Kamis, 11 April 2013
IJTIHAD DAN TAKLID
SEBUAH POTRET KREATIFITAS DAN KEENGGANAN
BERFIKIR UMAT ISLAM
Oleh : Drs. Ihsan, M.Pd.I
Bagian Pertama : Konsep Ijtihad
Ijtihad adalah istilah generik yang
digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang berkaitan dengan pegulatan umat
Islam untuk menemukan rumusan-rumusan baru dalam bidang hukum, yang tidak
ditemukan dalam dua otoritas mutlak hukum Islam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Karena sifat-sifat kebaruan itulah yang kemudian menjadikan konsep ijtihad
sedikit banyak mengalami benturan-benturan nilai dan pemikiran dikalangan umat
Islam. Walaupun demikiran konsep ijtihad mutlak diperlukan umat Islam sebagai
perwujudan dinamis dan progresif ajaran Islam itu sendiri.
Ijtihad berasal dari kata dasar dalam
bahasa Arab “JAHADA”, yang dari
kata-kata tersebut berkembang kata Ijtihad dan Jihad. Ijtihad sendiri berasal
dari fiil madhi “Ijtahada”. Dua buah kata yang mengandung pengerahan segala hal
dalam bentuk yang sangat maksimal. Jihad secara subtansial adalah pengerahan
tenaga dan kesengajaan untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat Allah,
sedangkan ijtihad adalah pengerahan ke-mampuan pikir untuk menemukan hukum
berdasarkan pengertian tersirat dari dua otoritas hukum Islam.
Secara sederhana; Jahada berarti
sungguh-sungguh. Dengan demikian Ijtihad (kata bentukan dari Jahada) juga
mengandung dan sekaligus menuntut adanya kesungguhan. Maka sudah barang tentu,
arti Ijtihad adalah kesungguhan untuk menemukan sesuatu hukum. Dalam konteks
yang lain, Ijtihad juga berarti “Ra’yi” yang bermakna memberikan pertimbangan
pemikiran yang adil dan baik. Di samping pengertian-pengertian tersebut diatas,
juga terdapat pengertian yang lain dari beberapa pakar keislaman :
1. Para
Ulama :
“Mengerahkan
segala kemampuan (berfikir) untuk mendapatkan atau memecahkan sesuatu (yang
sulit) dan dalam praktek hanya sesuatu
yang sangat sulit dan memayahkan”.
2. Shahabat
:
“
Penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat kepada
Kitabulah dan Sunnah Rasul melalui Nash atau maksud umum hikmah syari’ah itu
sendiri”.
3. Ulama Fiqh
:
“Pengerahan
segenap kemampuan ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat Dhanni
(spekulatif) terhadap hukum syari’at”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut
di atas, maka setiap ijtihad mempunyai 3 komponen atau unsur yang tidak boleh
ditinggalkan, yaitu :
1. Pelaku ijtihad adalah orang yang ahli fiqih
(Menguasai hukum Fiqh)
2. Obyek atau sasaran dari ijtihad adalah hukum
syari’ah bidang amali atau hukum-hukum furu’iyah, yang berkaitan dengan tingkah
laku mukallaf dan bukan terhadap hal-hal yang ber-sifat I’tiqodi (Keimanan) dan
Akhlaki (Moral).
3. Hasil dari sebuah proses Ijtihadi bersifat
Dhanni (Spekulatif).
Di samping pengertian di atas, yang
memberikan petunjuk adanya obyek ijtihadi yang bersifat furu’iyah amaliyah dan
dengan kualitas yang ada kaitannya dengan Nash secara tersirat, maka menurut
Abdul Wahab Khallaf bahwa Ijtihad adalah pengerahan berfikir untuk memperoleh
hukum syara yang tidak ada nash (Ijtihad bir Ra’yi). Dalam konteks pemikiran
tersebut, maka kemungkinan Ijtihad bisa terjadi dalam tiga (3) hal, yaitu :
1. Hukum Nash Dhanni Dalalahnya (Dalaliyah)
artinya hukum yang diperoleh berupa pe-nafsiran berkualitas terhadap ungkapan
Nash Al Qur’an dan Al Hadits.
2. Hukum syar’i amali (Furu’iyah) dengan
menerapkan qoidah-qoidah syar’iyah Kulliyah.
3. Hukum syar’i amali yang tidak ada nashnya
(Ijtihad Bir Ra’yi).
Dengan demikian
sasaran Ijtihad sebenarnya tidak hanya suatu hukum yang keberadaannya hanya
sepintas dijelaskan oleh kedua otoritas tersebut, melainkan juga kepada sesuatu
yang tidak ada Nashnya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang baik.
DASAR, OBYEK DAN
PERMACAMAN IJTIHAD
1. Dasar
- Al Qur’an Surat An Nisa 59 (Dan jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan Al Al Hadits serta keputusan pemimpin dari antara kamu.
- Al Hadits yang menceritakan prilaku Ali bin Abi Tholib dan Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
- Logika berfikir yang menyatakan bahwa perkembangan zaman yang yang komplek dan aplikatif membutuhkan perangkat aktualisasi hukum dan nilai keislaman.
2. Obyek
Obyek
ijtihad di bagi menjadi 2 yaitu obyek yang boleh dan obyek yang tidak boleh
di-lakukan kegiatan Ijtihad.
a. Obyek yang boleh
1. Peristiwa yang telah ditunjuk oleh nash
Dhanni baik dilihat dari kedudukannya (Wurud) atau dalalahnya (maksud kata yang
diinginkan).
2. Peristiwa yang tidak ditunjuk oleh Nash dan
tidak ada kesepakatan ulama terhadap peristiwa tersebut.
b. Obyek yang tidak boleh
1. Hukum yang telah ditunjukkan secara qoth’i
baik dilihat dari segi wurud atau dalalahnya.
2. Hal-hal yang telah disepakati (ijma’) oleh
ulama
3. Lapangan hukum yang Ta’abuddi, yang ghoiru
ma’qulil makna artinya lapangan hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal
seperti 1/6 bagian untuk nenek perempuan dalam bidang waris.
3. Tingkatan dan macam-macam Ijtihad
Sebelum kita mengenal lebih jauh Ijtihad,
maka perlu diperhatikan hal-hal yang seharusnya ada bagi mereka yang ingin
melakukan Ijtihad. Hal-hal tersebut adalah :
a. Warisan fiqh besar yang mu’tabar, yang
pernah ada dikalangan umat Islam, terutama memahami aliran, mazhab dan
kecenderungan berfikir ulama.
b. Melakukan kajian hukum dengan mengembalikan
kepada sumber Nash, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
c. Melakukan ijtihad hanya kepada
sesuatu/problem yang benar-benar baru.
Oleh sebab itu tidaklah semua orang dapat
melakukan ijtihad, karena sesungguhnya ijtihad adalah upaya untuk memperoleh
kepastian hukum dan hukum yang dihasilkan dari proses tersebut mempunyai
sifat-sifat mengikat bagi pemeluknya. Dalam konstek seperti ini, para ulama
membuat aturan dan syarat bagi seorang mujtahid, yaitu :
a. Faham bahasa Arab termasuk di dalamnya
adalah faham gramatikal, uslub dan segala hal yang berkaitan dengan bahasa
Arab.
b. Menguasai ayat-ayat Ahkam, yang menurut Imam
Gazali minimal 500 ayat ahkam.
c. Menguasai hadits ahkam paling sedikit
2.500-3.000 hadits ahkam
d. Menguasai hukum-hukum yang telah disepakatti
oleh Ulama (Ijma’).
e. Menguasai Ushul Fiqh.
Karena persyaratan-persyaratan tersebut,
maka kemampuan dan kualitas mujtahid juga akan mempengaruhi hasil dan mutu dari
ijtihad itu sendiri. Kualitas dan tingkatan mujtahid juga mempengaruhi kedudukan
seseorang dalam wacana ijtihad, karena mujtahid itu mem-punyai
tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
a. Mujtahid Mutlak atau Mustaqil yaitu mujathid
yang dalam melakukan ijtihad bersifat mandiri, langsung kepada sumbernya dan
tidak dipengaruhi oleh pendapat atau pemikiran ulama lainnya.
b. Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang
terikat oleh pemikiran, pendapat dan
metode mujtahid mutlak
c. Mujtahid fil Mazhab yaitu mujtahid yang
dalam melakukan ijtihadnya terikat oleh mazhab yang dianutnya.
d. Mujtahid Murajih yaitu mujtahid yang hanya
melakukan perbandingan pemikiran dan pendapat para mujtahid lainnya.
Berdasarkan
pemikiran, kemampuan dan metode serta derajat mujtahid tersebut, Untuk
memudahkan pemahaman kita tentang hasil dan proses ijtihad, maka ijtihad dibagai
dalam beberapa macam, yaitu :
a. Metode atau langkah
1. Intiqo’i yaitu proses ijtihad dengan
melakukan seleksi dan tarjih (memilih pendapat yang kuat) terhadap pendapat dan
aliran pemikiran fiqh.
2. Insya’i (Darakil Hukmi) yaitu proses ijtihad
yang materinya (Problem) sama sekali baru dengan menggunakan Nash-nash yang
tafsili atau menggunakan dalil-dalil kulli misalnya Ijma’, Qiyas, Istislah
(Maslahah Mursalah) Istihsan, Sadduz Zara’i, Urf dll.
b. Pelaku (Subyek)
1. Jama’i
artinya pelaku ijtihad bersifat kelompok (ijma’)
2. Fardi artinya pelaku ijtihad bersifat
individual atau perorangan.
c. Obyek atau titik tekan Ijtihadnya
1. Istimbathi yaitu proses ijtihad yang
fokusnya dari sumber Nash Al Qur’an dan Al Hadits.
2. Tathbiqi yaitu proses ijtihad yang menerapkan hukum pada suatu obyek atau
per-masalahan dengan seperangkat kaidah yang sesuai.
IJTIHAD : SEBUAH POTRET KREATIFITAS UMAT ISLAM
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa
itjihad adalah bentuk dari sebuah kepedulian umat dan keperpihakan umat
terhadap upaya menyelesaikan permasalahan hukum Islam melalui kerja keras dan
pengerahahan berfikir. Proses kajian dan pencarian hukum Islam yang baru, yang
kemudian kita kenal sebagai wacana Ijtihad sebenarnya telah berkembang pada
zaman Nabi Muhammad, bahkan Nabi sering menetapkan atau bahkan menggunakan
pendapat dan pemikiran umat Islam sebagai ketentuan hukum yang harus dianut
oleh umat Islam.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, problem
hukum tidak banyak mengalami benturan dalam arus pendapat dan pemikiran yang beragam,
karena dengan mudah dikembalikan kepada Nabi dan kemudian mendapatkan putusan
hukumnya, sehingga dalam konteks seperti ini Al- Qur’an ditafsiri dan
dijelaskan oleh Al Hadits dan Hadits dijelaskan oleh pemikiran-pemikiran para
shahabat yang baik, yang telah mendapatkan rekomendasi Nabi Muhammad SAW.
Pada periode awal keislaman, setelah Nabi
meninggal, problematika hukum Islam ber-kembang dengan pesat dan membuat
kesulitan tersendiri dalam konteks yuridis Islam dan ke-hidupan sosial
keagamaan umat Islam, maka dimulailah tradisi ijtihad dikalangan umat Islam,
yang pada saat itu ijtihad adalah Ra’yi artinya berfikir atau pertimbangan pribadi terhadap suatu
permasalahan hukum dengan cakupan yang sangat sempit.
Menurut Ahmad Hasan Ijtihad adalah sebuah
proses penafsiran ulang dan pemikiran ulang hukum Islam secara independen
artinya tidak dipengaruhi oleh sebuah kepentingan politik dan golongan. Dalam
pengertian yang lain Ijtihada adalah pendapat seorang ahli atau pertimbangan
bijaksana dan adil, misalnya kasus hukuman bagi orang mematahkan tangan yang
lumpuh, membutakan mata yang tidak berfungsi (cacat) dll.
Akan tetapi setelah periode Imam Syafi’i
yang berhasil meletakkan Ijtihad lebih dulu ke-timbang Ijma’ dalam konteks tata
urutan penggalian Hukum Islam, Ijtihad berkembang menjadi sebuah metodologi
penggalian hukum yang keberadaannya sangat signifikan bagi umat Islam, bukan
sekedar memberi pertimbangan dan pemikiran bijaksan saja, melainkan mengarah
pada kepastian hukum itu sendiri.
Pengertian Ijtihad dalam konteks Ra’yi atau
pertimbangan intelektual dan bijaksana tersebut pada awal Islam sering
dilakukan oleh Kholifah Umar Bin Khattab, misalnnya membatalkan pembagian harta
rampasan di Irak, pembatalan hukum potong tangan bagi mereka yang mencuri
dikarenakan kelaparan dll. Prilaku-prilaku ijtihadiyah tersebut berkembang
karena umat Islam secara natural mengalami perkembangan masalah yuridis. Secara
umum Ra’yi tidak banyak ber-kembang pada
masa Nabi Muhammad, tetapi pada masa Shahabat konsep hukum Islam memberi-kan
kesulitan dan kepelikan tersendiri. Ada
dua hal yang menjadi dikalangan Shahabat, yaitu :
1. Otoritas Qur’an secara umum tidaklah
membutuhkan Ra’yi dalam penentuan Hukum, akan tetapi untuk menetapkan pada
situasi tertentu atau tidak ditetapkan untuk situasi itu, memerlukan kajian
tersendiri.
2. Pada aspek Hadits, ra’yi sangat sulit
menetapkan. Hal tersebut dikarenakan :
- Tidak adanya ketegasan Hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah SAW.
- Shahabat yang benar-benar memahami dan kemudian memakai hadits.
Berdasarkan pemikiran dan kesulitan
yuridis tersebut, maka Ijtihad menjadi sangat penting bagi umat Islam. Untuk
itu pengertian ijtihad menjadi sangat luas. Adalah Fazlur Rahman yang
memberikan pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa ijtihad adalah upaya
untuk me-mahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau (aturan
masa lampau) untuk mengubah, memperluas, membatasi dan memodifikasi, sehingga
situasi baru dapat dicakupkan dan dimasukkan didalamnya dengan solusi yang
baru. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah sebuah hak privilese eksklusif bagi
golongan tertentu dalam masyarakat Islam.
Dengan konsep seperti itu, maka aplikasi
Ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang dalam komunitas umat Islam, maka
sadar atau tidak, telah memberikan peluang terjadinya perbedaan pemikiran
sekaligus terjadi benturan pendapat tidak hanya kepada hasil pemikiran itu
sendiri, tetapi juga terhadap hukum yang tersurat. Terdapatnya benturan yang
terus menerus antara hukum yang tersurat dengan semangat yang terkandung
didalamnya artinya semangat Ra’yi menurut orang-orang yang berseberangan dengan
Imam Syafi’i disebabkan tidak adanya nash yang pasti, akan tetapi menurut Imam
Syafi’i bahwa pertentangan dan beda pendapat tersebut tidak hanya kepada makna
yang tersurat, melainkan juga kepada hukum-hukum yang nyata-nyata atau secara
eksplisit terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, sebagaimana yang sering
dilakukan oleh Umar Bin Khattab (Pembatalah harta Rampasan dll.).
Kasus tersebut barangkali menarik, jika
dikembalikan pada aturan, obyek dan hasil Ijtihad yang sebenarnya hanya kepada
sesuatu yang tidak ada nashnya, furu’iyah, akan tetapi dalam kasus Umar Bin
Khattab, tidak hanya kepada yang furu’iyah melainkan telah merambah kepada
hukum yang sebenarnya telah ada secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Hal tersebut disebabkan oleh keinginan dan kemampuan Umar bin Khattab dalam
menangkap makna dan semangat yuridis berkaitan dengan situasi sosial keagamaan
pada saat itu.
Kembali pada sikap Dr. Fazlur Rahman, yang
menyatakan bahwa Ijtihad bukanlah sebuah hak eksklusif golongan tertentu umat
Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman menolak pembagian dam stratifikasi mujtahid
sebagaimana yang dikemukan di atas, karena menurutnya pembagian ter-sebut hanya
menunjukkan formalistis dan artifisial saja. Oleh sebab itu sangat tidak
diperlukan dalam konteks pengembangan pemikiran umat Islam, walaupun demikian
Ijtihad sebagai prinsip yang terus bergerak dalam struktur umat Islam dan dalam
praktek umat Islam perlu dibatasi oleh kualifikasi-kualifikasi tertentu.
Sudah barang tentu, maka tidak ada apa yang
kita sebut sebagai “Pintu Ijtihad Tertutup”. Ber-kembangnya statemen tersebut
menurut Dr. Fazlur Rahman, yang juga menyetujui pemikiran Moh. Iqbal tentang
adanya situasi tersebut, bukanlah sebuah kualifikasi atau syarat yuridis
sehingga pintu ijtihad tertutup, melainkan adalah sebagai gambaran kondisi umat
Islam :
1. Wujud keengganan berfikir dikalangan umat
Islam
2. Ketidak beranian umat Islam untuk berfikir
karena untuk mempertahankan status quo, ter-masuk didalamnya status quo hukum
yang telah diputuskan oleh ulama sebelumnya.
3. Memburuknya standar intelektual umat Islam
dan menciutnya tradisi intelegensia umat Islam.
Berdasarkan pemikiran dan penjelasan
tersebut, dapat diambil satu kesimpulan bahwa Ijtihad dalam pembentukan dan
sosialisasi hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kreatifitas umat Islam itu
sendiri. Pergulatan pemikiran Ijtihadi itu sendiri berkembang dari tataran yang
sangat seder-hana menjadi lebih komplek dan sistematis, baik dlihat dari
kuantitas masalah dan kualitas produk hukum yang hasilkannya.
Pada periode awal sejarah Islam,
perkembangan permasalahan hukum Islam berkembang sangat pesat dan komplek,
terutama yang berkaitan dengan aplikasi intelektual dan tradisi berpikir umat
Islam. Tradisi berfikir umat Islam lebih banyak berkembang disebabkan oleh
problem yurisprodensi dalam bentuk dan
wacana Ijtihadiyah. Wacana Ijtihadiyah pada periode awal Islam terbagi
dalam tiga bentuk, yaitu :
1. Ra’yi (Pendapat Pribadi)
2. Qiyas (Pendapat yang tersistematik)
3. Istihsan (Pengambilan keputusan berdasarkan
pertimbangan tertentu/kondisional).
Untuk mengetahui prinsip dan aplikasi atau
pelaksanaannya, maka akan kita bahas secara gelobal ke tiga prilaku hukum
tersebut, karena ternyata pelaksanaan ketiga metode penggalian hukum tersebut
memicu pertentangan dan kontroversi pemikiran dalam wacana keilmuan Islam.
Ra’yi (Pertimbangan Pribadi)
Secara umum, Ra’yi berarti pendapat pribadi
atau pemikiran bijaksana yang berkembang sebagai jawaban terhadap permasalahan
hukum yang muncul dikalangan umat Islam. Ra’yi dalam pengertian diatas sering
muncul, terutama dari para pemikir Islam atau pemimpin Islam, misalnya beberapa
pemikiran pribadi Umar Bin Khattab yang kemudian dipakai putusan hukum.
Metode Ra’yi dalam spektrum tradisi Ijtihad
berkembang dalam masyarakat islam dikarenakan Shahabat dalam memberikan
pendapat dan pandangannya menggunakan dasar
ayat Al; Qur’an dan Teks Hadits yang berbeda, sehingga diperlukan
pendapat dan pola pemikiran yang baik dan bijaksana. Di samping itu terdapat
sebab-sebab lain yang berasal dari dua otoritas hukum Islam yaitu Al Qur’an dan
Al Hadits sebagaimana yang diungkapkan di atas, khusus dalam memahami Al
Qur’an, metode Ra’yi merupakan metode yang terbaik untuk menimbang ayat mana
yang cocok untuk diterapkan dan yang
tidak dapat diterapkan, sedangkan untuk memahami hadits terdapat
kesulitan-kesulitan :
1. Menentukan hadits yang benar-benar berasal dari
Nabi Muhammad SAW dan yang tidak dari Nabi Muhammad SAW.
2. Terdapat perbedaan adanya shahabat yang
dapat memahami makna hadits tersebut.
Dengan demikian, Ra’yi sangat tergantung
kepada landasan dan kemampuan seseorang dalam menangkap makna dan arah serta
muatan permasalahan hukum itu sendiri, oleh sebab itu dalam prakteknya, produk
Ra’yi sering berbeda dengan hasil Ra’yi yang lain, misalnya Ra’yi yang
dilakukan oleh Umar Bin Khattab sering bertentangan dengan hasil Ra’yi Shahabat
yang dalam permasalahan hukum yang sama. Untuk memperkuat gambaran
berkembangnya tradisi Ra’yi tersebut, berikut ini contoh-contoh Khalifah Umar
Bin Khattab :
1. Pembatalan hadiah (Barang atau tanah) kepada
kepala Suku non Islam dengan tujuan agar mereka memeluk agama Islam atau mereka
tidak memusuhi Islam, dikarenakan umat
Islam pada saat itu belum kuat.
2. Pembatalan pembagian tanah rampasan
(Ghonimah) di Irak dan Syiria pada Shahabat, karena ada program yang lebih
penting yaitu sebagai sumber dana untuk menjada perbatasan.
3. Pembatalah hukuman potong tangan bagi budak
yang mencuri harta benda milik tuannya, dikarenakan kelaparan (Tuannya tidak
memberikan haknya).
4. Melarang eksploatasi (menjual dan
menukar) budak perempuan yang telah
menjadi Ibu (melahirkan anak karena dikumpuli oleh tuannya) dengan
memerdekakannya, supaya dalam masa yang akan datang tidak ada penghisapan
manusia oleh manusia.
Konsep Ra’yi setidaknya telah memberikan
alternatif baru dalam rangka menyelesaikan per-masalahan hukum Islam dengan
landasan dan kerangka dasarnya pada penetapan semangat dan makna ideal hukum
yang diberlakukan. Oleh sebab itu konsep Ra’yi pada peride awal Islam tidak
banyak menyebabkan adanya pertentangan dikalangan umat, terutama bagi mereka
yang me-nyetujui penggunaan Ra’yi dengan mereka yang berpegang teguh secara
literal kepada dua otoritas hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
Akan tetapi setelah masa Imam
Syafi’i, konsep Ra’yi mendapat serangan
dari mereka yang memegang teguh secara literal dua otoritas hukum Islam, bahkan
sudah mulai terbentuk komuni-tas masyarakat dengan ciri dan pola pikir yang
berbeda. Ada Ahl al Ra’yi, Ahl al Hadits
dan Ahl al Kalam, lebih dari itu Kota Madinah dianggap sebagai markas ahli
Hadits, sedangkan Irak di anggap sebagai markas ahl Ra’yi.
Pertentangan pola pikir tersebut
berkembang menjadi dua kelompok yaitu kelompok Ra’yi dan Kelompok Nash (Dua
otoritas Hukum Islam). Ahli Ra’yi secara definitif bertentangan dengan Ahli
Nash, sebab pengagum Nash hanya mengakui terhadap apa yang tercantum dalam dua
otoritas tadi. Secara umum Nash diartikan sebagai :
1. Kata-kata yang hanya mempunyai satu
pengertian atau hukum yang pasti
2. Hal-hal yang dilarang datu diperintah dengan
kata-kata yang jelas, yang merupakan bukti tekstual dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Menurut hemat saya, pertentangan tersebut
hanya terletak kepada; apakah orang tersebut mau melakukan interpretasi
terhadap problem dengan melihat kondisi ataukah mereka tetap ber-sekukuh dengan
bukti tekstual Qur’an dan Hadits tampa pertimbangan sesuatu yang bersifat
kondisional, sebab nampaknya seorang yang paling dihormati sebagai pelaku dan
ahli Sunnah (Nash) yaitu Imam Syafi’i, tidak menentang Ra’yi dengan catatan
tidak dilakukan dengan serampangan (bebas).
Qiyas (Ra’yi Sistematik)
Sebagaiman yang diungkapkan di atas, bahwa
Qiyas atau Ra’yi sistematik adalah metode pengembangan dari bentuk penggalian
Hukum Islam (Ra’yi) sebelumnya. Qiyas berarti Ra’yi yang tersistematik dalam kerangka persyaratan-persyaratan dan
pembatasan-pembatasan dalam kerangka menghentikan penggunaannya secara
serampangan.
Qiyas berasal dari kata Arab yang berarti
menyamakan, sedangkan menurut Sarjana Barat, Qiyas berasal dari kata Yahudi “Hiqqish (Heqqesh)” yang artinya memukuli bersama-sama. Kata-kata
Heqqesh, menurut Prof. Schacht digunakan untuk menyebut tiga situasi,
yaitu :
1. Penjajaran dua pokok masalah dalam Bible dan
diperlakukan dengan cara yang sama.
2. Kegiatan penafsir yang membuat perbandingan
dengan menggunakan teks tertulis.
3. Untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan
analogi (Talmud Palestina 6/33 a. 14).
Barangkali sepintas lalu pendapat
tersebut mengandung kebenaran analisa filologis, karena terdapat subtansi yang
terkandung didalamnya, yaitu pengambilan kesimpulan dengan cara analogis. Namun
demikian sangatlah tidak relevant, jika analisa filologis tersebut dijadikan
landasan berfikir, sebab :
1. Metode filologis memiliki keterbatasan dan
kekurangan dalam mengungkapkan asal usul dan sumber-sumber pranata hukum Islam.
2. Dalam persepktis sosiologis (perkembangan
dan pertumbuhan), tiap-tiap masyarakat mencip-takan prinsip-prinsip dan
pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak mesti berasal dari pengaruh
atau bangsa asing.
Dengan demikian Qiyas sebagai model
penggalian Hukum Islam secara terminologis sangat tidak relevant jika dikaitkan
dengan terminologi Hiqqish dalam kosa kata Yahudi, walaupun secara filologis
kita mengakui adanya kesamaan, karena
termasuk dalam satu rumpun bahasa.
Lebih dari itu, Qiyas sebagai kelanjutan
metode Ra’yi dengan sistematika-sistematika tertentu menyebabkan penampilan
metode Qiyas menjadi sangat kaku dan tidak fleksible. Hal tersebut menyebabkan produk dari Qiyas sangat tidak
signifikan bagi perkembangan hukum Islam. Misal-nya polemik kasus apakah kita
akan berkata Jujur atau berbohong ketika ditanya seseorang yang akan membunuh
Kyai, sedangkan kita tahu dimana Kyai itu berada. Kalau Qiyas yang dipakai,
maka kita harus berkata jujur, akan tetapi yang berlaku disini adalah Ra’yi
(Keputusan hukum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi)
Oleh sebab itu terdapat perbedaan yang
sangat tajam antara Ra’yi dan Qiyas dalam aktualisasi penggalian hukum Islam.
Untuk lebih jelasnya berikut ini perbedaan-perbedaan mendasar antara Qiyas dan Ra’yi :
1. Ra’yi bersifat luwes, dimanis dan membuat
keputusan dalam sinaran semangat, keadilan dan kearifan Islam, sedangkan Qiyas
bersifat kaku dan dibatasi oleh persyaratan-persyaratan tertentu.
2. Ra’yi lebih luas cakupannya dan mencakup
atau menyangkut sesuatu yang aktual, sedangkan Qiyas penekanannya pada suatu
yang abstrak.
3. Ra’yi adalah sebuah metode memperoleh
keputusan dengan pendapat yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang
berkeinginan untuk mencapai keputusan yang tepat dengan kata lain keputusan
yang dicapai seseorang setelah melakukan pemikiran, perenungan dan pen-carian
yang sungguh-sungguh dalam kasus, dimana petunjuk-petunjuk yang diperoleh
saling bertentangan, sedangkan Qiyas adalah perbandingan dua hal yang sejajar
karena keseru-paannya (illatnya) yang tidak selamanya tidak dapat ditentukan
secara pasti.
Imam Syafi’i sebagai salah satu pendekar
hukum Islam, juga menganut prinsip Qiyas dengan segala persyaratan yang
dikenakannya. Oleh sebab itu Imam Syafi’i memandang bahwa Qiyas yang dilakukan
oleh pakar Hukum Islam Irak dan Madinah, terutama oleh Imam Malik, dianggap
nya tidak
konsisten dan tidak matang, karena lebih mirip dengan Ra’yi artinya tidak
terpaku oleh peraturan Qiyas yang sangat kaku tersebut.
Kasus tersebut secara umum dapat dilihat
pada praktek hukum yang dilakukan oleh orang Irak dan Madinah. Dalam hal
pelaksanaan Qiyas antara Madinah dan Irak terdapat perbedaan ke-cenderungan
dalam aplikasinya. Orang Madinah melaksanakan Qiyas dengan memperhatikan
praktek yang telah diterima secara umum oleh masyarakat, sedangkan orang
Irak menekankan aspek konsistensi
(kelurusan) dan untuk menghindari ke-tidakkonsisten-an terhadap prinsip-prinsip
Qiyas yang kaku dan terbatas oleh waktu, diciptakan metode lain yang lebih
dekat dengan Ra’yi yaitu “Metode Istihsan”.
Istihsan (Keputusan Kondisional)
Menurut Prof. Schacht, Terminologi
Istihsan pertama kali muncul pada masa Abu Yusuf se-bagai upaya penyelesaian
problem hukum Islam, akan tetapi pemikiran tersebut banyak mendapat kan serangan,
karena ternyata istilah Istihsan sudah ada sebelum Abu Yusuf mengembangkan
konsep tersebut. Menurut pendapat yang masyhur, konsep Istihsan telah ada pada
masa Imam Abu Hanifah di Irak, sebagaimana yang dinyatakan oleh Goldziher.
Walaupun Istilah Istihsan tersebut baru
berkembang pada masa Abu Hanifah, sebagai salah satu alternatif dan format baru
penggalian hukum, terutama untuk mensiasati ke-tidak konsisten-an seseorang
dalam melaksanakan metode Qiyas, maka subtansi dan prinsip-prinsip Istihsan
telah ada dan dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena Umar Bin Khattab ketika menetapkan hukum suatu perkara selalu
memperhatikan situasi dan kondisi sosial pada saat terjadinya peristiwa.
Dalam kerangka seperti itu, maka
pengertian Istihsan adalah mengambil suatu yang terbaik, dalam pengertian yang
lain, ia adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut
keadaan. Untuk lebih jelasnya berikut ini pengertian-pengertian Istihsan :
1. Prereferensi pilihan tidak beralasan
terhadap hukum yanh sudah mapan dalam suatu keadaan tertentu atau suatu
keputusan yang lebih di dasarkan kepada penalaran mutlak dari pada penalaran
analogis.
2. Metode unuik dari penggunaan pendapat
pribadi dengan mengesampingkan analogis yang ketat dan lahiriyah demi
kepentingan,persamaan dan keadilan umum.
TAKLID : SEBUAH
POTRET KEENGGANAN BERFIKIR UMAT ISLAM
Jika boleh saya simpulkan, bahwa taklid
adalah istilah generik yang dapat
dipakai untuk me-nyebut sebuah situasi keengganan seseorang untuk melakukan
kajian, interpretasi dan pemikiran ulang terhadap perangkat dan aturan hukum
atau ubudiyah, yang memang memerlukan kajian.
Dalam persepktif sejarah, keengganan
berfikir tersebut bisa saja dipicu oleh situasi gelobal umat Islam yang telah
mengalami kemandegan sekaligus menciutnya tradisi berfikir dikalangan umat
Islam. Keenggan berfikir tersebut kemudian melahirkan apa yang kenal sebagai
“Pintu Ijtihad Tertutup”. Statemen tersebut lahir barangkali disibebkan oleh
tiga hal :
1. Perwujudan keengganan, kemandegan dan
ketidak berdayaan potensi intelektual umat Islam
2. Bisa jadi dikembangkan untuk membendung
berkembangnya fatwa, putusan hukum dan pikiran-pikiran hukum yang lahir karena
kepentingan sosial-politik atau bahkan untuk mem-pertahankan status quo.
3. Bisa jadi sengaja dihembuskan oleh orang Barat untuk memberangus tradisi
berfikir umat.
Menurut hemat saya, kedua faktor
tersebut, yakni point 2 dan 3 hanyalah sebuah imbas atau resepan dari sebuah
kondisi gelobal umat Islam yang sedang mengalami kemandegan dan penurunan
kualitas intelektual, sehingga yang kemudian terjadi adalah berkembangnya
budaya mengikuti tampa melakukan pemikiran ulang atau sekadar mempertanyakan
landasan dari putusan hukum tersebut.
Taklid berasal dari kata “QOYYADA” yang
berarti mengikat. Dalam pengertian Fiqh Taklid berarti : “Ja’lul Qiladah fi al
Unuqi” artinya menjadikan ikatan mengikat ke leher”. Dalam penger tian
seseorang telah menyerahkan lehernya untuk diikat tampa ada pilihan dan
pemikiran untuk melawan atau melepaskan ikatan tersebut. Kalau orang telah
terikat oleh hukum atau pendapat seseorang (Mazhab), maka ia tidak mempunyai
kekuatan untuk melakukan kaji ulang, sehingga segala bentuk pemikirannya
diterima dengan tampa perbandingan sama sekali.
Di samping pengertian tersebut di atas,
juga terdapat pengertian-pengertian lain, baik menurut Ushul Fiqh atau ulama
Fiqh lainnya, yaitu :
1. Imam Al Gazali (Ushul Fiqh) :
“Menerima
atau memungut pendapat orang lain tampa mengetahui dalilnya”.
2. Al Qaffal
“Menerima
pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu
berpendapat (dalilnya)”.
3. Amir Bad Syah
“Beramal
dengan pendapat orang tampa mengetahui dasar hukumnya”.
Secara umum, tradisi taklid berkembang
karena adanya satu anggapan bahwa produk hukum Islam yang dihasilkan oleh ulama
jaman pertengahan terutama 4 ulama besar,
pembentuk metode dan aliran hukum Islam (Maliki, Syafi’i, Hambali dan
Hanafi) merupakan karya yang sangat fenomenal dan tidak mungkin lagi tersentuh
oleh pola pikir umat Islam zaman sekarang. Hal tersebut menyebabkan umat Islam
tidak berani melakukan koreksi terhadap produk hukum ter-sebut. Padahal kita semua pernah membaca kata-kata
bijak ke empat ulama besar, bahwa apa yang ia hasilkan bukanlah sebuah karya
yang tidak tersentuh sama sekali oleh kekeliruhan dan kesalahan.
Yang lebih tragis lagi, jika tradisi
taklid tersebut dibarengi dengan statemen untuk memper-tahankan status quo para
ulama besar tersebut, sedangkan saya sangat yakin bahwa mereka tidak
menginginkan hal tersebut. Proyeksi mempertahankan status quo produk Hukum
tersebut, sering-kali dilakukan oleh para pendukung berat metode dan aliran
Fiqh, dengan mengatakan kenapa kita tidak menghargai produk hukum tersebut,
karena kita tidak mungkin dapat menghasilkan produk hukum yang seperti itu.
Namun demikian tidaklah semua prilaku
pengikuti ajaran, pemikiran dan aturan keagamaan tersebut menjadi sebuah
fenomena taklid, karena ternyata ada daerah-daerah tertentu yang tidak termasuk
ranah taklid, yaitu :
1. Orang yang melakukan aktifitas keagamaan
(ibadah) berdasarkan AL Qur’an dan Al Hadits
2. Orang yang melakukan aktifitas keagamaan
(ibadah) beramal berdasarkan Ijma’
3. Seseorang awam yang bertanya kepada mufti
atau Qodli
4. Hakim yang memutuskan perkara berdasarkan
keterangan saksi yang adil.
Bagian Kedua :
Konsep Dasar Tentang Ijma’
Dalam system keimanan dan kepercayaan Islam,
ajaran dan konsep peribadahannya selalu berdasarkan pada dua otoritas mutlak
Islam, yang diakui sebagai satu-satunya sumber legislasi hukum dan tata nilai
keislaman. Setiap produk dan sistem atau tata nilai kehidupan manusia yang
tidak didasarkan pada kedua otoritas tersebut dapat ditolak sebagai norma-norma
kehidupan manusia.
Dalam wacana keyakinan Islam, orang yang tidak mendasarkan tata nilai
dan normanya ke-pada dua otoritas tersebut sangat mungkin orang itu akan masuk
pada spektrum kehidupan yang gelap, sebab Islam (al Qur’an dan Al Hadits)
diasumsikan sebagai sumber tata nilai dan kebenaran, yang membawa manusia
kepada kebenaran dan kejelasan.
Hal tersebut dapat dimaklumi, sebab segala penyebutan, prosesi ritual
keagamaan harus mem-punyai dasar dan landasan mutlak, sehingga orang tersebut
dengan sebenarnya dapat mengetahui dan melaksanakan konsep peribadahan dengan
benar dan sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah. Dalam perspektif
keimanan, nama Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan hanya dapat diketahui
berdasarkan informasi dan gambaran mutlak dari Al Qur’an dan Al Hadits. Oleh
sebab itu siapa saja yang menyebut dan melakukan aktifitas keimanan tampa didasarkan dua otoritas
tersebut akan menyebabkan orang tersebut menjadi Musyrik (Syirik), sebuah
ungkapan untuk mereka yang menduakan konsep ketuhanan dalam Islam.
Seseorang yang melakukan aktifitas keimanan, apapun dasarnya dan
alasannya, kalau ia tidak meletakkan Allah sebagai ultimate goal (tujuan
akhir), maka ia dapat dikategorikan sebagai pengamalan syirik. Seseorang yang
meletakkan patung, wali dan para ulama sebagai perantara “peribadahan/pengambdian”,
berarti ia telah masuk pada spektrum syirik, walaupun ia sadar bahwa ia
melakukan proses ritual. Oleh sebab itu disinilah pentingnya kehadliran dua
otoritas tersebut dalam kehidupan manusia.
Termasuk didalamnya adalah pengamalan ibadah-ibadah lainnya. Mereka yang
tidak mendasarkan bentuk peribadahannya kepada dua otoritas tersebut, dianggap
telah mengada-adakan atau bid’ah. Oleh sebab itu tidak ada satupun konsep
peribadahan dalam Islam yang tidak ada dasarnya dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Dan konsep ini jelas hanya mengakui dua otoritas ajaran yang ada didalam Al
Qur’an dan Al Hadits, selain kedua otoritas tersebut, tidak dapat diakui bahkan
dijadikan sebagai dasar penetapan hukum keimanan dan peribadahan.
Bahkan ada satu pemikiran yang sangat radikal pada awal kebangkitan umat
Islam, pemikiran radikal tersebut kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi, yang
hanya mengakui konsep dan bentuk keimanan dan peribadahan; apabila secara
tekstual dan literal ditemukan secara
pasti dalam al Qur’an dan al Hadits. Konsep “Muhyi atsar al Tsalaf”, yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan kemudian di-kembangkan oleh para reformis
pada berikutnya sebagai wacana pembaharuan adalah dalam kerangka meletakkan dua
otoritas tersebut sebagai satu-satunya dasar dalam system kepercayaan dan
peribadahan umat Islam.
Sejak awal perkembangan Islam, telah terjadi konflik atau permasalahan
system kepercayaan Islam. Permasalahan tersebut tidak menyangkut subtansi
kepercayaan Islam, tetapi menyangkut
simbol dan proses ritual sekaligus landasan hukum yang dipakai untuk
menetapkan simbol dan proses ritual tersebut. Bahkan setelah Nabi Muhammad SAW
meninggal, telah berkembang sekelompok masyarakat yang menolak apa-apa yang
berasal dari Rasulullah selain Al Qur’an, me-nentang diberlakukannya Zakat dll.
Dan oleh sebab itu, peristiwa yang terakhir tersebut menjadi preseden yang
buruk pada masa pemerintahan Kholifah Abu Bakar karena untuk pertama kali terjadi peperangan antara komunitas mulsim
yang Kaffah dan mereka yang menentang sebagian yurisprodensi Islam.
Terlepas dari peristiwa tersebut, dalam kajian yurisprodensi Islam telah
terjadi perbedaan pe-mikiran tentang sumber-sumber hukum Islam yang layak dan
diakui sebagai landasan penetapan hukum Islam.
Secara umum urut-urutan sumber hukum Islam yang masyhur adalah sebagai
berikut :
1.
Al Qur’an
2.
Al Hadits (Tradisi Rasulullah)
3.
Ijma’ (Kesepakatan Ulama)
4.
Qiyas (ra’yi yang tersistematik)
Penetapan urut-urutan sumber hukum tersebut, bukan saja berjalan tampa
ada perbedaan pemikiran, sebab ternyata mereka telah mengalami perbrdaan
pemikiran pada dua hal, yaitu :
1.
Kapan urut-urutan tersebut berkembang
!, dan
2.
Mana yang lebih dulu ada; apakah Ijma
ataukah Qiyas !.
Untuk yang pertama; terjadi perbedaan pemikiran; sebagian mereka
mengatakan bahwa konsep urut-urutan tersebut telah berkembang pada masa awal
perkembangan umat Islam, tetapi yang lain mengatakan bahwa sangat tidak mungkin
konsep urut-urutan tersebut berkembang pada masa awal perkembangan umat Islam,
sebab konsep qiyas sebagai unsur sumber hukum tersebut baru berkembang pada
periode II atau bahkan periode III, meskipun idenya telah ada dalam bentuk
Qiyas pada awal perkembangan Islam. Selain itu terdapat alasan-alasan lain yang
menjadikan mereka ragu, yaitu :
1.
Skema
teori hukum itu sendiri merupakan hasil perkembangan dan pergulatan
sejarah yang berasal dari para shahabat Nabi Muhammad SAW.
2.
Tata urutan sumber hukum merupakan
produk dari generasi yang terkemudian artinya baru berkembang pada periode
berikutnya.
3.
Konsep tentang pemimpin yang
terbimbing terutama dalam kasus adanya qiyas, baru ber-kembang setelah
khulafaur Rasyidin (4 kholifah pertama).
4.
Konsep ijma’ paling mungkin
berkembang setelah generasi pertama Islam.
Yang kedua; semua ulama sepakat bahwa Al
Qur’an merupakan otoritas mutlak pertama dalam sistem yurisprodensi Islam,dan
kemudian diikuti oleh al Hadits. Konsep ini dapat kita temukan disetiap teks
dan literatur hukum keislaman, misalnya :
1.
Kewajiban untuk taat kepada Allah dan
Rasulnya (Qs.
2.
Kewajiban untuk kembali kepada dua
otoritas hukum ketika mengalami perselisihan (Qs.
3.
Isyarat tentang urut-urutan hukum dan
sumber ajaran Islam yaitu al Qur’an dan Al Hadits pada saat pidato Haji Wada’
dan peristiwa ditugaskannya Ali Bin Abi Tholib dan Zaid bin Tsabit menjadi duta
hukum dan agama ke Yaman.
Dalam ruang lingkup tersebut, semua pemikir dan ulama Islam tidak ada
yang berbeda pen-dapat, akan tetapi ketika mereka menempatkan urut-urutan
sumber hukum yang berikutnya, yaitu Ijma dan Qiyas. Di sini telah terjadi
perseleisihan pendapat; sebenarnya mana yang lebih dulu antara Ijma dan Qiyas.
Seseorang yang mengagumi Ijma’,
mengatakan bahwa ijma’ lebih dahulu adanya dibanding-kan dengan Qiyas,
dan oleh sebab itu Ijma’ harus menempati posisi yang lebih utama dari pada
Qiyas. Akan tetapi mereka yang mendukung qiyas, mengatakan bahwa tidaklah
mungkin terjadi sebuah kesepakatan hukum atau ijma’, jika seseorang tidak
melakukan aktifitas ra’yi (berfikir) dan aktifitas berfikir yang tersistematik
pada saat itu adalah Qiyas. Dengan demikian Qiyas (ra’yi yang tersistematik)
seharusnya lebih ada dan berkembang dikalangan umat Islam, baru kemudian lahir
apa yang kita sebut sebagai kepakatan hukum oleh para pemikir (Ijma’).
Terlepas dari kontroversi itu semua, dalam uraian-uraian berikut kita
akan mencoba melihat secara gelobal eksistensi al Qur’an dan al Hadits sebagai
sumber hukum mutlak, di samping itu juga akan dibicarakan metode-metode
penggalian hukum yang kemudian kita kenal sebagai Ijma dan Qiyas.
AL QUR’AN DAN AL HADITS : DUA OTORITAS
MUTLAK SUMBER HUKUM ISLAM
Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka, bahwa Islam hanya mengakui
dua otoritas mutlak, yaitu al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber hukum dan
nilai kehidupan manusia. Pe-ngakuan tersebut bukanlah sebuah lipe service atau
pemanis muka dalam keimanan dan keber-agamaan seseorang. Pengakuan tersebut
adalah perwujudan sejati dari kualitas
keimanan dan ke-beragamaan umat Islam.
Islam dengan tegas menentang sikap kemunafikan dan kepura-puraan dalam
beragama, bahkan kamunflasi dan formalisme palsu dalam agama. Sikap apa adanya
dalam beragama merupakan perwujudan kualitas iman seseorang tampa bermaksud
untuk pamer atau show of actifity dalam pengertian atau kerangka non syiar
Islam (keagamaan).
Sumber pertama dari system keimanan dan kepercayaan Islam adalah al
Qur’an, sebuah kitab yang mengandung pedoman moral (etika), hukum (Syari’ah)
dan keimanan (Tauhid) umat Islam. Oleh sebab itu menempatkan al Qur’an dalam
posisi tersebut, berarti telah menempatkannya pada posisi yang seharusnya
sebagai sumber nilai kehidupan manusia yang normatif. Dalam pandang-an seperti
itu, al Qur’an bagi umat Islam menyebabkan lahirnya komitmen-komitmen keimanan
yang mau tidak mau harus ada didalam diri umat Islam. Komitmen-komitmen
keimanan tersebut adalah :
1.
Menempatkan al Qur’an sebagai
petunjuk bagi umat manusia ( Qs. Al Baqarah 2 dan An- Nisa’ 136).
2.
Membiasakan membaca al Qur’an sebagai
tradisi untuk meningkatkan kualitas iman, kepe-kaan terhadap nilai kebenaran
dan ayat Allah (Qs. Al Anfal/8 : 2, Al
Mujammil/73 : 4, Mu-hammad/47 : 24 dan
Ali Imron/3 : 7).
3.
Menempatkan al Qur’an sebagai dasar
pengamalan kehidupan keduniaan, kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat
dan bernegara (ekonomi, politik, sosial dan budaya) serta kehi-dupan
international (Qs. Al Jaatsiyah/45 :7-8, An Nur/24 : 51, al Maidah/5 : 45, dan An Nisa’/4 :105)
4.
Berusaha mengajarkan kepada orang
lain sehingga mereka dapat memahami dan beriman ke-padanya (Qs. Ali Imron/3 :
79 dan 104 )
5.
Berusaha memahami bahasa Arab atau
perangkat lain yang dapat dipakai memahami Al Qur’an (Qs. Yusuf/12 : 2).
Dengan melihat beberapa komitmen keimanan tersebut, maka pemahaman kita
tentang posisi al Qur’an dalam system dan tata urutan sumber hukum umat Islam
sangat jelas yaitu sebagai sumber utama dan yang paling menentukan. Oleh sebab
itu tidaklah benar jika ada sementara orang yang sarjana yang beranggapan bahwa
al Qur’an hanya mengakur proses ritual dalam hu-bungannya dengan Allah SWT,
sebagaimana yang dikemukan oleh Coulson, melainkan kitab yang mengandung
segalan ketentuan hidup manusia, ketentuan hidup yang berkaitan dengan
hu-bungannya kepada Allah dan juga hubungannya dengan manusia.
Lebih dari itu, al Qur’an bukanlah sebuah kitab Undang-undang dalam
perspektif modern yang memuat ketentuan kehidupan dalam bentuk hukum dan
ketentuan moral, melainkan ia memuat prinsip-prinsip kehidupan secara makro dan
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan manusia dengan
sesamanya.
Mengingat fungsi dan peran gelobalnya, maka prinsip hukum dan
norma-norma Qur’aniyah di susun dalam bentuk yang sangat simbolis, gelobal dan
bermakna ganda serta strategis, namun de-mikian bukan berarti kita tidak
menemukan satu prinsip atau hukum yang berkonotasi mikro artinya sempit dan
sangat teknis (ayat muqayyad), karena ternyata ditemukan juga ayat-ayat teknis.
Menurut Prof. Schacht, terdapat ayat-ayat atau aturan khusus yang sejak semula telah di-kemukakan oleh al
Qur’an yaitu ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga, warisan, kultus dan
ritual keagamaan.
Sumber hukum yang kedua adalah As Sunah atau al Hadits, dengan tidak
memper-soalkan per-bedaan pengertiannya. Sunnah diakui sebagai salah satu dari
dua otoritas yang diakui keberadaannya dalam system hukum Islam. Pengakuan dan
legitimasi keberadaan sunnah tersebut, otomatis
tidak lagi memandang adanya kontroversi dikalang an umat Islam terhadap
keaslian dan eksistensinya dalam sejarah perkembangan umat Islam.
Sebab mau atau tidak mau kita harus mengakui adanya perbedaan pandangan
terhadap eksis-tensi Sunnah dalam system kepercayaan dan keimanan umat Islam.
Mereka yang meragukan atau bahkan mengingkari Sunnah beranggapan bahwa
perjalanan sejarah Sunnah sangat kontroversial, mengingat kreteria dan kualifikasi
Sunnah ditentukan oleh ulama dan dalam pergulatan kese-jarahannya terjadi
pemalsuan-pemalsuan Sunnah terutama pada masa Umaiyah. Termasuk jika kita
melihat matan atau isi Sunnah terdapat banyak pertentangan baik Sunnah dengan
Sunnah atau bahkan Sunnah dengan Al Qur’an.
Problem sah dan tidaknya sebuah Sunnah memang sulit dipastikan karena
pembukuan Sunnah sendiri baru dilakukan setelah generasi pertama umat Islam
tidak ada, dan proses seperti ini mengundang pertanyaan-pertanyaan yang sulit
dijawab. Lebih dari itu bahwa proses pemahaman Sunnah sangat ditentukan oleh :
1.
Adanya Sunnah-sunnah Nabi Muhammad
SAW.
2.
Adanya tradisi yang berkembang pada
masa khulafaur Rasyidin (kholifah 4).
3.
Adanya tradisi atau praktek shahabat yang
tercatat.
Oleh sebab itu mereka yang meragukan eksistensi Sunnah beranggapan bahwa
sejarah perjalanan Sunnah sangat tidak transparan dan diragukan keberadannya.
Terlepas dari kontroversi tersebut, menurut hemat saya, bahwa kita
sebagai umat Islam, yang meyakini keberadaan Rasulullah sebagai suatu kebenaran
mutlak, sudah barang tentu harus meyakini kebenaran yang dikandung dan yang
diutarakan oleh Nabi Muhammad SAW. Perkara kualitas Sunnah kita sudah mempunyai
kreteria yang telah disepakati oleh para ulama.
IJMA’ (KESEPAKATAN) : PENGERTIAN DAN
KUALIFIKASI-KUALIFIKASINYA
Membicarakan Ijma’ memang membutuhkan kecermatan tersendiri, karena ia
menyangkut sebuah proses refleksi umat Islam terhadap permasalahan Hukum dan
kehidupan yang ber-kembang pada saat itu, lebih dari itu kita harus dapat
menahan diri dari kemungkinan jatuh pada proses penilaian pendapat dengan
prinsip subyektifitas. Sebab; keberadaan Ijma’ dalam system yurisprodensi Islam
tidak tampa pertentangan. Pertentangan tentang kelahirannya dan kedudukan dia
dalam struktur sumber hukum Islam, mana yang lebih dulu antara Ijma dan Qiyas,
kualitas Ijma’ yang dapat dijadikan sumber hukum Islam dan yang lain.
Untuk mengetahui lebih lanjut keberadaan Ijma’ dalam konteks pemikiran
hukum Islam, maka paparan ini akan dibagi menjadi beberapa sub pokok bahasan,
yaitu :
1.
Pengertian Ijma’
2.
Kreteria dan kulifikasi Ijma’
Pengertian Ijma’ (kesepakatan)
Secara
tegas kita tidak dapat menemukan konsep Ijma’ di dalam Al Qur’an. Kata-kata
yang mempunyai pengertian sepadan dengan Ijma’ biasanya adalah Jama’ah atau
bisa jadi Jamii’an, yang keduanya
mempunyai pengertian sekumpulan atau keseluruhan (dalam kesepakatan dan
kesamaan).
Konsep
Ijma’ sebelum datangnya Islam dipakai untuk menyebut kegiatan mengikat dua buah
susu unta menjadi satu dalam sebuah ikatan artinya dikumpulkan menjadi satu.
Penger-tian tersebut dapat dijumpai pada penggunaan idiom atau kata “Ijma’at al
Nahabi”, yang ber-arti mengumpulkan,
menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu dan menarik bersama-sama. Dalam kesempatan yang lain, idiom Arab (ijma’at Al Nahabi) juga dipakai
untuk me-nyebut hal-hal sebegai berikut
:
1.
Mengikat menjadi satu puting susu
unta betina dengan tali
2.
Sebuah lapangan luas yang terbuka,
tempat berkumpul orang-orang dengan latar bela-kang bermacam-macam atau
bercerai berai untuk bersatu.
Dengan demikian
konsep Ijma’ sebelum Islam adalah membereskan atau menyusun se-suatu yang
sebelumnya tercerai berai atau sebagai suatu pendapat yang ditentukan atau
di-tetapkan atau diputuskan oleh seseorang.
Pengertian-pengertian
Ijma’ memang berkembang dan berjalan seiring dengan per-kembangan pemikiran dan
kemampuan umat Islam, sebagai satu komunitas yang dibangun berdasarkan prinsip
jama’ah dan kesatuan. Oleh sebab itu pengertian Ijma’ juga beraneka ragam,
tetapi mempunyai subtansi dan makna yang hampir sama. Dalam pandangan seperti
ini, Ahmad Hasan memberikan pengertian definisi dalam tiga versi pengertian,
yaitu :
1.
Kesepakatan umat Islam dalam
persoalan-persoalan keagamaan
2.
Konsensus pendapat-pendapat dari
orang yang berkopenten untuk berijma’ dalam persoal an-persoalan agama baik
yang bersifat rasional ataupun hukum.
3.
Kesepakatan bulat dari ahli hukum
umat Islam ada suatu jaman tertentu dalam masalah tertentu.
Dengan melihat
pengertian dari Ahmad Hasan tersebut, maka Ijma’ yang dilakukan oleh seseorang
sangat terbatas oleh ruang dan waktu, dan ini barangkali juga akan berpengaruh
terhadap masa berlaku Ijma’ itu sendiri. Permasalahan masa berlakunya Ijma’
menyebabkan berkembangnya perselisihan pemikiran antara mereka yang setuju
Ijma’ sebagai rujukan formal Hukum untuk masa-masa sesudahnya dan mereka yang
beranggapan bahwa Ijma’ hanya berlaku untuk dimensi atau periode tertentu.
Al Gazali yang hidup
setelah Imam Syafi’i memberikan pengertian Ijma’ sebagai kesepa-katan
masyarakat Muhammad terhadap suatu masalah, bahkan dalam pengertian yang lebih
singkat lagi menurut Imam Abu Husayn al Basri,
dikemukakan bahwa Ijma’ adalah persetu-juan dari sekelompok masyarakat
terhadap suatu masalah dengan jalan melakukan tindakan atau menghindarinya
(menghindar dari tindakan yang diperselisih-kan).
Dengan demikian,
secara umum dapat ditarik pengertian atau
kesimpulan, bahwa unsur atau komponen Ijma’ meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.
Kesepakatan pemikiran.
2.
Ahli hukum, yang kalau dilembagakan
menjadi Ahl Hall Wa al Aqdi
3.
Kelompok masyarakat
4.
Periode atau waktu terjadi dan
berlakunya Ijma’
5.
Masalah yang diperselisihkan
Seperti yang telah
dikemukakan di atas, bahwa konsep Ijma’ tidak kita temukan pada awal
perkembangan Islam, artinya ijma’ berfungsi sebagai legalitas formal dalam
system per-kembangan hukum Islam, karena pada saat yang sama Islam mempunyai
sumber hukum yang otoritasnya bersifat mutlak, yaitu al Qur’an dan as Sunnah.
Ketika nabi Muhammad SAW meninggal dunia, legalitas hukum dari sebuah pemecahan
permasalahan hukum yang baru sangat tergantung hasil pemikiran umat yang
mendapat petunjuk. Kelompok Umat yang tercerahkan tersebut adalah 4 Khalifah
pertama (ia disebut Khulafaur Rasyidin). Maka dalam peristiwa penetapan hukum
berdasarkan pendapat pribadi (Ra’yi atau Qiyas) telah terjadi proses
persetujuan dari sekelompok umat Islam, yang menganggap benar
penetapan-penetap- an yang dilakukan oleh mereka. Di sinilah terjadi apa yang
kita sebut sebagai “Ijma semi formal”
Penetapan Ijma’
sebagai legalitas Semi Formal sebagimana yang disebut di atas, tidak mempunyai
legalitas atau kekuatan hukum sebagaimana as Sunnah atau al Hadits, hal
ter-sebut disebabkan :
1.
As Sunnah merupakan tradisi yang
sudah mengakar dikalangan bangsa Arab bahkan se-belum datangnya umat Islam.
2.
Keberadaan legalitas (penetapan
hukum) Sunnah telah diakui dan didukung oleh al Qur’an, sehingga menjadi hukum
formal.
3.
Konsep Ijma’ itu sendiri masih
diperdebatkan terutama berkaitan dengan Ijma’ ma-syarakat (Tradisi yang telah
disepakati dan diamalkan oleh masyarakat) dan Ijma’ yang dilakukan oleh para
ulama, yang sementara itu masih diperselisihkan oleh para ulama yang lain.
Pada perkembangan
berikutnya, terutama dalam sejarah Islam aktual yang terus menerus berkembang.
Penggunaan konsep Ijma’ mau tidak mau harus mengalami perubahan fungsi-nya;
dari semi formal legalitas menjadi formal legalitas. Perubahan fungsi legalitas
Ijma’ tersebut disebabkan oleh perubahan dan perkembangan umat Islam yang tidak
mungkin me-lebarkan dan memperluas konsep atau subtansi Sunnah setelah Nabi
Muhammad SAW, sebab secara subtansial Sunnah telah berhenti berkembang setelah
Nabi meninggal dunia.
Di samping itu,
perubahan fungsi legalitas Ijma’ juga disebabkan oleh :
1.
Adanya larangan praktek tradisi atau
Sunnah yang berbeda setelah kholifah 4 (khulafaur Rasyidin), yang dipicu
terjadinya kekacauan hukum dan theologi akibat berkembangnya konsep aliran dan
mazhab.
2.
Terjadinya pemisahan antara konsep
Sunnah dan Ijma’ dalam satu pengertian yang ter-sendiri. Sunnah berarti sebuah
hadits atau teks perbuatan Nabi, sedangkan Ijma’ merupa-kan rujukan dalam
konteks hukum Islam.
Pada abad ke 3 dan
4, konsep Ijma’ sebagai satu legalitas formal menjadi semakin tegas
keberadaannya, yaitu dengan terjadinya pemisahan antara Ijma’ masyarakat dan
Ijma’ ulama atau ahli hukum, bahkan dalam perkembangan terakhir, konsep Ijma’
masyarakat tidak lagi menjadi bahan pertimbangan bagi para ulama untuk
menentukan produk hukum dari Ijma’ ulama. Untuk itu pengertian Ijma’ berubah
menjadi sebuah persetujuan dari kelompok
ma-syarakat atau umat Muhammad SAW terhadap masalah keagamaan dengan jalan
melakukan atau menghindari masalah tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh
Imam Al Gazali dan Abu Husayn al Basri tersebut di atas.
Melihat pengertian
dan perjalanan sejarah aktual Ijma’ dalam keseluruhan sejarah keislam-an, maka
Ijma’ mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu peran pemersatu dan peran
politik bagi umat Islam.
1.
Peran pemersatu
a.
Al Qur’an dalam menyebut masyarakat
Islam atau komunitas Islam, selalu disebut dengan nama “UMMAH”, sebuah konsep
yang mengandung pengertian adanya kesatuan, persamaan dan persaudaraan. Konsep
Ummah pada zaman Nabi dibangun berdasarkan perintah dan ajaran al Qur’an dan as
Sunnah, artinya bahwa kedua otoritas tersebut di-pakai sebagai instrument
penegakan rasa kesatuan dalam komunitas Islam.
b.
Setelah Nabi meninggal, konsep
pemersatu Umat dilakukan oleh 4 pemimpin yang mendapat petunjuk (Khulafaur
Rasyidin).
c.
Ketika 4 pemimpin tersebut meninggal
dan kemudian umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok, sekte dan aliran,
maka tidak mungkin kita akan memperlebar atau mengadakan Sunnah baru, dan
disinilah konsep Ijma’ dibutuhkan sebagai alat pemersatu.
2.
Peran politis umat
a.
Ijma’ dipakai sebagai alat untuk
menjaga persatuan umat, sebagaimana kasus pe-milihan Abu Bakar sebagai
kholifah, yang hanya dipilih oleh beberapa orang saja atau sebagai Ijma’
personal (tokoh-tokok yang kredible) yang kemudian menjadi se-buah kesepakatan
masyarakat atau Ijma’ masyarakat.
b.
Ijma’ merupakan aplikasi atau
perwujudan dari konsep Syuro, yang secara kelemba-gaan disebut sebagai Ahl Hall
wa al Aqdi.
c.
Ketika Ijma’ masyarakat/persetujuan
masyarakat tidak lagi menjadi rujukan atau sebagai pertimbangan produk hukum
atau politik sebagaimana pada masa
pemerin-tahan Islam otoriter, maka Ijma adalah kesepakatan ulama atau
Ahl Hall wa al Aqdi.
Kreteria
dan kualifikasi Ijma’
Ijma’ yang kita sepakati sebagai salah satu
otoritas dalam penentuan dan penetapan hukum Islam haruslah sebuah produk yang
mempunyai kualifikasi yang baik. Sebab dengan eksis-tensi sebagai salah
otoritas sumber hukum tersebut, Ijma’ harus dapat menjamin dirinya se-bagai
produk yang benar-benar kualifait. Untuk menjamin kualitas tersebut, maka
pelaku-pelaku Ijma’ juga harus orang-orang yang teruji dan terpilih dengan
memenuhi persyaratan-persyaratan atau kreteria yang telah disepakati pula oleh
hukum Islam. Persyaratan-persyarat an yang harus dipenuhi tersebut, misalnya :
1.
Pelaku Ijma’ harus beragama Islam. Oleh
sebab itu persetujuan atau penolakan orang Kafir terhadap produk hukum yang
telah ditetapkan oleh Ijma’ tidak bernilai Ijma’.
Lebih lanjut, dalam
pandangan Al Gazali pelaku Ijma’ yang dikenal sebagai pelaku Bid’ah, orang
Fasiq atau orang-orang yang dikucilkan dari komunitas umat Islam; tidak
diperbolehkan melakukan Ijma’ atau pendapatnya tidak bernilai Ijma’.
2.
Dari segi kualitasnya, maka Ijma’
dilakukan oleh tiga kelompok orang, yaitu :
a.
Ahli hukum (Mujtahidin) yaitu
kelompok ahli hukum, kegiatan berfikir
(Ijtihad), Ulama Ummat, Faqih (faham hukum) dan Ahl Hall wa al Aqdi (dewan
pengambil putusan), dengan persyaratan bahwa mereka faham seluk beluk bahasa
Arab, me-nguasai ayat dan hadits ahkam dan mereka bukan termasuk mujtahid yang
dikucilkan (terasing).
b.
Awsath mutasyabihah yaitu ahli hukum
yang tidak mempunyai keahlian atau spe-sifikasi keilmuan, ahli ushul fiqih
tetapi tidak ahli dalam bidang hukum dan ke-lompok mujtahid fasiq. Berkaitan
dengan legalitas hasil Ijma’ mereka, nampaknya tidak dapat dipakai sebagai
sumber penetapan hukum.
c.
Masyarakat awam (rakyat biasa).
Sebagian mereka mengatakan bahwa hasil Ijma’ Masyarakat dapat dipakai
pertimbangan penetapan hukum, namun menurut Al Gazali Ijma’ tidak dapat dipakai
karena :
· Hasil
Ijma’ mereka tidak berkualitas atau memenuhi standar yang disyaratkan.
· Orang-orang
yang hidup pada generasi pertama tidak setuju menggunakan Ijma’ orang awam
sebagai bahan pertimbangan penetapan hukum.
Di samping itu ada
yang beranggapan bahwa ijma’ ulama sah
tampa memandang pertimbangan masyarakat atau Ijma’ masyarakat tidak sah tampa
ada pendapat ahli hukum.
Berdasarkan kreteria
dan persyaratan sebagaimana yang disebutkan diatas, maka Ijma’ dibagi menjadi
dua, yaitu :
1.
Ijma’ lisan (azimah/reguler) yaitu Ijma’ atau kesepakatan
seorang ahli hukum terhadap problem hukum yang dinyatakan dengan pernyataan
terbuka (lisan)
2.
Ijma’ diam (sukuti/rukhshah) yaitu
Ijma’ yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan diam artinya tidak
mengungkapkan persetujuan atau penolakan dengan pernyataan, namun demikian
legalitas dan keabsahan Ijma’ diam-diam harus memenuhi standar :
a.
Pendapat sebagai Ijma’ diam-diam
(Rukhshah) tersebut diketahui oleh ulama lain.
b.
Waktu sebagai persyaratan reaksi atau
kritik terhadap kesepakatan atau pendapat telah berlalu.
Permasalahan hukum
yang berkembang dikalangan umat Islam tentunya ber-macam-macam dan selalu
muncul disetiap detak masyarakat muslim, namun demikian ruang lingkup yang
diyakini dapat dilakukan proses Ijma’ sangatlah terbatas, diantaranya adalah :
1.
Hukum-hukum agama yang meliputi hukum
syar’i dan hukum ghoir syar’i atau hukum duniawi.
2.
Hukum-hukum pada point 1 dapat
dirinci menjadi :
a.
Hukum agama (hal yang meliputi
permasalahan peribadahan)
b.
Hukum duniawi (hal-hal keagamaan yang
berkaitan dengan permasalahan duniawi).
c.
Hukum intelektual atau hasil
pemikiran kemanusiaan
d.
Hukum Inderawi
e.
Adat istiadat
f.
Etimologis.
KEABSAHAN IJMA’ DALAM SYSTEM DAN SUMBER
HUKUM ISLAM
Ijma’ sebagai salah satu otoritas dalam system sumber hukum Islam,
mempunyai banyak per-masalahan yang kemudian menyebabkan lahirnya perbedaan
pemikiran di kalangan kaum muslim atau secara khusus pada ahli hukum Islam
tersendiri. Permasalahan-permasalahan
yang lahir di-seputar Ijma’ itu sendiri meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.
Otoritas atau dalil yang dipakai
sebagai dasar adanya prilaku atau metode Ijma’
2.
Problematika keabsahan Ijma diam-diam
sebagai sumber hukum Islam
3.
Persyaratan waktu dalam Ijma’
4.
Perlunya Dalil Naqli sebagai landasan
Ijma’.
Untuk memperoleh pengetahuan yang cukup berkaitan dengan Ijma’ termasuk
didalamnya permasalahan yang berkembang diseputar Ijma’, maka perlu dijelaskan permasalahan-perma-salahan tersebut.
Otoritas dan dalil
adanya Ijma’
Ijma’ sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, sedikit banyak telah melahirkan perbedaan
pemikiran dikalangan umat Islam, terutama yang berkaitan dengan keabsahannya
se-bagai salah satu sumber hukum Islam. Pemikiran pengabsahan ijma’ sebagai
salah satu sumber hukum Islam didorong oleh satu pemikiran bahwa Sunnah sebagai
sumber hukum telah habis masa berkembang dan produksinya, padahal dalam
tinjauan dan kepentingan hukum Islam, diperlukan metode atau cara untuk
menggali hukum Islam sebagai alternatif pemecahan permasalahan hukum Islam.
Untuk itu diperlukan kesepakatan hukum yang dapat berlaku secara normatif.
Bermasalahan pertama
yang berkembanga adalah apa yang dapat dijadikan dasar atau dalil bagi
terwujudnya Ijma sebagai otoritas hukum tersendiri bagi umat Islam. Menurut para pemikir hukum Islam, terdapat
dua otoritas yang mendasari keabsahan praktek Ijma’ yaitu al Qur’an dan al
Hadits.
Penetapan al Qur’an
sebagai dasar adanya Ijma’ baru berkembang setelah Imam Syafi’i (abad II H),
dan penetapan tersebut tidak pernah dijumpai sebelum zaman Imam Syafi’i. Imam
Syafi’i sendiri tidak pernah menggunakan al Qur’an sebagai dasar pengabsahan
Ijma’ kecuali as Sunnah (hadits), bahkan Imam Syafi’i tidak mendukung
penggunaan al Qur’an sebagai dasar diperkenankannya Ijma’.
Penetapan al Qur’an
sebagai dasar legalitas Ijma’ telah dilakukan oleh beberapa ulama dengan
menggunakan ayat yang berbeda, misalnya :
1.
Abu Bakar al Jashshash (370 H). Dalam
mendukung legalitas Ijma’, ia
menggunakan ayat-ayat sebagai berikut :
a.
Al Baqarah ayat 23, yang
intinya terdapat dua hal yaitu
· Kata
Wasath yang mempunyai arti sifat kelurusan dan keadilan sebagai sifat dari umat
Rasulullah, maka dari itu konsep wasath menuntut adanya legalitas dan pengakuan
keputusan masyarakat.
· Nabi
adalah saksi dari umat tersebut artinya otoritas kebenaran masyarakat Islam
menjadi tanggungan Nabi sebagai saksi.
b.
Qs.
Ali Imron/3 : 110
c.
Qs. At Taubah/9 : 16
d.
Qs. Luqman/ 31 : 15
2.
Imam Al Gazali; menggunakan ayat-ayat
yang dipakai oleh al Jashshash dan ia juga me-nambah ayat-ayat lain untuk
menguatkan keabsahan Ijma’, yaitu Qs. Ali Imron/3 : 103, An-Nisa’/4 : 59, Al A’raf/7 : 181 dan Qs. Asy Syuura/42 : 10
3.
Fahruddin ar Razi (606) menggunakan
Qs. An Nisa’ 59 yang intinya perintah kembali kepada Allah, Rasul dan pemimpin
yang tercerahkan jika terjadi perbedaan pemikiran di-kalangan umat, untuk
mengikuti pendapat yang telah disepakati.
4.
Al Amidi menggunakan Qs. Ali
Imron 103 untuk menguatkan legitimasi
Ijma’. Ia me-ngatakan bahwa Allah melarang setiap bentuk perselisihan dan
perpecahan dan tidak ada-nya perselisihan merupakan subtansi Ijma’.
Penggunaan dalil
atau teks-teks Qur’an tersebut, nampaknya ditanggapi lain oleh para penentang
diberlakukannya Ijma’ sebagai salah satu sumber otorita dalam system hukum
Islam. Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat tersebut tidak secara tegas
menyatakan konsep Ijma’, tetapi akibat dari perkembangnya permasalahan yang
mucul dikalangan umat Islam, ketika mereka tidak lagi menjadikan Al Qur’an
sebagai pedoman hidup, moralitas dan etika kehidupan manusia. Ringkasnya ia
merupakan akibat ketidak perdulian umat terhadap ajaran agamanya sendiri.
Dalil kedua, yang
dipakai sebagai landasan legalitas keberadaan Ijma’ berasal dari Hadits-Hadits
Nabi Muhammad SAW. Ada dua hadits yang nyata-nyata memberikan isyarat adanya
Ijma’, yaitu :
1.
“Bahwa patuhlah ummat karena Allah
tidak akan membiarkan ummat Muhammad ber- sepakat dalam kesalahan”.
2.
“ Bahwa apa-apa yang dianggap baik
oleh umatku, maka baik juga bagi Allah, demikian pula apa yang dianggap buruk
oleh umatku, maka buruk pula bagi Allah”.
3.
“Bahwa ada 3 hal dimana hati seoarang
muslim tidak akan pernah bakhil, yaitu ketulusan amal perbuatan untuk mencari
ridha Allah, mendoakan otorita-otorita dan kepatuhan terhadap kehendak umat;
seruan mereka akan melindungi dari belakang”.
Hadits-hadits tersebut, nampaknya
disepakati oleh penerima konsep Ijma’ sebagai dasar legitimasi pendapat
masyarakat atau Ijma’ dalam system hukum Islam. Terutama ketika mereka memahami
konsep umat yang selalu dipakai untuk menyebut satu komunitas atau ma-syarakat
Muslim.
Umat berasal dari
kata Arab Ummah yang artinya kelompok masyarakat. Dalam pan-dangan Islam Umat
berarti komunitas atau masyarakat Muslim yang didalamnya terbentuk dari
sikap-sikap kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan. Dengan demikian ketika
menyebut umat Islam, maka yang seharusnya yang ada adalah kesatuan atau
kesepakatan pemikiran, sikap dan tindakan serta menentang segala bentuk upaya
perpecahan dan bersekutu dalam ke-salahan dan kebatilan.
Dalam perspektif
yang lain, ummat juga mempunyai atau digunakan untuk ha-hal sebagau berikut
:
1.
Mayoritas kaum muslimin terutama
dalam kasus pembunuhan Utsman bin Affan dengan mengatakan atau mengambil
pemikiran bahwa patuhilah pada ummat karena Allah tidak akan membiarkan ummat
Muhammad bersepakat dalam kesalahan.
2.
Dewan para ahli hukum atau ulama
sebagai perwujudan kesepakatan umat.
3.
Dewan yang terdiri dari para shahabat
pendiri masyarakat Islam dan mereka yang tidak mungkin bersepakat dalam
kesalahan.
4.
Masyarakat muslin secara keseluruhan
5.
Dan menurut At-thabari adalah
masyarakat muslim yang bersepakat atau para pimpinan politik.
Dengan prinsip keummatan tersebut, maka
nampaknya Ijma’ memperoleh landasan legi-timasinya, sehingga mau tidak mau
masyarakat harus menjalankan produk kesepakatan ter-sebut dalam kehidupan,
karena setiap produk hukum tentunya mempunyai nilai normatif dan mengikat.
Bahkan secara tegas banyak yang mengatakan bahwa orang yang tidak setuju Ijma’
adalah menentang agama. Komentar-komnetar yang menekankan pentingnya Ijma’
ber-kembang pada abad ke 4-5 H, jauh setelah masa Imam Syafi’i yang juga
mengakui otoritas Ijma’. Komentar-komentar tersebut antara lain :
1.
al Bazdawi (w. 428 H) mengatakan
bahwa orang yang menolak Ijma’ berarti menolak agama.
2.
Al
Sarakhsi (w. 490 H) mengatakan bahwa orang yang menolak validitas
Ijma’ berarti meruntuhkan agama an sich.
3.
Abdul Malik al Juwayni (w. 478 H)
mengatakan bahwa Ijma’ merupakan tali pengikat dan penopang syari’ah, yang dari
padanya syari’ah dapat otensitasnya.
Sudah barang tentu komentar-komentar
tersebut memberikan dampak psykologis dan ke-agamaan umat Islam pada masa
berikutnya, sehingga mau tidak mau umat
secara kese-luruhan juga mengakui otoritas Ijma’ sebagai salah satu system
hukum Islam; sebagaimana yang kita jumpai pada saat ini. Namun demikian
berlakunya Ijma’ sangatlah terbatas pada se-buah permasalahan yang secara tegas
tidak ditemukan, termasuk masa berlakunya Ijma’ itu sendiri sangat ditentukan
oleh situasi dan kondisi sosial keagamaan masyarakat.
Menempatkan Ijma’
sebagai sumber legitimasi dalam system hukum Islam dengan di- dasarkan pada
Hadits terutama penggunaan kata-kata Ummat dan Ketidak mungkinan salah (infallibilitas) dan tidak mungkinnya umat
bersepakat dalam kesalahan , bukanlah sebuah ga-gasan tampa permasalahan atau
perselisihan, sebab pada perkembangannya nampak sekali adanya perbedaan
pemikiran terhadap penggunaan hadits-hadits tersebut di atas.
Hadits-hadits oleh
para pengkritik keabsahan Ijma’ diakui sebagai hadits yang mempunyai makna dan
perintah untuk menciptakan dan menggalang kesatuan dan menentang segala bentuk
upaya perpecahan, akan tetapi menggunakan hadits tersebut menjadi dasar
keabsahan Ijma’ bukanlah sebuah gagasan yang bijaksana dan obyektif, melainkan
sebuah gagasan yang bersifat subyektif dan gagasan itu bisa saja salah. Hal
tersebut disebabkan :
1.
Bahwa tidak terdapat gagasan Ijma’
sebagai suatu doktrin teoristis pada awal per-kembangan Islam (Nabi Muhammad).
2.
Bahwa ahli hukum tidak dapat
menetapkan makna atau jama’ah sebagai suatu ke-wajiban untuk diikuti oleh kaum
muslim sesuai perintah Nabi Muhammad SAW..
3.
Hadits-hadits umum tersebut tidak
dapat dipakai atau dibatasi pada satu sudut pandang tertentu saja sebagaimana
yang dilakukan oleh mereka.
Menjawab kritik tersebut, Imam al Gazali
mengatakan bahwa hadits-hadits yang dipakai oleh para pendukung Ijma’ tersebut
secara umum mengandung pengertian bahwa Nabi Mu-hammad SAW bermaksud mengangkat
derajat masyarakat dan untuk menunjukkan
infalli-bilitasnya masyarakat Muslim. Di samping itu, terlepas dari system pengetahuan
pasti bahwa pengetahuan melalui kesimpulan non
hadits tersebut telah tersebar pada jaman Shahabat dan Tabi’in dan
mereka membenarkan adanya Ijma’.
Dalil yang ketiga,
adalah dalil rasional (Akal), yaitu alasan-alasan pemikiran yang dapat dipakai
sebagai dasar keabsahan. Permaslahan bahwa umatku atau masyarakat Islam tidak
mungkin bersepakat salah mempunyai pengertian bahwa masyarakat Muslim tersebut
secara individual terdiri atau terbentuk dari individu yang benar (tidak
salah). Namun demikian apakah tetap dapat dikatakan tidak terlepas dari
kesalahan artinya bebas dari kesalahan (In-fallibilitas) jika masyarakat
tersebut terbentuk dari individu yang salah atau berpemikiran salah. Dan kalau
hal tersebut terjadi apakah Ijma’ tetap dapat dipakai sebagai sumber hukum
Islam.
Menurut Imam al Juwayni
bahwa rasio dapat dipakai sebagai landasan keabsahan Ijma’ dengan alasan-alasan
sebagai berikut :
1.
Bahwa memang terdapat perbedaan hasil
berfikir spekulatif , namun demikian mereka ada yang bersepakat secara pasti
terhadap ketentuan dan tidak menolak suatu pendapat apapun.
2.
Jika mereka bersepakat dalam suatu
masalah yang spekulatif dan mereka menyatakan bahwa hal tersebut bersifat
spekulatif, maka kesepakatan tersebut dapat dianggap sebagai otoritas yang
pasti.
Sedangkan bagi
mereka yang menolak landasan rasional, mengatakan bahwa jika individu yang
hidup dalam komunitas tersebut salah, maka komunitas tersebut juga berarti
salah. Dan dengan demikian kesepakatan masyarakat tidak dapat dipakai sebagai
dasar penetapan hukum Islam.
Keabsahan Ijma’ diam-diam.
Sebagaimana yang dikemukakan di muka, bahwa konsep Ijma’ secara legitimate baru ber-kembang pada abad ke 4-5 H, dan kemudian menemukan konsep secara sempurna pada masa berikutnya. Pada masa ini lahir konsep pembagian Ijma’ yang kemudian dikenal sebagai Rukn al Ijma’. Rukn al Ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Reguler (lisan/azimah) dan Ijma’ diam-diam (Rukhsah). Ijma’ Lisan adalah Ijma’ yang dinyatakan secara terbuka dalam proses pemandangan dan penajaman permasalahannya, sehingga hasil kesepakatan tersebut juga diakui secara terbuka. Ijma’ lisan (reguler) berkembang melalui proses alam, teratur dan merupakan wujud atau cerminan keaslian masyarakat yang transparan.
Oleh sebab itu Ijma’ lisan sangat berbeda landasan dan arahnya dengan Ijma’ diam-diam. Ijma’ diam-diam adalah sebuah konsep atau kesepakatan hukum yang tidak teratur dan didasarkan oleh kebutuhan tertentu; dalam pengertian yang lain kehadirannya lahir karena ter desak oleh suatu keadaan tertentu. Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, maka Ijma’ diam-diam hanya berlaku secara individual dan tidak terbuka untuk umum.
Ijma’ diam-diam menjadi sangat penting apabila di lihat dari kepentingannya dalam pergualatan hukum Islam, apakah ia sah dan legitimate apabila dipakai sebagai landasan pe-netapan hukum Islam. Al Bazdawi mengatakan bahwa Ijma’ diam-diam itu sah dipakai sebagai dasar hukum apabila telah diketahui oleh para ulama dan waktu reaksi atau ber-edarnya telah berlalu. Demikian juga dengan Abu Husayn al Basri, bahwa Ijma’ diam-diam menjadi sah apabila pendapat tersebut tersebar dimasyarakat dan kemudian tidak ditanggapi oleh ulama atau masyarakat.
Al Sarakhsi sebagai salah satu ulama yang mendukung Ijma’ diam-diam menambahkan bahwa :
1.
Seorang ulama tidak boleh berdiam
diri jika ia menemukan kesalahan pendapat dalam masyarakat.
2.
Bahwa Allah tidak hambanya, maka
dalam praktek keagamaan, mustahil seseorang dapat mendengar pendapat, prilaku
generasi yang lalu atau pemikiran dari tiap-tiap generasi yang lau, maka sikap
diam ulama merupakan tanda kesepakatan atau Ijma’.
Berbeda dengan al Gazali, bahwa sikap
diam bukanlah sebuah alasan yang dapat
dipakai untuk menentukan hukum, walau ada yang mengatakan bahwa diam
adalah emas atau tanda setuju dari permasalahan yang telah disodorkan
kepadanya. Sikap diam bukanlah Ijma’ dan bukan pula otorita, sebab sikap diam
itu meragukan. Sikap diam seseorang bisa jadi disebab-kan oleh hal-hal sebagai
berikut :
1.
Mungkin ada halangan yang tersembunyi
untuk menyuarakan pendapatnya. Sikap marah dalam kediamannya merupakan
pendapat.
2.
Ia menganggap bahwa pendapat “boleh” menurut atau untuk dirinya sendiri,
meskipun ia berbeda pendapat dengannya (orang lain) dan menganggap pendapatnya
sendiri salah.
3.
Ia percaya bahwa mujtahid (orang yang
berpendapat) itu benar, sehingga ia tidak perlu mengeluarkan pendapat.
4.
Mungkin sikap diam itu sebagai
penolakan atau untuk menunggu waktu yang tepat.
5.
Ia khawatir jika ia mengeluarkan
pendapat akan ditolak dan oleh karena itu ia mendapat malu.
6.
Mungkin dalam kondisi diam tersebut,
ia masih berfikir.
7.
Ia beranggapan bahwa penolakan ulama
tersebut telah cukup mewakili dirinya.
Persyaratan waktu dalam Ijma’
Permasalahan berikutnya yang cukup menyita
energi pemikiran para ulama dalam masalah Ijma’ adalah perlukah “berlalunya
waktu” sebagai salah satu persyaratan keabsahan Ijma’. Permasalahan tersebut
berkembang karena adanya perubahan pendapat atau pemikiran dari sebagian mereka
yang ikut dalam kesepakatan yang menyebabkan berkembangnya keraguan tentang
finalitas atau selesainya proses Ijma dan kekuatan operatifnya (kekuatan
hukumnya).
Di
samping kemungkinan kejadian dan peristiwa tersebut, hal lain yang juga
menye-babkan berkembangnya perdebatan syarat waktu adalah landasan atau dalil
Ijma’ yang di-pakai oleh mereka. Jika dalil yang dipakai dalam kesepakatan
tersebut bersifat desesif atau dalaliah (merujuk langsung pada al Qur’an dan al
Hadits), maka Ijma’ tidak memerlukan syarat berlalunya waktu, sedangkan jika
Ijma didasarkan kepada dalil spekulatif, maka ia akan menghasilkan produk yang spekulatif
dan rentang perubahan dan untuk kejadian ter-akhir diperlukan persyaratan
berlalunya waktu.
Yang
dimaksud berlalunya waktu sebagai persyaratan Ijma itu adalah jika Ijma’
di-keluarkan atau disepakati, maka ia akan sah menjadi landasan hukum yang final
dan operatif apabila orang yang ikut dalam proses Ijma’ tersebut telah
meninggal dunia. Dalam pengertian berlalunya waktu (syarat waktu) dapat
diperluas mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.
Berlalunya generasi yang ikut dalam
proses Ijma’ (kesepakatan).
2.
Meninggalnya mayoritas ulama yang
ikut dalam proses Ijma (kesepakatan).
3.
Meninggalnya tokoh utama generasi
yang ikut dalam proses Ijma’
4.
Meninggalnya semua ulama dari
generasi yang ikut dalam proses Ijma’.
Ulama
atau ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam mensikapi perlu atau tidaknya
persyaratan waktu dalam penentuan sahnya Ijma’. Dalam rentang waktu yang
panjang, me-nuju kesempurnaan konsep Ijma’, perbedaan pemikiran tersebut dibagi
menjadi dua sikap, yaitu :
1.
Menolak persyaratan waktu
Mereka
yang menolak persyaratan berlalu waktu adalah sebagian pengikut Imam Syafi’i,
Abu Hanifah, Asy’ariyah dan Mu’tazilah, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a.
Berlalunya waktu akan menyebabkan Ijma tidak akan
menjadi otorita, tetapi yang menjadi otorita adalah berlalunya waktu itu
sendiri.
b.
Berlalunya waktu akan menyebabkan
tidak tercapai kesepakatan (Ijma’) karena ada perbedaan pendapat, kondisi
sosial dam generasi; dan ini hal tidak akan dapat ber-henti (ad infinitum).
c.
Ijma’ adalah sebuah otorita
sebagaimana kedudukan Nash (al Qur’an dan al Hadits), sedangkan keabsahan nash
tersebut tidak ada persyaratan waktu. Maka Ijma’ juga tidak perlu persyaratan
waktu.
d.
Ayat-ayat yang mengesahkan otoritas
Ijma’ tidak mensyaratkan adanya (berlalunya) waktu dalam Ijma’.
e.
Jika perlu persyaratan waktu, maka
para shahabat dan tabi’un selalu berbeda dalam mengemukakan pendapat dan dengan
demikian kesepakatan tidak akan pernah di-capai dalam masalah apapun.
f.
Yang menjadi otorita adalah Ijma’ itu
sendiri, bukan berlalunya waktu.
g.
Jika kematian dijadikan syarat sahnya
(otorita) Ijma’, mengapa kematian Nabi Mu-hammad SAW tidak dijadikan syarat
sahnya (otorita) pendapat Nabi (Hadits).
2.
Menerima persyaratan waktu
Merak
yang menekankan adanya “persyaratan waktu” adalah Imam Syafi’i, Imam Hambali
dan Imam Hanafi, mereka beralasan :
a.
Isyarat Qs. Al Baqarah /2 : 143 yang
menyatakan keunggulan Umat Mu-hammad, yang akan terus mendapat perlindungan
kebenaran dari Allah atau dalam pengertian yang lain mempunyai sifat
ketidakmungkinan sepakat dalam kesalahan (In-fallibilitas).
b.
Bahwa Ijma’ dapat tercapai karena
adanya perbedaan pemikiran/pendapat dan pe-nafsiran dan para ulama bebas
mengeluarkan pendapat setelah terjadi kesepakatan.
c.
Pendapat ulama tidak dipertimbangkan
pada masa hidupnya, maka setelah mereka meninggal pendapat tersebut tidak akan
dipertimbangkan, karena ulama lain yang akan berpendapat.
d.
Pendapat masyarakat kedudukannya
tidak lebih tinggi dari pendapat Nabi,
maka Islam (pendapat Nabi) itu sendiri tuntas (tidak berkembang) setelah
Nabi meninggal dunia.
e.
Mungkin Ijma bertentangan dengan
Hadits Nabi pada saat ia mengingat hadits nabi tersebut, kemudian ia menarik
pendapatnya. Maka sudah barang tentu Ijma’ terjadi dan apabila ia tidak menarik
pendapatnya, maka berlalunya waktu merupakan alter-natif yang dapat
dipertibangkan.
Dari
beberapa pemikiran dan alasan tersebut di atas, baik yang mendukung
di-berlakukannya syarat "berlalunya waktu” atau yang menolak “berlalunya
waktu”, maka me-nurut hemat saya keperluan dan persyaratan waktu tersebut bisa
dibagi dalam dua kategori, yaitu :
1.
Perlu waktu apabila memang
kesepakatan atau Ijma’ tersebut memerlukan pertimbangan waktu, misalnya yang
menyangkut hukum akibat perkembangan IPTEK. Dan yang kedua jika sebagian besar
partisipan dari Ijma’ tersebut masih hidup.
2.
Tidak perlu waktu apabila masalah
yang disepakati menyangkut masalah yang tidak meli-batkan perusakan dan
pemusnahan yang disengaja. Dan yang kedua, jika masalah yang disepakati (Ijma’)
didasarkan kepada dalil-dalil yang desesif (dalaliah).
Perlunya dalil Naqli dalam Ijma’
Sebagaimana yang
sudah dijelaskan panjang lebar dimuka, bahwa Ijma’ adalah sebuah otorita yang
diakui sah dalam system penetapan hukum Islam. Dan sudah barang tentu dengan
keberadaan dia sebagai otoritas maka ia juga adalah dalil atau otoritas. Konsep
ter-sebut tidak lantas lepas dari permasalahan, karena ternyata timbul
permasalahan tentang “apakah perlu Ijma’ tersebut dikuatkan lagi dengan dalil
Naqli”.
Konsep perlu
tidaknya Ijma’ dikuatkan oleh dalil Naqli tersebut berkembang pada abad ke 4 H.
jauh setelah meninggalnya Imam Syafi’i, sebab pada masa Imam syafi’i kita tidak
me-nemukan konsep tersebut. Menurut teori klasik, bawha tidak Ijma’ yang sah
terkecuali bila dikuatkan dengan dalil penunjang baik yang berasal dari Al
Qur’an yang kemudian disebut dalilah atau dalil indikatif/desesif. Dan yang
kedua dalil dari hadits ahad atau analogi yang kemudian disebut dalil amarah,
pandangan atau bukti spekulatif.
Secara umum pendapat
mengenai dalil Naqli dalam Ijma’ terbagi menjadi dua, yaitu mereka menyatakan
perlunya dalil sebagai penguat dan mereka yang mengatakan tidak adanya dalil
dalam Ijma’. Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasannya :
1.
Adanya syarat dalil dalam Ijma’, alasan :
a.
Tampa adanya dalil atau otorita yang
mendukung, maka Ijma’ tidak akan mencapai derajat kebenaran.
b.
Nabi Muhammad membuat keputusan
berdasarkan wahyu Allah; Shahabat secara forteori juga melakukan hal yang sama.
Oleh sebab itu masyarakat yang berpendapat
harus berdasarkan pada otorita atau dalil.
c.
Kalau orang bebas berpendapat tampa
didasari oleh otorita atau dalil, maka dalam jangka panjang, mereka akan
membuat keputusan berdasarkan pendapat individu me-reka dan kesepakatan
universal (umum) akan kehilangan nilai dan kelebihannya atas pendapat pribadi.
d.
Mengemukakan pendapat dalam masalah
agama tampa dalil yang desesif (dalalah) atau spekulatif (amarah) tidak
dibenarkan dan akan menimbulkan kesalahan hukum serta merusakkan
prinsip-prinsip Ijma’.
e.
Pendapat tampa disertai dalil atau
otorita tidak boleh dinisbatkan kepada pembuat hukum (ahli hukum) dan mengikuti
pendapat tersebut tidak diperbolehkan.
f.
Ijma’ tampa adanya dalil akan
menyebabkan syarat Ijtihad bagi
kompetensi Ijma’ tidak ada artinya.
2.
Tidak perlu dalil
a.
Apakah masih diperlukan dalil jika
telah dicapai kesepakatan (Ijma’) karena kese-pakatan sendiri adalah dalil.
Alasan-alasa lain adalah :
· Bahwa
Ijma’ telah direstui dan dibenarkan oleh agama.
· Bahwa
umat tidak akan bersepakat dalam kesalahan
· Pendapat
kelompok merupakan otoritas terhadap pendapat pribadi.
b.
Pendapat apapun bisa saja salah jika
tidak ada Ijma’, maka dengan Ijma’ tidak akan ada kesalahan
c.
Syarat Ijtihad bagi kompetensi Ijma’
baru berlaku jika tidak ada kesepakatan, maka bila terjadi kesepakatan, syarat
tersebut tidak berlaku.
Di samping alasan-alasan tersebut, ulama
yang menentang persyaratan adanya dalil atau
otoritas lain bagi sahnya Ijma’, juga mengemukakan argumentasi lain,
yaitu :
1.
Argument teoristis yang menyatakan
bahwa Ijma itu sendiri adalah otoritas dan jika dalil dipakai, maka yang menjadi
dalil atau otoritas adalah dalil itu sendiri, dan Ijma’ ke-hilangan makna
legalitasnya.
2.
Argument praktis yang menyatakan
bahwa praktek atau kegiatan Ijma’ telah dilakukan dan dicapai kesepakatannya
pada masa lalu dalam sejumlah masalah.
Berdasarkan alasan
yang dikemukan oleh masing-masing pihak, ternyata menurut al Amidi, keduanya
tidak argumentasinya, sehingga permasalahan perlu tidaknya dalil menjadi sangat
tidak penting dibandingkan dengan Ijma’ itu sendiri. Maka untuk menjembatani per-bedaan pendapat
tersebut, perlu di tegaskan jalan atau cara yang lebih moderat, yang menurut
hemat saya merupakan alternatif yang bisa diterima. Pendapat yang merupakan
kesimpulan itu adalah :
1.
Bahwa dalil diperlukan sebagai
landasan untuk menguatkan Ijma’ sebagaimana pendapat al Shayrafi, Ibnu Hamam,
al Mawardi, dan al Ruyani
2.
Dan jika dalil yang dipakai sebagai
landasan itu adalah dalil desesif, maka Ijma’ adalah penegasan dan tidak
dimaksudkan sebagai tindakan yang berlebih-lebihan. Pendapat ini dikemukakan
oleh al Taftazani.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN :
1.
Bahwa Ijma’ merupakan salah satu
otoritas yang dapat dipakai sebagai landasan penetapan hukum Islam. Yang
mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
- Ijma’ Shahabat yaitu Ijma’ yang disepakati Shahabat dengan ungkapan verbal (Lisan); kedudukannya sebagai dalil desesif (dalalah).
- Ijma’ Shahabat yang disepakati dengan ungkapan verbal dan diam-diam (sukuti)
- Ijma’ Tabi’in yaitu Ijma terhadap masalah yang diperselisihkan pada masa Shahabat; kedudukannya sama dengan Hadits masyhur.
- Ijma’ generasi berikutnya terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan pada generasi sebelumnya.
2.
Bahwa Ijma’ menurut para pemikir
Hukum Islam dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
- Ijma’ desesif lebih menentukan dari al Qur’an dan al Hadits, karena dapat di-mansukh.
- Ijma’ yang yang disepakati dengan dalil amarah bersifat spekulatif (Ijma’ non desesif).
- Ijma’ yang disepakati secara bulat adalah sebagai dalil desesif dan yang tidak disebut sebagai dalil spekulatif.
3. Bahwa menolak Ijma’ desesif berarti
bid’ah (Kafir) sedangkan menolak Ijma’ spekulatif tidak menyebabkan apa-apa
atau boleh.
4. Bahwa Ijma’ tidak dapat dibatalkan
oleh al Qur’an dan al Hadits, kalau Ijma’ tersebut di-kuatkan dalil dalalah dan
sebaliknya Ijma’ tidak dapat membatalkan hukum dari al Qur’an dan al Hadits.
Menurut al Bazdawi Ijma’ dapat dibatalkan hukumnya jika ditemukan hukum lain
yang lebih kuat. (Ijma Spekulatif dibatalkan Ijma Desesif dst.).
5. Bahwa Ijma’ sebagai sumber otoritas
ternyata mempunyai permasalahan-permasalahan di-seputar otoritas atau dalil
yang dipakai, keabasahan Ijma’, persyaratan berlalunya waktu dan perlukah Ijma’
dikuatkan dengan dalil.
6.
Bahwa Ijma mempunyai kualifikasi yang
harus dipenuhi oleh pelaku dan ruang lingkup yang harus dibahas oleh Ijma’
BUKU REFERENSI
1.
Ahmad Hasan : Pintu Ijtihad sebelum tertutup
2.
Ahmad Hasan : Ijma’
3.
Dr. Fazlur Rahman : Islam
4. IAIN
Sunan Ampel Sby. : Dirasah Islamiyah
5. Drs. Taufik Adnan Amal : Islam dan Tantangan
Modernitas
Label: Dirosah Islamiyah
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)