Sabtu, 23 April 2011

Pendekatan dalam Studi Islam


BEBERAPA PENDEKATAN STUDI AGAMA (ISLAM)
 DI INDONESIA
Editor : Drs. Ihsan, M.Pd.I


   I.    PENDAHULUAN
Studi atau kajian Islam, baik yang menyangkut ajaran atau nilai Islam secara domatis maupun Islam dalam tataran aplikatif yang dimunculkan oleh umat Islam sangatlah bermanfaat untuk menilai tata nilai Islam itu sendiri bagaimana umat Islam mereflsksikan nilai keagamaan dalam kehidupan yang nyata. Studi tentang nilai-nilai Islam melahirkan kritik yang mendalam tentang Islam sebagai sebuah ajaran yang diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Kritik tersebut mampu mendorong tumbuhnya kesadaran dan keyakinan absolute tentang kebenar-an Islam, dan bagi mereka yang sengaja mencari titik-titik tertentu untuk dikonfrontirkan dengan nilai keduniaan akan menemukan sisi pandang yang penuh dengan kecurigaan terhadap kebenaran Islam.
Dalam aspek perilaku umat Islam yang diasumsikan sebagai cerminan nilai Islam dalam tataran social keagamaan, studi Islam akan melahirkan kemajemukan prilaku keagama-an yang sangat khas dan penuh makna, sehingga sadar atau tidak terkadang ditemukan perilaku umat Islam yang sepintas bertentangan dengan Islam atau bahkan bertentangan dengan Islam, realitas yang kurang dapat di pahami berdasarkan pendekatan-pendekatan ilmiyah.
Urgensi mata kuliah ini adalah untuk memperkenalkan beberapa temuan teori yang dihasilkan oleh para sarjan Barat dalam melihat Islam di Indonesia. Untuk selanjutnya kita diharapkan bisa mengapresiasi bahkan mengkritisi beberapa temuan mereka. Karena setelah mereka melakukan studi secara intensif, ternyata banyak hal yang harus dan bisa dijelaskan secara ilmiyah mengenai ke-khas-an dan corak ke-Islaman di Indonesia.
Persoalannya adalah, apakah temuan-temuan mereka pada masa itu masih relevan dengan kondisi dan untuk menggambarkan Islam Indonesia sekarang? Apa tujuan sebenarnya dibalik studi mereka dalam melihat Islam di Indonesia? Adakah dampak positif bagi Islam sendiri atau bahkan kesan negatif yang muncul, ketika Islam Indonesia dijelaskan dengan cara-cara seperti itu?
Beberapa pakar studi Islam, misalnya Dr. Amin Abdullah (Rektor UIN Sunan Kalijaga)[1] dan selaku penggagas studi Islam sejak awal telah menyarankan bahwa kita sebagai sarjana muslim Indonesia perlu membaca pandangan-pandangan mereka secara konseptual dan rasional. Apakah aspek-aspek dan metodologi penelitian mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiyah dan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan yang ada pada temuan mereka dalam melihat Islam di Indonesia dari masing-masing perspektifnya?[2]

  II.     PENGERTIAN DAN OBYEK STUDI ISLAM
Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam. Proses ini melibatkan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah saw., para sahabat, sampai ustadz dan para pemikir Islam sebagai pewaris dan perantara yang hidup. Secara kelembagaaan proses transmisi ini berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, kuttab, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah.  Dalam proses tersebut  para  pemeluk  agama  ini telah  memberikan respon, baik dalam pemikiran ovensif maupun devensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektifnya.[3]
Studi ini menggunakan pola kajian Islamic studies sebagaimana berkembang dalam tradisi akademik  modern.  Pola  ini  tidak  sama  dengan  pengertian pendidikan agama Islam (al-tarbiyah al-islamiyah), yang secara konvensional lebih merupakan proses transmisi  ajaran  agama,  yang  melibatkan aspek  kognitf (pengetahuan  tentang  ajaran Islam), afektif dan psikomotor (menyangkut sikap dan pengalaman ajaran). Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu,seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap ilmiah.
Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau memperta-hankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang  di dalamnya  untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya  kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam dari luar) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.
Agama islam ada diantara normatif dan historian, tekstual dan kontekstual. Terdapat 5 bentuk gejala agama yang dapat kita amati dan kemudian melahirkan studi Islam yang penuh dengan khazanah keilmuan yaitu :
A.    Teks, naskah, sumber ajaran, dan simbol-simbol
B.    Penganut , pemimpin, pemuka agama
C.    Ritus ibadat, lembaga
D.    Alat-alat (mesjid, topi/kopiah/peci, sorban, jilbab, dan lain-lain)
E.    Organisasi

Sedangkan dlihat dari aspek Islam sebagai produk sejarah yang membentuk satu komunitas special yang berbeda di antara mereka. Komunitas Islam sebagai produk sejarah tersebut, misalnya :
A.    Islam Syiah
B.    Islam Sunni
C.    Nadhatul Ulama
D.    Muhammadiyah
E.    Ahmadiyah, dan lain-lain.

  III.    PENDEKATAN-PENDEKATAN STUDI ISLAM
Studi Islam yang selama ini berkembang di Indonesia difokuskan kepada lima teori yang dikembangkan berdasarkan hasil-hasil studi para sarjana Barat yang nota bene-nya telah disebut sebagai ahli ke-Indonesia-an (indonesianist). Kelima teori atau pendekatan dalam melihat Islam di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek agama, sosial, politik dan budaya itu di antaranya[4]:
A.    Pendekatan Dekonfessionalisasi
Pendekatan Dekonfessionalisasi dikembangkan oleh C.A.O.Van Nieuwenhuijze.[5] Teori ini menyatakan secara garis besarnya, bahwa sebagaimana yang pernah terjadi di Belanda dalam rangka menyatukan perbedaan antar kelompok agama dan memelihara hubungan politik bersama dalam sebuah negara, maka seluruh identitas keyakinan, simbol-simbol kelompok yang eksklusif harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.
Misalnya saat merumuskan ideologi kebangsaan, Pancasila, semua tokoh menekan kepentingannya masing-masing untuk bisa mengadaptasi dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar, yakni merumuskan visi kebangsaan secara bersama. Dalam kasus di Indonesia ini, dekonfesionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan bersama.
Dalam pandangan Nieuwenhuijze, munculnya rumusan Pancasila sebagai gagasan ideologi dan visi kebangsaan di Indoensia, dimana bukan lagi Islam sebagai azas utama-nya, sebenarnya bukanlah sebuah kekalahan Umat Islam, karena memang secara realistik kelompok yang paling giat dalam banyak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan yang merumuskan menjadi suatu sistem kebangsaan adalah umat Islam. Hal ini terbukti, bahwa dari kelima dasar Pancasila itu, sebenarnya secara keseluruhan adalah mencermin-kan juga ideologi Islam sendiri. Keesaan Tuhan, keadilan sosial, demokrasi, dan kemanu- siaan, semuanya merupakan bagian-bagian penting dari ajaran Islam dan konsep Islam.
Dalam kacamata Nieuwenhuijze, para tokoh Islam di Indoensia sangat “cantik” dalam memainkan peran mereka untuk mengakomodasi kelompok lain, tapi secara realistik keberadaan mereka sendiri tetap tersalurkan secara utuh. Ini merupakan suatu bentuk penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip Islam yang sedemikian rupa dalam rangka memapankan relevansinya dengan kehidupan politik modern.

B.    Pendekatan Domestikasi Islam
Pendekatan Domestikasi Islam dikembangkan oleh Harry J. Benda.[6] Ia menggam-barkan, bahwa Islam walau sehebat apapun perkembangannya di Indonesia, kekuatan lokal senantiasa terus memainkan dominasinya sehingga dinamika Islam yang sesungguh-nya itu lumpuh, “terdomistikasi” dalam lingkup lokalitasnya. Fenomena “sinkretik” merupakan sesuatu yang sangat realistik untuk segera menyatakan bahwa kekuatan Islam yang agung itu selalu termakan oleh kekuatan lokalnya. Bahkan bukan sekedar itu, dalam pandangan Benda, bangkitnya kesultanan Mataram, sebenarnya merupakan sebuah penolakan terhadap Islam yang sebenarnya di Demak. Benda menggambarkan, Mataram Islam sebenarnya sebagai sebuah simbiosis dari kekuatan Hindu Jawa, dan ia merefleksikan simbol kekuatan yang sesungguhnya dalam melawan kekuatan Islam peisisir Demak sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada antara abad ke-16–18 yang mudah diamati itu, sekali lagi sekali memberi kenyataan Islam yang universal dan kosmopolit itu takluk di dalam dekapan “Jawa-Hindu-Mataram”: Dalam konteks “pemandulan politik Islam” yang sebenarnya inilah Harry J Benda menemukan teori “domestikasi”-nya. Kekuatan nasionalis dalam personifikasi Soekarno dalam partai PNI, juga bentuk kelanjutan dari upaya yang terus mendominasi dan “mengkrangkeng” beberapa kekuatan Islam skripturalis seperti halnya DI dan Masyumi untuk kemudian digantikan dengan Pancasila yang pada dasarnya bukan Islam. Dalam kacamata Benda, Pancasila sebenarnya sebagai personifikasi bentuk kekuatan dan kemenangan Jawa. Dalam hal ini ia menyatakan : “Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, padahal yang pasti bukan Islam”.[7]
Pada kesimpulannya teorinya, Benda ingin menyatakan, bahwa fenomena pasca kolonislisme dimana akumulasi proses terbentuknya sistem dan visi kenegaraan dan ke-bangsaan, merupakan suatu pengulangan ajang pertempuran, perebutan antara kekuatan Islam dan Jawa. Kemenangan akhirnya dipegang oleh kelompok yang terakhir ini.

C.    Pendekatan Skismatik dan Aliran.
Pendekatan ini dikembangkan oleh Robert Jay[8] dan Clifford Geertz[9]. Pandangan Jay dalam melihat Islam di Indonesia nampaknya agak mirip seperti apa yang dilihat oleh Harry J Benda, bahwa di Indoensia khususnya Jawa Tengah, ada suatu kekuatan di luar Islam yang senantiasa menyaingi bahkan “menjinakan”nya. Benda menyebutnya sebagai kekuatan Hindu-Jawa, sedangkan Jay melihatnya sebagai kelompok abangan.
Teori skismatik yang dia bangun menunjukkan bahwa akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan ini sebenarnya bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis, terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatn Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman seperti bekas-bekas kekuatan kerajaan Majapahit di Mataram dan Singosari di Malang, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.
Secara umum kekuatan dua kelompok ini, terus berjalan pada pascakolonialis dan masa-masa pembentukan visi kenegara. Keduanya mengkristal dalam wadah yang di-sebut, “ortodoksi” yang berakar dari para santri dan kelompok “sinkretisme” yang berakar dari kelompok abangan.
Berbeda dengan Jay, Clifford Geertz bisa mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok apa yang disebut “priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah kareakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan. Sehingga ia menambahkan lagi, ternyata ada kekuatan-kekuatan lain di luar Islam selain abangan, yakni priyayi, sehingga ia menyebutnya teori aliran dalam keberagamaan Islam di Jawa.
Temuan ini secara langsung ia dapatkan ketika meneliti secara serius pada komunitas perkampungan Mojokuto sebagai mikrokosmik kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Jawa. Secara jelas ia ungkapkan ketiga aliran ini sebagai berikut: “Abangan menekankan pada aspek-aspek animistic dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur-unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan terhadap pelaksanaan aspek-aspek Islam yang pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang –juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani; priyayi menekankan aspek-aspek hinduistik dan berkaitan dengan unsur-unsur birokrasi…”
Ketiga varian ini pada kegiatan politik pascakolonial telah merefleksikan aspirasi politiknya pada pemilu tahun 1950-an pada partai-partai yang beragam; abangan dan priyayi mayoritas suara politiknya mereka salurkan pada partai “komunis” dan “nasionalis” yakni PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia), sedangkan kelompok santri menyuarakan aspirasinya pada Masyumi atau Nahdlatul Ulama (NU).
Arti penting pendekatan/teori Geertz ini, telah memberi gambaran tentang adanya realitas kelompok aliran dalam kehdipan sosial, budaya dan politik serta agama dalam masyarakat Jawa. Dan pada masa kekuasaan Orde Baru, realitas ketiga aliran ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang permanen dalam bangunan politik di Indonesia. Soeharto memberikan kebijakan dengan membubarkan partai-partai kemudian meleburnya menjadi tiga kelompok wadah poliitik; PPP dengan simbol Ka’bah dan nampaknya sebagai wadah para santri; Golkar sebagai kekuatan birokrasi pemerintahan dan Partai demokrasi Indonesia mewadahi kelompok nasionalis-abangan.

D.    Pendekatan Trikotomi.
Teori ini dikembangkan oleh Allan Samson.[10] Samson melihat karakteritik Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Termasuk kategori “santri’ pun haruslah dilihat sebagai sesuatu yang kompleks, terutama dalam mengekspresikan keagamaan dan kemauan politiknya.
Dalam kenyataannya, kelompok santri di Indonesia (NU, Muhamadiyah dan Masyumi) setidak-tidaknya memilki karakter yang sangat variatif; ada yang fundamentalis, reformis dan akomodatif. Yang dimaksud kelompok-kelompok santri dalam pandangan Samson di antaranya adalah mereka-mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai basis dan norma-norma dalam berpolitiknya. Akan tetapi perbedaan itu terasa akan nampak dalam penyikapan mereka terhadap keinginan, gagasan, ide dan kemauan politiknya terutama ketika menghadapi realitas yang berbeda.. Kenyataan berpolitik mereka tercermin dari karakter masing-masing gerakan dan startegi yang dilakukannya. Secara jelas, warna-warna santri dalam berpolitiknya bisa di kategorikan sebagai berikut:
1.    Fundamentalis. Adalah sekelompok santri yang biasanya ingin menempatkan agama dalam segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kelompok ini diwakili oleh sejumlah politisi semacam M.Natsir. Mereka pada umumnya tidak bisa melakukan tawar-menawar dalam kehidupan politik. Mereka lebih tegas memegang prinsip dan cita-cita politiknya.
2.    Reformis. Adalah mereka yang ingin menempatkan secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik. Termasuk dalam membangun relasi dan bagi penerapan kepentingan Islam. Mereka juga sebenarnya ingin menempatkan Islam pada posisi strategis di tengah-tengah kekuatan lainnya. Kelompok ini tercermin pada karakter Soekarno dalam membangun kompromi antara agama dan ideologi lainnya.
3.    Akomodisionis adalah kelompok santri juga namun mereka lebih terbuka, sekalipun sepintas nampak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Nampaknya, sikap politik dari kelompok ini sebenarnya ada sesuatu yang akan diraih jauh lebih besar dalam merangkul dan mengambil posisi penting lainnya. Sehingga seolah-olah ada sesuatu yang berani mereka korbankan. Kelompok ini lebih tercermin misalnya dalam gaya berpolitik di kalangan orang-orang NU, terutama ketika Soekarno mengusulkan adanya penggabungan kekuatan utama ideologi politik di Indonesia, yakni Nasionalis, agama dan Komunis. Hanya satu-satunya kelompok santri yang bisa menerima ideologi seperti ini. Alasannya adalah, jika semua santri meninggalkan kebijakan ini, siapa lagi yang bisa mengendalikannya.

Kategori Allan Samson ini sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang permanen dalam politik Islam di Indonesia. Mereka para fundamentalis ini bisa jadi menjadi akomo-datif dalam hal-hal tertentu. Namun sebagai sebuah tipologi gerak-an bisa menunjukkan sesuatu yang permanen, tetapi subjek yang berada di dalamnya bisa saja berubah-ubah.
Istilah-istilah fundamental, reformis dan akomodatif bisa jadi hanya sebagai sebuah metode gerakan dan strategi politik. Bisa jadi juga sebagai lobying atau jalan berfikir bahkan alat negosiasi dalam dunia politik.

E.    Pendekatan Islam Kultural.
Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson.[11]  Secara umum orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson menyatakan sebalik-nya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya? Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia. Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk dal;am semua lini.. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan kemam-puannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan agama serta seni dan kebudayaannya. Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an, misalnya dengan masuknya K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab sebagai guru ngaji keluarga Soeharto, kyai mulai aktif di berbagai kepentingan pemerintahan (program KB,  Puskesmas, transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya). Kelanjutan dari ini, akhirnya para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.
Akhirnya Soeharto sebagai penguasa tunggal sangat dekat dengan Islam, bahkan Ia ikut membidani lahirnya Bank Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, ICM, ia seolah merestui sejumlah “ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi (simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri) selaku wakilnya untuk menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desak-an reformasi. Semua fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjuk-kan kemengannya dalam realitas politik, sosial dan budaya.

Kelima teori/pendekatan di atas nampaknya belum bisa memberikan jawabannya secara utuh. Namun secara sosiologis dan psikologis, situasi sekarang ini nampaknya sebagai bentuk respon yang “tentatif” akibat dari situasi sebelumnya, dimana pengaruh Orde Baru yang begitu kuat, tegas dan refressif serta dominan dalam memegang kekuasaan di semua lini, tiba-tiba dikejutkan oleh arus reformasi yang mendobraknya secara radikal. Sehingga, sebenarnya reformasi tahun 1987-an itu kurang tepat untuk disebut “reformasi,” tapi lebih tepat sebagai suatu bentuk revolusi sosial dan politik yang sangat “fundamental”. Sehingga semua kelompok sosial yang terpingirkan, merasa mendapat angin segar untuk bisa bebas bersuara dan mencoba mengekspresikannnya dalam jalur-jalur dan potensi yang dimilikinya.
Dalam kajian keislaman yang umum dilaksanakan terhadap apek atau nilai-nilai Islam yang kemudiaan dikaitkan dengan perilaku umat Islam di Indonesia lebih banyak menyentuh kepada aspek filosofis, sosiologis, antropologis, fenomenologis, hsitoris, theologies, normative dan deskriptif. Pendekatan-pendekatan tersebut lebih banyak dikaji dalam konteks studi Islam di Indonesia, termasuk didalamnya karya-karya intelektual muslim Indonesia. Berikut adalah pendekatan-pendekatan kajian Islam[12] :
A.    Pendekatan Theologis
Pendekatan theologies diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggu-nakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiric dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar di bandingkan dengan yang lainnya.[13] Amin Abdullah mengatakan bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bias pasti mengacu kepada agama tertentu, loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahsa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan cirri yang melekat pada bentuk-bentuk pemikiran teologis.[14]
Karena sifatnya yang partikularistik, maka dengan muda kita menemukan teologi Islam, Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan dan begitu seterusnya. Dalam perspektif Islam, kita menemukan banyak bentuk aliran teologi baik yang berkembang dimasa awal-awal Islam, misalnya teologi syiah, murji’ah, Murji’ah, dan khawarij, maupun yang berkembang di masa kemegahan dan kemajuan umat Islam, misalnya teologi Mu’tazilah (qodariyah), teologi Asy’ariyah dan teologi Maturidiyah.[15] Sayyed Hosein Nasr mengelompokkan teologi komtemporer dalam 4 prototype yaitu fundamentalis, modernis, missianis dan tradisionalis.[16]
Pendekartan teologi dalam pemahaman keagamaan lebih menekankan pada bentuk forma atau symbol-simbol keagamaan tersebut dengan mengklaim dirinya sebagai yang paling benar (mu’min-surga) sedangkan yang lainnya salah (kafir-neraka), kelompok yang satu dengan kelompok lainnya tidak terbuka, sehingga tidak ada dialog dan saling menghargai yang pada gilirannya mendorong lahirnya eksklusifisme agama. Dalam kaitan ini Amin Abdullah mengatakan mengapa ketika form keberagamaan manusia pecah dan termanivestasikan dalam bentuk formal teologi agama tertentu, lalu teologi tersebut menuntut hanya kebenaran teologinya yang paling benar atau unggul. Fenomena inilah yan disebut sebagai truth claim yang menjadi dasar sifat teologi, sudah barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of thought yang bersifat partuikularistik, eksklusif dan sering intoleran.[17]

B.    Pendekatan Normatif dan Deskriptif
Pendekatan Normatif adalah pendekatan kajian terhadap islam berdasarkan nilai norma-norma atau aturan yang pokok dan asli dari tuhan. Pendekatan ini mendasarkan pada dogma tekstual yang tertuang dalam ajaran suatu agama. Muhammad Latif Fauzi dalam suatu karya telaah terhadap karya Charles J. Adam memberikan penjelasan yang komplek berkaitan dengan model-model normative dalam kajian keagamaan, terutama yang berkembang dikalangan kristiani.[18]
Menurutnya Latif Faauzi, Charles J. Adam dalam memahami situasi nilai keagama-an membagi pendekatan normative menjadi :[19]
1.     Pendekatan missionaris tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat. Untuk itu dibangun pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan pen-jajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu (missionaris tradisional-penjajah) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap per-kembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu, karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan mission-naris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekat-an missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.

2.     Pendekatan apologetic
Pendekatan apologetik dapat dimaknai sebagai respon umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik.[20] Sayangnya, pendekat-an ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal me-lawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.

3.     Pendekaran Irenic
Pendekatan Irenic merupakan usaha memadukan cara pandang antara para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan. Gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat dengan tujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu, menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahasa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.[21]
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama,  pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.

Pendekatan deskriptif berusaha menggambarkan obyek secara detail berkaitan dengan aspek filologis-historis, sosial dan fenomenologis. Dalam perspektif historis-filologis, keduanya merupakan satu kesatuan, walaupun sesungguhnya Charles J Adams lebih cenderung kepada aspek filologinya dari pada aspek historisnya. Dalam pendekatan yang bersifat deskriptif, Adams membagi ke dalam tiga komponen, yaitu:
1.    Pendekatan filologis dan sejarah
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu permasa-lahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli sejarah dapat benar-benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya dengan petunjuk-petunjuk dari peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu orang dapat mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta menyadari keadaan masa kini maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang dimaksud dengan perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkem-bangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.
Adams mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri pengetahuan yang paling produktif dalam studi Islam adalah filologis dan historis. Lebih dari 100 tahun sarjana Islam dibekali dengan dasar bahasa dan mendapat training metode filologis yang dapat mengantarkan kepada pemahaman teks sebagai bagian dari warisan klasik.[22]
Hasil dari studi dengan pendekatan filologis, menurut Adams, adalah sebuah sumber pustaka (literatur) yang dapat menyentuh semua aspek kehidupan dan ke-salihan umat Islam. Tidak hanya menjadi rujukan pengetahun Barat tentang Islam dan sejarahnya, filologis juga memainkan peranan penting di dunia Islam. Outcome dari pendekatan filologis dan historis ini sebagian besar telah dimanfaatkan oleh para intelektual, politisi, dan sebagainya. Selain itu, filologi harus turut andil dalam studi Islam. Hal terpenting yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim adalah kekayaan literatur klasik seperti sejarah, teologi, dan mistisisme. yang kesemuanya tidak mungkin di-pahami tanpa bantuan filologi.
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga pendekatan, yaitu tafsir, content analysis, dan hermeneutika. Ketiga pendekatan tersebut tidak terpisah secara ekstrim. Pendekatan-pendekatan itu bisa over lapping, saling melengkapi, atau bahkan dalam sudut tertentu sama.[23] Filologi berguna untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik, makna kata-kata dan ungkapan terhadap karya sastra.[24]
Sedangkan sejarah atau historis merupakan ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.[25]
Ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisis sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi dan derivasi darinya. Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan, dan perkembangan.dengan analisis ini, manusia dapat dipahami secara kesejarahan. Kendati Adams menyebut pendekatan ini dengan filologis historis, tampaknya ia lebih cenderung kepada yang pertama, karena porsi penjelasan tentang filologis lebih besar dari pada historis. Bisa jadi, karena hubungan antara kedua pendekatan itu sangat erat sehingga bagi Adams berbicara filologis termasuk di dalamnya pendekatan historis.[26]

2.    Pendekatan ilmu-ilmu social
Sangat sulit untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan “pendekatan ilmu sosial” terhadap studi agama terutama semenjak terdapat banyak pendapat di kalang-an ilmuwan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan.[27]
Dalam wilayah studi agama, usaha yang ditempuh oleh pakar ilmu sosial adalah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan masyara-kat. Tujuannya agar dapat menemukan aspek empirik dari keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya, profan (membumi).[28] Walaupun ilmu ini juga mempunyai kekurangan, yaitu melakukan reduksi pemahaman seseorang terhadap agama.
Dalam diskursus penelitian agama di Indonesia, Mukti Ali misalnya menyatakan bahwa Islamisis dan atau agamawan lebih cenderung untuk mempelajari ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena: pertama, salah satu ciri pemikiran ahli agama adalah spekulasi teoritis. Menurut mereka pemikiran spekulasi teoritis itu ternyata tidak dapat memecahkan masalah. Kedua, mereka menyadari bahwa usaha memahami masyara- kat religius harus juga didekati dengan metode empiris, dengan demikian ilmu sosial menjadi perlu. Ketiga, dalam kasus tertentu, pendekatan secara deduktif seringkali menimbulkan “kekecewaan”. Untuk hal ini, maka selain pendekatan secara deduktif, pendekatan secara induktif harus dikembangkan, yaitu mengajukan berabagi macam fakta sebagai bukti kebenaran yang umum. Dalam konteks ini, mutlak diperlukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sosial.[29]
Menurut Atho’ Mudzhar, agama merupakan gejala sosial dan budaya.[30] Cakup-an objek studi agama (Islam) dalam perspektif sosiologis, menurutnya, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tema kajian, yaitu (1) pengaruh agama terhadap masyarakat, (2) pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan, (3) tingkat pengamalan beragama masyarakat, (4) pola interaksi sosial masyarakat muslim, dan (5) gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama.

3.    Pendekatan Fenomenologis
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggu-nakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini (epoche) sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.[31]
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang apa yang yang disebut dengan ritual dan uapacara keagamaan, doktrin, reaksi sosial terhdap pelaku “drama” keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang relatif kebenarannya, pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasional, ia membutuhkan perangkat lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.[32]
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara harfiah berarti “gejala” atau “apa ayng telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi kita. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dalam operasionalnya, fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide, emosi, maksud, pengalaman, dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar.[33]
Pendekatan fenomenologi berusaha memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia. Pendekatan feno-menologi berupaya untuk mencari esensi keberagamaan manusia. Usaha pendekatan fenomenologi agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalannya agar tidak terlalu jauh melampaui batas-batas ke-wenangannya.[34]
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.

C.    Pendekatan filosofis
Yang dimaksud pendekatan filosofis adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk me-mecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata.
Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-masa-lah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjut-nya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini

D.    Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain,  interaksi seseorang induvidu dengan individu  yang  lain, atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan organisasi.
Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.[35]
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.

E.    Pendekatan antropologis
Antropologi didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau.[36] Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.[37]
Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :[38]
1.    Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
2.    Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
3.    Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
4.    Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.

Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran dalam antropologi agama, diantaranya :[39]
1.    Aliran Fungsional - Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
2.    Aliran Historis - Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ia berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
a.     Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
b.     Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
c.     Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
3.    Aliran Struktural - Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu factornya.[40] Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman (bersilaturahmi kepada yang lebih tua) adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum, selalu original. Mengingkari keter-pautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.[41]
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam. Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.[42]
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, dimana proses institusionalisasinya dalam masayarakat melalui guru dalam sebuah lembaga pendidikan[43] atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.[44]
Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.[45]
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960-an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.[46] Pandangan Geertz yang mengungkap-kan tentang adanya trikotomi; abangan, santri dan priyayi di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Keter-pengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya dipahami oleh Harry J. Benda sebagai kultur Santri yang mengintervensi dan memberi pengaruh terhadap kehidupan social, agama dan politik yang kemudian member pengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik.[47] Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.[48] Namun dalam pemilu 1977, terjadi polarisasi politik aliran yang justru keluar dari pakem trikotomi Geertz – lebih dari 86 % pemilih yang memberikan suaranya ternyata bukanlah kelompok santri, melainkan kelompok lain dimana mereka tidak dapat disebut santri karena tidak mau melaksanakan sholat lima waktu, tidak pula mau disebut sebagai kelompok abangan. Mereka memilih partai Islam karena khawatir kalau mati mereka tidak di tahlili dan di talqin secara Islam, sehingga kemungkinan masuk nereka.[49]
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.[50]
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahas-an tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal.[51]
1.    Penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai “tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
2.    Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan.[52] Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap memperta-nyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan social dan fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi-sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Ter-masuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan ter-hadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definisi ini menunjukkan kecenderungan melakukan generali-sasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecen-derungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme.[53]
Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain.[54] Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.[55]
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life[56], telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Australia sampai ke agama yang well structured dan well organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual.[57] Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkap-kan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah “struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral”.[58] Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.[59]
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi.
Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat se-bagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan (misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting.
1.    ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain.
2.    ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat.
3.    ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab, dan
4.    ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat.

Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi (strukturalis, fungsionalis dan sim-bolis) yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme.[60] Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji,[61] dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber.[62] Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Geertz disamping meneliti komunitas muslim dari aspek cultural politik sebagaimana yang ditulisnya dalam The Religion of Java, dengan meletakaan tradisi keagamaan masyarakat Mojokuto, dia juga mengkaji keterkaitan komunitas muslim dalam perspektif kegiatan ekonomi. Menurut Geertz, etik ekonomi dalam Islam telah menciptakan santri trading element dalam struktur ekonomi orang Jawa. Sedangkan worlike ethic daripada kaum priyayi telah menciptakan priyayi bureaucratic element dan etika abangan telah menciptakan impoverished class of abangan.[63] Asumsi etik ekonomi santri tersebut ternyata tidak sesuai dengan komunitas muslim pada suku Madura, Betawi dan orang-orang Jawa di daerah lain – walaupun mereka termasuk komunitas muslim yang taat, ternyata tidak tercipta dikalangan mereka jiwa entrepeneurship sebagaimana yang diharapkan oleh Geertz.[64]
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melain-kan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “fenomena” atau sebuah kerangka “desconstruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnya dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, globalisasi berarti diterima-nya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai yang mendorong terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkinkan manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy).[65] Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington dimana kebangkitan dan keberadaan Islam dianggap sebagai ancaman baru.[66] Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai “international morality”, suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.
Dalam perspektif Islam di Asia Tenggara, maka kajian dengan pendekatan antropologis menggunakan pendekatan cross culture untuk melihat realitas empiris masyarakat dalam wilayah yang luas. Kajian Islam di Asia Tenggara pada dekade 1980-an dan sebelumnya, tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard ataupun dalam bahasa John L. Esposito[67] dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian yang lebih dari peneliti antropologis.
1.    perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling intens mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut.
2.    corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemah-an Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.
3.    Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus mem-bentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara member-kan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu, membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.

Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara.[68]
1.    kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai “menjadi Melayu.”
2.    beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (istilah di pinjam dari Karl Manheim).
3.    bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam (Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam)

 IV.     BEBERAPA KARAKTERISTIK METODE PENGKAJIAN ISLAM
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama pada masa sebelum abad ke –19 memiliki beberapa karakteristik yaitu, sinkritisme, penemuan area baru, dan untuk kepentingan misionari. Dipicu oleh semangat dan kemajuan sains dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi agama mengalami perubahan.
Studi-studi agama tidak lagi bersifat bersifat primordial atau bersifat hanya untuk kepen-tingan penyebaran agamanya, tetapi lebih didorong oleh semangat metodologis atau ilmiah, yakni berangkat atas dasar kepentingan dan perkembangan ilmu pegetahuan. Maka muncullah berbagai kajian agama dengan metode dan pendekatan yang beragam pula, sesuai dengan kecenderungan dan keahlian akademik para masing-masing sarjana itu sendiri.
Beberapa kecenderungan pengkajian agama dapat dilihat setidaknya atas tiga alasan, yaitu; pertama, kemajuan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran-pemikiran ilmiah mempengaruhi dinamika beragam sehingga minat intelektual untuk mengkaji agama secara lebih mendalam sangat tinggi. Kedua, kecenderungan untuk merekonstruksi agama dalam upaya mengembangkan semua urusan dunia. Ketiga, pengaruh-pengaruh sosial, politik, dan peristiwa-peristiwa internasional yang mempengaruhi agama-agama.
Dari berbagai macam pendekatan studi Islam di atas timbul suatu metode studi Islam yang secara lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:
A.    Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkon aspek sejarah, metode ini member-kan kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembang-an ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah dan mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran Islam. Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.
Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode pemaham-an terhadap suatu pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di samping sirah nabi SAW dengan segala alam pikirannya.

B.    Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga meng-utamakan telaah teoritis. Metode diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
1.    Islam adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia.
2.    Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
3.    Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu struktur yang unik.
4.    Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali Imron: 104)
5.    Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengn jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)
C.    Metode Problem Solving (hill al musykilat) - Metode mempelajari Islam untuk mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.
D.    Metode Empiris (Tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui prosed realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaktif dapat dirumuskan dan suatu sistem norma baru.
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
1.    Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam (QS. Ali Imron: 104)
2.    Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
3.    Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia-akhirat (Asy-Syura: 13).
4.    Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
5.    Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif (QS. Fushilat: 53)

E.    Metode Dedukti - Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.
F.     Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah) - Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu:
1.    Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik yang umum.
2.    Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
3.    Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya dan
4.    Implikasi formulasi yang baru tersebut.


  V.    MATERI STUDI ISLAM[69]
A.    Studi Tentang Al Qur’an
Studi tentang Al Qur’an dimulai dari aspek isi atau substansinya, fungsi Al-Quran sebagai tersurat dari nama-namanya, misalnya Al Huda (petunjuk bagi menusia secara umum/QS.  Al-Baqarah: 185, petunjuk bagi orang yang bertaqwa/ Qs. Al-Baqarah: 2, dan petunjuk bagi orang beriman/QS. Fushilat: 44). Al-Furqan, Al-Shifa (QS. Yunus : 570), Al-Mau’idzah/nasihat (QS. Ali Imran: 138), Al-Mubin (QS. Al-Maidah : 15), dan al-Mubarak/ yang diberkati (QS Al-An’am : 92).
Al-Quran berisi 30 juz, 114 surat, dan ± 6236 ayat. Yang terbagi dalam dua kelompok yaitu ayat-ayat Makkiyah (± 4789 ayat) dan ayat-ayat Madaniyah (± 1456 ayat)  dengan rincian penganturan ayat-ayat dalam Al-quran: ± 10 ayat (hubungan antara kaya dan miskin), ± 10 ayat (kenegaraan) ± 13 ayat (pengadilan), ± 25 ayat (hubungan muslim dan non muslim), ± 30 ayat (pidana), ± 70 ayat (kekeluargaan, perkawinan, dan waris), ± 70 ayat (perekonomian, jual beli, sewa, pinjam meminjam), ± 136 aya (keimanan, tuhan, malaikat, Rasul, Kitab dan hari Akhir), ± 140 ayat (ibadah, sholat, zakat, puasa, haji), ± 150 ayat (sains), dan 228 ayat (dasar-dasar kemasyarakatan).
Al-Quran merupakan hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya merupakan undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan jalan qoth’i (absolut), yang kebenarannya tidak boleh diragukan, alasan lain bahwa Al-quran sebagai mukjizat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru Al-Quran itu memang ternyata tidak ada yang mampu meniru. Macam-macam hukum di dalam Al-Quran :
1.    Ahkam ’itiqodiyah yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang harus dipercaya oleh mukalaf, yang disebut rukun iman.
2.    Ahkam Khuluqiyah yaitu hukum yang berkaitan erat dengan masalah yang harus dipakai setiap mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan menghindarkan diri dari kehinaan.
3.    Ahkam ’Amaliyah yaitu hukum yang erat hubungannya dengan seluruh tidakan atau perbuatan mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad) dan kegiatan –kegiatan lainnya dan hidup sehari-hari. (Selanjtunya diperdalam dalam Ulumul Qur’an)
B.    Studi Tentang Al Hadits
Secara umum kajian tentang hadits menyangkut masalah-masalah under-standing al-hadi, sunnah, khabar dan atsar. Pengertian tersebut menyangkut pengertian bahasa dan Istilah yang kemudian melahirkan banyak permasalahan definitive, status dan legalitasnya dalam perspektif ajaran Islam.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Kajian tentang dimulai dari aspek periwayatan sejak hadits itu diterbitkan dalam perspektif normative pada masa Rasulullah, masa Shahabat, Tabiin dan sampai kepada generasi berikut, susunan kata (redaksi), proses pewarisan, kodifikasi dan hal-hal teknis yang berkait dengan keberadaan hadits. Kekuatan legalitas hadits dimata sumber hukum Islam terutama Al Qur’an, kualitas mana yang dapat digunakan sebagai sumber hukum, fungsi dan kedudukan hadits dalam tata hukum Islam. Kritik yang mendalam tentang hadits meliputi tiga hal yaitu matan, sanad dan rawi. Ketiga hal tersebut memberikan arah pengkajian yang tiada henti dalam aspek keilmuan hadits. (Selanjutnya baca pada ulumul Hadits).

C.    Kajian Tentang Theologi (Al Kalam)
Al Kalam adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin), Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan  berupaya  membuktikan  keabsahannya  dan  menjawab  keraguan terhadap akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran manusia. Obyek Pembahasan Ilmu Kalam :
1.    Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan keya-kinan mengenai pengetahuan informatif  (al-ma’rifah al-khariyyah), khususnya  yang  dibawa oleh Rasul,  tujuannya untuk  meng-counter pandangan Thummamiyyah dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
2.    Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
3.    Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksistensi tuhan cahaya  (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
4.    Masalah  sifat  Allah dan  hubungannya  dengan  zat-Nya,  apakah zat-Nya  sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (aksiden)  serta aqnumiyah (oknum  dalam  teologi  kristen)  yang digunakan untuk menjustifi-kasi konsep teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.
5.    Masalah  tanzih (pensucian)  Allah  dan  penolakan  tasybih (penyeruan  Allah), tujuan untuk  membantah pandangan orang  yahudi yang  menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.
6.    Masalah  kalam  Allah,  baik qadim  maupun  baru, iini terpengaruh dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah. Menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah.
7.    Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (Hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad.
8.    Masalah ke-ma’shum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudi bahwa Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Ma’shum.
9.    Masalah tempat  kembali (al-mi’ad)  yang  membantah pandangan reincarnation (penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.
10.  Masalah al-jabr  wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak) yang ter-pengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.


D.    Kajian Tentang Sejarah (Tarikh) Islam.
Sejarah keberadaan umat Islam memberikan nuansa tersendiri dalam kajian ke-islaman, terutama yang menyangkut kemampuan umat Islam memproduksi belbagai kekayaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih pada abad pertengahan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkembang lebih banyak menganalisisr darimana umat Islam memiliki kemampuan sains yang luar biasa tersebut. Factor-faktor apa saja yang mendorong umat Islam sangat bergairah terhadap pengembangan sains dan mengapa mereka mengalami kejenuhan intelektual yang kemudian berkembang menjadi kemandegan dan keterpurukan kebudayaan.
Kajian sejarah keislaman dimulai dari pembagian kesejarahan umat Islam yang kemudiaan memperlihatkan secara hierarkis berkembangan kemampuan umat Islam secara keseluruhan (selanjutnya dapat dibaca pada Sejarah Islam karya Muhammad Haekal, Jurji Zaidan, Lord Stodard, A. Hasjmi dll).

E.    Kajian Tentang Tasawwuf
Tasawwuf menurut etimologi, AHLU SUFFAH = kelompok orang pada zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata SHAFA, orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Di hadapan Allah. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani SAUFI yang berarti kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol).
Tasawuf  berdasarkan istilah : Pertama, memasuki  segala  budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah (Al-Jurairi), dan ia  memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa  yang  hak adalah  yang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu Adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung (Al- Junaidi).
Dalam perjalanan sejarah, tasawwuf berkembang dalam 5 Fase perkembangan:
1.    Fase Askestisme (zuhud). Berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap semacam ini dipandang pengantar kemunculan tasawuf diman setiap individu dari kalangan muslim memusatkan dirinya pada ibadah dan pendekatan diri pada Allah SWT, mereka tidak mementingkan kenikmatan duniawi dan kemudian berpusat pada kenikmatan akherat, Tokoh yang populer pada fase ini adalah hasan Al Basri (110 H) dan Rabiah Al Adawiyah (185 H) keduanya dalam sejarah disebuth seorang zahid
2.    Fase Akhlaki; Pada fase ini tasawuf berkembang pada abad ke III H, dimana para sufi mulai ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia. Pada saat manusia ketika itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi moral yang cukup akut, sehingga dari sini tasawuf mulai berkembang dengan pesat sebagai ilmu moral keagamaan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat, dari sini kemudian nampaklah bahwa ajaran tasawuf semakin sederhana dan mudah dipraktekkan dengan standar akhlak.
3.    Fase Al-Hallaj. 1 abad kemudian, muncul tasawuf jenis lain yang lebih ekslusif dan fenomental yang  diwakili oleh al-Hallaj,  beliau  mengajarkan tentang  kebersatuan manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya adalah wahdatul wujud (bersatu dengan wujud yang satu). Dari konsep ini kemudian Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus dihukum mati, untuk sebuah konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam masih sangat indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap membahayakan stabilitas umat.
4.    Fase Tasawuf Moderat. Kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar abad kelima hijriyah dengan seorang  tokohnya  yaitu  Imam  Ghazali,  yang  sepenuhnya  hanya  menerima tasawuf yang  berdasarkan al-Quran dan Al-Hadist, serta menekankan kembali askestisme. Al-Ghazali telah berhasil menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang moderat, akibat pengaruh kepribadian iman al-Ghazali yang begitu besar, maka pengaruh  tasawuf  dengan  dasar  moderat  ini  telah  meluas  hampir  keseluruh pelosok dunia islam, lalu  mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian mengembangkan  tarekat  tertentu  untuk  murid-murid  mereka, seperti  Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani.
5.    Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase ini tasawuf mulai dipadukan dengan filsafat yang muncul pada abad ke 6 Hijriah, tokoh yang muncul Syuhrowardi al Maqtul (549 H), Syek Akbar Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632 H) mereka memcoba menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan askestisme dengan filsafat yunani khususnya neo-Platonisme. Teori –teori yang mendalam khususnya mengenai jiwa, moral, ilmu tentang wijud menjadi hal yang urgensi dalam prinsip berfikir mereka.

Dalam perspektif tasawwuf akhlaki, tasawuf disini dimaksudkan untuk merubah dan memperbaiki akhlak yang mulia. Dalam pemikiran  ini tidak  hanya  bersifat lahiriyah tapi juga  batiniyah,  dengan latihan (riyadoh) tujuannya adalah menguasai hawa nafsu. Untuk  itulah tasawuf akhlaki  menerapkan  terapi  pembinaan  mental  dan akhlak  yang  disusun  sebagai berikut :
1.    Terapi takhalli adalah  mengosongkan  diri dari prilaku-akhlak  tercela, adalah langkah awal yang harus dijalani seorang sufi, untuk memasuki dunis tasawuf yang suci. Kerena akhlak tercela adalah perangkap kenikmatan duniawi.  Sebagai  penghalang  perjalanan  seorang  hamba  pada  Tuhannya, untuk mencapai spiritual yang hakiki, Akhlak tercela lainnya yang paling berbahaya adalah Riya(suka pamer). Imam Al-Ghazali menganggap penyembuhan diri yang masuk dalam politeisme.
2.    Terapi Tahalli, dilakukan agar seseorang dihiasi oleh sikap, prilaku dan Akhlakul karimah, Tahap ini dilakukan setelah tahap pertama selesai, lalu mereka akan selalu berusaha berjalan diatas ketentuan agama, tahap ini  adalah  isi  dari pembersihan diri dan pengosongan jiwa. Beberapa hal yang harus diisi dalam menghiasi beberapa prilaku tadi adalah :
a.     Taubat adalah penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai dengan per-mohonan ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbukan dosa itu kembali
b.    Cemas  dan  Harap (Konsep Hasan Al-Basri) yaitu suatu perasaan yang timbul karena banyak yang berbuat dosa dan lalai kepada Allah.
c.     Zuhud, sikap mental sufi yang melepaskan diri dari ras ketergantungan terhadap kenikmatan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat yang abadi.
d.    Al-faqr, sikap bermakna, dimana seorang sufi tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki, sehingga tidak menuntut sesuatu yang lain.
e.     Pendisiplinan, sikap yang dapat menimbulkan sikap wara dalam diri sufi.
f.      Al-Shabr adalah hal yang paling  mendasar dalam tasawuf karena sabar mengan-dung makna keadaan jiwa yang kokoh stabil, konsekwensi dalam pendirian, walaupun godaan dan tantangan begitu kuat, sikap ini dilandasi satu anggapan bahwa segala sesuatu terjadi merupakan kehendak Allah dan kita  harus  menerimanya  dengan  sabar, tapi  iktiar  juga  tetap  harus dijalankan.
g.    Ridha,  sikap  ini  merupakan perpaduan Mahabbah dan sabar, Ridho dalam hal ini mengandung makna lapang dada, berjiwa besar, hati terbuka terhadap apa yang bersadar dari Allah baik menerima ketentuan agama dan masalah nasib itu sendiri.
h.    Muraqqabah,  sikap  ini  adalah  berarti  mawas  diri  atau  lebih  tepat  nya dengan  self  correction,  sikap dimana kita siap  siaga setiap  saat  untuk meneliti keadaan diri sendiri. Sikap ini berawal dari sebuah landasan pemikiran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengamati setipa gerak dan langkah kita selama hidup di dunia.
3.    Terapi Tajalli merupakan pemantapan dari tahap tahalli yang bermakna nur ghaib, yaitu dengan menghayati rasa keber Tuhanan lebih mendalam yang kemudian menimbulkan rasa rindu yang amat sangat kepada sang Tuhan, karena kaum sufi berpendapat untuk mencapai kesempurnaan kesucian jiwa, hanya dapat ditempuh dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah secara mendalam, maka jalan menuju tuhan akan terbuka dengan lebar.

 VI.    PROBLEMATIKA STUDI ISLAM
Menurut penelitian Adams, terdapat dua hal yang sangat terhadap kajian Islam;  Pertama, beberapa universitas (baik di Barat maupun di daerah lainnya) masih menyimpan sejumlah masalah dalam mengadakan studi Islam secara netral dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah. Kedua, terjadinya kebuntuan metodologis dan pendekatan di kalangan mahasiswa (baik di Barat maupun Timur) ketika mempelajari studi agama. Di satu pihak, mahasiswa dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, pada pihak yang lain, mereka harus menjaga nilai transendetal dari agama.[70]
Dalam mengkaji persoalan agama dan Islam, Charles J. Adams telah menelaah karya-karya peneliti sebelumnya, di antaranya von Grunebaum, W.C. Smith,  Kenneth Gragg. Dari karya-karya itu Adams membuat pemetaan terhadap pendekatan studi Islam. Kontribusi akademik dari peneltian Adams ini antara lain, pertama, memiliki nilai kontributif yang sangat signifikan dalam memecahkan problem studi Islam di lembaga akademik (universitas), terutama dalam hal pendekatan dan metodologi yang akan dipakai. Kedua, membantu mereka untuk memahami agama, baik dalam konteks historis-empiris maupun normatif-teologis.
Charles J. Adams membuat dua formulasi pendekatan studi Islam, yaitu pendekatan normatif (pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan irenic) dan pendekatan deskriptif (pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologis). Selanjutnya Adams, membagi wilayah kajian Islam ke dalam 11 aspek dan memberikan beberapa rekomendasi untuk pengambangan studi Islam masa depan.
Berbicara tentang persoalan Islam dikaitkan dengan tradisi, terdapat dua hal penting yang perlu dipikir ulang (rethought) menurut Charles J. Adams, yaitu Islam dan agama.[71] Dua hal itu merupakan kata kunci yang menjadi kegelisahan akademik Adams sehingga ia berkeinginan menggagas sebuah formulasi pendekatan studi Islam yang  tepat dalam mengkaji persoalan Islam, agama, dan tradisi.
Persoalan yang pertama, berkenaan dengan “Islam”, betapa sulitnya membuat garis pemisah yang jelas antara mana wilayah yang Islami dan yang tidak. Banyak orang yang masih takut membuat penjelasan atau jawaban ketika ditanya tentang Islam, apalagi jika jawaban itu berbeda dan kontradiktif dari persepsi yang selama ini telah terbangun. Padahal, menurut Adams, mustahil menjelaskan dan menemukan pemahaman esensi Islam yang dapat mencapai kesepakatan universal.[72] Maka selain Islam harus dipahami (dalam perspektif sejarah) sebagai sesuatu yang selalu berubah (change) dan berkembang (evolve), generasi Muslim harus mampu pula merespon kenyataan dunia (vision of reality) dan makna kehidupan manusia (meaning of human life).[73] Dengan demikian Islam bukanlah sesuatu yang satu. Islam tidak hanya sistem ke-percayaan dan ibadah, tetapi multisistem dalam historisitas yang selalu berubah dan berkembang. Yang dalam pemikiran M. Amin Abdullah disebutnya sebaga agama yang mempunyai banyak wajah (multifaces), bukan lagi berwajah tunggal. Agama tidak lagi dipahami sebagai hal yang semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, credo, pandangan hidup, dan ultimate concern. Selain sifat konvensionalnya, tenyata agama juga terkait erat dengan dengan persoalan-persoalan historis-kultural yang merupakan kenis-cayaan manusiawi belaka.[74]
Sedangkan, menyangkut persoalan kedua, “agama”, bahwa terdapat persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama (Islam) sebagai tradisi (tradition) dan sebagai kepercayaan an sich.[75] Dua pemahaman yang berbeda di atas, sama-sama berdiri kokoh. Di satu sisi, aliran tradisi menghendaki pendekataan agama dilakukan dalam frame yang bersifat eksternalistik, sosial, dan historis, pada sisi yang lain, aliran faith menghendaki agar agama dimaknai dari sisi yang berkarakter internalistik,  innefable, transenden, dan berdimensi privat.
Agar dapat mencerna dan memahami dua model pemahaman agama yang saling bertolak belakang tersebut, Adams terdorong melakukan penelitian dalam konteks studi Islam. Bagaimana-pun juga, menurutnya, agama memiliki dua sisi yang tak terpisahkan, pengalaman batiniah (inward experience) dan sikap keberagamaan lahiriah (outward behavior). Begitu juga, para mahasiswa Islamic studies harus mampu mencurahkan segala kemampuannya dalam mengeksplorasi keduanya.
Selain itu, persoalan agama yang tersisa, menurut Adams, adalah terlalu banyaknya definisi tentang agama. Kendati seseorang dapat menemukan pemahaman terhadap agama–dalam pengertian umum–yang dapat memuaskannya, tetapi masih terdapat pertanyaan yang harus dijawab, misalnya, dalam konteks agama apa seseorang dapat menemukan pemahaman yang utuh terhadap agama, Islamkah atau yang lain? Atau taruhlah keberagamaan seseorang dapat dilihat dari keyakinan terhadap doktrin agama, pelaksanaan ibadah, moral yang baik, partisipasinya dalam kehidupan sosial, pertanyaan kemudian adalah apakah beberapa hal itu mencukupi untuk memahami agama?  Bukankah masih ada hal lain di balik itu semua, seperti pengalaman keagamaan yang bersifat individual dan gnostic yang tidak dapat terukur? [76]
Bertolak dari beberapa masalah di atas, baik seputar Islam maupun agama, penulis berusaha merumuskan beberapa kegelisahan akademik Charles J. Adams dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: bagaimana Islam dan agama selayaknya dipahami? Pendekatan apa yang dapat digunakan dalam mengkaji persoalan Islam dan agama?
Penelitian Charles J. Adams, paling tidak memiliki dua nilai signifikansi, yaitu:
A.      Pertama, beberapa universitas (baik di Barat maupun di daerah lainnya) masih menyimpan sejumlah masalah dalam mengadakan studi Islam secara netral dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah. Penelitian yang dilakukan oleh Adams ini memiliki nilai kontributif yang sangat signifikan dan urgen dalam memecahkan problem studi Islam di lembaga akademik, terutama dalam hal pendekatan dan metodologi yang akan dipakai.
B.      Kedua, kebuntuan yang terjadi di kalangan mahasiswa (baik di Barat maupun Timur) dalam mempelajari studi agama. Di satu pihak, mahasiswa dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, pada pihak yang lain, mereka harus menjaga nilai transendetal dari agama.

W.C. Smith menjelaskan problem keagamaan baik pada tataran pengalaman keagama-an secara batin maupun sikap keberagamaan secara lahir dengan membuat pembedaan yang jelas antara sisi tradisi empiris pada agama dan sisi kepercayaan doktrinal pada agama. Yang pertama berkait erat dengan wilayah eksternal, penelitian sosial, dan aspek historis dari keberagamaan itu sendiri. Sedang yang kedua menyangkut wilayah internal, innefable, orientasi transendental, dan dimensi kehidupan agama yang sangat privat.[77]
Kenneth Gragg dalam pandangan Adams adalah seorang yang sangat mumpuni dalam kajian Arab dan seorang theolog yang excellent. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Hal ini, menurutnya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.[78]
Berbicara mengenai kajian Islam, Charles J. Adams mempunyai uraian tersendiri dalam penjelasannya tentang pendekatan yang ia lakukan. Berdasar pada kegelisah akademik yang telah dijelaskan di bagian awal tulisannya, pendekatan studi Islam yang ia tawarkan merupakan jalan keluar atas persoalan yang terjadi di beberapa universitas di Barat. Persoalan itu adalah kesulitan universitas dalam mengadakan studi agama yang netral, ketika mengkaji sisi normati-vitas dan filosofis agama. Oleh karena itu, Charles J. Adams membuat formulasi baru pendekat-an dalam pengkajian Islam. Menurutnya, terdapat dua pola pendekatan untuk mengkaji Islam, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif.
Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, me-ngatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggam-barkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, di-rasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk mem-bicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.

VII.    PENUTUP
Kajian atau studi agama, terutama studi Agama Islam menjadi sangat penting dilakukan untuk melihat peran agama dalam kehidupan masyarakat yang mungkin disebut sebagai komunitas Islam. Dalam konstek tersebut ditemukan dua hal penting yaitu Islam sebagai kekuatan dogmatic-normatif yang secara kewahyuan tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang memiliki keterbatasan dan disatu pihak local genius yang terkadang memberikan nafas tersendiri dalam perkembangan komunitas umat Islam – yang terkadang memiliki perbedaan yang signifikans antara satu kawasan dengan kawasan yang lain.
Di Marokko, komunitas Islam dinilai lebih pure, sedangkan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia terjadi sikretisme ajaran dan perilaku keagamaan, sehingga menimbulkan kesulit-an tersendiri dalam melihat kasus-kasus tersebut dalam rentang perkembangan dan adaptasi ajaran Islam dengan budaya local. Untuk itu kajian atau studi Islam sangat mungkin menggu-nakan pendekatan keilmuan yang berada diluar ranah tata nilai keagamaan untuk melihat hubungan yang demikian pelit antara komunitas Islam sebagai pelaku agama dan Islam sebagai sumber tata nilai.
Penggunaan Antropologi, Sosiologi, Filologi dan ilmu-ilmu social lainnya memberikan pisau baru untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, sehingga kita dapat dengan mudah mendeskripsikan bentuk pemahaman dan aplikasi keagamaan sebuah komunitas Islam, apakah ia lebih bersifat normative-teologis ataukan historis-fenomenologis dan seterusnya. Kesemuanya diharapkan dapat memudahkan kita memahami masyarakat Islam dan bukan dalam kerangka mencari cara mendeskriditkan Islam sebagai suatu ajaran dan umat Islam sebagai pelaku tata nilai ke-Islaman tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dr. M. Amin “Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium Ketiga” dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam (Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Abdullah, Dr. M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abdullah, Dr. M. Amin, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius” dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Ke-islaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.
Abdullah, Dr. Amin dkk., Mencari Islam; Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
Adams Charles J., “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science,
Ali, Prof. Dr. Mukti “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982)
Benda, Harry J. “The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under The Japanese Occuption 1942-1945”, Terjemahan Daniel Dekhade (Jakarta, Pustaka Jaya, 1985) Cet. II,
Benda, Harry J. “Continuity and Change in Indonesia Islam” (Asian and African Studies), Vol.1, 1965;
Bellah, Robert N. Religi Tokugawa; Akar-Akar Budaya Jepan, Terjemahan Wardah Hafidz dan Drs. Wiladi Budihargo (Jakarta, PT. Gramedia Pustakan Utama, 1992),
Dhofier, Zamakhsyari, Santri Abangan dalam Kehidupan Orang Jawa, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Pilihan Artikel Prism Tahun 1975 – 1984, (Jakarta, LP3ES, 1985), Cet. I,
Effendi, Dr. Bahtiar, Islam dan Negara, (Bandung, Mizan, 1998)
Eliade, Mircea “The Sacret and The Profane; The Nature of The Religion”, Terjemahan Williard R. Trask (New York, Harcout, Brace & World, Inc, 1959),
Emmerson, Donald K. “Indonesian Elite;  Political Culture and Cultural Politics, (Cornel University)
Emmerson, Donald K. “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al), Change and the Muslim World, (Syracuse University Press, 1981),
Emmerson, Donald K. “Islam and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.
Esposito Joh L., The Islamic Threat;  Myth or Reality ?, Terjemahan Alwiyah Abdurrahman dan MISSI (Bandung, Mizan, 1996), Cet. III,

Fauzi, Muhammad Latif, SHI, MSI, “Pendekatan Normatif dan Deskriptif dalam Studi Islam (Telaah atas Karya Charles J. Adams) dalam http://cfis.uii.ac.id/content/view/32/87/ diakses tanggal 13 Maret 2011 pukul 15.00 Wib.

Geertz, Clifford ,“Religious Belief and Economic Behaviour in a Central Javanese Town; Some Preliminary Considerations”, 
Geertz, Clifford, “The Religion of Java – Abangan, Santri dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1989), Cet. II,
Nasution, Dr. Harun, “Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta UI Press, 1978), Cet. 1,
Huntington, Samuel P. “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order”,  (London, Touchstone, 1996),
Koentjoroningrat, “Pengantar Antropologi”,  (Jakarta,Pt. Rineka Cipta, 1999), Cet. II
Maliki, Prof. Dr. Zainuddin M.Si, “Sosiologi Pendidikan”, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2010), Cet. II,

Ma’ruf, Jamhari, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”, dalam http://rivafauziah.Word-press.com/2006/04/22/ di akses tanggal 12 Maret 2011 pukul 15.00

Miftah, “Berbagai Cara Pendekatan Studi Islam; sebuah Pengantar, dalam http://miftah19.word-press.com/2010/01/18/  diakses tanggal 15 Maret 2011 pukul 19.30 Wib.
Mudzhar, M. Atho’, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mudzhar, M. Atho’,  “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam” dalam Amin Abdullah dkkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Mudzhar, M. Atho’ “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam” dalam Amin Abdullah dkkk., “Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
Nasution, Khoiruddin, “Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan Kemungkinan Pendekatannya” dalam Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Nata, Prof. Dr. Abuddin, MA, “Metodologi Studi Islam”, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV,
Nieuwenhuijze, C.A.O.Van “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia”, (The Hague and Bandung W van Hoeve,1958)
Nieuwenhuijze, C.A.O.Van, Islam and National Self-Realization” dalam “Cross-Cultural studies”, (The Hague, Monton and Co,1963)
O’ Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Rahardjo, Drs. M. Dawam “Pendekatan Ilmiyah terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Dr. M. Taufiq Abdullah dan Drs. M. Rusli Karim, “Metodologi Penelitian Agama”, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990), Cet. II
Rosyidi, Prof. Dr. H.M. Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1974),
Robert Jay, Santri and Abangan; Religious Schism in Rural Central Java, (New Haven; Yale University, 1963)
Robert Jay, “Religion and Politisc in Rural Centarl Java, (New Haven; Yale University, 1963).
Shiddiqi, Nourouzzaman, “Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah (Ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Dr. M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitass atau Historisitas”, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), Cet. IV,
Samson, Allan, “Islam and Politics in Indonesia” dalam R.William Liddle (ed). Political Participation in Moedrn Indonesia, (New Haven Yale University Press, 1973),
Samson, Allan, “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed),  Political Power and Communications in Indonesia, (Berkeley, University of California Press, 1978).
Sharpe Eric J., “Comparative Religion of History”, (London, Duckworth, 1996).
Smith, W.C. “The Meaning and End of Religion, a New Approach to The Religious Traditon of Mankind”, (New York, Mentor Books, 1962).
Shiddiqi, Nourouzzaman Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah (Ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Thohir, Ajid, Berbagai cara Pendekatan Studi Islam di Indonesia, dalam http://yudiwah.Word-press.com/ diakses tanggal 17 Maret 2011 pukul 19.00 Wib.
Webber, Max The Prostestan Ethics and the Spirit of Capitalisme, Terjemahan Talcott Persons (London, George Allen an Unwinn Ltd. 1930).


[1] Dr. M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitass atau Historisitas”, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), Cet. IV, hal. 23-28.
[2] Ajid Thohir, Berbagai cara Pendekatan Studi Islam di Indonesia, dalam http://yudiwah. Word-press.com/ diakses tanggal 17 Maret 2011 pukul 19.00 Wib.
[3] Miftah, “Berbagai Cara Pendekatan Studi Islam” dalam  http://miftah19.wordpress.com/ 2010/01/18/ berbagai-cara-pendekatan-studi-islam-bag-1/
[4] Ajid Thohir, Berbagai cara Pendekatan Studi Islam di Indonesia, dalam http://yudiwah. Word-press.com/ diakses tanggal 17 Maret 2011 pukul 19.00 Wib.
[5] C.A.O.Van Nieuwenhuijze “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia”, (The Hague and Bandung W van Hoeve,1958) hal. 180-243, dan lihat pula C.A.O.Van Nieuwenhuijze, Islam and National Self-Realization” dalam “Cross-Cultural studies”, (The Hague, Monton and Co,1963), hal. 136-156.
[6] Harry J. Benda , “The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under The Japanese Occuption 1942-1945”, Terjemahan Daniel Dekhade (Jakarta, Pustaka Jaya, 1985) Cet. II, hal.  Dan llihat pula karya lainnya yang berjudul “Continuity and Change in Indonesia Islam” (Asian and African Studies, Vol.1, 1965), hal 123-138
[7]  Dr. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, (Bandung, Mizan, 1998) hal. 30
[8] Robert Jay, Santri and Abangan; Religious Schism in Rural Central Java, (New Haven; Yale University, 1963) dan bukunya Religion and Politisc in Rural Centarl Java, (New Haven; Yale University, 1963).
[9] Clifford Geertz, The Religion of Java – Abangan, Santri dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1989), Cet. II, hal 3-9
[10] Allan Samson, “Islam and Politics in Indonesia” dalam R.William Liddle (ed). Political Participation in Moedrn Indonesia, (New Haven Yale University Press, 1973), hal 116-142. Dan lihat pula Allan Samson, “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed),  Political Power and Communications in Indonesia, (Berkeley, University of California Press, 1978), hal 196-226
[11] Donald K. Emmerson, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al), Change and the Muslim World, (Syracuse University Press, 1981), hal  159-168. Dan lihat pula Donald K. Emmerson “Islam and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.
[12] Miftah, Berbagai Cara Pendekatan Studi Islam; sebuah Pengantar, dalam http://miftah19.word-press.com/2010/01/18/  diakses tanggal 15 Maret 2011 pukul 19.30 Wib.
[13] Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, “Metodologi Studi Islam”, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal. 28
[14] Eric J. Sharpe, “Comparative Religion of History”, (London, Duckworth, 1996), hal. 313.
[15] Dr. Harun Nasution, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta UI Press, 1978), Cet. 1, hal. 32
[16] Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, “Metodologi Studi Islam”,, hal 29
[17] Dr. M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitass atau Historisitas”, hal 29 – 30.

[18] Muhammad Latif Fauzi, SHI, MSI, “Pendekatan Normatif dan Deskriptif dalam Studi Islam (Telaah atas Karya Charles J. Adams) dalam http://cfis.uii.ac.id/content/view/32/87/ diakses tanggal 13 Maret 2011 pukul 15.00 Wib.

[19] Charles J. Adam, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, (Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976).
[20] Ibid, hal. 33
[21] W.C. Smith, “The Meaning and End of Religion, a New Approach to The Religious Traditon of Mankind”, (New York, Mentor Books, 1962),
[22] Charles J. Adam, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science
[23] Dr. M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius” dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.
[24] Khoiruddin Nasution, “Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan Kemungkinan Pendekatannya” dalam Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002).
[25] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas, hal. 34
[26] Charles J. Adam, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science,
[27] Khoiruddin Nasution, “Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan Kemungkinan Pendekatannya
[28] Dr. Amin Abdullah dkk., Mencari Islam; Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
[29] Prof. Dr. Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982)
[30] M. Atho’ Mudzhar, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
[31] M. Atho’ Mudzhar, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam” dalam Amin Abdullah dkkk., “Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
[32] Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, “Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran”, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).
[33] Nourouzzaman Shiddiqi, Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah (Ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 199),
[34] Mudzhar, M. Atho’, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek”,
[35] Adams, Charles J., “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976.
[36] Koentjoroningrat, “Pengantar Antropologi”,  (Jakarta,Pt. Rineka Cipta, 1999), Cet. II, Hal. 1- 4 
[37] Drs. M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiyah terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Dr. M. Taufiq Abdullah dan Drs. M. Rusli Karim, “Metodologi Penelitian Agama”, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990), Cet. II, hal. 19.
[38] Miftah, Berbagai Cara Pendekatan Studi Islam; sebuah Pengantar, dalam http://miftah19.word-press.com/2010/01/18/  diakses tanggal 15 Maret 2011 pukul 19.30 Wib.
[39] Miftah, Berbagai Cara Pendekatan Studi Islam; sebuah Pengantar,
[40] Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, “Metodologi Studi Islam”, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal. 36
[41] Ibid, hal. 38
[42]Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”, dalam http://rivafauziah.Word-press.com/2006/04/22/ di akses tanggal 12 Maret 2011 pukul 15.00
[43] Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si, “Sosiologi Pendidikan”, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2010), Cet. II, hal. 100-101.
[44] Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, “Metodologi Studi Islam”, hal. 37
[45] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”,
[46] Clifford Geertz, The Religion of Java – Abangan, Santri dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1989), Cet. II, hal.
[47] Harry J. Benda, The Crescent and the Rissing Sun; Indonesia’s Under the Japannes Occuption 1942-1945”, (The Haque Van Houve, 1958), hal. 14.
[48] Donald K. Emmerson, “Indonesian Elite;  Political Culture and Cultural Politics, (Cornel University Press, 1976), hal. 34.
[49] Zamakhsyari Dhofier, Santri Abangan dalam Kehidupan Orang Jawa, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Pilihan Artikel Prism Tahun 1975 – 1984, (Jakarta, LP3ES, 1985), Cet. I, hal, 185-186.
[50] Dr. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, hal. 31
[51] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”,
[52] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”, 
[53] Prof. Dr. H.M. Rosyidi, “Kuliah Agama di Perguruan Tinggi”, (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1974), hal. 17
[54] Mircea Eliade, “The Sacret and The Profane; The Nature of The Religion”, Terjemahan Williard R. Trask (New York, Harcout, Brace & World, Inc, 1959),
[55] Prof. Dr. Harun Nasution, “Filsafat Agama”, (Jakarta, UI Press, 1996),
[56] Dr. Zainuddin Maliki, M,Si, “Sosiologi Pendidikan”, hal. 84
[57] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”,
[58] Dr. Zainuddin Maliki, M,Si, “Sosiologi Pendidikan”, hal. 95
[59] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”,
[60] Max Webber, The Prostestan Ethics and the Spirit of Capitalisme, Terjemahan Talcott Persons (London, George Allen an Unwinn Ltd. 1930),
[61] Robert N. Bellah, Religi Tokugawa; Akar-Akar Budaya Jepan, Terjemahan Wardah Hafidz dan Drs. Wiladi Budihargo (Jakarta, PT. Gramedia Pustakan Utama, 1992),
[62] Clifford Geertz, Religious Belief and Economic Behaviour in a Central Javanese Town; Some Preliminary Considerations”,  hal. 130
[63] Ibid, hal. 134 – 158.
[64] Zamakhsyari Dhofier, Santri Abangan dalam Kehidupan Orang Jawa, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Pilihan Artikel Prism Tahun 1975 – 1984, hal. 190.
[65] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”,
[66] Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order”,  (London, Touchstone, 1996), hal. 215.
[67] Joh L. Esposito, The Islamic Threat;  Myth or Reality ?, Terjemahan Alwiyah Abdurrahman dan MISSI (Bandung, Mizan, 1996), Cet. III, Hal 33-34.
[68] Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”,
[69] Miftah, Berbagai Cara Pendekatan Studi Islam; sebuah Pengantar, dalam http://miftah19.word-press.com/2010/01/18/  diakses tanggal 15 Maret 2011 pukul 19.30 Wib.
[70] Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, hal 30.
[71] Ibid, hal. 29.
[72] Ibid, hal. 31.
[73] Ibid, hal. 32.
[74] Dr. M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multi-religius” dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA-Press, 2003), hlm. 4.
[75]  Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, hal 33
[76] Ibid, hal 32-33
[77] Ibid, hal 33
[78] Ibid, hal 38

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates