Selasa, 10 Februari 2009

KEUTAMAAN WAKAF

PENGERTIAN
Secara bahasa, waqaf artinya menahan atau berhenti, diam di tempat, tetap berdiri. Kata waqofa – yaqifu – waqfan sama artinya dengan habasa – yahbisu – habsan. Wakaf secara bahasa adalah menahan, sebagaimana dalam surat ash-Shâffât ayat 24, artinya, “Tahanlah mereka (di tempat penghentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya”. Sedangkan secara istilah, wakaf yaitu; Menahan pokok benda suatu barang lalu hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan Islam.
Menurut Sayyid Sabiq, wakaf adalah menahan pokok benda dan mempergunakan hasilnya, yaitu memanfaatkannya di jalan Allah. Menurut Imam Taqiyudin, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya serta tetap zat harta tersebut, dan tidak boleh menjual-belikan. Manfaat benda tersebut harus untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian pengertian wakaf dalam syari'at Islam (dilihat dari perbuatan orang yang mewakaf-kan), merupakan perbuatan hukum sese-orang dengan sengaja memisahkan/menge-luarkan harta bendanya untuk dimanfaatkan bagi keperluan di jalan Allah/jalan kebaikan. Wakaf telah disyari’atkan dalam Islam pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, kemudian syari’at ini diteruskan oleh para shahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi ke generasi hingga sekarang.

Salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Umar telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, “Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang mana saya tidak memperoleh harta yang paling berharga bagiku selain sebidang tanah ini, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengan sebidang tanah ini?” Lalu beliau bersabda, “Jika engkau menghendaki wakafkanlah tanah tersebut (engkau tahan tanahnya) dan sedekahkan hasilnya,” Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan hasilnya. Sungguh tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara`, kerabat, untuk membebaskan budak, untuk kepentingan di jalan Allah subhanahu wata’ala, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan). Tidak ada dosa bagi yang me-ngurusinya, apabila dia memakan sebagian hasilnya secara ma’ruf/memberi makan teman-nya tanpa menimbun hasilnya. (HR.al-Bukhari no.2565, Muslim no.3085).
Dalam hadits lain tentang pensyari’atan wakaf – diututurkan oleh Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang di Madinah, beliau menyuruh para shahabat untuk membangun masjid, lalu beliau berkata, “Wahai Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata, “Tidak, demi Allah tidaklah kami menjual tanah kebun ini, kecuali untuk Allah (diwakafkan)”. (HR. al-Bukhari)
Secara umum dalam praktek perwakafan terdapat beberapa istilah yang sangat penting untu diketahui, yaitu :
A. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menye-rahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
B. Wakaf adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
C. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
D. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
E. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif.
F. Pejabat Pembuat Aktan Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
G. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembang-kan perwakafan di Indonesia
Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah, wakaf yang telah diikrakan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh Ahli Waris atau orang lain atas nama ahli waris.
RUKUN DAN SYARAT-SYARATWAKAF
A. Rukun Wakaf adalah hal-hal yang harus ada dalam proses wakaf dan jika hal tersebut tidak terpenuhi, maka kegiatan wakaf tersebut tidak sah.
B. Rukun Wakaf :
1. WAQIF : yaitu orang yang mewakafkan dengan syarat 1) diperuntukkan untuk kebaikan dan 2) atas kehendak sendiri – bukan karena dipaksa atau ditekan.
2. MAUQUF : yaitu barang yang diwaqafkan dengan syarat-syarat 1) kekal zatnya dan memberi manfaat, 2) barang tersebut milik sendiri, walau masih bercampur dengan yang lain (saham dll).
3. SIGAT (Ikrar Wakaf) yaitu kata-kata yang digunakan untuk melaksanakan wakaf, misalnya “saya wakafkan sebidang tanah milik saya ini dengan ukuran 100 m persegi untuk pembangunan sekolah”
4. MAUQUF ALAIH (NADZIR) yaitu orang/badan yang menerima wakaf, yang diserahi untuk memelihara dan menguru harta wakaf. Nadzir dapat berwujud perorangan atau lembaga (yayasan) yang sudah berbadan hukum artinya disahkan melalui notaris berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
MAUQUF ALAIH atau NADZIR (PEMELIHARA/PENGURUS WAKAF)
A. Macam-Macam Nadzir dan Syarat-syaratnya
1. Nadzir yang bersifat perorangan – syarat-syaratnya adalah : WNI, Beragama Islam-dewasa dan sehat jasmani rahaninya, tidak berada dalam pengampunan atau per-walian dan bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
2. Nadzir yang berbentuk badan hukum – syarat-syaratnya adalah : Badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan dan Badan hukum yang bertujuan (kegiatan) untuk kepen-tingan ibadah atau social yang sesuai dengan syariat Islam.
B. Kewajiban dan Hak Nadzir
1. Kewajiban Nadzir : Mengurus, mengawasi dan mengamankan harta wakaf, surat-surat wakaf dan hasil-hasil wakaf.
2. Hak-hak Nadzir : Menerima penghasilan dari perolehan tanah wakaf yang besarnya ditentukan oleh Kakandepag Cq. Kasi Urais dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % hasil bersih tanah wakaf dan dalam menunaikan tugasnya nadzir dapat menggunakan fasilitas tanah wakaf yang jenis dan jumlah ditetapkan oleh Kandepag Cq. Kasi Urais dengan mengingat hasil tanah wakaf dan tujuannya.
TATA CARA PERWAKAFAN TANAH DAN PENDAFTARANNYA.
A. Calon Wakif melengkapi surat-surat yang diperlukan bagi perwakafan tanah dan menyerahkannya kepada PPAIW atau Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf – Kepala KUA Kec. (Sertifikat tanah/Tanda bukti kepemilikan tanah yang sah, Surat keterangan dari Lurah/Desa yang diperkuat oleh Camat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak bermasalah).
B. Wakif mengucapkan ikrar wakaf kepada Nadzir yang telah disahkan dan disaksikan oleh PPAIQ.
C. Calon Wakif yang udzur dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kandepag dan dibacakan kepada Nadzir dihadapan PPAIW dan saksi-saksi.
D. PPAIW membuat AIW sebanyak 7 lembar (3 lembar asli dan 4 lembar salinannya).
E. PPAIW atas nama Nadzir mengajukan permohonan pendaftaran tanah wakaf kepada Bupati Cq. Kepala sub Agraria setempat.
KEUTAMAAN BERWAKAF
Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “Wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah subhanahu wata’ala menganjurkan nya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan maslahat. Adapun keutamaannya sebagai berikut;
Pertama; Menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, atau untuk orang yang berjihad di jalan Allah subhanahu wata’ala, untuk para pengajar dan penuntut ilmu, atau untuk pembantu dan untuk pelayanan kemaslahatan umum.
Ke dua; Merupakan amal kebaikan bagi pewakaf, karena dia menyedekah kan harta yang barangnya tetap utuh, tetapi pahalanya mengalir terus, sekali pun pewakaf sudah putus usahanya, karena telah meninggal dunia.
Disamping keutamaan-keutamaan tersebut, maka yang perlu difahami bahwa wakaf memiliki dua dimenesi yaitu wakaf sebagai shadaqah jariyah dan investasi pahala dengan pahala yang terus mengalir.
wakaf adalah shadaqah jariyah : Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadat wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits sebagai berikut:
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menaf-kahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka se-sungguhnya Allah mengetahui" (QS Ali Imran [3]: 92)
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 261)
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda: "Apabila anak Adam meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya,"

Hadits tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karena shadaqah jariyah oleh para ‘ulama ditafsirkan sebagai wakaf. (Imam Muhammad Ismail Al-Kailani, tt: 87). Para ‘ulama yang menafsirkan dan mengelompokkan shadaqah jariyah sebagai wakaf, yakni Asy-Syaukani, Sayid Sabiq, Imam Taqiyuddin, Abi Bakr. Dengan demikian bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah wakaf. Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi dasar hukum disyariatkannya wakaf dalam syari 'at Islam.
Wakaf, pahala mengalir tiada akhir : Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “Wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah subhanahu wata’ala menganjurkan-nya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan mashlahat. Adapun keutamaan-nya sebagai berikut;
A. Menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, atau untuk orang yang berjihad di jalan Allah subhanahu wata’ala, untuk para pengajar dan penuntut ilmu, atau untuk pembantu dan untuk pelayanan kemaslahatan umum.
Merupakan amal kebaikan bagi pewakaf, karena dia menyedekah kan harta yang barangnya tetap utuh, tetapi pahalanya mengalir terus, sekali pun pewakaf
B. Merupakan amal kebaikan bagi pewakaf, karena dia menyedekah kan harta yang barangnya tetap utuh, tetapi pahalanya mengalir terus, sekali pun pewakaf sudah putus usahanya, karena telah meninggal dunia.
Dus sesungguhnya melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah SWT melalui harta benda yang dimilikinya yaitu dengan melepas benda tersebut guna kepentingan orang lain. Muslim yang dermawan, mengeluarkan sebagian hartanya untuk kemaslahatan dan kebaikan, maka sedekahnya itu akan memberikan faedah buat dirinya pribadi dan orang lain. Dengan bersedekah dan mewakafkan sebagian hartanya, ia telah menabung pahala untuk kehidupan setelah mati dan estapet pahala akan terus berlangsung sebab kebaikannya masih difungsikan oleh manusia di dunia.
HUKUM WAKAF
Wakaf hukumnya sunnah, berdasarkan hadits di atas dan juga hadits berikut ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang mendo’akannya”. (HR.Muslim 3084). Syaikh Ali Bassam berkata, “Yang dimaksud dengan sedekah jariyah dalam hadits ini adalah wakaf.”
Wakaf sudah dianggap berlaku dengan salah satu dari tiga cara berikut : Pertama; Per-buatan, misalnya, seseorang membangun sebuah masjid kemudian dia izinkan orang lain untuk shalat di situ, atau membangun sekolah dll; Ke dua; Perkataan, misalnya “aku wakafkan barang ini” atau “aku sedekahkan hasil barang ini” atau ungkapan lain yang semakna. Ke tiga; Wasiat, misalnya bila aku wafat, maka aku wakafkan rumah ini.
Harta yang diwakafkan sebaiknya tercatat dan diketahui oleh seorang saksi atau lebih, hal ini dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Landasan tentang hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ketika ibu Sa’ad Bin Ubadah meninggal dunia, dia (Sa’ad) tidak berada di sampingnya, lalu dia datang melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ketika itu saya tidak berada di sisinya. Apakah bermanfaat kepadanya bila saya bersedekah atas namanya?” Jawab beliau, “Ya tentu (bermanfaat).” Lalu Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku sedekahkan (atas nama) ibuku”. (HR. al-Bukhari 2551).
STATUS HARTA WAKAF
Harta benda yang sudah diwakafkan tidak boleh dihibahkan pada orang lain, tidak boleh diwariskan kepada ahli waris, tidak boleh diperjual belikan, sebab pada hakikatnya harta wakaf itu sudah bukan milik pewakaf lagi dan sudah berpindah tangan dalam soal kepemilikan. Imam Syafi’i berkata, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan pewakaf menahan pokok harta yang diwakafkan tersebut dan memanfaat-kan hasilnya, maka itu menun-jukkan bahwa harta yang sudah diwakafkan bukan milik pewakaf lagi (al-Umm). Abu Yusuf dan Muhammad berkata, “Harta bila sudah diwakafkan maka tidak lagi menjadi milik pewakaf, tetapi dia hanya berhak menahan pokoknya agar tidak berpindah tangan kepada orang lain. Oleh karena itu, bila pewakafnya wafat, maka ahli warisnya tidak mewarisi harta wakaf tersebut.” (al-Mabsuth).
Hukum asal harta benda wakaf tidak boleh dicabut kecuali bila tidak diman-faatkan, atau diabaikan amanatnya, maka boleh mencabut wakafnya untuk di-alihkan kepada yang lebih bermanfaat. Syaikh Muhammad Amin berkata, “Seharusnya pewakif tidak mencabut wakafnya, kecuali sebelumnya dia membuat syarat apabila harta wakafnya tidak dimanfaat-kan atau merasa diabaikan amanahnya; maka pewakaf boleh mencabut wakafnya.”
Harta wakaf pada perinsipnya tidak boleh dijual digadaikan, diremehkan, dihadiahkan serta berbuat padanya yang sekiranya akan menghilangkan kewakafannya, dan apabila pewakafnya meninggal, maka tidaklah dapt dijadikan warisan, karena yang demikian inilah pengertian wakaf yang sebenarnya, serta Rasulullah berkata: "sesungguhnya harta wakaf itu tidak boleh dijual belikan dan dialihkan serta diwarisi, dan bersedekahlah dengannya kepada fakir miskin serta sanak keluarga dan orang-orang yang berada dibawah tanggunganmu, tidaklah mengapa bagi yang mengurusinya untuk memakan hasilnya dengan alakadarnya serta tidak pula menjadikannya milik pribadinya."
Para Ulama fikih berselisih pendapat dalam pembagian hasil harta wakaf bagi orang kaya. Sebahagian besar dari mereka tidak memperolehkan untuk dibagikan kepada orang kaya, karena wakaf itu sesuatu perbuatan pendekatan kepada Allah, tetapi apabila pewakaf itu mensyaratkan wakafnya pada jalan yang bukan pendekatan kepada Allah (wakaf kepada orang kaya) maka syarat itu tidak sah dan batal pula persyaratan itu, dan Allah yang Maha Suci dan Tinggi tak suka bila harta itu menjadi kekuasaan diantara orang-orang kaya saja, Allah berfirman "Sehingga tidaklah terjadi harta itu kekuasaan orang-orang kaya di antara kamu". Sebahagian kecil dari ulama Fikih memperbolehkan untuk membagikan harta wakaf kepada orang kaya dengan alasan karena itu bukanlah kiranya perbuatan keji.
JENIS HARTA YANG BISA DIWAKAFKAN
A. Tanah Kosong. Sebagaimana Bani Najjar mewakafkan tanah mereka untuk membangun masjid Nabawi di kota Madinah. Tentu saja tanah wakaf tidak hanya dipergunakan untuk masjid, tapi bisa untuk sekolah, rumah sakit, dan lain-lain yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Dan tanah wakaf tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, seperti untuk membangun bioskop, tempat perjudian, pelacuran dan lain sebagainya.
B. Peralatan Perang. Sebagaimana Khalid radhiyallahu ‘anhu mewakafkan baju perang nya untuk berjihad di medan perang fi sabilillah. (HR.al-Bukhari, No.1375)
C. Alat Transportasi. Amr bin al-Harits RA., berkata, “Pada saat Rasulullah wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, tidak pula dinar, tidak pula budak pria dan wanita, dan sedikit pun beliau tidak meninggalkan harta selain keledai putihnya, senjata, dan tanah, Beliau mewakafkan semua miliknya itu.(HR.al-Bukhari No.2661).
D. Sumber Mata Air, seperti sumur atau yang lainnya. Utsman Bin Affan RA. berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke kota Madinah. Beliau tidak menjumpai air tawar, melainkan sebuah sumur namanya “rumah”, lalu Beliau berkata, “Barang siapa yang mau membeli sumur ini dengan uangnya sendiri, sehingga timba yang diletakkan di dalamnya sebagai timbanya kaum muslimin, maka dia mendapat imbalan yang lebih baik di sorga”. (HR. Ahmad No.524, Tirmizi No. 3636, Nasa`i No.3551)
E. Kebun buah-buahan berikut hasilnya. Sa’ad Bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ketika itu saya tidak berada di sisinya, apakah bermanfaat kepadanya bila saya bersedekah atas namanya?” Jawab beliau, “Ya tentu (bermanfaat) . Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku sedekahkan atas nama ibuku”. (HR. al-Bukhari No.2551).
PENDAPAT ULAMA INDONESIA TENTANG WAKAF
(Di ambil dari pemikiran Suhrawardi K Lubis)


WAKAF merupakan bentuk muamalah yang bersifat kebendaan yang sudah lama di-kenal, dan telah ada semenjak kehidupan bermasyarakat itu ada. Setiap komunitas manusia selalu menyediakan fasilitas yang bersifat kepentingan umum yang diperlukan manusia secara bersama, seperti tempat ibadah, jalan raya sumber air, kuburan serta fasilitas umum lainnya, dan lazimnya semenjak zaman dahulu kala banyak yang berbentuk wakaf.
Dalam peristilahan syara' secara umum (Departemen Agama RI, 2005) wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan dengan cara menahan (pe-milikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Namun begitu, para ahli fiqih dalam tataran pengertian memiliki pemahaman yang berbeda:
A. Menurut Imam Abu Hanifah;
Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang menurut hukum tetap milik si pewakaf untuk mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan'. Berdasarkan definisi itu maka harta wakaf tidak lepas dari si pewakaf, bahkan ia dibenarkan menariknya lagi. Ia boleh menjualnya, dan jika si pewakaf wafat maka harta itu menjadi harta warisan bagi ahli warisnya. Jadi, yang timbul dari wakaf adalah menyumbangkan manfaat. Karena itu mahzab Hanafi mengemukakan wakaf adalah 'Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaat-nya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang'.

B. Menurut Imam Malik
Wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari pada kepemilikan pewakaf, namun wakaf itu mencegah pewakaf melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta itu kepada pihak yang lain, dan pewakaf berkewajiban menyedekahkan manfaatnya, serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si pewakaf menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau men-jadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang.

C. Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal
Wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan pewakaf, setelah sempurna prosedur perwakafan. Pewakaf tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara me-mindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tujuan (tukar menukar), atau tidak. Jika pewakaf wafat harta yang diwakafkan tak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Pewakaf menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana pewakaf tidak dapat melarang penya-luran sumbangan tersebut. Apabila pewakaf melarangnya maka Qadhi berhak memak-sanya agar memberikan kepada mauquf 'alaih. Dari pelbagai ketentuan di atas mahzab Syafi'i mende-finisikan wakaf adalah: 'Suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan.

D. Mazhab Imamiyah dan mazhab lain;
Pengertian wakaf sama dengan mahzab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf 'alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf 'alaih tidak berhak melakukan sesuatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. Praktek wakaf dalam Islam menjadikan sistem ekonomi lebih mudah, independen dan bersifat anjuran, sebagai-mana yang dijelaskan Al Quran yang artinya:'Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui' (Ali Imran 261)'.
Berdasarkan definisi di atas dapat ditegaskan, benda yang diwakafkan adalah sesuatu yang tetap (ditahan pokoknya) dan bermanfaat. Para ahli yurisprudensi Islam berbeda pendapat tentang jenis benda yang boleh diwakafkan, ada yang berpendapat hanya benda tetap saja yang boleh diwakafkan sedangkan benda bergerak tak boleh. Akan tetapi ada juga yang menyatakan, benda bergerak juga dapat dijadikan sebagai objek wakaf (wakaf bentuk uang). Dalam Islam wakaf banyak tumbuh dan berkembang pada masa sahabat, terutama sekali semenjak pembebasan semenanjung Arab, seperti wakaf tanah perkebunan yang tersebar di Madinah, Makkah, Khaibar dan negara-negara Arab lainnya. Mulai saat itu wakaf berkembang sangat pesat, sambutan dan pelaksana-an wakaf oleh para sahabat sangat besar, Jabir r.a., menyebutkan tidak seorangpun dari pada sahabat yang mempunyai kemampuan yang tidak ikut berwakaf (AzZuhali, 7599).
Penafsiran kembali ajaran wakaf terjadi karena persoalan yang makin kompleks. Agar tetap seiring dengan perkembangan masyarakat maka teori wakaf perlu dikem-bangkan sesuai dengan perkembangan teori keuangan dan perbankan. Perkembangan teori keuangan dan perbankan menghasilkan konsep semacam cash waqf atau wakaf tunai (Departemen Agama RI, 2004). Wakaf tunai ternyata sudah dilaksanakan sejak awal abad kedua hijriah. Imam azZuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya dengan menginves-tasikannya, kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Walau bagaimanapun dalam hal wakaf tunai belum banyak negara yang melak-sanakannya. Keadaan ini disebabkan masih terdapatnya perbedaan pendapat di antara ulama tentang kedudukan hukum wakaf tunai ini, yaitu antara pihak yang membolehkan dan pihak yang tidak membolehkan. Namun demikian, wakaf tunai sudah dilaksanakan di beberapa negera, di Bangladesh umpamanya Sertifikat Wakaf Tunai telah diperguna-kan sebagai suatu instrumen keuangan pada perbankan yang mengelola dana-dana sumbangan seperti dilaksanakan Social Investment Bank Limited (SIBL). Sertifikat Wakaf Tunai yang dikeluarkan oleh SIBL merupakan produk yang pertama diperkenalkan dalam sejarah perbankan. Dengan sertifikat wakaf tunai ini memberi peluang kepada umat Islam di Bangladesh untuk membuat investasi dalam belbagai bidang kehidupan
Melihat perkembangan zaman, dan sesuatu hal yang tidak dapat disanggah uang merupakan suatu variabel penting dalam pembangunan ekonomi masya-rakat, sehingga mendorong MUI mengeluarkan fatwa berkenaan diperboleh-kannya wakaf uang. Fatwa ini didasari antara lain, oleh:
1. Firman Allah swt:
- Qs. Ali Imran : 92 yang artinya: 'Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya'.
- Qs. Al-Baqarah : 261262 yang artinya: 'Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas (karunia lagi maha mengetahui). Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkanya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima) mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.'
2. Hadis Nabi Muhammad SAW yaitu:
- Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda: 'Apabila manusia meninggal dunia terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal' yaitu Shadaqah Jariyah/wakaf, Ilmu yang dimanfaatkan, Anak yang sholeh yang mendoakannya (H.R. Muslim, al-Tharmidzi, al-Nasa'i, dan Abu Daud).
- Dari Ibnu Umar r.a, Umar bin Khatab r.a memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW, untuk meminta petunjuk me-ngenai tanah tersebut, ia berkata Wahai Rasulullah saya memperoleh tanah di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah itu, apa perintah engkau (kepadaku) mengenai-nya?, Nabi SAW menjawab, jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya), Ibnu Umar berkata maka Umar menyedekahkan tanah itu (dengan mensyaratkan) tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan) ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya/tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa dari orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara wajar dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa men-jadikannya sebagai harta hak milik. Rawi berkata, saya menceritakan hadis terse-but kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyim-panya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari, Muslim, al Tharmidzi, al-Nasa'i)
- Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata Umar bin Khatab r.a berkata kepada Nabi SAW, saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu, saya bermaksud menyedekahkannya' Nabi SAW, berkata' Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah'. (H.R. al-Nasa'i)
3. Pendapat para ulama
- Pendapat Imam al-Zuhri (w. 124.H) Mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada pengelola (Abu Su'ud Muhammad,tt).
- Mutaqaddimin dari ulama mahzab Hanafi (Al Zuhaili, 1985: 162) Mem-bolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al'Urfi berdasarkan atsar Abdullah bin Mas'ud r.a.: 'Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandang Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk'.
- Pendapat sebagian ulama al-Syafi'i: Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam al-Syafi'i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang) (Al-Muwardi, 1994). Selanjutnya pada hari Sabtu 23 Maret 2002 MUI mendengarkan pandangan dan pendapat komisi fatwa MUI antara lain menyangkut perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis antara lain riwayat dari Ibnu Umar di atas. Disusul kemudian pada hari Sabtu tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa MUI dalam rapatnya menyepakati rumusan/definisi wakaf, sebagai berikut: 'menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (misal; menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram).
Berdasarkan beberapa dalil dan pendapat para ulama maka MUI melalui komisi fatwa mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang yang intinya berisi sebagai berikut:
A. Wakaf uang (cash wakaf/waqf alNuqud) adalah wakaf yang dilakukan oleh sese-orang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai;
B. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga;
C. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh);
D. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'iy;
E. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

WAKAF PADA MASA RASUL SAW
Wakaf telah disyariatkan pada tahun ke-2 H. Para ‘ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf yang pertama dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab terhadap tanahnya di haibar (Tafsir Ibnu Katsir Juz I 381; Fiqqussunnah Jilid III :381; Fiqh Islam Sulaiman Rasyid :324; Subulussalam:87; Laporan hasil Penelitian Wakaf IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta:132). Menurut keterangan Ibnu Umar, shahabat Umar r.a. menyedekahkannya kepada faqir miskin, kaum shahabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu. Sedangkan ulama lainnya mengatakan, wakaf pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tanahnya yang digunakan untuk masjid, sebagaimana riwayat yang disebut-kan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Muadz berkata: "Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedang orang-orang Anshor mengatakan wakaf Rasulullah SAW." (Asy –Syaukani 1374 H:129)

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates