Kamis, 11 April 2013

Kajian tentang Ijtihad



IJTIHAD DAN TAKLID
SEBUAH POTRET KREATIFITAS  DAN KEENGGANAN   
BERFIKIR UMAT ISLAM
 Oleh  : Drs. Ihsan, M.Pd.I

 Bagian Pertama : Konsep Ijtihad
      Ijtihad adalah istilah generik yang digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang berkaitan dengan pegulatan umat Islam untuk menemukan rumusan-rumusan baru dalam bidang hukum, yang tidak ditemukan dalam dua otoritas mutlak hukum Islam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Karena sifat-sifat kebaruan itulah yang kemudian menjadikan konsep ijtihad sedikit banyak mengalami benturan-benturan nilai dan pemikiran dikalangan umat Islam. Walaupun demikiran konsep ijtihad mutlak diperlukan umat Islam sebagai perwujudan dinamis dan progresif ajaran Islam itu sendiri.
    Ijtihad berasal dari kata dasar dalam bahasa Arab  “JAHADA”, yang dari kata-kata tersebut berkembang kata Ijtihad dan Jihad. Ijtihad sendiri berasal dari fiil madhi “Ijtahada”. Dua buah kata yang mengandung pengerahan segala hal dalam bentuk yang sangat maksimal. Jihad secara subtansial adalah pengerahan tenaga dan kesengajaan untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat Allah, sedangkan ijtihad adalah pengerahan ke-mampuan pikir untuk menemukan hukum berdasarkan pengertian tersirat dari dua otoritas hukum Islam.
     Secara sederhana; Jahada berarti sungguh-sungguh. Dengan demikian Ijtihad (kata bentukan dari Jahada) juga mengandung dan sekaligus menuntut adanya kesungguhan. Maka sudah barang tentu, arti Ijtihad adalah kesungguhan untuk menemukan sesuatu hukum. Dalam konteks yang lain, Ijtihad juga berarti “Ra’yi” yang bermakna memberikan pertimbangan pemikiran yang adil dan baik. Di samping pengertian-pengertian tersebut diatas, juga terdapat pengertian yang lain dari beberapa pakar keislaman :
1.    Para Ulama :
“Mengerahkan segala kemampuan (berfikir) untuk mendapatkan atau memecahkan sesuatu (yang sulit)  dan dalam praktek hanya sesuatu yang sangat sulit dan memayahkan”.
2.    Shahabat  :
“ Penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat kepada Kitabulah dan Sunnah Rasul melalui Nash atau maksud umum hikmah syari’ah itu sendiri”.
3.    Ulama Fiqh  :
“Pengerahan segenap kemampuan ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat Dhanni (spekulatif) terhadap hukum syari’at”.


     Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka setiap ijtihad mempunyai 3 komponen atau unsur yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu :
1.    Pelaku ijtihad adalah orang yang ahli fiqih (Menguasai hukum Fiqh)
2.    Obyek atau sasaran dari ijtihad adalah hukum syari’ah bidang amali atau hukum-hukum furu’iyah, yang berkaitan dengan tingkah laku mukallaf dan bukan terhadap hal-hal yang ber-sifat I’tiqodi (Keimanan) dan Akhlaki (Moral).
3.    Hasil dari sebuah proses Ijtihadi bersifat Dhanni (Spekulatif).

     Di samping pengertian di atas, yang memberikan petunjuk adanya obyek ijtihadi yang bersifat furu’iyah amaliyah dan dengan kualitas yang ada kaitannya dengan Nash secara tersirat, maka menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa Ijtihad adalah pengerahan berfikir untuk memperoleh hukum syara yang tidak ada nash (Ijtihad bir Ra’yi). Dalam konteks pemikiran tersebut, maka kemungkinan Ijtihad bisa terjadi dalam tiga (3) hal, yaitu :
1.    Hukum Nash Dhanni Dalalahnya (Dalaliyah) artinya hukum yang diperoleh berupa pe-nafsiran berkualitas terhadap ungkapan Nash Al Qur’an dan Al Hadits.
2.    Hukum syar’i amali (Furu’iyah) dengan menerapkan qoidah-qoidah syar’iyah Kulliyah.
3.    Hukum syar’i amali yang tidak ada nashnya (Ijtihad Bir Ra’yi).

Dengan demikian sasaran Ijtihad sebenarnya tidak hanya suatu hukum yang keberadaannya hanya sepintas dijelaskan oleh kedua otoritas tersebut, melainkan juga kepada sesuatu yang tidak ada Nashnya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang baik.


DASAR, OBYEK DAN PERMACAMAN IJTIHAD
1.    Dasar
  1. Al Qur’an Surat An Nisa 59  (Dan jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan Al Al Hadits serta keputusan pemimpin dari antara kamu.
  2. Al Hadits yang menceritakan prilaku Ali bin Abi Tholib dan Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
  3. Logika berfikir yang menyatakan bahwa perkembangan zaman yang  yang komplek dan aplikatif membutuhkan perangkat aktualisasi hukum dan nilai keislaman.

2.    Obyek
Obyek ijtihad di bagi menjadi 2 yaitu obyek yang boleh dan obyek yang tidak boleh di-lakukan kegiatan Ijtihad.
a.    Obyek yang boleh
1.    Peristiwa yang telah ditunjuk oleh nash Dhanni baik dilihat dari kedudukannya (Wurud) atau dalalahnya (maksud kata yang diinginkan).
2.    Peristiwa yang tidak ditunjuk oleh Nash dan tidak ada kesepakatan ulama terhadap peristiwa tersebut.
b.    Obyek yang tidak boleh
1.    Hukum yang telah ditunjukkan secara qoth’i baik dilihat dari segi wurud atau dalalahnya.
2.    Hal-hal yang telah disepakati (ijma’) oleh ulama
3.    Lapangan hukum yang Ta’abuddi, yang ghoiru ma’qulil makna artinya lapangan hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal seperti 1/6 bagian untuk nenek perempuan dalam bidang waris.

3.   Tingkatan dan macam-macam Ijtihad
      Sebelum kita mengenal lebih jauh Ijtihad, maka perlu diperhatikan hal-hal yang seharusnya ada bagi mereka yang ingin melakukan Ijtihad. Hal-hal tersebut adalah :
a.    Warisan fiqh besar yang mu’tabar, yang pernah ada dikalangan umat Islam, terutama memahami aliran, mazhab dan kecenderungan berfikir ulama.
b.    Melakukan kajian hukum dengan mengembalikan kepada sumber Nash, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
c.    Melakukan ijtihad hanya kepada sesuatu/problem yang benar-benar baru.

      Oleh sebab itu tidaklah semua orang dapat melakukan ijtihad, karena sesungguhnya ijtihad adalah upaya untuk memperoleh kepastian hukum dan hukum yang dihasilkan dari proses tersebut mempunyai sifat-sifat mengikat bagi pemeluknya. Dalam konstek seperti ini, para ulama membuat aturan dan syarat bagi seorang mujtahid, yaitu :
a.    Faham bahasa Arab termasuk di dalamnya adalah faham gramatikal, uslub dan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Arab.
b.    Menguasai ayat-ayat Ahkam, yang menurut Imam Gazali minimal 500 ayat ahkam.
c.    Menguasai hadits ahkam paling sedikit 2.500-3.000 hadits ahkam
d.    Menguasai hukum-hukum yang telah disepakatti oleh Ulama (Ijma’).
e.    Menguasai Ushul Fiqh.

      Karena persyaratan-persyaratan tersebut, maka kemampuan dan kualitas mujtahid juga akan mempengaruhi hasil dan mutu dari ijtihad itu sendiri. Kualitas dan tingkatan mujtahid juga mempengaruhi kedudukan seseorang dalam wacana ijtihad, karena mujtahid itu mem-punyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
a.    Mujtahid Mutlak atau Mustaqil yaitu mujathid yang dalam melakukan ijtihad bersifat mandiri, langsung kepada sumbernya dan tidak dipengaruhi oleh pendapat atau pemikiran ulama lainnya.

b.    Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang terikat oleh pemikiran,  pendapat dan metode mujtahid mutlak
c.     Mujtahid fil Mazhab yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihadnya terikat oleh mazhab yang dianutnya.
d.    Mujtahid Murajih yaitu mujtahid yang hanya melakukan perbandingan pemikiran dan pendapat para mujtahid lainnya.

     Berdasarkan pemikiran, kemampuan dan metode serta derajat mujtahid tersebut, Untuk memudahkan pemahaman kita tentang hasil dan proses ijtihad, maka ijtihad dibagai dalam beberapa macam, yaitu :
a.    Metode atau langkah
1.    Intiqo’i yaitu proses ijtihad dengan melakukan seleksi dan tarjih (memilih pendapat yang kuat) terhadap pendapat dan aliran pemikiran fiqh.
2.    Insya’i (Darakil Hukmi) yaitu proses ijtihad yang materinya (Problem) sama sekali baru dengan menggunakan Nash-nash yang tafsili atau menggunakan dalil-dalil kulli misalnya Ijma’, Qiyas, Istislah (Maslahah Mursalah) Istihsan, Sadduz Zara’i, Urf dll.
b.    Pelaku (Subyek)
1.    Jama’i  artinya pelaku ijtihad bersifat kelompok (ijma’)
2.    Fardi artinya pelaku ijtihad bersifat individual atau perorangan.
c.    Obyek atau titik tekan Ijtihadnya
1.    Istimbathi yaitu proses ijtihad yang fokusnya dari sumber Nash Al Qur’an dan Al Hadits.
2.    Tathbiqi yaitu proses ijtihad  yang menerapkan hukum pada suatu obyek atau per-masalahan dengan seperangkat kaidah yang sesuai.
      

IJTIHAD :  SEBUAH POTRET KREATIFITAS UMAT ISLAM
      Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa itjihad adalah bentuk dari sebuah kepedulian umat dan keperpihakan umat terhadap upaya menyelesaikan permasalahan hukum Islam melalui kerja keras dan pengerahahan berfikir. Proses kajian dan pencarian hukum Islam yang baru, yang kemudian kita kenal sebagai wacana Ijtihad sebenarnya telah berkembang pada zaman Nabi Muhammad, bahkan Nabi sering menetapkan atau bahkan menggunakan pendapat dan pemikiran umat Islam sebagai ketentuan hukum yang harus dianut oleh umat Islam.
     Ketika Nabi Muhammad masih hidup, problem hukum tidak banyak mengalami benturan dalam arus pendapat dan pemikiran yang beragam, karena dengan mudah dikembalikan kepada Nabi dan kemudian mendapatkan putusan hukumnya, sehingga dalam konteks seperti ini Al- Qur’an ditafsiri dan dijelaskan oleh Al Hadits dan Hadits dijelaskan oleh pemikiran-pemikiran para shahabat yang baik, yang telah mendapatkan rekomendasi Nabi Muhammad SAW.
      Pada periode awal keislaman, setelah Nabi meninggal, problematika hukum Islam ber-kembang dengan pesat dan membuat kesulitan tersendiri dalam konteks yuridis Islam dan ke-hidupan sosial keagamaan umat Islam, maka dimulailah tradisi ijtihad dikalangan umat Islam, yang pada saat itu ijtihad adalah Ra’yi artinya berfikir  atau pertimbangan pribadi terhadap suatu permasalahan hukum dengan cakupan yang sangat sempit.

      Menurut Ahmad Hasan Ijtihad adalah sebuah proses penafsiran ulang dan pemikiran ulang hukum Islam secara independen artinya tidak dipengaruhi oleh sebuah kepentingan politik dan golongan. Dalam pengertian yang lain Ijtihada adalah pendapat seorang ahli atau pertimbangan bijaksana dan adil, misalnya kasus hukuman bagi orang mematahkan tangan yang lumpuh, membutakan mata yang tidak berfungsi (cacat) dll.
     Akan tetapi setelah periode Imam Syafi’i yang berhasil meletakkan Ijtihad lebih dulu ke-timbang Ijma’ dalam konteks tata urutan penggalian Hukum Islam, Ijtihad berkembang menjadi sebuah metodologi penggalian hukum yang keberadaannya sangat signifikan bagi umat Islam, bukan sekedar memberi pertimbangan dan pemikiran bijaksan saja, melainkan mengarah pada kepastian hukum itu sendiri.
     Pengertian Ijtihad dalam konteks Ra’yi atau pertimbangan intelektual dan bijaksana tersebut pada awal Islam sering dilakukan oleh Kholifah Umar Bin Khattab, misalnnya membatalkan pembagian harta rampasan di Irak, pembatalan hukum potong tangan bagi mereka yang mencuri dikarenakan kelaparan dll. Prilaku-prilaku ijtihadiyah tersebut berkembang karena umat Islam secara natural mengalami perkembangan masalah yuridis. Secara umum Ra’yi  tidak banyak ber-kembang pada masa Nabi Muhammad, tetapi pada masa Shahabat konsep hukum Islam memberi-kan kesulitan dan kepelikan tersendiri. Ada dua hal yang menjadi dikalangan Shahabat, yaitu :
1.    Otoritas Qur’an secara umum tidaklah membutuhkan Ra’yi dalam penentuan Hukum, akan tetapi untuk menetapkan pada situasi tertentu atau tidak ditetapkan untuk situasi itu, memerlukan kajian tersendiri.
2.    Pada aspek Hadits, ra’yi sangat sulit menetapkan. Hal tersebut dikarenakan :
  1. Tidak adanya ketegasan Hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah SAW.
  2. Shahabat yang benar-benar memahami dan kemudian memakai hadits.

     Berdasarkan pemikiran dan kesulitan yuridis tersebut, maka Ijtihad menjadi sangat penting bagi umat Islam. Untuk itu pengertian ijtihad menjadi sangat luas. Adalah Fazlur Rahman yang memberikan pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa ijtihad adalah upaya untuk me-mahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau (aturan masa lampau) untuk mengubah, memperluas, membatasi dan memodifikasi, sehingga situasi baru dapat dicakupkan dan dimasukkan didalamnya dengan solusi yang baru. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah sebuah hak privilese eksklusif bagi golongan tertentu dalam masyarakat Islam.
     Dengan konsep seperti itu, maka aplikasi Ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang dalam komunitas umat Islam, maka sadar atau tidak, telah memberikan peluang terjadinya perbedaan pemikiran sekaligus terjadi benturan pendapat tidak hanya kepada hasil pemikiran itu sendiri, tetapi juga terhadap hukum yang tersurat. Terdapatnya benturan yang terus menerus antara hukum yang tersurat dengan semangat yang terkandung didalamnya artinya semangat Ra’yi menurut orang-orang yang berseberangan dengan Imam Syafi’i disebabkan tidak adanya nash yang pasti, akan tetapi menurut Imam Syafi’i bahwa pertentangan dan beda pendapat tersebut tidak hanya kepada makna yang tersurat, melainkan juga kepada hukum-hukum yang nyata-nyata atau secara eksplisit terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Umar Bin Khattab (Pembatalah harta Rampasan dll.).
      Kasus tersebut barangkali menarik, jika dikembalikan pada aturan, obyek dan hasil Ijtihad yang sebenarnya hanya kepada sesuatu yang tidak ada nashnya, furu’iyah, akan tetapi dalam kasus Umar Bin Khattab, tidak hanya kepada yang furu’iyah melainkan telah merambah kepada hukum yang sebenarnya telah ada secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Hal tersebut disebabkan oleh keinginan dan kemampuan Umar bin Khattab dalam menangkap makna dan semangat yuridis berkaitan dengan situasi sosial keagamaan pada saat itu.

     Kembali pada sikap Dr. Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa Ijtihad bukanlah sebuah hak eksklusif golongan tertentu umat Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman menolak pembagian dam stratifikasi mujtahid sebagaimana yang dikemukan di atas, karena menurutnya pembagian ter-sebut hanya menunjukkan formalistis dan artifisial saja. Oleh sebab itu sangat tidak diperlukan dalam konteks pengembangan pemikiran umat Islam, walaupun demikian Ijtihad sebagai prinsip yang terus bergerak dalam struktur umat Islam dan dalam praktek umat Islam perlu dibatasi oleh kualifikasi-kualifikasi tertentu.
    Sudah barang tentu, maka tidak ada apa yang kita sebut sebagai “Pintu Ijtihad Tertutup”. Ber-kembangnya statemen tersebut menurut Dr. Fazlur Rahman, yang juga menyetujui pemikiran Moh. Iqbal tentang adanya situasi tersebut, bukanlah sebuah kualifikasi atau syarat yuridis sehingga pintu ijtihad tertutup, melainkan adalah sebagai gambaran kondisi umat Islam :
1.    Wujud keengganan berfikir dikalangan umat Islam
2.    Ketidak beranian umat Islam untuk berfikir karena untuk mempertahankan status quo, ter-masuk didalamnya status quo hukum yang telah diputuskan oleh ulama sebelumnya.
3.    Memburuknya standar intelektual umat Islam dan menciutnya tradisi intelegensia umat Islam.

     Berdasarkan pemikiran dan penjelasan tersebut, dapat diambil satu kesimpulan bahwa Ijtihad dalam pembentukan dan sosialisasi hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kreatifitas umat Islam itu sendiri. Pergulatan pemikiran Ijtihadi itu sendiri berkembang dari tataran yang sangat seder-hana menjadi lebih komplek dan sistematis, baik dlihat dari kuantitas masalah dan kualitas produk hukum yang hasilkannya.

    Pada periode awal sejarah Islam, perkembangan permasalahan hukum Islam berkembang sangat pesat dan komplek, terutama yang berkaitan dengan aplikasi intelektual dan tradisi berpikir umat Islam. Tradisi berfikir umat Islam lebih banyak berkembang disebabkan oleh problem yurisprodensi dalam bentuk dan  wacana Ijtihadiyah. Wacana Ijtihadiyah pada periode awal Islam terbagi dalam  tiga bentuk,  yaitu :
1.    Ra’yi (Pendapat Pribadi)
2.    Qiyas (Pendapat yang tersistematik)
3.    Istihsan (Pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan tertentu/kondisional).

     Untuk mengetahui prinsip dan aplikasi atau pelaksanaannya, maka akan kita bahas secara gelobal ke tiga prilaku hukum tersebut, karena ternyata pelaksanaan ketiga metode penggalian hukum tersebut memicu pertentangan dan kontroversi pemikiran dalam wacana keilmuan Islam.

Ra’yi (Pertimbangan Pribadi)

     Secara umum, Ra’yi berarti pendapat pribadi atau pemikiran bijaksana yang berkembang sebagai jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dikalangan umat Islam. Ra’yi dalam pengertian diatas sering muncul, terutama dari para pemikir Islam atau pemimpin Islam, misalnya beberapa pemikiran pribadi Umar Bin Khattab yang kemudian dipakai putusan hukum.
    Metode Ra’yi dalam spektrum tradisi Ijtihad berkembang dalam masyarakat islam dikarenakan Shahabat dalam memberikan pendapat dan pandangannya menggunakan dasar  ayat Al; Qur’an dan Teks Hadits yang berbeda, sehingga diperlukan pendapat dan pola pemikiran yang baik dan bijaksana. Di samping itu terdapat sebab-sebab lain yang berasal dari dua otoritas hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits sebagaimana yang diungkapkan di atas, khusus dalam memahami Al Qur’an, metode Ra’yi merupakan metode yang terbaik untuk menimbang ayat mana yang cocok untuk diterapkan  dan yang tidak dapat diterapkan, sedangkan untuk memahami hadits terdapat kesulitan-kesulitan  :
1.    Menentukan hadits yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW dan yang tidak dari Nabi Muhammad SAW.
2.    Terdapat perbedaan adanya shahabat yang dapat memahami makna hadits tersebut.

      Dengan demikian, Ra’yi sangat tergantung kepada landasan dan kemampuan seseorang dalam menangkap makna dan arah serta muatan permasalahan hukum itu sendiri, oleh sebab itu dalam prakteknya, produk Ra’yi sering berbeda dengan hasil Ra’yi yang lain, misalnya Ra’yi yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab sering bertentangan dengan hasil Ra’yi Shahabat yang dalam permasalahan hukum yang sama. Untuk memperkuat gambaran berkembangnya tradisi Ra’yi tersebut, berikut ini contoh-contoh Khalifah Umar Bin Khattab :
1.    Pembatalan hadiah (Barang atau tanah) kepada kepala Suku non Islam dengan tujuan agar mereka memeluk agama Islam atau mereka tidak memusuhi Islam,  dikarenakan umat Islam pada saat itu belum kuat.
2.    Pembatalan pembagian tanah rampasan (Ghonimah) di Irak dan Syiria pada Shahabat, karena ada program yang lebih penting yaitu sebagai sumber dana untuk menjada perbatasan.
3.    Pembatalah hukuman potong tangan bagi budak yang mencuri harta benda milik tuannya, dikarenakan kelaparan (Tuannya tidak memberikan haknya).
4.    Melarang eksploatasi (menjual dan menukar)  budak perempuan yang telah menjadi Ibu (melahirkan anak karena dikumpuli oleh tuannya) dengan memerdekakannya, supaya dalam masa yang akan datang tidak ada penghisapan manusia oleh manusia.

      Konsep Ra’yi setidaknya telah memberikan alternatif baru dalam rangka menyelesaikan per-masalahan hukum Islam dengan landasan dan kerangka dasarnya pada penetapan semangat dan makna ideal hukum yang diberlakukan. Oleh sebab itu konsep Ra’yi pada peride awal Islam tidak banyak menyebabkan adanya pertentangan dikalangan umat, terutama bagi mereka yang me-nyetujui penggunaan Ra’yi dengan mereka yang berpegang teguh secara literal kepada dua otoritas hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
     Akan tetapi setelah masa Imam Syafi’i,  konsep Ra’yi mendapat serangan dari mereka yang memegang teguh secara literal dua otoritas hukum Islam, bahkan sudah mulai terbentuk komuni-tas masyarakat dengan ciri dan pola pikir yang berbeda. Ada Ahl al Ra’yi, Ahl  al Hadits dan Ahl al Kalam, lebih dari itu Kota Madinah dianggap sebagai markas ahli Hadits, sedangkan Irak di anggap sebagai markas ahl Ra’yi.
     Pertentangan pola pikir tersebut berkembang menjadi dua kelompok yaitu kelompok Ra’yi dan Kelompok Nash (Dua otoritas Hukum Islam). Ahli Ra’yi secara definitif bertentangan dengan Ahli Nash, sebab pengagum Nash hanya mengakui terhadap apa yang tercantum dalam dua otoritas tadi. Secara umum Nash diartikan sebagai :

1.    Kata-kata yang hanya mempunyai satu pengertian atau hukum yang pasti
2.    Hal-hal yang dilarang datu diperintah dengan kata-kata yang jelas, yang merupakan bukti tekstual dari Al Qur’an dan Al Hadits.

      Menurut hemat saya, pertentangan tersebut hanya terletak kepada; apakah orang tersebut mau melakukan interpretasi terhadap problem dengan melihat kondisi ataukah mereka tetap ber-sekukuh dengan bukti tekstual Qur’an dan Hadits tampa pertimbangan sesuatu yang bersifat kondisional, sebab nampaknya seorang yang paling dihormati sebagai pelaku dan ahli Sunnah (Nash) yaitu Imam Syafi’i, tidak menentang Ra’yi dengan catatan tidak dilakukan dengan serampangan (bebas).


Qiyas (Ra’yi Sistematik)
      Sebagaiman yang diungkapkan di atas, bahwa Qiyas atau Ra’yi sistematik adalah metode pengembangan dari bentuk penggalian Hukum Islam (Ra’yi) sebelumnya. Qiyas berarti Ra’yi yang tersistematik  dalam kerangka persyaratan-persyaratan dan pembatasan-pembatasan dalam kerangka menghentikan penggunaannya secara serampangan.
      Qiyas berasal dari kata Arab yang berarti menyamakan, sedangkan menurut Sarjana Barat, Qiyas berasal dari kata Yahudi “Hiqqish (Heqqesh)”  yang artinya memukuli bersama-sama. Kata-kata Heqqesh, menurut Prof. Schacht digunakan untuk menyebut tiga situasi, yaitu  :
1.    Penjajaran dua pokok masalah dalam Bible dan diperlakukan dengan cara yang sama.
2.    Kegiatan penafsir yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks tertulis.
3.    Untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi (Talmud Palestina 6/33 a. 14).
   
      Barangkali sepintas lalu pendapat tersebut mengandung kebenaran analisa filologis, karena terdapat subtansi yang terkandung didalamnya, yaitu pengambilan kesimpulan dengan cara analogis. Namun demikian sangatlah tidak relevant, jika analisa filologis tersebut dijadikan landasan berfikir, sebab :
1.    Metode filologis memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam mengungkapkan asal usul dan sumber-sumber pranata hukum Islam.
2.    Dalam persepktis sosiologis (perkembangan dan pertumbuhan), tiap-tiap masyarakat mencip-takan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak mesti berasal dari pengaruh atau bangsa asing.
      Dengan demikian Qiyas sebagai model penggalian Hukum Islam secara terminologis sangat tidak relevant jika dikaitkan dengan terminologi Hiqqish dalam kosa kata Yahudi, walaupun secara filologis kita mengakui adanya kesamaan,  karena termasuk dalam satu rumpun bahasa.
     Lebih dari itu, Qiyas sebagai kelanjutan metode Ra’yi dengan sistematika-sistematika tertentu menyebabkan penampilan metode Qiyas menjadi sangat kaku dan tidak fleksible. Hal tersebut  menyebabkan produk dari Qiyas sangat tidak signifikan bagi perkembangan hukum Islam. Misal-nya polemik kasus apakah kita akan berkata Jujur atau berbohong ketika ditanya seseorang yang akan membunuh Kyai, sedangkan kita tahu dimana Kyai itu berada. Kalau Qiyas yang dipakai, maka kita harus berkata jujur, akan tetapi yang berlaku disini adalah Ra’yi (Keputusan hukum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi)

     Oleh sebab itu terdapat perbedaan yang sangat tajam antara Ra’yi dan Qiyas dalam aktualisasi penggalian hukum Islam. Untuk lebih jelasnya berikut ini perbedaan-perbedaan mendasar  antara Qiyas dan Ra’yi  :
1.    Ra’yi bersifat luwes, dimanis dan membuat keputusan dalam sinaran semangat, keadilan dan kearifan Islam, sedangkan Qiyas bersifat kaku dan dibatasi oleh persyaratan-persyaratan tertentu.
2.    Ra’yi lebih luas cakupannya dan mencakup atau menyangkut sesuatu yang aktual, sedangkan Qiyas penekanannya pada suatu yang abstrak.
3.    Ra’yi adalah sebuah metode memperoleh keputusan dengan pendapat yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang berkeinginan untuk mencapai keputusan yang tepat dengan kata lain keputusan yang dicapai seseorang setelah melakukan pemikiran, perenungan dan pen-carian yang sungguh-sungguh dalam kasus, dimana petunjuk-petunjuk yang diperoleh saling bertentangan, sedangkan Qiyas adalah perbandingan dua hal yang sejajar karena keseru-paannya (illatnya) yang tidak selamanya tidak dapat ditentukan secara pasti.

      Imam Syafi’i sebagai salah satu pendekar hukum Islam, juga menganut prinsip Qiyas dengan segala persyaratan yang dikenakannya. Oleh sebab itu Imam Syafi’i memandang bahwa Qiyas yang dilakukan oleh pakar Hukum Islam Irak dan Madinah, terutama oleh Imam Malik, dianggap
nya tidak konsisten dan tidak matang, karena lebih mirip dengan Ra’yi artinya tidak terpaku oleh peraturan Qiyas yang sangat kaku tersebut.
      Kasus tersebut secara umum dapat dilihat pada praktek hukum yang dilakukan oleh orang Irak dan Madinah. Dalam hal pelaksanaan Qiyas antara Madinah dan Irak terdapat perbedaan ke-cenderungan dalam aplikasinya. Orang Madinah melaksanakan Qiyas dengan memperhatikan praktek yang telah diterima secara umum oleh masyarakat, sedangkan orang Irak  menekankan aspek konsistensi (kelurusan) dan untuk menghindari ke-tidakkonsisten-an terhadap prinsip-prinsip Qiyas yang kaku dan terbatas oleh waktu, diciptakan metode lain yang lebih dekat dengan Ra’yi yaitu  “Metode Istihsan”.


Istihsan (Keputusan Kondisional)
     Menurut Prof. Schacht, Terminologi Istihsan pertama kali muncul pada masa Abu Yusuf se-bagai upaya penyelesaian problem hukum Islam, akan tetapi pemikiran tersebut banyak mendapat kan serangan, karena ternyata istilah Istihsan sudah ada sebelum Abu Yusuf mengembangkan konsep tersebut. Menurut pendapat yang masyhur, konsep Istihsan telah ada pada masa Imam Abu Hanifah di Irak, sebagaimana yang dinyatakan oleh Goldziher.
    Walaupun Istilah Istihsan tersebut baru berkembang pada masa Abu Hanifah, sebagai salah satu alternatif dan format baru penggalian hukum, terutama untuk mensiasati ke-tidak konsisten-an seseorang dalam melaksanakan metode Qiyas, maka subtansi dan prinsip-prinsip Istihsan telah ada dan dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Umar Bin Khattab ketika menetapkan hukum suatu perkara selalu memperhatikan situasi dan kondisi sosial pada saat terjadinya peristiwa.
     Dalam kerangka seperti itu, maka pengertian Istihsan adalah mengambil suatu yang terbaik, dalam pengertian yang lain, ia adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut keadaan. Untuk lebih jelasnya berikut ini pengertian-pengertian Istihsan :
1.    Prereferensi pilihan tidak beralasan terhadap hukum yanh sudah mapan dalam suatu keadaan tertentu atau suatu keputusan yang lebih di dasarkan kepada penalaran mutlak dari pada penalaran analogis.
2.    Metode unuik dari penggunaan pendapat pribadi dengan mengesampingkan analogis yang ketat dan lahiriyah demi kepentingan,persamaan dan keadilan umum.


TAKLID : SEBUAH POTRET KEENGGANAN BERFIKIR UMAT ISLAM
    Jika boleh saya simpulkan, bahwa taklid adalah istilah generik yang  dapat dipakai untuk me-nyebut sebuah situasi keengganan seseorang untuk melakukan kajian, interpretasi dan pemikiran ulang terhadap perangkat dan aturan hukum atau ubudiyah, yang memang memerlukan kajian.
    Dalam persepktif sejarah, keengganan berfikir tersebut bisa saja dipicu oleh situasi gelobal umat Islam yang telah mengalami kemandegan sekaligus menciutnya tradisi berfikir dikalangan umat Islam. Keenggan berfikir tersebut kemudian melahirkan apa yang kenal sebagai “Pintu Ijtihad Tertutup”. Statemen tersebut lahir barangkali disibebkan oleh tiga hal :
1.    Perwujudan keengganan, kemandegan dan ketidak berdayaan potensi intelektual umat Islam
2.    Bisa jadi dikembangkan untuk membendung berkembangnya fatwa, putusan hukum dan pikiran-pikiran hukum yang lahir karena kepentingan sosial-politik atau bahkan untuk mem-pertahankan status quo.
3.    Bisa jadi sengaja dihembuskan  oleh orang Barat untuk memberangus tradisi berfikir umat.

      Menurut hemat saya, kedua faktor tersebut, yakni point 2 dan 3 hanyalah sebuah imbas atau resepan dari sebuah kondisi gelobal umat Islam yang sedang mengalami kemandegan dan penurunan kualitas intelektual, sehingga yang kemudian terjadi adalah berkembangnya budaya mengikuti tampa melakukan pemikiran ulang atau sekadar mempertanyakan landasan dari putusan hukum tersebut.
     Taklid berasal dari kata “QOYYADA” yang berarti mengikat. Dalam pengertian Fiqh Taklid berarti : “Ja’lul Qiladah fi al Unuqi” artinya menjadikan ikatan mengikat ke leher”. Dalam penger tian seseorang telah menyerahkan lehernya untuk diikat tampa ada pilihan dan pemikiran untuk melawan atau melepaskan ikatan tersebut. Kalau orang telah terikat oleh hukum atau pendapat seseorang (Mazhab), maka ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan kaji ulang, sehingga segala bentuk pemikirannya diterima dengan tampa perbandingan sama sekali.

     Di samping pengertian tersebut di atas, juga terdapat pengertian-pengertian lain, baik menurut Ushul Fiqh atau ulama Fiqh lainnya,  yaitu :
1.    Imam Al Gazali (Ushul Fiqh) :
“Menerima atau memungut pendapat orang lain tampa mengetahui dalilnya”.
2.    Al Qaffal
“Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat (dalilnya)”.
3.    Amir Bad Syah
“Beramal dengan pendapat orang tampa mengetahui dasar hukumnya”.

       Secara umum, tradisi taklid berkembang karena adanya satu anggapan bahwa produk hukum Islam yang dihasilkan oleh ulama jaman pertengahan terutama 4 ulama besar,  pembentuk metode dan aliran hukum Islam (Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi) merupakan karya yang sangat fenomenal dan tidak mungkin lagi tersentuh oleh pola pikir umat Islam zaman sekarang. Hal tersebut menyebabkan umat Islam tidak berani melakukan koreksi terhadap produk hukum ter-sebut.  Padahal kita semua pernah membaca kata-kata bijak ke empat ulama besar, bahwa apa yang ia hasilkan bukanlah sebuah karya yang tidak tersentuh sama sekali oleh kekeliruhan dan kesalahan.
     Yang lebih tragis lagi, jika tradisi taklid tersebut dibarengi dengan statemen untuk memper-tahankan status quo para ulama besar tersebut, sedangkan saya sangat yakin bahwa mereka tidak menginginkan hal tersebut. Proyeksi mempertahankan status quo produk Hukum tersebut, sering-kali dilakukan oleh para pendukung berat metode dan aliran Fiqh, dengan mengatakan kenapa kita tidak menghargai produk hukum tersebut, karena kita tidak mungkin dapat menghasilkan produk hukum yang seperti itu.
     Namun demikian tidaklah semua prilaku pengikuti ajaran, pemikiran dan aturan keagamaan tersebut menjadi sebuah fenomena taklid, karena ternyata ada daerah-daerah tertentu yang tidak termasuk ranah taklid, yaitu :
1.    Orang yang melakukan aktifitas keagamaan (ibadah) berdasarkan AL Qur’an dan Al Hadits
2.    Orang yang melakukan aktifitas keagamaan (ibadah)  beramal berdasarkan Ijma’
3.    Seseorang awam yang bertanya kepada mufti atau Qodli
4.    Hakim yang memutuskan perkara berdasarkan keterangan saksi yang adil.



Bagian Kedua : Konsep Dasar Tentang Ijma’
  Dalam system keimanan dan kepercayaan Islam, ajaran dan konsep peribadahannya selalu berdasarkan pada dua otoritas mutlak Islam, yang diakui sebagai satu-satunya sumber legislasi hukum dan tata nilai keislaman. Setiap produk dan sistem atau tata nilai kehidupan manusia yang tidak didasarkan pada kedua otoritas tersebut dapat ditolak sebagai norma-norma kehidupan manusia.
     Dalam wacana keyakinan Islam, orang yang tidak mendasarkan tata nilai dan normanya ke-pada dua otoritas tersebut sangat mungkin orang itu akan masuk pada spektrum kehidupan yang gelap, sebab Islam (al Qur’an dan Al Hadits) diasumsikan sebagai sumber tata nilai dan kebenaran, yang membawa manusia kepada kebenaran dan kejelasan.
     Hal tersebut dapat dimaklumi, sebab segala penyebutan, prosesi ritual keagamaan harus mem-punyai dasar dan landasan mutlak, sehingga orang tersebut dengan sebenarnya dapat mengetahui dan melaksanakan konsep peribadahan dengan benar dan sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah. Dalam perspektif keimanan, nama Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan hanya dapat diketahui berdasarkan informasi dan gambaran mutlak dari Al Qur’an dan Al Hadits. Oleh sebab itu siapa saja yang menyebut dan melakukan aktifitas  keimanan tampa didasarkan dua otoritas tersebut akan menyebabkan orang tersebut menjadi Musyrik (Syirik), sebuah ungkapan untuk mereka yang menduakan konsep ketuhanan dalam Islam.
     Seseorang yang melakukan aktifitas keimanan, apapun dasarnya dan alasannya, kalau ia tidak meletakkan Allah sebagai ultimate goal (tujuan akhir), maka ia dapat dikategorikan sebagai pengamalan syirik. Seseorang yang meletakkan patung, wali dan para ulama sebagai perantara “peribadahan/pengambdian”, berarti ia telah masuk pada spektrum syirik, walaupun ia sadar bahwa ia melakukan proses ritual. Oleh sebab itu disinilah pentingnya kehadliran dua otoritas tersebut dalam kehidupan manusia.
    Termasuk didalamnya adalah pengamalan ibadah-ibadah lainnya. Mereka yang tidak mendasarkan bentuk peribadahannya kepada dua otoritas tersebut, dianggap telah mengada-adakan atau bid’ah. Oleh sebab itu tidak ada satupun konsep peribadahan dalam Islam yang tidak ada dasarnya dari Al Qur’an dan Al Hadits. Dan konsep ini jelas hanya mengakui dua otoritas ajaran yang ada didalam Al Qur’an dan Al Hadits, selain kedua otoritas tersebut, tidak dapat diakui bahkan dijadikan sebagai dasar penetapan hukum keimanan dan peribadahan.
     Bahkan ada satu pemikiran yang sangat radikal pada awal kebangkitan umat Islam, pemikiran radikal tersebut kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi, yang hanya mengakui konsep dan bentuk keimanan dan peribadahan; apabila secara tekstual dan literal  ditemukan secara pasti dalam al Qur’an dan al Hadits. Konsep “Muhyi atsar al Tsalaf”, yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan kemudian di-kembangkan oleh para reformis pada berikutnya sebagai wacana pembaharuan adalah dalam kerangka meletakkan dua otoritas tersebut sebagai satu-satunya dasar dalam system kepercayaan dan peribadahan umat Islam.
     Sejak awal perkembangan Islam, telah terjadi konflik atau permasalahan system kepercayaan Islam. Permasalahan tersebut tidak menyangkut subtansi kepercayaan Islam, tetapi menyangkut  simbol dan proses ritual sekaligus landasan hukum yang dipakai untuk menetapkan simbol dan proses ritual tersebut. Bahkan setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, telah berkembang sekelompok masyarakat yang menolak apa-apa yang berasal dari Rasulullah selain Al Qur’an, me-nentang diberlakukannya Zakat dll. Dan oleh sebab itu, peristiwa yang terakhir tersebut menjadi preseden yang buruk pada masa pemerintahan Kholifah Abu Bakar karena untuk pertama kali  terjadi peperangan antara komunitas mulsim yang Kaffah dan mereka yang menentang sebagian yurisprodensi Islam.

    Terlepas dari peristiwa tersebut, dalam kajian yurisprodensi Islam telah terjadi perbedaan pe-mikiran tentang sumber-sumber hukum Islam yang layak dan diakui sebagai landasan penetapan hukum Islam.  Secara umum urut-urutan sumber hukum Islam yang masyhur adalah sebagai berikut :
1.    Al Qur’an
2.    Al Hadits (Tradisi Rasulullah)
3.    Ijma’ (Kesepakatan Ulama)
4.    Qiyas (ra’yi yang tersistematik)

      Penetapan urut-urutan sumber hukum tersebut, bukan saja berjalan tampa ada perbedaan pemikiran, sebab ternyata mereka telah mengalami perbrdaan pemikiran pada dua hal, yaitu :
1.    Kapan urut-urutan tersebut berkembang !, dan
2.    Mana yang lebih dulu ada; apakah Ijma ataukah Qiyas !.

      Untuk yang pertama; terjadi perbedaan pemikiran; sebagian mereka mengatakan bahwa konsep urut-urutan tersebut telah berkembang pada masa awal perkembangan umat Islam, tetapi yang lain mengatakan bahwa sangat tidak mungkin konsep urut-urutan tersebut berkembang pada masa awal perkembangan umat Islam, sebab konsep qiyas sebagai unsur sumber hukum tersebut baru berkembang pada periode II atau bahkan periode III, meskipun idenya telah ada dalam bentuk Qiyas pada awal perkembangan Islam. Selain itu terdapat alasan-alasan lain yang menjadikan mereka ragu, yaitu :
1.    Skema  teori hukum itu sendiri merupakan hasil perkembangan dan pergulatan sejarah yang berasal dari para shahabat Nabi Muhammad SAW.
2.    Tata urutan sumber hukum merupakan produk dari generasi yang terkemudian artinya baru berkembang pada periode berikutnya.
3.    Konsep tentang pemimpin yang terbimbing terutama dalam kasus adanya qiyas, baru ber-kembang setelah khulafaur Rasyidin (4 kholifah pertama).
4.    Konsep ijma’ paling mungkin berkembang setelah generasi pertama Islam.

Yang kedua; semua ulama sepakat bahwa Al Qur’an merupakan otoritas mutlak pertama dalam sistem yurisprodensi Islam,dan kemudian diikuti oleh al Hadits. Konsep ini dapat kita temukan disetiap teks dan literatur hukum keislaman, misalnya :
1.    Kewajiban untuk taat kepada Allah dan Rasulnya (Qs.
2.    Kewajiban untuk kembali kepada dua otoritas hukum ketika mengalami perselisihan (Qs.
3.    Isyarat tentang urut-urutan hukum dan sumber ajaran Islam yaitu al Qur’an dan Al Hadits pada saat pidato Haji Wada’ dan peristiwa ditugaskannya Ali Bin Abi Tholib dan Zaid bin Tsabit menjadi duta hukum dan agama ke Yaman.

     Dalam ruang lingkup tersebut, semua pemikir dan ulama Islam tidak ada yang berbeda pen-dapat, akan tetapi ketika mereka menempatkan urut-urutan sumber hukum yang berikutnya, yaitu Ijma dan Qiyas. Di sini telah terjadi perseleisihan pendapat; sebenarnya mana yang lebih dulu antara Ijma dan Qiyas.
     Seseorang yang mengagumi Ijma’,  mengatakan bahwa ijma’ lebih dahulu adanya dibanding-kan dengan Qiyas, dan oleh sebab itu Ijma’ harus menempati posisi yang lebih utama dari pada Qiyas. Akan tetapi mereka yang mendukung qiyas, mengatakan bahwa tidaklah mungkin terjadi sebuah kesepakatan hukum atau ijma’, jika seseorang tidak melakukan aktifitas ra’yi (berfikir) dan aktifitas berfikir yang tersistematik pada saat itu adalah Qiyas. Dengan demikian Qiyas (ra’yi yang tersistematik) seharusnya lebih ada dan berkembang dikalangan umat Islam, baru kemudian lahir apa yang kita sebut sebagai kepakatan hukum oleh para pemikir (Ijma’).
     Terlepas dari kontroversi itu semua, dalam uraian-uraian berikut kita akan mencoba melihat secara gelobal eksistensi al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber hukum mutlak, di samping itu juga akan dibicarakan metode-metode penggalian hukum yang kemudian kita kenal sebagai Ijma dan Qiyas.


AL QUR’AN DAN AL HADITS : DUA OTORITAS MUTLAK SUMBER HUKUM ISLAM
            Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka, bahwa Islam hanya mengakui dua otoritas mutlak, yaitu al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber hukum dan nilai kehidupan manusia. Pe-ngakuan tersebut bukanlah sebuah lipe service atau pemanis muka dalam keimanan dan keber-agamaan seseorang. Pengakuan tersebut adalah perwujudan  sejati dari kualitas keimanan dan ke-beragamaan umat Islam.  Islam dengan tegas menentang sikap kemunafikan dan kepura-puraan dalam beragama, bahkan kamunflasi dan formalisme palsu dalam agama. Sikap apa adanya dalam beragama merupakan perwujudan kualitas iman seseorang tampa bermaksud untuk pamer atau show of actifity dalam pengertian atau kerangka non syiar Islam (keagamaan).
      Sumber pertama dari system keimanan dan kepercayaan Islam adalah al Qur’an, sebuah kitab yang mengandung pedoman moral (etika), hukum (Syari’ah) dan keimanan (Tauhid) umat Islam. Oleh sebab itu menempatkan al Qur’an dalam posisi tersebut, berarti telah menempatkannya pada posisi yang seharusnya sebagai sumber nilai kehidupan manusia yang normatif. Dalam pandang-an seperti itu, al Qur’an bagi umat Islam menyebabkan lahirnya komitmen-komitmen keimanan yang mau tidak mau harus ada didalam diri umat Islam. Komitmen-komitmen keimanan tersebut adalah :
1.    Menempatkan al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia ( Qs. Al Baqarah 2 dan An- Nisa’ 136).
2.    Membiasakan membaca al Qur’an sebagai tradisi untuk meningkatkan kualitas iman, kepe-kaan terhadap nilai kebenaran dan ayat Allah (Qs. Al Anfal/8 :  2, Al Mujammil/73 :  4, Mu-hammad/47 : 24 dan Ali Imron/3 : 7).
3.    Menempatkan al Qur’an sebagai dasar pengamalan kehidupan keduniaan, kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara (ekonomi, politik, sosial dan budaya) serta kehi-dupan international (Qs. Al Jaatsiyah/45 :7-8, An Nur/24 : 51,  al Maidah/5 : 45, dan An Nisa’/4 :105)
4.    Berusaha mengajarkan kepada orang lain sehingga mereka dapat memahami dan beriman ke-padanya (Qs. Ali Imron/3 : 79 dan 104 )
5.    Berusaha memahami bahasa Arab atau perangkat lain yang dapat dipakai memahami Al Qur’an (Qs. Yusuf/12 : 2).

      Dengan melihat beberapa komitmen keimanan tersebut, maka pemahaman kita tentang posisi al Qur’an dalam system dan tata urutan sumber hukum umat Islam sangat jelas yaitu sebagai sumber utama dan yang paling menentukan. Oleh sebab itu tidaklah benar jika ada sementara orang yang sarjana yang beranggapan bahwa al Qur’an hanya mengakur proses ritual dalam hu-bungannya dengan Allah SWT, sebagaimana yang dikemukan oleh Coulson, melainkan kitab yang mengandung segalan ketentuan hidup manusia, ketentuan hidup yang berkaitan dengan hu-bungannya kepada Allah dan juga hubungannya dengan manusia.
     Lebih dari itu, al Qur’an bukanlah sebuah kitab Undang-undang dalam perspektif modern yang memuat ketentuan kehidupan dalam bentuk hukum dan ketentuan moral, melainkan ia memuat prinsip-prinsip kehidupan secara makro dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan manusia dengan sesamanya.
     Mengingat fungsi dan peran gelobalnya, maka prinsip hukum dan norma-norma Qur’aniyah di susun dalam bentuk yang sangat simbolis, gelobal dan bermakna ganda serta strategis, namun de-mikian bukan berarti kita tidak menemukan satu prinsip atau hukum yang berkonotasi mikro artinya sempit dan sangat teknis (ayat muqayyad), karena ternyata ditemukan juga ayat-ayat teknis. Menurut Prof. Schacht, terdapat ayat-ayat atau aturan khusus  yang sejak semula telah di-kemukakan oleh al Qur’an yaitu ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga, warisan, kultus dan ritual keagamaan.
    Sumber hukum yang kedua adalah As Sunah atau al Hadits, dengan tidak memper-soalkan per-bedaan pengertiannya. Sunnah diakui sebagai salah satu dari dua otoritas yang diakui keberadaannya dalam system hukum Islam. Pengakuan dan legitimasi keberadaan sunnah tersebut, otomatis  tidak lagi memandang adanya kontroversi dikalang an umat Islam terhadap keaslian dan eksistensinya dalam sejarah perkembangan umat Islam.
    Sebab mau atau tidak mau kita harus mengakui adanya perbedaan pandangan terhadap eksis-tensi Sunnah dalam system kepercayaan dan keimanan umat Islam. Mereka yang meragukan atau bahkan mengingkari Sunnah beranggapan bahwa perjalanan sejarah Sunnah sangat kontroversial, mengingat kreteria dan kualifikasi Sunnah ditentukan oleh ulama dan dalam pergulatan kese-jarahannya terjadi pemalsuan-pemalsuan Sunnah terutama pada masa Umaiyah. Termasuk jika kita melihat matan atau isi Sunnah terdapat banyak pertentangan baik Sunnah dengan Sunnah atau bahkan Sunnah dengan Al Qur’an.
     Problem sah dan tidaknya sebuah Sunnah memang sulit dipastikan karena pembukuan Sunnah sendiri baru dilakukan setelah generasi pertama umat Islam tidak ada, dan proses seperti ini mengundang pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. Lebih dari itu bahwa proses pemahaman Sunnah sangat ditentukan oleh :
1.    Adanya Sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
2.    Adanya tradisi yang berkembang pada masa khulafaur Rasyidin (kholifah 4).
3.     Adanya tradisi atau praktek shahabat yang tercatat.
      Oleh sebab itu mereka yang meragukan eksistensi Sunnah beranggapan bahwa sejarah perjalanan Sunnah sangat tidak transparan dan diragukan keberadannya.

     Terlepas dari kontroversi tersebut, menurut hemat saya, bahwa kita sebagai umat Islam, yang meyakini keberadaan Rasulullah sebagai suatu kebenaran mutlak, sudah barang tentu harus meyakini kebenaran yang dikandung dan yang diutarakan oleh Nabi Muhammad SAW. Perkara kualitas Sunnah kita sudah mempunyai kreteria yang telah disepakati oleh para ulama.


IJMA’ (KESEPAKATAN) : PENGERTIAN DAN KUALIFIKASI-KUALIFIKASINYA
       Membicarakan Ijma’ memang membutuhkan kecermatan tersendiri, karena ia menyangkut sebuah proses refleksi umat Islam terhadap permasalahan Hukum dan kehidupan yang ber-kembang pada saat itu, lebih dari itu kita harus dapat menahan diri dari kemungkinan jatuh pada proses penilaian pendapat dengan prinsip subyektifitas. Sebab; keberadaan Ijma’ dalam system yurisprodensi Islam tidak tampa pertentangan. Pertentangan tentang kelahirannya dan kedudukan dia dalam struktur sumber hukum Islam, mana yang lebih dulu antara Ijma dan Qiyas, kualitas Ijma’ yang dapat dijadikan sumber hukum Islam dan yang lain.
    Untuk mengetahui lebih lanjut keberadaan Ijma’ dalam konteks pemikiran hukum Islam, maka paparan ini akan dibagi menjadi beberapa sub pokok bahasan, yaitu :
1.    Pengertian Ijma’
2.    Kreteria dan kulifikasi Ijma’

Pengertian  Ijma’ (kesepakatan)

Secara tegas kita tidak dapat menemukan konsep Ijma’ di dalam Al Qur’an. Kata-kata yang mempunyai pengertian sepadan dengan Ijma’ biasanya adalah Jama’ah atau bisa jadi  Jamii’an, yang keduanya mempunyai pengertian sekumpulan atau keseluruhan (dalam kesepakatan dan kesamaan).
Konsep Ijma’ sebelum datangnya Islam dipakai untuk menyebut kegiatan mengikat dua buah susu unta menjadi satu dalam sebuah ikatan artinya dikumpulkan menjadi satu. Penger-tian tersebut dapat dijumpai pada penggunaan idiom atau kata “Ijma’at al Nahabi”, yang ber-arti  mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu dan menarik bersama-sama.  Dalam kesempatan yang lain, idiom  Arab (ijma’at Al Nahabi) juga dipakai untuk  me-nyebut hal-hal sebegai berikut :
1.  Mengikat menjadi satu puting susu unta betina dengan tali
2.  Sebuah lapangan luas yang terbuka, tempat berkumpul orang-orang dengan latar bela-kang bermacam-macam atau bercerai berai untuk bersatu.

Dengan demikian konsep Ijma’ sebelum Islam adalah membereskan atau menyusun se-suatu yang sebelumnya tercerai berai atau sebagai suatu pendapat yang ditentukan atau di-tetapkan atau diputuskan oleh seseorang.
Pengertian-pengertian Ijma’ memang berkembang dan berjalan seiring dengan per-kembangan pemikiran dan kemampuan umat Islam, sebagai satu komunitas yang dibangun berdasarkan prinsip jama’ah dan kesatuan. Oleh sebab itu pengertian Ijma’ juga beraneka ragam, tetapi mempunyai subtansi dan makna yang hampir sama. Dalam pandangan seperti ini, Ahmad Hasan memberikan pengertian definisi dalam tiga versi pengertian, yaitu :
1.  Kesepakatan umat Islam dalam persoalan-persoalan keagamaan
2.  Konsensus pendapat-pendapat dari orang yang berkopenten untuk berijma’ dalam persoal an-persoalan agama baik yang bersifat rasional ataupun hukum.
3.  Kesepakatan bulat dari ahli hukum umat Islam ada suatu jaman tertentu dalam masalah tertentu.

Dengan melihat pengertian dari Ahmad Hasan tersebut, maka Ijma’ yang dilakukan oleh seseorang sangat terbatas oleh ruang dan waktu, dan ini barangkali juga akan berpengaruh terhadap masa berlaku Ijma’ itu sendiri. Permasalahan masa berlakunya Ijma’ menyebabkan berkembangnya perselisihan pemikiran antara mereka yang setuju Ijma’ sebagai rujukan formal Hukum untuk masa-masa sesudahnya dan mereka yang beranggapan bahwa Ijma’ hanya berlaku untuk dimensi atau periode tertentu.
Al Gazali yang hidup setelah Imam Syafi’i memberikan pengertian Ijma’ sebagai kesepa-katan masyarakat Muhammad terhadap suatu masalah, bahkan dalam pengertian yang lebih singkat lagi menurut Imam Abu Husayn al Basri,  dikemukakan bahwa Ijma’ adalah persetu-juan dari sekelompok masyarakat terhadap suatu masalah dengan jalan melakukan tindakan atau menghindarinya (menghindar dari tindakan yang diperselisih-kan).
Dengan demikian, secara umum dapat ditarik pengertian atau  kesimpulan, bahwa unsur atau komponen Ijma’ meliputi  hal-hal sebagai berikut :
1.  Kesepakatan pemikiran.
2.  Ahli hukum, yang kalau dilembagakan menjadi Ahl Hall Wa al Aqdi
3.  Kelompok masyarakat
4.  Periode atau waktu terjadi dan berlakunya Ijma’
5.  Masalah yang diperselisihkan

Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa konsep Ijma’ tidak kita temukan pada awal perkembangan Islam, artinya ijma’ berfungsi sebagai legalitas formal dalam system per-kembangan hukum Islam, karena pada saat yang sama Islam mempunyai sumber hukum yang otoritasnya bersifat mutlak, yaitu al Qur’an dan as Sunnah. Ketika nabi Muhammad SAW meninggal dunia, legalitas hukum dari sebuah pemecahan permasalahan hukum yang baru sangat tergantung hasil pemikiran umat yang mendapat petunjuk. Kelompok Umat yang tercerahkan tersebut adalah 4 Khalifah pertama (ia disebut Khulafaur Rasyidin). Maka dalam peristiwa penetapan hukum berdasarkan pendapat pribadi (Ra’yi atau Qiyas) telah terjadi proses persetujuan dari sekelompok umat Islam, yang menganggap benar penetapan-penetap- an yang dilakukan oleh mereka. Di sinilah terjadi apa yang kita sebut sebagai “Ijma semi formal
Penetapan Ijma’ sebagai legalitas Semi Formal sebagimana yang disebut di atas, tidak mempunyai legalitas atau kekuatan hukum sebagaimana as Sunnah atau al Hadits, hal ter-sebut disebabkan :
1.  As Sunnah merupakan tradisi yang sudah mengakar dikalangan bangsa Arab bahkan se-belum datangnya umat Islam.
2.  Keberadaan legalitas (penetapan hukum) Sunnah telah diakui dan didukung oleh al Qur’an, sehingga menjadi hukum formal.
3.  Konsep Ijma’ itu sendiri masih diperdebatkan terutama berkaitan dengan Ijma’ ma-syarakat (Tradisi yang telah disepakati dan diamalkan oleh masyarakat) dan Ijma’ yang dilakukan oleh para ulama, yang sementara itu masih diperselisihkan oleh para ulama yang lain.

Pada perkembangan berikutnya, terutama dalam sejarah Islam aktual yang terus menerus berkembang. Penggunaan konsep Ijma’ mau tidak mau harus mengalami perubahan fungsi-nya; dari semi formal legalitas menjadi formal legalitas. Perubahan fungsi legalitas Ijma’ tersebut disebabkan oleh perubahan dan perkembangan umat Islam yang tidak mungkin me-lebarkan dan memperluas konsep atau subtansi Sunnah setelah Nabi Muhammad SAW, sebab secara subtansial Sunnah telah berhenti berkembang setelah Nabi meninggal dunia.
Di samping itu, perubahan fungsi legalitas Ijma’ juga disebabkan oleh  :
1.  Adanya larangan praktek tradisi atau Sunnah yang berbeda setelah kholifah 4 (khulafaur Rasyidin), yang dipicu terjadinya kekacauan hukum dan theologi akibat berkembangnya konsep aliran dan mazhab.
2.  Terjadinya pemisahan antara konsep Sunnah dan Ijma’ dalam satu pengertian yang ter-sendiri. Sunnah berarti sebuah hadits atau teks perbuatan Nabi, sedangkan Ijma’ merupa-kan rujukan dalam konteks hukum Islam.

Pada abad ke 3 dan 4, konsep Ijma’ sebagai satu legalitas formal menjadi semakin tegas keberadaannya, yaitu dengan terjadinya pemisahan antara Ijma’ masyarakat dan Ijma’ ulama atau ahli hukum, bahkan dalam perkembangan terakhir, konsep Ijma’ masyarakat tidak lagi menjadi bahan pertimbangan bagi para ulama untuk menentukan produk hukum dari Ijma’ ulama. Untuk itu pengertian Ijma’ berubah menjadi sebuah  persetujuan dari kelompok ma-syarakat atau umat Muhammad SAW terhadap masalah keagamaan dengan jalan melakukan atau menghindari masalah tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Gazali dan Abu Husayn al Basri tersebut di atas.
Melihat pengertian dan perjalanan sejarah aktual Ijma’ dalam keseluruhan sejarah keislam-an, maka Ijma’ mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu peran pemersatu dan peran politik bagi umat Islam.
1.  Peran pemersatu
a.  Al Qur’an dalam menyebut masyarakat Islam atau komunitas Islam, selalu disebut dengan nama “UMMAH”, sebuah konsep yang mengandung pengertian adanya kesatuan, persamaan dan persaudaraan. Konsep Ummah pada zaman Nabi dibangun berdasarkan perintah dan ajaran al Qur’an dan as Sunnah, artinya bahwa kedua otoritas tersebut di-pakai sebagai instrument penegakan rasa kesatuan dalam komunitas Islam.
b.  Setelah Nabi meninggal, konsep pemersatu Umat dilakukan oleh 4 pemimpin yang mendapat petunjuk (Khulafaur Rasyidin).
c.   Ketika 4 pemimpin tersebut meninggal dan kemudian umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok, sekte dan aliran, maka tidak mungkin kita akan memperlebar atau mengadakan Sunnah baru, dan disinilah konsep Ijma’ dibutuhkan sebagai alat pemersatu.
2.  Peran politis umat
a.  Ijma’ dipakai sebagai alat untuk menjaga persatuan umat, sebagaimana kasus pe-milihan Abu Bakar sebagai kholifah, yang hanya dipilih oleh beberapa orang saja atau sebagai Ijma’ personal (tokoh-tokok yang kredible) yang kemudian menjadi se-buah kesepakatan masyarakat atau Ijma’ masyarakat.
b.  Ijma’ merupakan aplikasi atau perwujudan dari konsep Syuro, yang secara kelemba-gaan disebut sebagai Ahl Hall wa al Aqdi.
c.   Ketika Ijma’ masyarakat/persetujuan masyarakat tidak lagi menjadi rujukan atau sebagai pertimbangan produk hukum atau politik sebagaimana pada masa  pemerin-tahan Islam otoriter, maka Ijma adalah kesepakatan ulama atau Ahl Hall wa al Aqdi.

Kreteria dan kualifikasi Ijma’
     Ijma’ yang kita sepakati sebagai salah satu otoritas dalam penentuan dan penetapan hukum Islam haruslah sebuah produk yang mempunyai kualifikasi yang baik. Sebab dengan eksis-tensi sebagai salah otoritas sumber hukum tersebut, Ijma’ harus dapat menjamin dirinya se-bagai produk yang benar-benar kualifait. Untuk menjamin kualitas tersebut, maka pelaku-pelaku Ijma’ juga harus orang-orang yang teruji dan terpilih dengan memenuhi persyaratan-persyaratan atau kreteria yang telah disepakati pula oleh hukum Islam. Persyaratan-persyarat an yang harus dipenuhi tersebut, misalnya :
1.  Pelaku Ijma’ harus beragama Islam. Oleh sebab itu persetujuan atau penolakan orang Kafir terhadap produk hukum yang telah ditetapkan oleh Ijma’ tidak bernilai Ijma’.
Lebih lanjut, dalam pandangan Al Gazali pelaku Ijma’ yang dikenal sebagai pelaku Bid’ah, orang Fasiq atau orang-orang yang dikucilkan dari komunitas umat Islam; tidak diperbolehkan melakukan Ijma’ atau pendapatnya tidak bernilai Ijma’.
2.  Dari segi kualitasnya, maka Ijma’ dilakukan oleh tiga kelompok orang, yaitu :
a.  Ahli hukum (Mujtahidin) yaitu kelompok  ahli hukum, kegiatan berfikir (Ijtihad), Ulama Ummat, Faqih (faham hukum) dan Ahl Hall wa al Aqdi (dewan pengambil putusan), dengan persyaratan bahwa mereka faham seluk beluk bahasa Arab, me-nguasai ayat dan hadits ahkam dan mereka bukan termasuk mujtahid yang dikucilkan (terasing).
b.  Awsath mutasyabihah yaitu ahli hukum yang tidak mempunyai keahlian atau spe-sifikasi keilmuan, ahli ushul fiqih tetapi tidak ahli dalam bidang hukum dan ke-lompok mujtahid fasiq. Berkaitan dengan legalitas hasil Ijma’ mereka, nampaknya tidak dapat dipakai sebagai sumber penetapan hukum.
c.   Masyarakat awam (rakyat biasa). Sebagian mereka mengatakan bahwa hasil Ijma’ Masyarakat dapat dipakai pertimbangan penetapan hukum, namun menurut Al Gazali Ijma’ tidak dapat dipakai karena :
·      Hasil Ijma’ mereka tidak berkualitas atau memenuhi standar yang disyaratkan.
·      Orang-orang yang hidup pada generasi pertama tidak setuju menggunakan Ijma’ orang awam sebagai bahan pertimbangan penetapan hukum.

Di samping itu ada yang beranggapan bahwa  ijma’ ulama sah tampa memandang pertimbangan masyarakat atau Ijma’ masyarakat tidak sah tampa ada pendapat ahli hukum.
Berdasarkan kreteria dan persyaratan sebagaimana yang disebutkan diatas, maka Ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu :
1.  Ijma’ lisan  (azimah/reguler) yaitu Ijma’ atau kesepakatan seorang ahli hukum terhadap problem hukum yang dinyatakan dengan pernyataan terbuka (lisan)
2.  Ijma’ diam (sukuti/rukhshah) yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan diam artinya tidak mengungkapkan persetujuan atau penolakan dengan pernyataan, namun demikian legalitas dan keabsahan Ijma’ diam-diam harus memenuhi standar :
a.  Pendapat sebagai Ijma’ diam-diam (Rukhshah) tersebut diketahui oleh ulama lain.
b.  Waktu sebagai persyaratan reaksi atau kritik terhadap kesepakatan atau pendapat telah berlalu.

Permasalahan hukum yang berkembang dikalangan umat Islam tentunya ber-macam-macam dan selalu muncul disetiap detak masyarakat muslim, namun demikian ruang lingkup yang diyakini dapat dilakukan proses Ijma’ sangatlah terbatas, diantaranya adalah :
1.  Hukum-hukum agama yang meliputi hukum syar’i dan hukum ghoir syar’i atau hukum duniawi.
2.  Hukum-hukum pada point 1 dapat dirinci menjadi :
a.  Hukum agama (hal yang meliputi permasalahan peribadahan)
b.  Hukum duniawi (hal-hal keagamaan yang berkaitan dengan permasalahan duniawi).
c.   Hukum intelektual atau hasil pemikiran kemanusiaan
d.  Hukum Inderawi
e.  Adat istiadat
f.   Etimologis.


KEABSAHAN IJMA’ DALAM SYSTEM DAN SUMBER HUKUM ISLAM
      Ijma’ sebagai salah satu otoritas dalam system sumber hukum Islam, mempunyai banyak per-masalahan yang kemudian menyebabkan lahirnya perbedaan pemikiran di kalangan kaum muslim atau secara khusus pada ahli hukum Islam tersendiri.  Permasalahan-permasalahan yang lahir di-seputar Ijma’ itu sendiri meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.    Otoritas atau dalil yang dipakai sebagai dasar adanya prilaku atau metode Ijma’
2.    Problematika keabsahan Ijma diam-diam sebagai sumber hukum Islam
3.    Persyaratan waktu dalam Ijma’
4.    Perlunya Dalil Naqli sebagai landasan Ijma’.

     Untuk memperoleh pengetahuan yang cukup berkaitan dengan Ijma’ termasuk didalamnya permasalahan yang berkembang diseputar Ijma’,  maka perlu dijelaskan  permasalahan-perma-salahan tersebut.

Otoritas dan dalil adanya Ijma’
Ijma’ sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sedikit banyak telah melahirkan perbedaan pemikiran dikalangan umat Islam, terutama yang berkaitan dengan keabsahannya se-bagai salah satu sumber hukum Islam. Pemikiran pengabsahan ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam didorong oleh satu pemikiran bahwa Sunnah sebagai sumber hukum telah habis masa berkembang dan produksinya, padahal dalam tinjauan dan kepentingan hukum Islam, diperlukan metode atau cara untuk menggali hukum Islam sebagai alternatif pemecahan permasalahan hukum Islam. Untuk itu diperlukan kesepakatan hukum yang dapat berlaku secara normatif.
Bermasalahan pertama yang berkembanga adalah apa yang dapat dijadikan dasar atau dalil bagi terwujudnya Ijma sebagai otoritas hukum tersendiri bagi umat Islam.  Menurut para pemikir hukum Islam, terdapat dua otoritas yang mendasari keabsahan praktek Ijma’ yaitu al Qur’an dan al Hadits.
Penetapan al Qur’an sebagai dasar adanya Ijma’ baru berkembang setelah Imam Syafi’i (abad II H), dan penetapan tersebut tidak pernah dijumpai sebelum zaman Imam Syafi’i. Imam Syafi’i sendiri tidak pernah menggunakan al Qur’an sebagai dasar pengabsahan Ijma’ kecuali as Sunnah (hadits), bahkan Imam Syafi’i tidak mendukung penggunaan al Qur’an sebagai dasar diperkenankannya Ijma’.
Penetapan al Qur’an sebagai dasar legalitas Ijma’ telah dilakukan oleh beberapa ulama dengan menggunakan ayat yang berbeda, misalnya :
1.  Abu Bakar al Jashshash (370 H). Dalam mendukung legalitas Ijma’,  ia menggunakan ayat-ayat sebagai berikut :
a.  Al Baqarah ayat 23,  yang  intinya terdapat dua hal yaitu
·      Kata Wasath yang mempunyai arti sifat kelurusan dan keadilan sebagai sifat dari umat Rasulullah, maka dari itu konsep wasath menuntut adanya legalitas dan pengakuan keputusan masyarakat.
·      Nabi adalah saksi dari umat tersebut artinya otoritas kebenaran masyarakat Islam menjadi tanggungan Nabi sebagai saksi.
b.  Qs.  Ali Imron/3 : 110
c.   Qs. At Taubah/9 : 16
d.  Qs. Luqman/ 31 : 15
2.  Imam Al Gazali; menggunakan ayat-ayat yang dipakai oleh al Jashshash dan ia juga me-nambah ayat-ayat lain untuk menguatkan keabsahan Ijma’, yaitu Qs. Ali Imron/3 : 103, An-Nisa’/4 : 59,  Al A’raf/7 : 181 dan Qs. Asy Syuura/42 : 10
3.  Fahruddin ar Razi (606) menggunakan Qs. An Nisa’ 59 yang intinya perintah kembali kepada Allah, Rasul dan pemimpin yang tercerahkan jika terjadi perbedaan pemikiran di-kalangan umat, untuk mengikuti pendapat yang telah disepakati.
4.  Al Amidi menggunakan Qs. Ali Imron  103 untuk menguatkan legitimasi Ijma’. Ia me-ngatakan bahwa Allah melarang setiap bentuk perselisihan dan perpecahan dan tidak ada-nya perselisihan merupakan subtansi Ijma’.

Penggunaan dalil atau teks-teks Qur’an tersebut, nampaknya ditanggapi lain oleh para penentang diberlakukannya Ijma’ sebagai salah satu sumber otorita dalam system hukum Islam. Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat tersebut tidak secara tegas menyatakan konsep Ijma’, tetapi akibat dari perkembangnya permasalahan yang mucul dikalangan umat Islam, ketika mereka tidak lagi menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup, moralitas dan etika kehidupan manusia. Ringkasnya ia merupakan akibat ketidak perdulian umat terhadap ajaran agamanya sendiri.
Dalil kedua, yang dipakai sebagai landasan legalitas keberadaan Ijma’ berasal dari Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW. Ada dua hadits yang nyata-nyata memberikan isyarat adanya Ijma’, yaitu :
1.  “Bahwa patuhlah ummat karena Allah tidak akan membiarkan ummat Muhammad ber- sepakat dalam kesalahan”.
2.  “ Bahwa apa-apa yang dianggap baik oleh umatku, maka baik juga bagi Allah, demikian pula apa yang dianggap buruk oleh umatku, maka buruk pula bagi Allah”.
3.  “Bahwa ada 3 hal dimana hati seoarang muslim tidak akan pernah bakhil, yaitu ketulusan amal perbuatan untuk mencari ridha Allah, mendoakan otorita-otorita dan kepatuhan terhadap kehendak umat; seruan mereka akan melindungi dari belakang”.

     Hadits-hadits tersebut, nampaknya disepakati oleh penerima konsep Ijma’ sebagai dasar legitimasi pendapat masyarakat atau Ijma’ dalam system hukum Islam. Terutama ketika mereka memahami konsep umat yang selalu dipakai untuk menyebut satu komunitas atau ma-syarakat Muslim.
Umat berasal dari kata Arab Ummah yang artinya kelompok masyarakat. Dalam pan-dangan Islam Umat berarti komunitas atau masyarakat Muslim yang didalamnya terbentuk dari sikap-sikap kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan. Dengan demikian ketika menyebut umat Islam, maka yang seharusnya yang ada adalah kesatuan atau kesepakatan pemikiran, sikap dan tindakan serta menentang segala bentuk upaya perpecahan dan bersekutu dalam ke-salahan dan kebatilan.
Dalam perspektif yang lain, ummat juga mempunyai atau digunakan untuk ha-hal sebagau berikut :    
1.  Mayoritas kaum muslimin terutama dalam kasus pembunuhan Utsman bin Affan dengan mengatakan atau mengambil pemikiran bahwa patuhilah pada ummat karena Allah tidak akan membiarkan ummat Muhammad bersepakat dalam kesalahan.
2.  Dewan para ahli hukum atau ulama sebagai perwujudan kesepakatan umat.
3.  Dewan yang terdiri dari para shahabat pendiri masyarakat Islam dan mereka yang tidak mungkin bersepakat dalam kesalahan.
4.  Masyarakat muslin secara keseluruhan
5.  Dan menurut At-thabari adalah masyarakat muslim yang bersepakat atau para pimpinan politik.

  Dengan prinsip keummatan tersebut, maka nampaknya Ijma’ memperoleh landasan legi-timasinya, sehingga mau tidak mau masyarakat harus menjalankan produk kesepakatan ter-sebut dalam kehidupan, karena setiap produk hukum tentunya mempunyai nilai normatif dan mengikat. Bahkan secara tegas banyak yang mengatakan bahwa orang yang tidak setuju Ijma’ adalah menentang agama. Komentar-komnetar yang menekankan pentingnya Ijma’ ber-kembang pada abad ke 4-5 H, jauh setelah masa Imam Syafi’i yang juga mengakui otoritas Ijma’. Komentar-komentar tersebut antara lain :
1.  al Bazdawi (w. 428 H) mengatakan bahwa orang yang menolak Ijma’ berarti menolak agama.
2.  Al  Sarakhsi (w. 490 H) mengatakan bahwa orang yang menolak validitas Ijma’  berarti meruntuhkan agama an sich.
3.  Abdul Malik al Juwayni (w. 478 H) mengatakan bahwa Ijma’ merupakan tali pengikat dan penopang syari’ah, yang dari padanya syari’ah dapat otensitasnya.

      Sudah barang tentu komentar-komentar tersebut memberikan dampak psykologis dan ke-agamaan umat Islam pada masa berikutnya, sehingga mau tidak mau  umat secara kese-luruhan juga mengakui otoritas Ijma’ sebagai salah satu system hukum Islam; sebagaimana yang kita jumpai pada saat ini. Namun demikian berlakunya Ijma’ sangatlah terbatas pada se-buah permasalahan yang secara tegas tidak ditemukan, termasuk masa berlakunya Ijma’ itu sendiri sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi sosial keagamaan masyarakat.
Menempatkan Ijma’ sebagai sumber legitimasi dalam system hukum Islam dengan di- dasarkan pada Hadits terutama penggunaan kata-kata Ummat dan Ketidak mungkinan salah  (infallibilitas) dan tidak mungkinnya umat bersepakat dalam kesalahan , bukanlah sebuah ga-gasan tampa permasalahan atau perselisihan, sebab pada perkembangannya nampak sekali adanya perbedaan pemikiran terhadap penggunaan hadits-hadits tersebut di atas.
Hadits-hadits oleh para pengkritik keabsahan Ijma’ diakui sebagai hadits yang mempunyai makna dan perintah untuk menciptakan dan menggalang kesatuan dan menentang segala bentuk upaya perpecahan, akan tetapi menggunakan hadits tersebut menjadi dasar keabsahan Ijma’ bukanlah sebuah gagasan yang bijaksana dan obyektif, melainkan sebuah gagasan yang bersifat subyektif dan gagasan itu bisa saja salah. Hal tersebut disebabkan :
1.  Bahwa tidak terdapat gagasan Ijma’ sebagai suatu doktrin teoristis pada awal per-kembangan Islam (Nabi Muhammad).
2.  Bahwa ahli hukum tidak dapat menetapkan makna atau jama’ah sebagai suatu ke-wajiban untuk diikuti oleh kaum muslim sesuai perintah Nabi Muhammad SAW..
3.  Hadits-hadits umum tersebut tidak dapat dipakai atau dibatasi pada satu sudut pandang tertentu saja sebagaimana yang dilakukan oleh mereka.

       Menjawab kritik tersebut, Imam al Gazali mengatakan bahwa hadits-hadits yang dipakai oleh para pendukung Ijma’ tersebut secara umum mengandung pengertian bahwa Nabi Mu-hammad SAW bermaksud mengangkat derajat  masyarakat dan untuk menunjukkan infalli-bilitasnya masyarakat Muslim. Di samping itu, terlepas dari system pengetahuan pasti bahwa pengetahuan melalui kesimpulan non  hadits tersebut telah tersebar pada jaman Shahabat dan Tabi’in dan mereka membenarkan adanya Ijma’.
Dalil yang ketiga, adalah dalil rasional (Akal), yaitu alasan-alasan pemikiran yang dapat dipakai sebagai dasar keabsahan. Permaslahan bahwa umatku atau masyarakat Islam tidak mungkin bersepakat salah mempunyai pengertian bahwa masyarakat Muslim tersebut secara individual terdiri atau terbentuk dari individu yang benar (tidak salah). Namun demikian apakah tetap dapat dikatakan tidak terlepas dari kesalahan artinya bebas dari kesalahan (In-fallibilitas) jika masyarakat tersebut terbentuk dari individu yang salah atau berpemikiran salah. Dan kalau hal tersebut terjadi apakah Ijma’ tetap dapat dipakai sebagai sumber hukum Islam.
Menurut Imam al Juwayni bahwa rasio dapat dipakai sebagai landasan keabsahan Ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.  Bahwa memang terdapat perbedaan hasil berfikir spekulatif , namun demikian mereka ada yang bersepakat secara pasti terhadap ketentuan dan tidak menolak suatu pendapat apapun.
2.  Jika mereka bersepakat dalam suatu masalah yang spekulatif dan mereka menyatakan bahwa hal tersebut bersifat spekulatif, maka kesepakatan tersebut dapat dianggap sebagai otoritas yang pasti.

Sedangkan bagi mereka yang menolak landasan rasional, mengatakan bahwa jika individu yang hidup dalam komunitas tersebut salah, maka komunitas tersebut juga berarti salah. Dan dengan demikian kesepakatan masyarakat tidak dapat dipakai sebagai dasar penetapan hukum Islam.

Keabsahan Ijma’ diam-diam.

Sebagaimana yang dikemukakan di muka, bahwa konsep Ijma’ secara legitimate baru ber-kembang pada abad ke 4-5 H, dan kemudian menemukan konsep secara sempurna pada masa berikutnya. Pada masa ini lahir konsep pembagian Ijma’ yang kemudian dikenal sebagai Rukn al Ijma’.  Rukn al Ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Reguler (lisan/azimah) dan Ijma’ diam-diam (Rukhsah). Ijma’ Lisan adalah Ijma’ yang dinyatakan secara terbuka dalam proses pemandangan dan penajaman permasalahannya, sehingga hasil kesepakatan tersebut juga diakui secara terbuka. Ijma’ lisan (reguler) berkembang melalui proses alam, teratur dan merupakan wujud atau cerminan keaslian masyarakat yang transparan.

Oleh sebab itu Ijma’ lisan sangat berbeda landasan dan arahnya dengan Ijma’ diam-diam. Ijma’ diam-diam adalah sebuah konsep atau kesepakatan hukum yang tidak teratur dan didasarkan oleh kebutuhan tertentu; dalam pengertian yang lain kehadirannya lahir karena ter desak oleh suatu keadaan tertentu. Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, maka Ijma’ diam-diam hanya berlaku secara individual dan tidak terbuka untuk umum.

Ijma’ diam-diam menjadi sangat penting apabila di lihat dari kepentingannya dalam pergualatan hukum Islam, apakah ia sah dan legitimate apabila dipakai sebagai landasan pe-netapan hukum Islam. Al Bazdawi mengatakan bahwa Ijma’ diam-diam itu sah dipakai sebagai dasar hukum apabila telah diketahui oleh para ulama dan waktu reaksi atau ber-edarnya telah berlalu. Demikian juga dengan  Abu Husayn al Basri, bahwa Ijma’ diam-diam menjadi sah apabila pendapat tersebut tersebar dimasyarakat dan kemudian tidak ditanggapi oleh ulama atau masyarakat.

Al Sarakhsi sebagai salah satu ulama yang mendukung Ijma’ diam-diam menambahkan bahwa :

1.  Seorang ulama tidak boleh berdiam diri jika ia menemukan kesalahan pendapat dalam masyarakat.
2.  Bahwa Allah tidak hambanya, maka dalam praktek keagamaan, mustahil seseorang dapat mendengar pendapat, prilaku generasi yang lalu atau pemikiran dari tiap-tiap generasi yang lau, maka sikap diam ulama merupakan tanda kesepakatan atau Ijma’.

      Berbeda dengan al Gazali, bahwa sikap diam bukanlah sebuah alasan yang dapat  dipakai untuk menentukan hukum, walau ada yang mengatakan bahwa diam adalah emas atau tanda setuju dari permasalahan yang telah disodorkan kepadanya. Sikap diam bukanlah Ijma’ dan bukan pula otorita, sebab sikap diam itu meragukan. Sikap diam seseorang bisa jadi disebab-kan oleh hal-hal sebagai berikut :
1.  Mungkin ada halangan yang tersembunyi untuk menyuarakan pendapatnya. Sikap marah dalam kediamannya merupakan pendapat.
2.  Ia menganggap bahwa pendapat  “boleh” menurut atau untuk dirinya sendiri, meskipun ia berbeda pendapat dengannya (orang lain) dan menganggap pendapatnya sendiri salah.
3.  Ia percaya bahwa mujtahid (orang yang berpendapat) itu benar, sehingga ia tidak perlu mengeluarkan pendapat.
4.  Mungkin sikap diam itu sebagai penolakan atau untuk menunggu waktu yang tepat.
5.  Ia khawatir jika ia mengeluarkan pendapat akan ditolak dan oleh karena itu ia mendapat malu.
6.  Mungkin dalam kondisi diam tersebut, ia masih berfikir.
7.  Ia beranggapan bahwa penolakan ulama tersebut telah cukup mewakili dirinya.

 

Persyaratan waktu dalam Ijma’

 Permasalahan berikutnya yang cukup menyita energi pemikiran para ulama dalam masalah Ijma’ adalah perlukah “berlalunya waktu” sebagai salah satu persyaratan keabsahan Ijma’. Permasalahan tersebut berkembang karena adanya perubahan pendapat atau pemikiran dari sebagian mereka yang ikut dalam kesepakatan yang menyebabkan berkembangnya keraguan tentang finalitas atau selesainya proses Ijma dan kekuatan operatifnya (kekuatan hukumnya).
Di samping kemungkinan kejadian dan peristiwa tersebut, hal lain yang juga menye-babkan berkembangnya perdebatan syarat waktu adalah landasan atau dalil Ijma’ yang di-pakai oleh mereka. Jika dalil yang dipakai dalam kesepakatan tersebut bersifat desesif atau dalaliah (merujuk langsung pada al Qur’an dan al Hadits), maka Ijma’ tidak memerlukan syarat berlalunya waktu, sedangkan jika Ijma didasarkan kepada dalil spekulatif, maka ia akan menghasilkan produk yang spekulatif dan rentang perubahan dan untuk kejadian ter-akhir diperlukan persyaratan berlalunya waktu.
Yang dimaksud berlalunya waktu sebagai persyaratan Ijma itu adalah jika Ijma’ di-keluarkan atau disepakati, maka ia akan sah menjadi landasan hukum yang final dan operatif apabila orang yang ikut dalam proses Ijma’ tersebut telah meninggal dunia. Dalam pengertian berlalunya waktu (syarat waktu) dapat diperluas mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.  Berlalunya generasi yang ikut dalam proses Ijma’ (kesepakatan).
2.  Meninggalnya mayoritas ulama yang ikut dalam proses Ijma  (kesepakatan).
3.  Meninggalnya tokoh utama generasi yang ikut dalam proses Ijma’
4.  Meninggalnya semua ulama dari generasi yang ikut dalam proses Ijma’.

Ulama atau ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam mensikapi perlu atau tidaknya persyaratan waktu dalam penentuan sahnya Ijma’. Dalam rentang waktu yang panjang, me-nuju kesempurnaan konsep Ijma’, perbedaan pemikiran tersebut dibagi menjadi dua sikap, yaitu :
1.  Menolak persyaratan waktu
Mereka yang menolak persyaratan berlalu waktu adalah sebagian pengikut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Asy’ariyah dan Mu’tazilah, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a.  Berlalunya  waktu akan menyebabkan Ijma tidak akan menjadi otorita, tetapi yang menjadi otorita adalah berlalunya waktu itu sendiri.
b.  Berlalunya waktu akan menyebabkan tidak tercapai kesepakatan (Ijma’) karena ada perbedaan pendapat, kondisi sosial dam generasi; dan ini hal tidak akan dapat ber-henti (ad infinitum).
c.   Ijma’ adalah sebuah otorita sebagaimana kedudukan Nash (al Qur’an dan al Hadits), sedangkan keabsahan nash tersebut tidak ada persyaratan waktu. Maka Ijma’ juga tidak perlu persyaratan waktu.
d.  Ayat-ayat yang mengesahkan otoritas Ijma’ tidak mensyaratkan adanya (berlalunya) waktu dalam Ijma’.
e.  Jika perlu persyaratan waktu, maka para shahabat dan tabi’un selalu berbeda dalam mengemukakan pendapat dan dengan demikian kesepakatan tidak akan pernah di-capai dalam masalah apapun.
f.   Yang menjadi otorita adalah Ijma’ itu sendiri, bukan berlalunya waktu.
g.  Jika kematian dijadikan syarat sahnya (otorita) Ijma’, mengapa kematian Nabi Mu-hammad SAW tidak dijadikan syarat sahnya (otorita) pendapat Nabi (Hadits).

2.  Menerima persyaratan waktu
Merak yang menekankan adanya “persyaratan waktu” adalah Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Hanafi, mereka beralasan :
a.  Isyarat Qs. Al Baqarah /2 : 143 yang menyatakan keunggulan Umat Mu-hammad, yang akan terus mendapat perlindungan kebenaran dari Allah atau dalam pengertian yang lain mempunyai sifat ketidakmungkinan sepakat dalam kesalahan (In-fallibilitas).
b.  Bahwa Ijma’ dapat tercapai karena adanya perbedaan pemikiran/pendapat dan pe-nafsiran dan para ulama bebas mengeluarkan pendapat setelah terjadi kesepakatan.
c.   Pendapat ulama tidak dipertimbangkan pada masa hidupnya, maka setelah mereka meninggal pendapat tersebut tidak akan dipertimbangkan, karena ulama lain yang akan berpendapat.
d.  Pendapat masyarakat kedudukannya tidak lebih tinggi dari pendapat Nabi,  maka Islam (pendapat Nabi) itu sendiri tuntas (tidak berkembang) setelah Nabi meninggal dunia.
e.  Mungkin Ijma bertentangan dengan Hadits Nabi pada saat ia mengingat hadits nabi tersebut, kemudian ia menarik pendapatnya. Maka sudah barang tentu Ijma’ terjadi dan apabila ia tidak menarik pendapatnya, maka berlalunya waktu merupakan alter-natif yang dapat dipertibangkan.

Dari beberapa pemikiran dan alasan tersebut di atas, baik yang mendukung di-berlakukannya syarat "berlalunya waktu” atau yang menolak “berlalunya waktu”, maka me-nurut hemat saya keperluan dan persyaratan waktu tersebut bisa dibagi dalam dua kategori, yaitu :
1.  Perlu waktu apabila memang kesepakatan atau Ijma’ tersebut memerlukan pertimbangan waktu, misalnya yang menyangkut hukum akibat perkembangan IPTEK. Dan yang kedua jika sebagian besar partisipan dari Ijma’ tersebut masih hidup.
2.  Tidak perlu waktu apabila masalah yang disepakati menyangkut masalah yang tidak meli-batkan perusakan dan pemusnahan yang disengaja. Dan yang kedua, jika masalah yang disepakati (Ijma’) didasarkan kepada dalil-dalil yang desesif (dalaliah).

Perlunya dalil Naqli dalam Ijma’

Sebagaimana yang sudah dijelaskan panjang lebar dimuka, bahwa Ijma’ adalah sebuah otorita yang diakui sah dalam system penetapan hukum Islam. Dan sudah barang tentu dengan keberadaan dia sebagai otoritas maka ia juga adalah dalil atau otoritas. Konsep ter-sebut tidak lantas lepas dari permasalahan, karena ternyata timbul permasalahan tentang “apakah perlu Ijma’ tersebut dikuatkan lagi dengan dalil Naqli”.
Konsep perlu tidaknya Ijma’ dikuatkan oleh dalil Naqli tersebut berkembang pada abad ke 4 H. jauh setelah meninggalnya Imam Syafi’i, sebab pada masa Imam syafi’i kita tidak me-nemukan konsep tersebut. Menurut teori klasik, bawha tidak Ijma’ yang sah terkecuali bila dikuatkan dengan dalil penunjang baik yang berasal dari Al Qur’an yang kemudian disebut dalilah atau dalil indikatif/desesif. Dan yang kedua dalil dari hadits ahad atau analogi yang kemudian disebut dalil amarah, pandangan atau bukti spekulatif.
Secara umum pendapat mengenai dalil Naqli dalam Ijma’ terbagi menjadi dua, yaitu mereka menyatakan perlunya dalil sebagai penguat dan mereka yang mengatakan tidak adanya dalil dalam Ijma’. Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasannya :
1.  Adanya syarat dalil dalam Ijma’,  alasan :
a.  Tampa adanya dalil atau otorita yang mendukung, maka Ijma’ tidak akan mencapai derajat kebenaran.
b.  Nabi Muhammad membuat keputusan berdasarkan wahyu Allah; Shahabat secara forteori juga melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu masyarakat yang berpendapat  harus berdasarkan pada otorita atau dalil.
c.   Kalau orang bebas berpendapat tampa didasari oleh otorita atau dalil, maka dalam jangka panjang, mereka akan membuat keputusan berdasarkan pendapat individu me-reka dan kesepakatan universal (umum) akan kehilangan nilai dan kelebihannya atas pendapat pribadi.
d.  Mengemukakan pendapat dalam masalah agama tampa dalil yang desesif (dalalah) atau spekulatif (amarah) tidak dibenarkan dan akan menimbulkan kesalahan hukum serta merusakkan prinsip-prinsip Ijma’.
e.  Pendapat tampa disertai dalil atau otorita tidak boleh dinisbatkan kepada pembuat hukum (ahli hukum) dan mengikuti pendapat tersebut tidak diperbolehkan.
f.   Ijma’ tampa adanya dalil akan menyebabkan syarat Ijtihad bagi  kompetensi Ijma’ tidak ada artinya.

2.  Tidak perlu dalil
a.  Apakah masih diperlukan dalil jika telah dicapai kesepakatan (Ijma’) karena kese-pakatan sendiri adalah dalil. Alasan-alasa lain adalah  :
·      Bahwa Ijma’ telah direstui dan dibenarkan oleh agama.
·      Bahwa umat tidak akan bersepakat dalam kesalahan
·      Pendapat kelompok merupakan otoritas terhadap pendapat pribadi.
b.  Pendapat apapun bisa saja salah jika tidak ada Ijma’, maka dengan Ijma’ tidak akan ada kesalahan
c.   Syarat Ijtihad bagi kompetensi Ijma’ baru berlaku jika tidak ada kesepakatan, maka bila terjadi kesepakatan, syarat tersebut tidak berlaku.

     Di samping alasan-alasan tersebut, ulama yang menentang persyaratan adanya dalil atau   otoritas lain bagi sahnya Ijma’, juga mengemukakan argumentasi lain, yaitu :
1.  Argument teoristis yang menyatakan bahwa Ijma itu sendiri adalah otoritas dan jika dalil dipakai, maka yang menjadi dalil atau otoritas adalah dalil itu sendiri, dan Ijma’ ke-hilangan makna legalitasnya.
2.  Argument praktis yang menyatakan bahwa praktek atau kegiatan Ijma’ telah dilakukan dan dicapai kesepakatannya pada masa lalu dalam sejumlah masalah.

Berdasarkan alasan yang dikemukan oleh masing-masing pihak, ternyata menurut al Amidi, keduanya tidak argumentasinya, sehingga permasalahan perlu tidaknya dalil menjadi sangat tidak penting dibandingkan dengan Ijma’ itu sendiri.  Maka untuk menjembatani per-bedaan pendapat tersebut, perlu di tegaskan jalan atau cara yang lebih moderat, yang menurut hemat saya merupakan alternatif yang bisa diterima. Pendapat yang merupakan kesimpulan itu adalah :
1.  Bahwa dalil diperlukan sebagai landasan untuk menguatkan Ijma’ sebagaimana pendapat al Shayrafi, Ibnu Hamam, al Mawardi, dan al Ruyani
2.  Dan jika dalil yang dipakai sebagai landasan itu adalah dalil desesif, maka Ijma’ adalah penegasan dan tidak dimaksudkan sebagai tindakan yang berlebih-lebihan. Pendapat ini dikemukakan oleh al Taftazani.


HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN :
1.    Bahwa Ijma’ merupakan salah satu otoritas yang dapat dipakai sebagai landasan penetapan hukum Islam. Yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
  1. Ijma’ Shahabat yaitu Ijma’ yang disepakati Shahabat dengan ungkapan verbal (Lisan); kedudukannya sebagai dalil desesif (dalalah).
  2. Ijma’ Shahabat yang disepakati dengan ungkapan verbal dan diam-diam (sukuti)
  3. Ijma’ Tabi’in yaitu Ijma terhadap masalah yang diperselisihkan pada masa Shahabat; kedudukannya sama dengan Hadits masyhur.
  4. Ijma’ generasi berikutnya terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan pada generasi sebelumnya.
2.    Bahwa Ijma’ menurut para pemikir Hukum Islam dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
  1. Ijma’ desesif lebih menentukan dari al Qur’an dan al Hadits, karena  dapat di-mansukh.
  2. Ijma’ yang yang disepakati dengan dalil amarah bersifat spekulatif (Ijma’ non desesif).
  3. Ijma’ yang disepakati secara bulat adalah sebagai dalil desesif dan yang tidak disebut sebagai dalil spekulatif.
3.  Bahwa menolak Ijma’ desesif berarti bid’ah (Kafir) sedangkan menolak Ijma’ spekulatif tidak menyebabkan apa-apa atau boleh.
4.   Bahwa Ijma’ tidak dapat dibatalkan oleh al Qur’an dan al Hadits, kalau Ijma’ tersebut di-kuatkan dalil dalalah dan sebaliknya Ijma’ tidak dapat membatalkan hukum dari al Qur’an dan al Hadits. Menurut al Bazdawi Ijma’ dapat dibatalkan hukumnya jika ditemukan hukum lain yang lebih kuat. (Ijma Spekulatif dibatalkan Ijma Desesif dst.).
5. Bahwa Ijma’ sebagai sumber otoritas ternyata mempunyai permasalahan-permasalahan di-seputar otoritas atau dalil yang dipakai, keabasahan Ijma’, persyaratan berlalunya waktu dan perlukah Ijma’ dikuatkan dengan dalil.
6.    Bahwa Ijma mempunyai kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pelaku dan ruang lingkup yang harus dibahas oleh Ijma’


BUKU REFERENSI
1.    Ahmad Hasan               : Pintu Ijtihad sebelum tertutup
2.   Ahmad Hasan              : Ijma’
3.   Dr. Fazlur Rahman        : Islam
4.  IAIN Sunan Ampel Sby. : Dirasah Islamiyah
5.  Drs. Taufik Adnan Amal  :  Islam dan Tantangan Modernitas

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates