangkan manusia semuanya pasti dihisab (dihitung) amal ibadahnya. Kritik 'Aisyah dalam bentuk pertanyaan dengan cara membandingkan antara ayat al-Qur'an dengan hadis Nabi SAW menghasilkan sebuah penafsiran yang langsung datang dari Nabi SAW bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah: الْعَرْضُ "dibeberkan" sedangkan yang di-maksud dalam sabda Nabi SAW مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ adalah مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ "orang yang diteliti dalam pemeriksaan maka dia akan celaka". Tafsiran ayat ini menjadi mudah dan jelas karena ditafsirkan oleh Nabi SAW yang mempunyai otoritas mutlak sebagai mufassir (an-Nahl/16:44) dan diakui oleh siapapun. Akan tetapi ini akan menimbulkan masalah pada saat pemahaman teks ayat yang terkesan bertentangan dengan hadis pada saat Nabi SAW sudah wafat.
Kecerdasan dan keberanian 'Aisyah megkritik sabda Nabi SAW dengan metode yang beliau terapkan yaitu metode perbandingan antara ayat al-Qur'an dengan hadis Nabi SAW Penerapan metode ini tidak hanya terjadi pada masa Nabi SAW masih hidup, bahkan metode ini ditunjukkan pula setelah Nabi SAW wafat. Seperti yang terjadi pada penafsiran surat al-An'am/6: 164: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى "dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain"
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ تُوُفِّيَتْ ابْنَةٌ لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ وَجِئْنَا لِنَشْهَدَهَا وَحَضَرَهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَإِنِّي لَجَالِسٌ بَيْنَهُمَا أَوْ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى أَحَدِهِمَا ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَدْ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ بَعْضَ ذَلِكَ ثُمَّ حَدَّثَ قَالَ صَدَرْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ مَكَّةَ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا هُوَ بِرَكْبٍ تَحْتَ ظِلِّ سَمُرَةٍ فَقَالَ اذْهَبْ فَانْظُرْ مَنْ هَؤُلَاءِ الرَّكْبُ قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا صُهَيْبٌ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ادْعُهُ لِي فَرَجَعْتُ إِلَى صُهَيْبٍ فَقُلْتُ ارْتَحِلْ فَالْحَقْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ دَخَلَ صُهَيْبٌ يَبْكِي يَقُولُ وَا أَخَاهُ وَا صَاحِبَاهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا صُهَيْبُ أَتَبْكِي عَلَيَّ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عِنْدَ ذَلِكَ وَاللَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَاللَّهِ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا شَيْئًا [56]
Dalam hadis ini jelas 'Aisyah membandingkan antara pemahaman teks al-Qur'an dengan hadis Nabi SAW Akan tetapi ada perbedaan antara kritik yang terjadi pada masa Nabi SAW masih hidup dengan Nabi SAW telah wafat. Pada saat Nabi SAW masih hidup tentu saja tidak ada permasalahan, karena segala sesuatunya dapat diserahkan kepada Nabi SAW Setelah nabi SAW wafat ceritanya akan berbeda, minamal akan muncul perselisihan pendapat.
'Aisyah tidak menerima hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh 'Umar ibn Khaththab إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ (mayat disiksa dengan sebagian tangisan dari keluarganya). Pertama 'Aisyah mengkritik riwayat 'Umar ibn Khaththab dengan redaksi berbeda yang beliau dengar dari Nabi SAW إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ (Orang kafir akan ditambahkan siksanya dengan sebab tangisan keluarganya). Kemudian riwayat ini tidak lagi menjadi penting karena 'Aisyah langsung mengkonprontir hadis ini dengan pemahaman teks al-Qur'an حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (Cukuplah bagi kalian al-Qur'an "dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" ).
Hal ini menjelaskan tentang metode berpikir 'Aisyah dalam menyelesaikan kontradiksi antara hadis dengan al-Qur'an ':
Ø Aisyah lebih berpegang pada pemahaman tekstual ayat apabila tidak ada indikasi pendukung bahwa ayat dapat dipahami secara kontekstual.
Ø Pemahaman teks ayat al-Qur'an harus didahulukan dibandingkan pemahaman teks hadis
Ø Apabila ada kontradiksi yang dapat diselesaikan dengan jalan ta'wil, maka hadis yang harus di ta'wil bukan al-Qur'an, kecuali Nabi yang menafsiran al-Qur'an.
b. Kritik 'Aisyah dalam konteks Aqidah.
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي حَسَّانَ الْأَعْرَجِ أَنَّ رَجُلَيْنِ دَخَلَا عَلَى عَائِشَةَ فَقَالَا إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِنَّمَا الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ قَالَ فَطَارَتْ شِقَّةٌ مِنْهَا فِي السَّمَاءِ وَشِقَّةٌ فِي الْأَرْضِ فَقَالَتْ وَالَّذِي أَنْزَلَ الْقُرْآنَ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ مَا هَكَذَا كَانَ يَقُولُ وَلَكِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّارِ وَالدَّابَّةِ ثُمَّ قَرَأَتْ عَائِشَةُ مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ [57]
Hadis riwayat Imam Ahmad ibn Hanbalini menggambarkan tentang keberanian dan kecerdikan 'Aisyah dalam menolak matan hadis yang dilontarkan oleh Abu Hurairah. Pada awalnya 'Aisyah menyalahkan redaksi hadis إِنَّمَا الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan membenarkannya dengan redaksi كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّارِ وَالدَّابَّةِ. Kemudian 'Aisyah memperkuat sanggahannya terhadap Abu Hurairah dengan menggunakan dalil al-Qur'an (al-Hadid/57:22).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal melalui jalur periwayatan Abu Hurairah diriwayatkan juga oleh Abu Daud al-Thayalisi yang berisi kritikan 'Aisyah terhadap periwayatan Abu Hurairah. Hadis yang serupa dengan riwayat Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari[58] dan Imam Muslim [59] melalui jalur 'Abdullah ibn 'Umar dan Sahl ibn Sa'id al-Sa'idi. Berarti hadis ini bukan hanya didengar oleh Abu Hurairah saja, tapi juga didengar oleh 'Abdullah ibn 'Umar dan Sahl ibn Sa'id al-Sa'idi. Pada posisi ini Abu Hurairah berada pada pihak yang kuat dan 'Aisyah berada pada pihak yang lemah karena beliau sendirian, akan tetapi kritikan 'Aisyah terhadap hadis diatas lebih mengarah kepada keyakinan bahwa tidak ada suatu bencanapun yang terjadi dimuka bumi ini melainkan telah ditentukan oleh Allah dalam lauh al-mahfuz (al-Hadid/57:22):
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ
Dan jangan mengkaitkan suatu bencana apapun didunia ini dengan sebab sesuatu dianggap membawa sial. Redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, 'Abdullah ibn 'Umar atau Sahl ibn Sa'id al-Sa'idi tidak didengar oleh 'Aisyah langsung dari Nabi SAW Kemungkinan apabila redaksi tersebut didengar langsung oleh 'Aisyah akan timbul pertanyaan kepada Nabi SAW dengan cara membandingkan antara teks hadis dengan teks al-Qur'an, seperti yang pernah terjadi pada kasus hisab/perhitungan amal manusia. Kritikan 'Aisyah sebenarnya bukan hanya tertuju pada redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ataupun masalah keyakinan terhadap taqdir yang diyakini oleh 'Aisyah dari surat al-Hadid/57:22, akan tetapi lebih jauh melangkah kepada kritik sosial yang mendudukan perempuan sebagai makhluk pembawa sial bagi kaum laki-laki (pandangan misoginis). [60] Metode 'Aisyah dalam kritik hadis dengan menggunakan metode perbandingan menjadikan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa kritik 'Aisyah lebih mendekati kebenaran, Insya' Allah, karena lebih sesuai dengan larangan Nabi SAW secara umum tentang tathayyur[61] dan sesuai al-Qur'an al-Hadid/57:22
c. Kritik Aisyah dalam Konteks Fiqih
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ[62]
Pada hadis ini 'Aisyah mengkritik hadis yang diceritakan kepada beliau dengan redaksi : " مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ" Anjing, himar dan perempuan dapat memutuskan shalat." Ada dua kritikan yang dilontarkan oleh 'Aisyah terhadap hadis diatas. Pertama masalah sosio-kultur yang memposisikan kaum perempuan sama dengan anjing dan himar dalam hal membatalkan shalat, ketersinggungan 'Aisyah dinyatakan dengan redaksi " شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ " (kalian menyamakan kami dengan himar dan anjing).[63] Kedua, kritik 'Aisyah dalam konteks hukum (fiqh).
Metode yang digunakan oleh 'Aisyah dalam kritik ini adalah perbandingan antara hadis qauly[64] dengan hadis fi'ly. [65] 'Aisyah tidak menganggap bahwa perempuan dapat memutuskan orang yang shalat, karena hal ini bertentangan dengan realitas yang terjadi pada dirinya, bahwa Nabi SAW pernah shalat di hadapan 'Aisyah yang sedang berbaring melintang di depan Nabi SAW dan Nabi SAW tidak memberikan komentar apapun tentang peristiwa tersebut. Kemudian bagaimana mensikapi hadis diatas yang berkualitas shaheh?. Jalan keluar yang diambil adalah jalan ta'wil bahwa yang dimasud kata "memutuskan shalat" pada hadis diatas bukanlah "membatalkan shalat" tapi membuyarkan konsentrasi shalat.Tidak satu mazhab fiqh-pun yang berpendapat bahwa melintasnya perempuan dihadapan orang yang shalat dapat membatalkan shalat[66].
d. Kritik 'Aisyah dalam konteks sosial kemasyarakatan (pemahaman kontekstual)
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا قَالَ فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ قَالَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ [67]
Pada hadis diatas digambarkan tentang perintah Nabi SAW supaya tidak menghalangi kaum perempuan yang akan ikut shalat berjamaah bersama Nabi SAW di masjid apabila mereka telah minta izin. لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا . Pernyataan Nabi SAW ternyata menimbulkan penolakan dari Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar, dia mengatakan "Demi Allah aku akan mencegah mereka" (وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ) yang mendengar hadis tersebut dari 'Abdullah bin 'Umar. Sikap penolakan Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar membuat 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khahthab sangat marah sehingga memaki Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar dengan makian, menurut Salim ibn 'Adillah, yang belum pernah dia dengar diungkapkan oleh 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khahthab sebelumnya. Reaksi spontan 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khahthab terhadap sikap Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar yang menolak hadis yang diriwayatkannya dimungkinkan karena sikap sentimentilnya terhadap hadis atau karena sentimentil terhadap status dirinya sebagai orang tua yang tidak ingin dibantah oleh anaknya sendiri.
Sikap penolakan terhadap hadis ini tidak hanya dilakukan oleh Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar, 'Aisyah juga melakukannya. Akan tetapi penolakan 'Aisyah terhadap pengamalan hadis ini tidaklah dengan sikap arogan seperti yang dilakukan oleh Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar. Penolakan 'Aisyah lebih halus dan rasional. Pada dasarnya 'Aisyah juga menolak hadis diatas dari sisi matan hadis, akan tetapi penolakan 'Aisyah berdasarkan rasional dan kontekstual. Seperti yang diungkapkan oleh 'Amrah binti 'Abd al-Rahman:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالَ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ أَنِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُنِعْنَ الْمَسْجِدَ قَالَتْ نَعَمْ [68]
Pemahaman 'Aisyah terhadap hadis ini sangatlah kontekstual, tanpa harus mengatakan menolak hadis ini, pernyataan 'Aisyah jelas menggambar-kan penolakannya untuk mengamalkan hadis diatas apabila dipahami secara kontektual dari sosio-kulltur yang berbeda pada saat hadis tersebut diucapkan dengan kondisi pada saat 'Aisyah berada. Pernyataan 'Aisyah "kalau Nabi SAW melihat apa yang terjadi pada kaum perempuan saat ini pasti beliau akan melarang mereka untuk pergi ke masjid, seperti bani Israil melarang perempuan mereka untuk pergi ke Masjid". Memahami kondisi sosio-kultur masyarakat adalah salah satu metode 'Aisyah dalam melakukan kritik hadis. Ini berarti bahwa 'Aisyah adalah permpuan yang peduli dan mengamati tentang perubahan sosial yang terjadi, sehingga ketika ada perbedaan konteks pada masa Nabi SAW dengan konteks setelah beliau wafat menjadikan ada perubahan paradigma untuk memahami hadis. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa hadis dapat dipahami secara kontektual dengan metode yang telah diterapkan oleh 'Aisyah.
IV. KRETERIA DAN STANDARISASI KRITIK HADITS
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam melakukan kritik adalah standar yang digunakan terhadap obyek yang dikritik. Sahabat-sahabat Nabi SAW selain 'Aisyah juga pernah melakukan kritik hadis baik sanad maupun matan hadis. Seperti yang terjadi pada kasus Abu Bakr al-Siddiq dalam pembagian warisan untuk seorang nenek seperti yang diriwayatkan oleh Mughirah ibn Syu'bah. Abu Bakar meminta dukungan dari sahabat lain yang mengetahui riwayat tersebut dari Nabi SAW kemudian Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian atas riwayat Mughirah ibn Syu'bah.[69] 'Umar ibn Khaththab juga pernah melakukan hal sama terhadap Abi Sa'id al-Khudri yang mendapat dukungan dari Ubay ibn Ka'ab.[70] 'Utsman ibn 'Affan [71] dan 'Ali ibn Abi Thalib[72] juga melakan hal yang sama untuk memastikan kebenaran informasi yang sampai kepada mereka yang dinisbahkan kepada Nabi SAW
Metode yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Siddiq dengan meminta syahadah (saksi), 'Umar ibn Khaththab meminta bayyinah (bukti/saksi), 'Utsman ibn 'Affan meminta Iqrar (pengakuan), sedangkan 'Ali bin Abi Thalid meminta halaf (sumpah), tidak menunjukan adanya indikasi kritik terhadap perawi hadis (orang yang menyampaikan berita), juga tidak adanya standarisasi yang mereka gunakan untuk menolak atau menerima seorang sebagai pembawa berita (rawi hadis) tetapi sekedar tasabbut (memastikan) dan ta'kid (menguatkan). Adanya orang lain (syahid) untuk menjadi saksi tidak menjadikan persyaratan mutlak, karena banyak hadis yang diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad) dapat diterima, yang mereka lakukan hanyalah merupakan tindakan hati-hati (ihtiyath).
'Aisyah telah melakukan kritik langsung terhadap perawi hadis, seperti yang terjadi pada kasus Abdulah bin 'Umar. Dengan tuduhan : وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ (dia lupa atau salah) atau فَلَمْ يَحْفَظْهُ (dia tidak hafal). Kata-kata 'Aisyah diatas mengindikasikan bahwa beliau telah menetapkan standar kekuatan hafalan (dhabith) untuk seorang pembawa berita (rawi hadis).
Demikian juga dalam matan hadis, 'Aisyah telah mempunyai standarisasi tersendiri untuk menolak atau menerima sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain bahkan informasi dari Nabi SAW juga tidak luput dari kritik 'Aisyah dengan standar yang beliau tetapkan sendiri. Metode yang digunakan 'Aisyah adalah metode perbandingan, yaitu:
- Perbandingan antara al-Qur'an dengan hadis.
- Perbandingan antara satu riwayat dengan riwayat lain
- Perbandingan antara hadis fi'ly dengan hadis qauly.
- Perbandingan antara hadis dengan logika.
- Perbandingan antara hadis dengan konteks sosio-kultural.
Sedangkan standar yang digunakan untuk mengkritik sebuah hadis beliau menggunakan standar :
- Al-Qur'an dan ilmu yang terkait dengan al-Qur'an seperti Asbab al-Nuzul, munasabah dan tafsir.
- Hadis-hadis yang beliau dengar langsung dari Nabi SAW atau yang beliau saksikan.
- Logika, pemahaman kontekstual.
- Sejarah.
- Kepribadian Nabi SAW
Dengan demikian 'Aisyah telah menetapkan standarisasi tersendiri untuk mengkritik sebuah hadis. Sanad bukanlah satu-satunya komponen yang dapat menentukan ke-shahih-an hadis, matn hadis juga mempunyai peranan yang sangat dominan dalam menentukan ke-shahih-an hadis. Berdasarkan standarisasi yang digunakan oleh 'Aisyah inilah ilmu kritik hadis, terutama pada kritik matan, mengalami perkembangan. 'Aisyah bukan satu-satunya sahabat yang melakukan kritik hadis pada masa Nabi SAW ataupun pada masa sahabat, 'Umar ibn Khaththab juga pernah melakukan hal yang sama, akan tetapi karena intensitas kritik yang dilakukan oleh 'Aisyah maka terlihat pola yang digunakan oleh 'Aisyah dalam melakukan kritik. Sehingga Imam al-Zarkasyi mengumpulkan kritik-kritik 'Aisyah terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain dalam karya beliau yang berjudul: Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah yang berisi 80 hadis yang dikritik oleh 'Aisyah terhadap 22 sahabat. Dengan kenyataan yang telah digambarkan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa 'Aisyah adalah kritikus hadis pertama dalam islam yang telah menggunakan standarisasi dan metode yang baku.
V. KRITIK TERHADAP ORIENTALIS
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah ber-makna timur dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di timur. Kata “orient” itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan tentang “Timur” itu biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran. Kata “isme” (Belanda) ataupun “ism” (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia ”Barat” itu, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya. Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Orientalisme dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda menurut sikap mental dari kaum orientalis itu sendiri. Penyelidikan itu bermula secara terpisah-pisah mengenai masing-masing agama tersebut. Max Muller (1823-1900) pada akhirnya menjelang penghujung abad ke-19 itu menyalin seluruh kitab-kitab yang terpandang suci oleh masing-masing agama di timur ke dalam bahasa Inggris, terdiri atas 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Book of the East ((Kitab-Kitab Suci dari Timur). Cara Max Muller membahas masing-masing agama dengan mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati obyektifitasnya, sangat berbeda dengan cara kaum Orientalis pada masa sebelumnya maupun pada masanya sendiri. Maka ia dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu baru yang dikenal dengan Comparative Religions (Perbandingan Agama).
Tidak diketahui secara pasti, siapa orang Barat pertama yang mempelajari orientalisme dan kapan waktunya. Satu hal yang bisa dipastikan, bahwa sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia bermaksud mempelajari Islam, menerjemahkan al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka dan berguru kepada ulama-ulama Islam berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat, kedokteran, dan metafisika.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor utama yang menyebabkan munculnya gerakan orientalisme dikarenakan pergulatan dua dunia yaitu antara Islam dan Nasrani di Andalusia dan Sicilia. Di samping juga imbas perang Salib secara khusus menjadi pemacu orang-orang Eropa melakukan pengkajian terhadap dunia Islam. Dengan demikian bisa disimpulkan, sejarah orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang pergulatan agama dan ideologi antara dunia Barat yang diwakili Nasrani pada abad pertengahan dengan dunia Timur yang diwakili Islam. Selain itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di Timur dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia Barat terhadap Islam. Selain kegagalan pasukan Salib dalam meruntuhkan Islam menjadi pendorong mereka concern terhadap kebudayaan Islam.
Orientalisme mempunyai cakupan yang sangat luas, karena langsung berkaitan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan bangsa-bangsa di Timur serta lingkungannya, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. Di antaranya mencakup; kepurbakalaan, sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan, keturun-an, kemasyarakatan, adat istiadat, kekuasaan, kehidupan, lingkungan, dan lain-lain.
Singkatnya, setiap disiplin ilmu melakukan kegiatan penyelidikan menurut bidang masing-masing. Segala macam kegiatan itu berlaku terhadap bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa di benua Timur beserta lingkungannya. Maka dapat dibayangkan betapa luas ruang lingkup yang dicakup oleh para ahli ketimuran itu, yang betul-betul memerlukan ketekunan dan keahlian.
Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya gerakan orientalisme, di antaranya:
1. Faktor Agama – Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
2. Faktor Kolonialisme – Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri. Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di Timur.
3. Faktor Ekonomi – motif ekonomi adalah penguasaan berbaai sumber daya alam wilayah timur terutama rempah-rempah yang sangat bermanfaat bagi bangsa Eropa.
4. Faktor Politik – Barat tetap berkeinginan terus menguasai Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan mereka.
5. Faktor keilmuan – Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta kesalahan dalam memahami Islam.
Tujuan Orientalisme adalah memurtadkan umat Islam dari agamanya dengan cara mendistrosi serta menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajaran-ajarannya. Salah satu instrument penunjang dalam mewujudkan tujuan orientalisme tersebut yaitu meragukan keabsahan hadits-hadits Nabi SAW, sebagai sumber hukum Islam kedua sesudah al-Qur’an. Para orientalis tersebut berpandangan bahwa dalam hadits Nabi terdapat unsur intervensi para ulama untuk memurnikan hadits-hadits shahih yang bersandar kepada kaidah-kaidah yang sangat keras dan selektif, dimana hal itu tidak dikenal dalam agama mereka dalam membukti-kan kebenaran-kebenaran Kitab Sucinya.
Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Vensink, L. Massinyon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
Kajian keislaman pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi. Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria dengan karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Penelitian hadits selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht yang juga merupakan seorang Yahudi orientalis. Bukunya yang terkenal berjudul The Origins of Muhammaden Jurisprudence. “Keunggulan” Schacht ialah kemampuannya dalam membuat kesimpulan bahwa “tidak ada satu hadits pun yang otentik dari Rasulullah Saw, khususnya hadits yang bersangkutan dengan hukum Islam.” Namun demikian, Goldziher hanya sekadar meragukan keotentikan hadits nabi. Kajian dan penelitian mereka terhadap hadits berpijak pada metode yang aneh dan mengherankan. Sebelum me-lakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sendiri, untuk kemudian mencari dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya.
Baik Goldziher maupun Schact berpendapat bahwa hadits tidak berasal dari Rasulullah Saw melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijriah. Dengan kata lain, hadits adalah buatan ulama abad pertama dan kedua dan tidak ditulis pada zaman Rasulullah SAW Pandangan ini dengan mudah dapat terbantahkan. Abdullah Ibnu Umar ialah sahabat Nabi yang paling banyak menulis hadits dibandingkan Abu Hurairah. Abu Hurairah menyatakan bahwa Abdullah Ibnu Umar mencatat apa-apa yang tidak ia catat. Artinya, banyak hal yang masih belum Abu Hurairah catat dibandingkan Ibnu Umar. Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ibnu Umar, “Catatlah dari aku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar saja.”
Tuduhan selanjutnya ialah bahwa para sahabat tidak menghafal hadits. Hal ini juga termasuk dalam kelalaian dan kecerobohan para orientalis dalam melihat sejarah. Mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Saw setiap berbicara selalu mengulanginya tiga kali, agar apa yang dikatakan benar-benar diserap oleh para sahabat yang kadar hafalannya tidak sama. Ada yang cepat menghapal dan ada pula yang lamban. Para sahabat seperti ini dikenal sebagai umta yang ummy, tidak bisa membaca dan menulis. Mereka hanya mengandalkan hafalan saja, namun hafalan mereka melebihi orang yang mencatat.
Para orientalis pun seringkali meragukan kredibilitas para rawi hadits dan ulama hadits. Padahal, terdapat sebuah disiplin ilmu yang dibuat oleh ulama hadits terkemuka seperti Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam kitabnya Jarh Wa Ta’dil. Jarh berarti mencela, sedangkan ta’dil berarti memuji. Jarh wa Ta’dil berguna untuk menilai para rijal hadits. Dari sini kita dapat mengetahui keadaan masing-masing riwayat hidup para rawi. Dengan ilmu ini juga, hadits Rasulullah dapat terjaga keasliannya. Jarh wa Ta’dil sebenarnya sudah ada dalam al-Quran: “Jika datang seorang fasiq membawa kabar, telitilah!” Selain itu, ilmu jarh tidak termasuk dalam ghibah.
Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dsebabkan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad saja tanpa kritik matan. Kemudian Goldziher menawarkan metode kritik matan saja. Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan, hanya saja apa yang dimaksud dengan kritik matan menurut orientalis berbeda dengan istilah para ulama klasik. Menurut Goldziher, kritik matan hadits mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosial, kultural, dan lain-lain.
Goldziher mencontohkan hadits-hadits dalam Shahih Bukhori. Menurutnya, Imam Bukhori hanya melakukan kritik sanad saja tanpa matan, sehingga tidak menutup kemungkinan di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits palsu. Sebenarnya apa yang dikatakan Goldziher tidak benar. Ada sebuah contoh yang dapat dibaca bahwa para ulama klasik tidak hanya memberikan penekanan pada kritik sanad saja, tetapi juga pada kritik matan.
Contohnya Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Nafi’: “Dikatakan kepada Ibnu Umar: bahwa Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Siapa yang mengiringi jenazah, bagi dia banyak pahala” lalu Ibnu Umar berkata, “Kau telah banyak bercerita wahai Abu Hurairah.” Lalu hadits ini dikirim kepada Siti Aisyah dan dia membenarkannya. Ketika itu Ibnu Umar berkata, “Telah berlalu dari kami banyak pahala.” Di sini jelas bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar, sangat berhati-hati terhadap apa yang telah disampaikan oleh Abu Hurairah karena dia takut jika Abu Hurairah salah dan keliru dalam hafalannya. Setelah dibenarkan oleh Aisyah, maka Ibnu Umar mengetahui bahwa Abu Hurairah benar-benar hafal dan kuat ingatannya.
Ahli hadits abad sekarang, Prof. Dr. M. M. Azami melakukan penelitian khusus terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah klasik. Kesimpulannya sangat mustahil (untuk ukuran waktu itu) para tabiin yang tempat tinggalnya berjauhan dapat berkumpul untuk memalsukan hadits, yang kemudian oleh generasi selanjutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut sama. Padahal para rawi-nya tidak pernah bertemu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung, Pustaka Salmam ITB, 1984)
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an; fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung, Mizan, 1992),
Abu Zahwu, Muhammad, Al-Hadist wa al –Muhadditsun 'Inayah al-Ummah al-Islamiyah bi al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut, Dar al-Kutb al-'Araby, 1984
Abu Su'ud Badr, Abdullah Dr., Tafsir Umm al-Mu'minin 'Aisyah Radhiallahu 'Anha. Terjemah: Gazi Saloom dan Ahmad Syaikhu, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000, cet. Ke-I.
Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah: H. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-I.
-------, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, tth.
-------, Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut Al-Maktabah al-Islamy, 1980.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma'il, Matn al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah al-Sindi, Beirut: Dar el-Fikr, tth.
Al-Dumainy, Musfir 'Azamullah, Maqayis Naqd Matn al-Sunnah, Riyadh: tt, 1984, Cet. Ke-I.
Al-Khatib, Muhammad 'Ajjaj, Ushul al-Hadis 'Ulumuh wa Musthalahah, Beirut; Dar el-Fikr, 1989.
------, Al-Sunah Qobl al-Tadwin, Beirut Dar el-Fikr, 1990
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka Salman ITB, 1984)
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas hadis-hadis shaheh, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, Cet. Ke- I.
Al-Nasa'i, Abu 'Abd Al-Rahman bin Syu'aib, Sunan al-Nasa'i al-Mujtaba, Mesir: Musthafa al-Bab al-Halab, 1964.
Al-Naisabury, Abi al-Husein Muslim bin Hajjaj, Shaheh Muslim, Beirut: Dar el-Fikr, 1993
Al-Sijistany, Abu Daud Sulaiman al-Ays'asy, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar el-Fikr, 1994
Al-Tirmizi, Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar el-Fikr, 1983
Ya'qub, Ali Musthafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, Cet. Ke-I,
Al-Zarkasyi, Badr al-Din, Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah, Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M. Cet. Ke-IV.
Rasyid Rizani, Pokok-pokok Masalah dalam Kritik Sanad dan Matan. PDF. Muhammad Ali Qasim al-Umri. Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi Inda al-Muhadditsîn. Darunnafais: Yordan. Cet. I, 2000.
[1] Bagian pertama tulisan ini merupakan pengembangan pemikiran secara mandiri dengan merujuk berbagai sumber sebagaimana dalam catatan kaki, sedangkan bagian kedua yaitu Hadits- kritik dan legalitasnya merupakan editing terhadap berbagai sumber yaitu http://uinsuka.info/ejurnal/ index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=28, http://sukmanila.multiply.com/journal/ item/22, http://www.surgamakalah.com/2011/11/kronologi-munculnya-kritik-hadis.html dan http:// wildanhasan. blogspot.com/2009/01/metode-kritik-hadits-orientalis.html
[2] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung, Pustaka Salman ITB, 1984) h. 44-45
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an; fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung, Mizan, 1992), hal. 128
[4] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka Salman ITB, 1984), Hal. 52
[6] Fazlur Rahman, Islam, hal. 68-70.
[7] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, hal. 78-79.
[8] Fazlur Rahman, Islam, hal. 54 – Fazlur mengutip pemikiran Goldziher dalam buku Muhammadanische Studien, hal. 12.
[9] Ibid, hal 72-74
[10] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, hal. 82-83 dan Fazlur Rahman, Islam, hal. 72
[13] Fazlur Rahman, Islam, hal. 68-69
[14] http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=28.
[16] Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang orang yang paling beliau cintai, beliau menjawab 'Aisyah, sedangkan dari pihak laki-laki, beliau menjawab ayah 'Aisyah (Abu Bakr al-Shiddiq):
حَدَّثَنَا حَسَنٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ عَفَّانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ صُهَيْبٍ الْحَذَّاءِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْن عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا سَأَلَهُ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا حَقُّهُ قَالَ يَذْبَحُهُ ذَبْحًا وَلَا يَأْخُذُ بِعُنُقِهِ فَيَقْطَعُهُ (البخاري: كتاب المغازي , باب غزوة ذات السلاسل. مسلم: كتاب فضائل الصحابة . الترميذي : كتاب المناقب )
[17] Rasulullah SAW. juga memuji keutamaan 'Aisyah dengan perbandingan antara makanan sarid dengan makanan lainnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ (البخاري: كتاب المناقب , باب فضل عائشة رضي الله عنها . مسلم: فضائل الصحابة . الترميذي :كتاب المناقب)
[18] Abu Hurairah meriwayatkan sebanyak 5374 hadis, Aisyah meriwayatkan 2210 hadis, 'Abdulah bin 'Abbas (w. 68 H.) meriwatkan 1660 hadis, 'Abdullah bin 'Umar (w. 73 h.) meriwayatkan 1630 hadis, Jabir bin 'Abdullah (w. 78 H.) meriwayatkan 1540 hadis, Anas bin Malik (w. 92 H.) meriwayatkan 1286 hadis, Abu Sai'id al-Khudri (w. 74 H.) meriwayatkan 1180, perawi hadis lain setelah mereka meriwayatkan dibawah 1000 hadis. (Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadist wa al –Muhadditsun,[Beirut, Dar al-Kutb al-'Araby], 1984, h. 133-150.)
[19] Badr al-Din al-Zarkasyi, Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah,( Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M.) Cet. Ke-IV, h. 33
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تُوُفِّيَتْ خَدِيجَةُ قَبْلَ مَخْرَجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ بِثَلَاثِ سِنِينَ فَلَبِثَ سَنَتَيْنِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ وَنَكَحَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ثُمَّ بَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
[21] Shaheh Muslim, Kitab: An-Nikah, Bab: Tazwij al-Ab al-Bikr al-Shagirah.
وحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ يَحْيَى وَإِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
[22] 'Abdullah Abu Su'ud Badr, Dr., Tafsir Umm al-Mu'minin 'Aisyah Radhiallahu 'Anha. Terjemah: Gazi Saloom dan Ahmad Syaikhu,( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), cet. Ke-I, h. 15-16
[25] Muhammad Ali Qasim al-‗Umri. Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi „Inda‟l Muhadditsîn. Darunnafais: Yordan. Cet. I, 2000. Hal. 11
[26] Ibid, h. 17
[27] http://wildanhasan.blogspot.com/2009/01/metode-kritik-hadits-orientalis.html
[28] http://wildanhasan.blogspot.com/2009/01/metode-kritik-hadits-orientalis.html
[30] Prof DR M. Amhazun, Fitnah Kubro, (terjemah) oleh Daud Rasyid dari hal.39-79
[31] ibid
[34] Ilmu Jarh wa Ta'dil yang sudah sistematis menunjukkan strata tertentu untuk kualitas seorang periwayat hadis. Seperti untuk tingkatan jarh (penilaian negatif) yang paling berat menggunakan kata أكذب الناس (manusia paling dusta), sedangkan tingkatan jarh yang paling ringan digunakan kata حديث ضعف atau فيه مقال . Adapun untuk tingkatan ta'dil (penilaian positif ) yang paling tinggi digunakan kata: أثبت الناس atau أوثق الناس , sedangkan untuk tingkatan yang paling rendah digunakan kata: صالح , يكتب حدييثه atau صالح ا لحديث. Kata-kata seperti ini tidak disepakati oleh seluruh ulama jarh wa ta'dil , terkadang mereka mempunyai rumusan tersendiri untuk menilai status seorang periwayat hadis, baik sisi negatif ataupun positif
[36] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas hadis-hadis shaheh, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), Cet. Ke- I, h. 44
[37] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,( Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), h. 52
[42] Ibn Abi Mulaikah bernama 'Abdullah ibn 'Ubaidillah ibn Abi Mulaikah, ternasuk dalam kelompok tabi'in generasi pertengahan (Thabaqah al-Wustha min Tabi'in), nama julukannya Abu Muhammad. Wafat 117 Hijriyah. Beliau banyak meriwayatkan hadis dari 'Aisyah diantaranya hadis-hadis yang bernuansa kritikan 'Aisyah terhadap Nabi SAW. ataupun para sahabat, maka wajar kalau beliau menyatakan bahwa 'Aisyah adalah orang yang kritis dalam pengertian selalu bertanya pada hal-hal yang belum dipahaminya. Dalam shaheh Bukhari ada 23 hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Mulaikah dari 'Aisyah, dalam Shaheh Muslim ada 13 hadis, dalam Jami' al-Tirmizi ada 10 hadis, dalam sunan An-Nasa'i ada 11 hadis, dalam Sunan Abi Daud ada 6 hadis, dalam Sunan Ibn majah ada 11 hadis, dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal ada 2 hadis dan dalam sunan al-Darimi ada 3 hadis.
[44] Menurut Muhammad Musthafa Azami, yang dimaksud fitnah oleh Ibn Sirin adalah terjadinya perselisihan antara Ibn Zubair dengan Abd al-Malik ibn Marwan sekitar tahun 70 Hijriyah. Sebelumnya juga telah terjadi fitnah antara 'Ali dengan Mu'awiyah. Argumentasi ini sekaligus penolakan terhadap pendapat Schacht, yang mengatakan bahwa fitnah tersebut terjadi pada masa terbunuhnya al-Walid ibn Yazid, 120 H., sedangkan Ibn Sirin wafat tahun 110, maka pendapat Schacht tidak benar dan terbanhtah. (Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah: H. Ali Mustafa Ya'qub, [Jakarta: pustaka Firdaus, 1994], Cet. Ke-I h. 535). Sedangkan menurut Ali Mustafa Ya'qub yang dimaksud fitnah oleh Ibn Sirin adalah terbunuhnya 'Utsman ibn 'Affan tahun 36 Hijriyah. Karena terbunuhnya 'Utsman ibn 'Affan dan al-Husein ibn 'Ali pada tahun 61 Hijriyah yang diiringi dengan lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadis, karena untuk memperoleh legitimasi masing-masing kelompok mencari dukungan dari hadis-hadis Nabi SAW. Apabila hadis hadis yang dicari tidak ditemukan mereka membuat hadis palsu. (Ali Mustafa Ya'qub, Kritik Hadis, [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995], Cet. I, h.3-4)
[45] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas hadis-hadis shaheh, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), Cet. Ke- I, h. 44
[46] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,( Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), h. 52.
[47] Ahmad Fudhaili., Loc. Cit. dan Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak mendapatkan kritik dari 'Aisyah. Imam Badr al-Din al-Zarkasyih Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah,( Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M.) Cet. Ke-IV), mengumpulkan 11 hadis riwayat Abu Hurairah yang dikritik oleh 'Aisyah, ini adalah jumlah terbanyak yang dikritik oleh 'Aisyah, selanjutnya 'Abdullah ibn 'Umar 10 hadis, kemudian 'Umar ibn Khaththab dan 'Abdullah bin 'Abbas, masing-masing 8 hadis. Dilihat dari jumlah hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat semakin banyak pula kritikan yang dilontarkan oleh 'Aisyah
[48] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,( Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), h. 52
[49] Al-Asyubi, Muhammad bin Ali bin Adam. Raf‘ al-Gain amman Yunkiru Subut Ziyadah wa Barakatuh fi at-Taslim min al-Janibain. T.k.: Dar Ulama as-Salaf, 1411 H=1990 M.
[50] http://sukmanila.multiply.com/journal/item/22
[51] Badr al-Din al-Zarkasyi, Op. Cit. h. 104
[52] Shaheh Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qoshriha, Bab Jawaz al-Nafilah Qiman wa Qoidan wa Fi'il Ba'd al-Rak'ati.
[53] Shaheh Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qoshriha, Bab Jawaz al-Nafilah Qiman wa Qoidan wa Fi'il Ba'd al-Rak'ati.
[54] Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak mendapatkan kritik dari 'Aisyah. Imam Badr al-Din al-Zarkasyih Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah,( Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M.) Cet. Ke-IV), mengumpulkan 11 hadis riwayat Abu Hurairah yang dikritik oleh 'Aisyah, ini adalah jumlah terbanyak yang dikritik oleh 'Aisyah, selanjutnya 'Abdullah ibn 'Umar 10 hadis, kemudian 'Umar ibn Khaththab dan 'Abdullah bin 'Abbas, masing-masing 8 hadis. Dilihat dari jumlah hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat semakin banyak pula kritikan yang dilontarkan oleh 'Aisyah.
[55] Shaheh Bukhari, Kitab al-'Ilm Bab Man Sami'a Syaian fa lam Yafhamhu fa Raja'a fihi hatta Yufhimahu
[56] Shaheh Bukhari, Kitab al-Janaiz, Bab Qaul al-Nabi SAW. Yu'azzabu al-Mayyit...
[59] Shaheh Muslim dalam Kitab al-Salam, Bab al-Thiarah wa al-Fa'al.
[60] Kritikan 'Asiyah terhadap hadis ini dari sisi jender, yang terkesan misoginis (merendahkan perempuan) telah dibahas oleh penulis dalam " Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-hadis Shahih" Op. Cit. h.174 - 194
[63] Kritik 'Aisyah yang pertama berkaitan dengan perspektif jender, yaitu ada kesan misoginis (merendahkan perempuan) dalam hadis ini. Untuk kritik 'Aisyah yang pertama ini tidak diperdalam karena tidak relevan dengan sub sudul yaitu "Kritik 'Aisyah dalam konteks fiqh". Akan tetapi kritik 'Aisyah pada hadis ini dalam perspeftif jender telah dibahas dalam " Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-hadis Shahih" Op. Cit. h.166-174
[66] Untuk lengkapnya pembahasan ini lihat " Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-hadis Shahih" Op. Cit. h.166-174
[70] Abu Daud Sulaeman Ibn al-'Asy'asy al—Sijistany, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar el-Fikr, 1994, Jilid III h. 47, no; 4894 ,Kitab al-Fara' idh, Bab fi al-Jaddah.
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جَاءَتْ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ وَلَكِنْ هُوَ ذَلِكَ السُّدُسُ فَإِنْ اجْتَمَعْتُمَا فِيهِ فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا
[71] Shaheh Muslim, Kitab al-Adab, Bab al-Isti'zan
دَّثَنِي عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بُكَيْرٍ النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا وَاللَّهِ يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِي مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَيَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلَّا أَوْجَعْتُكَ فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ لَا يَقُومُ مَعَهُ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ فِي حَدِيثِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَقُمْتُ مَعَهُ فَذَهَبْتُ إِلَى عُمَرَ فَشَهِدْتُ
[72] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab Musnad al-'Asyarah al-Mubasysyarah bi al-Jannah, Bab Musnad 'Utsman ibn 'Affan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي سَالِمٌ أَبُو النَّضْرِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ عِنْدَ الْمَقَاعِدِ فَتَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ لِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ رَأَيْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ هَذَا قَالُوا نَعَمْ قَالَ أَبِي هَذَا الْعَدَنِيُّ كَانَ بِمَكَّةَ مُسْتَمْلِيَ ابْنِ عُيَيْنَةَ
Label: Dirosah Islamiyah
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)