Minggu, 17 Januari 2010
BANI BUWAIHI;
DINASTI BESAR DI MASA ABBASIYAH
Oleh :
I H S A N
BAB I
PENDAHULUAN
Membicarakan Daulat Abbasiyah berarti membicarakan separuh perjalanan kemegahan peradaban dunia pada masa pertengahan, sekaligus separuh kemegahan aplikasi ajaran Islam – separuhnya yang lain diperankan oleh daulat Bani Umaiyah di Andalusia (Spanyol) dengan berbagai kemegahan peradaban baik yang ada di Cordova, Granada dan berbagai tempat lainnya di Andalusia.
Daulat Abbasiyah berdiri dengan tetesan darah yang ditumpahkan oleh Abul Abbas As Shafah yang berhasil membangum emperium Abbasiyah setelah berhasil menyingkir-kan hegemoni daulat Umaiyah. Dimulai sejak tahun 750 M dan berakhir pada tahun 1258 M bersamaan dengan datangnya tentara Mongol yang memporak pandakan peradaban dunia di kota Bagdad.
Dalam kurun waktu yang demikian panjang sekitar 508 tahun, daulat Abbasiyah menjadi symbol kekuasaan yang tidak tergantikan oleh keluaraga lain, walaupun dalam teknis pemerintahan, daulat Abbasiyah diperintah oleh tiga keluarga yaitu keluarga/Bani Abbasiyah (750-932 M), keluarga/Bani Buwaihi (932-1075 M) dan keluarga/Bani Saljuk (1075 – 1258 M). Pengelolaan politik dan tata pemerintahan daulat Abbasiyah menjadi contoh nyata pengelolaan Negara atau tata pemerintahan modern terutama Negara yang memiliki tradisi monarchi yang cukup kental misalnya Inggris, Belanda, Jepang dan beberapa Negara dikawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Kamboja dan Malaysia.
Dalam tata pemerintahan modern dengan tradisi monarchi, berlaku kekuasaan dan simbolitas kekuasaan. Kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri/ Presiden yang menghormati kekuasaan simbolitas Negara yaitu Raja/khalifah. Dalam konteks Abbasiyah – pelaku pemerintahan dapat berpindah dari keluara Abbasiyah ke keluarga Buwaihi dan terakhir kepada keluarga Saljuk, tetapi mereka tetap mendudukkan keturun-an Bani Abbasiyah sebagai pemegang kekuasaan Daulat Abbasiyah.
Bani Buwaihi dalam keseluruhan daulat Abbasiyah adalah pelaku pemerintahan yang secara yuridis mendapatkan legalisasi dari keluarga Abbasiyah – yang kemudian mendudukkan dirinya sebagai symbol kekuasaan atau kerajaan yang secara teknis tidak melaksanakan tata kelola pemerintahaan – sehingga kemegahan dan kemajuan yang diperoleh oleh bani Buwaihi secara teknis tidak digambarkan sebagai kemegahan daluat Buwaihi tetapi tetap mengambil daulat Abbasiyah sebagai wadah besarnya.
Dalam kurun waktu sekitar 143 Tahun (932-1075 M) masa pemerintahan bani Buwaihi, terdapat perkembangan yang cukup signifikan terutama dalam pemikiran filsafat dan tata pemerintahan yang pengaruhnya masih terasa dalam kehidupan perpolitikan dan pemikiran filosofis umat Islam pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Mengingat luasnya kajian Bani Buwaihi terutama yang berkaitan dengan tata pemerintahan dan perkembangan pemikiran umat Islam, maka pokok bahasan dalam kajian ini difokuskan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Sejarah ringkas bani Buwaihi dan proses pengambil alihan kekuasaan teknis pemerintahan Bani Abbasiyah – yang dimulai dengan menggambarkan daulat Abbasiyah.
2. Pemikiran-pemikiran keilmuwan dan filsafat yang berkembang pada masa bani Buwaini terutama hasil Al Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Maskawaih, dan Ibnu Tufail
3. Masa keruntuhan dan peralihan kekuasaan teknis pemerintahan dari bani Buwaihi ke bani Saljuk.
Kajian-kajian yang berkembang tentu jauh dari kesempurnaan mengingat luasnya kajian dan terbatasnya area pembahasan – namun demikian ruh dan subtansi kajian tentang bani Buwahi dari keseluruhan kemegahan daulat Abbasiyah sedikit banyak telah diuraikan.
BAB II
SEKILAS TENTANG DAULAT ABBASIYAH
I. PENDIRIAN DAULAT ABBASIYAH
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.
Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam.
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :
1. Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
2. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
3. Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
4. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang terang-terangan .
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah . Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah. Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim.
Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran . Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah Umayah.
Pada masa Ibrahim, bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, konflik terbuka, dan akhirnya dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffah . Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah. Dalam peristiwa tersebut Abdurrahman (pewaris takhta kekhalifahan Umayah) yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia.
II. PERIODISASI KEKUASAAN DALAM DAULAT ABBASIYAH
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.
Daulat Abbasiyah berkuasa selama masa 508 tahun – dalam kurun waktu tersebut silih berganti penguasa tepatnya mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan kekuasaan secara internal.
Berikut ini adalah penguasa yang pernah berkuasa pad daulat Abassiyah yang dimulai dari Bani Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Saljuk .
A. Bani Abbas (750-932 M)
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
B. Bani Buwaihi (932-1075 M)
1. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
2. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
3. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
4. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
5. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
6. Khalifah At-Tai (974-991 M)
7. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
8. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
C. Bani Saljuk (1075-1258 M)
1. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
2. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
3. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
4. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
5. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
6. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
7. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
8. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
9. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
10. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
11. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)
III. PERIODISASI PEMERINTAHAN DALAM DAULAT ABBASIYAH
Daulat Abbasiyah memerintah selama 508 tahun – sudah barang tentu dalam kurun waktu tersebut terjadi pasang surut dalam pemerintahan, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Berdasarkan corak pemerintahannya dapat di-kelompokkan menjadi lima periode yaitu :
A. Periode pertama (750-847 M)
1. Diawali dengan tangan besi
Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani Umayah, bila perlu mem-bunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani Umayah itu diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas .
Perlakuan kejam itu tidak hanya kepada orang-orang Umayah yang masih hidup, melainkan juga kepada mereka yang sudah meninggal, dengan cara mengeluarkan jenazah mereka dan membakarnya. Sedangkan makam yang tidak digali, adalah makam Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz. Sehingga menimbulkan banyak pemberontakan, namun pembe-rontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Abu Abbas. Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M)
Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah Daulah Abbasiyah yang dikenal paling kejam. Namun dialah yang paling berjasa dalam mengkonsolidasikan dinasti Abbasiyah sehingga menjadi kuat dan kokoh, dia meletakkan dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-segan-segan melakukan tindak-an tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu pemerintahannya, dan melakukan reformasi birokrasi (penataan administrasi pemerintahan) serta memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat.
Pendayagunaan petugas pos-pos komunikasi dan surat-menyurat sebagai lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal ini dilakukan untuk meng-antisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Selain itu salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan, antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).
2. Pergeseran Kebijakan
Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih mementing-kan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.
Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.
3. Zaman Keemasan
Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filosuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.
Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintah-an Khalifah Harun Al-Rasyid.
Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (wafat 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya.[15]
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
B. Periode kedua (847-945 M)
Kebijakan Khalifah Al-Muktasim (833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki dalam ketentaraan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di masa Al-Muktasim (833-842 M) dan Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka mampu mengendalikan unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu mengalami kegagalan. Pada tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota.
Akibat adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang mulai melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq, Gubernur wasit dari Basra. Di samping itu, Khalifah memberi-nya gelar Amirul Umara (Panglima para panglima). Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas Khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.
Pemberontakan masih bermunculan pada periode ini, seperti pembe-rontakan Zanj di dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut, pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Ber-barengan dengan itu kadar saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, Khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
C. Periode Ketiga (945-1055 M)
Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Shina (980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan social (ahlu sunnah-syiah, dan pemberontakan tentara).
D. Periode Keempat (1055-1199 M)
Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk me-lumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaan khalifah dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga ber-kembang dalam periode ini. Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah ini telah melahirkan banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan dalam periode ini adalah Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Usul ad-dien (Teologi), Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa pusa kekuasaan melemah, masing-masing provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.
E. Periode Kelima (1199-1258 M)
Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasi-yah dalam periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua, terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjang-an. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.
Sedangkan faktor-faktor ekstern yang terjadi adalah, pertama, berlangsung-nya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah faktor kedua yaitu, adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.
IV. KERUNTUHAN BANI ABBASIYAH
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa kerajaan atau daulat Abbasiyah bertahann sampai 508 tahun sejak didirikan oleh Abul Abbas Ash Safah tahun 750 M sampai dengan ketika pasukan Hulagho Khan menyerbu Bagdad pada masa Bani Saljuk pada tahun 1258 M. Kemunduran keluarga Abbasiyah tidak lantas menjadikan Daulat Abbasiyah hancur, karena mereka masih tetap memegang simbolitas kerajaan walaupun secara teknis mereka menyerahkan pemerintahan kepada keluarga lain.
Secara umum kemunduran Bani Abbasiyah dalam keseluruhan Daulat Abbasiyah disebabkan oleh :
A. Pengangkatan mamaluk - kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali meng-organisasikan penggunaan tentara-tentara budak/Mamluk pada abad ke 9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki. Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah, karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini berhasil berkuasa dan mendirikan kesultanan di Mesir, dengan menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan.
B. Perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Walau ada kekhasan tersendiri dibandingkan dengan zaman Abbasiyah.
C. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya dan terus berlanjut pada masa-masa berikutnya (periode kedua dan seterusnya), meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Bahkan ketika tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut - khalifah diperlakukan sebagai boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
D. Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan kontak dengan wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi. Disamping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang disandarkan pada kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersamaan dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.
BAB III
KEKUASAAN BANI BUWAIHI
I. ASAL USUL BANI BUWAIHI (945 – 1055 M)
Bersamaan dengan kekuasaan Nuh bin Nasr, Dinasti Saman terlibat konflik dengan orang-orang dari Suku Daylam di kota Al-Jibal (Ray). Putra Nasr bin Ahmad bin Ismail Samani berambisi menguasai kembali wilayah Ray. Secara de jure, kawasan Ray telah dikuasai oleh orang-orang Suku Daylam. Ternyata tidak mudah bagi Nuh bin Nasr untuk menaklukkan suku ini. Malah sebagian pasukannya sewaktu menyerbu Ray membelot berpihak kepada Suku Daylam. Rezim Saman pun kalah menghadapi suku ini. Ibnu Abi As-Saj, Gubernur Azerbaijan, mengundurkan diri pada tahun 926 M. Bersama pasukannya, dia menuju ke Irak untuk menaklukkan gerakan ekstrimis Kaum Qarami-thah (Syi’ah Zaidiyah). Kekosongan kekuasaan ini dimanfaat-kan dengan baik oleh Mardavij bin Zayyar. Tahun 927 M Mardavij berhasil menakluk-kan Ray dan Isfahan .
Mardavij tidak sendirian dalam hal ini. Untuk membangun kekuatan militer yang tangguh, dia merekrut para nelayan dari tepi pantai Laut Kaspia. Mereka inilah yang dikenal sebagai Suku Daylam. Di antara mereka yang direkrut oleh Mardavij adalah Ali bin Buya, putra seorang nelayan dari klan Buwaihi. Dua saudara Ali, Hasan dan Ahmad, turut juga bergabung. Bersama Suku Daylam, Mardawij berhasil menakluk-kan Persia pada tahun 932 M. Rupanya, keberhasilan merebut wilayah Persia lebih banyak didominasi oleh peran orang-orang Buwaihi. Wajar jika Ali bin Buya berambisi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mardavij bin Zayyar. Setelah Mardavij wafat, dia tidak memiliki pengganti yang cukup cakap. Kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Ali bin Buya. Dia mengambil alih kekuasaan dengan amat mudah yang membuat kedudukan Ali bin Buya makin kokoh di Ray dan Persia.
Ada beberapa riwayat tentang asal-usul Dinasti Buwaihi. Pertama, Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi. Pendapat kedua mengatakan bahwa Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab. Ketiga, Buwaihi adalah keturunan raja Persi. Dan keempat, Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup di negeri Dailam. Negeri yang terletak di Barat Daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Nampaknya pendapat keempatlah yang dianggap mendekati .
Buwaihi atau Abu Syuja’ mempunyai tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Ketiganya menjadikan lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung denga tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di negeri Dailam. Mereka telah membuktikan kecakapannya di dalam melaksanakan tugas masing-masing.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Dailam telah berada dalam kekuasaan orang-orang Muslim dan tunduk pada pemerintahan Khalifah. Di Provinsi Kaspia yang dihuni Suku Dailam ini pun, pernah didatangi kalangan Syi’ah yang ketika itu sedang melarikan diri dari kerajaan Abbasiyah dan berhasil menjadikan warga Dailam memeluk Islam. Namun pada tahun 864, warga Syi’ah Dailam memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Khalifah Abbasiyah, mengusir gubernur Abbasiyah dan mendirikan sebuah negara merdeka. Makan bin Kali ialah panglima kedua di Dailam sesudah Laila bin An-Nu’man yang menjadi panglima pertama. Makan telah mengambil tempatnya sebagai panglima yang pertama. Tetapi salah seorang bawahannya bernama Asfar bin Syiruwaih telah berkhianat dengan dibantu oleh Mardawij bin Ziar. Mereka berhasil mengalahkan Makan. Ketika Asfar terbunuh, maka kekuasaan berpindah kepada Mardawij dan saudaranya yaitu Wasyamkir.
Ketiga anak Buwaihi ini akhirnya berpihak kepada Mardawij, setelah Makan mengalami kekalahan. Namun sebelumnya, mereka pun meminta izin dulu kepada Makan, dengan alasan meringankan beban Makan, dan akan membantunya kembali apabila kekuasaan telah pulih. Makan mengizinkan hal itu, begitu juga panglima-panglima lain mengikuti jejak mereka. Mardawij pun menyambutnya dengan senang hati. Dan masing-masing bekas panglima tentara Makan diserahi kekuasaan menjadi pemerintah di wilayah-wilayah yang ditundukkan oleh Mardawiij. Ali bin Buwaih wilayah Karkh. Begitu juga Hasan bin Buwaih dan saudaranya, Ahmad, diserahi tugas sebagai pentadbir wailyah-wilayah lain yang penting .
Pada waktu tersebut, Mardawij telah memikirkan kembali perkara pelantikan-pelantikan, lalu merasa menyesal menyerahkan wilayah-wilayah tersebut kepada bekas panglima-panglima Makan itu. Maka ia pun mengirim surat kepada Wasyamkir supaya menahan dulu ketiga panglima tersebut di Raiyi. Tetapi surat itu sampai kepada Abu Abdullah Al-Amid lebih dulu. Setelah membaca isinya, Abu Abdullah segera menemui Ali bin Buwaih dengan sembunyi-sembunyi dan memintanya supaya segera berangkat ke wilayah Karkh yang akan diperintahnya. Pada keesokan harinya, baru Abu Abdullah menyerahkan surat itu kepada Wasyamkir, sementara Ali bin Buwaih telah berada jauh dalam perjalanannya menuju wilayah Karkh yang kemudian menjadi miliknya.
Pemerintahan Buwaihi didasarkan pada sistem kekeluargaan, yang satu sama lain saling mengakui daerah kekuasaan masing-masing, termausk daerah yang dikuasai oleh saudara tertua, Ali, yang telah menguasai Isfahan ketika Mardawij terbunuh dan tak lama kemudian seluruh Fars. Sedangkan Hasan menguasai Provinsi Ray dan Jibal, sedang yang paling muda menguasai wilayah pantai selatan yaitu Provinsi Kirman dan Khuzistan.
Pada saat itu, keadaan di Baghdad semakin buruk. Klan mamalik dan Amir-amir Umara’ tidak berhasil menjalankan pemerintahan dengan baik. Pada tahun 334 H, panglima-panglima Baghdad telah menulis surat kepada Ahmad bin Buwaih supaya datang ke Baghdad dan mengambil kekuasaan. Ahmad telah menanggapi permintaan itu, dan khalifah Abbasiyah telah mengeluk-elukkannya serta men-jadikannya Amir Umara dengan gelar Mu’iz ad-Daulah, saudaranya, Ali, diberi gelar Imad ad-Daulah, dan Hasan, diberi gelar Rukn ad-Daulah. Beberapa waktu kemudian khalifah-khalifah Abbasiyah telah tunduk kepada Bani Buwaih, dan nasib dunia Islam berkaitan dengan golongan yang baru berkuasa itu. Sehingga pada zaman tersebut, khalifah tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh lagi, seperti khalifah-khalifah Al-Mustakfi, Al-Muti, At-Ta’tie, Al-Qadir dan Al-Qa’im. Selama periode Buwaihi, tercatat beberapa Amirul Umara yang memerintah di Baghdad , yaitu :
1. Mu’iz ad-Daulah tahun 945 M
2. ‘Izz ad-Daulah Bakhtiyar tahun 967 M
3. Adud ad-Daulah tahun 978 M
4. Samsan Ad-Daulah tahun 983 M
5. Sharaf Ad-Daulah tahun 987 M
6. Baha ad-Daulah tahun 989 M
7. Sulthan ad-Daulah tahun 1012 M
8. Musharif ad-Daulah tahun 1020 M
9. Jajal Ad-Daulah tahun 1025 M
10. Imaduddin Abu Kalijar tahun 1044 M
11. Al-Malik ar-Rahim tahun 1045-1055 M
II. PERKEMBANGAN PERADABAN PADA MASA BANI BUWAIHI
A. Sistem Pemerintahan
Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama dipegang oleh Mu’iz ad-Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan seorang khalifah sangat ter-batas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan kekhalifahan, karena keberadaan khalifah diperlukan sebagai simbol untuk mendapat simpati publik. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung pada keabsahan khalifah.
Pada masa ini mulai diperbaiki kerusakan-kerusakan yang diderita Baghad dari kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan me-mulihkan situasi ini, Al-Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan pemerintahan kepada Mu’iz, dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam.
Mu’izz menurunkan Al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan Al-Muti’ yang memang sebelumnya telah menjadi saingan Al-Mustakfi. Tindakan ini lebih didasari atas keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal ini Al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu’izz. Mu’izz memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudara-nya di timur memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 952 M, suatu usaha dari kaum Qaramithah dan Omani untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara Buwaihi.
Pada pemerintahan Adud ad-daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah kekuasaan Irak, Persia Selatan dan Oman. Di Barat terhadap Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyyah Thabaristan, Samanniyah Khurasan. Pada pemerintahan Adud ad-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa keemasan, Adud ad-Daulah berhasil mempersatukan semua penguasa Buwaihiyah
Pada masa-masa awal, Dinasti Buwaihi juga memperbaiki kerusakan perekono-mian dan alat produksi, berupa perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Muiz pertama kali berkuasa. Pemerintahan Adud ad Daulah didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer.
Staf pemerintahan pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi iqtha’, yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pe-ngumpulan dan pengeluaran atas pendapatan negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer, dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat.
Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independen seperti Dinasti Saman. Ali bin Buya masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah. Ali bin Buya terus berusaha mendapat simpati dan dukungan politik dari Khalifah Al-Mustakfi.
Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa dinasti sebelumnya di Persia. Albert Hourani (2004) menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang gelar dinasti Persia Kuno. Seperti gelar “Syahansyah” (Rajadiraja). Penelitian arkeologis telah menemukan sebuah medali bertahun 969 M bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi menggunakan gelar “Syahansyah” (Rajadiraja) . Dengan demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban Persia Kuno, seperti halnya Dinasti Saman, yang bermaksud mengembalikan kejayaan orang-orang Arya.
Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lain dengan kekuasaan orang-orang keturunan Saman Khuda (Dinasti Saman). Unit-unit kekuasaannya lebih dipusatkan di kota-kota besar. Seperti kekuasaan di Persia dipusatkan di kota Syiraz dan Isfahan. Kekuasaan di Ray dipusatkan di kota Al-Jibal. Dan, kekuasaan di Irak dipusatkan di kota Baghdad, Bashrah, dan Mosul.
Dalam perjalanan berikutnya, rezim Buwaihi terus mendapat tekanan politik dari orang-orang keturunan Saman Khuda. Setelah Ray dan Isfahan berhasil diambil-alih oleh orang-orang Buwaihi, Nuh bin Nasr, putra Nashr bin Ahmad bin Ismail Samani, berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Hasan bin Buya (Rukn Ad-Daulah) dengan pasukan Nuh bin Nasr. Pada peristiwa ini, pasukan Dinasti Saman justru memihak kepada orang-orang Buwaihi. Akibatnya Nuh bin Nasr kalah telak.
Pasca kekalahan menaklukkan wilayah Ray, Dinasti Saman berkoalisi dengan Dinasti Hamdan di Mosul. Nuh bin Nasr meminta bantuan kepada para penguasa Mosul (Bani Hamdan) lewat mediator Ibrahim bin Ahmad, pamannya sendiri. Hasil-nya cukup memuaskan karena pada tahun 944 M, Dinasti Saman berhasil merebut kembali wilayah Ray. Tetapi, para keturunan Buwaihi terus menggerogoti kekuasaan Nuh bin Nasr di Ray. Ali bin Buya (Rukn Ad-Daulah), penguasa Dinasti Buwaihi di Syiraz memberikan dukungan kepada Abu Ali yang memberontak pada tahun 950 M.
Selama masa pemerintahan Dinasti Buwaihi, ada beberapa peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah , yaitu :
1. Baghdad dan Siraz - Kedudukan Baghdad sebagai ibu kota dari segi politik dan agama. Di zaman Dinasti Buwaihi, Baghdad telah kehilangan kepen-tingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz (tempat bermukimnya Ali bin Buwaih atau Imad ad-Daulah). Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkan perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari Dinasti Buwaihi. Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini dinikmati oleh khalifah.
2. IIkhwanus Shafa - Di zaman ini muncul kumpulan ikhwanus shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmah.
3. Negeri-negeri yang memisahkan diri - Semasa berada di puncak kekuasaan, Dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah. Tetapi ketika kekuasa-an Dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula kerajaan yang memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah, di antaranya ialah kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
4. Perselisihan madzahab - Ajaran Islam tiba di Dailam melalui kaum Syi’ah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid, kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika itu beraliran sunni. Terlebih ketika Khlaifah al-Qadir berusaha menentang faham syi’ah.
B. Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Pemerintahan Adud ad-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap per-kembangan berbagai disiplin ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pe-merintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu. Bahkan pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunakannya juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran.
Periode Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Para pemikir penting, di samping pakar-pakar teori Syi’ah, sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibnu Shina (w 1037 M/428 H), seorang filosof-dokter dieri kepercayaan menjadi wazir oleh Syamsud Daulah (w. 1021 M/412 H) yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula be-berapa penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, seperti Ibnu an-Nadim (w.995 M/385 H), seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris; Ibnu Miskawaih (w.1030 M/421 H). Di samping itu, berbagai aktivitas ilmiah dan kemausiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan rumah-rumah sakit di berbagai kota .
Mengingat luasnya pembahasan perkembangan peradaban pada masa bani Buwaihi, dan dengan tidak bermaksud meminimalisir peran budaya dan tokoh pemi kirnya, maka hanya akan dibahas secara sekilas terhadap pemikiran dan tokoh-tokoh peradaban waktu itu yaitu Al Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Maskwaihi dan Ibnu Tufail.
1. Al Farabi
Sesungguhnya kehidupan al Ffarabi tidak dikatakan secara dominan bagian dari kekuasaan masa Bani Buwaihi, karena hampir dari separuh kehidupan dan pergulatan intelektualnya berada di penghujung masa peme-rintahan bani Abbasiyah dalam keseluruhan daulat Abbasiyah. Gaung pemikir-an Al Farabi menjadi lebih besar ketika mereka yang menelaah pemikiran Al Farabi ternyata banyak pada masa bani Buwaihi. Al Farabi sendiri pada masa akhir hidupnya berada di periode awal berkuasanya Bani Buwaihi.
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki. Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Ia memliki kecerdasan dan bakat yang luar biasa hingga ia mampu menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.
Al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa, buda-ya serta filsafat Persia. Ia mempelajari musik untuk kali pertama. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936. Ia adalah seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, yang memiki reputasi yang tinggi dalam bidang. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantaranya buku tentang ilmu logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dll. Tapi kebanyakan karya–karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah . Diantara karya–karyanya antara lain :
a. Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (Intisari Buku Metafisika)
b. Al–Jam’u Baina Ra’yai al–Hakimaini (Mempertemukan dua pendapat Filusuf : Plato dan Aristoteles)
c. 'UUyun al Masa’il ( Pokok – pokok persoalan )
d. Ara’u Ahl al–Madinah (Pikiran – pikiran Penduduk Kota)
e. Ihsa’ al– ‘Ulum (Statistik Ilmu)
Dalam bidang ilmu pengetahuan, keahliannya yang paling menonjol ialah dalam ilmu mantik (logika). Kepiawaiannya dibidang ini jauh melebihi gurunya, Aristoteles. Menurut al– Ahwani, pengarang al–Falsafah al– Islamiy-yah, besar kemungkinan gelar “Guru Kedua” (al-Mu’allim as–Sani) yang disandang al-Farabi diberikan orang karena kemashurannya dalam bidang ilmu mantik. Dialah orang yang pertama memasukkan ilmu logika ke-dalam kebudayaan Arab, sebagaimana Aristoteles yang dijuluki “Guru Pertama” (al – Mu’allim al – Awwal) karena dialah yang pertama kali mene-mukan ilmu logika dengan melatakkan dasar – dasarnya . Gelar "Guru kedua" tersebut boleh jadi untuk menggambarkan keluasan pemikiran filosofis secara orisinil dari seorang yang bernama al Farabi sendiri – boleh jadi juga untuk menggambarkan kehebatan Al Farabi dalam mengupas pemikiran-pemikiran Aristoteles, sehingga seorang berbicara tentang Aristoteles, maka seseorang tidak dapat meninggalkan begitu saja Al Farabi dan komentar-komentarnya tentang Aristoteles.
Pada akhir tahun 942 , ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidup-an sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan seder-hana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafat-nya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di Damaskus pada usia delapan puluh (80) tahun.
Beberapa pemikiran Al Farabi yang berkembang dan memberikan inspiransi bagi filosof Islam diantaranya adalah :
a. Konsep Politik atau Negara
Pemikiran politiknya dapat dilihat dalam karya Al-Madinah al-Fadhilah (Negeri Utama-Madani) sebenarnya dapat kita temukan pada Republic karya Plato. Istilah dan konsep kota yang digagas keduanya mirip, bahkan dapat dikatakan identik. Al-Farabi menyebut kota impiannya itu sebagai al-Madinah al-Fadilah. Sedangkan Plato menyebut-nya Kallipolis (kota yang cantik/fair),. Konsep negeri Utama terlihat pada dua karya al Farabi “Siayah al Madaniyah (Politik perkotaan) dan ahl Madinah al Fadlilah (Konsep negeri Utama) .
Negeri Utama mempunyai sifat-sifat atau mengandung keadaan sehat mental dan fisik, cerdas, kreatif dan dinamis, tanggap terhadap segala se-suatu (responsif/ antisipasif), bermoral/ santun, jurdil dan amanah serta ber-pemikiran kedepan (prospektif).
Sedangkan musuh dari negeri Utama adalah Pertama negeri bodoh (al-madinah al-jahiliyah) dimana masyarakatnya tidak mengenal kebaha-giaan; kedua, Negeri Fasik (al-madinah al-fasiqiah) yaitu negeri yang mengenal kebahagiaan (utama) tetapi berprilaku sebagai negeri bodoh; Ketiga adalah negeri Berubah (al-madinah al-mubaddilah) yaitu negeri utama yang telah mengalami perubahan karena kerusakan; sedangkan yang keempat adalah negeri Sesat (al-madinal al-dhalalah) yaitu negeri yang dihuni oleh orang yang pemikirannya salah (Tuhan) .
Kota jahiliah sendiri dibagi menjadi enam; kota kebutuhan dasar (al-madinah al-dharuriyah), kota jahat (al-madinah al-nadzalah), kota rendah (al-madinah al-khassah), kota kehormatan (timokratik), kota despotik (al-madinah al-taghallub), dan kota demokratik (al-madinah al-jamai’iyah) .
Kota demokratis dalam pemikiran politik al-Farabi nampaknya adalah sebuah alternatif untuk terwujudnya sebuah kota utama. Model kota utama yang terlalu idealistik, dan juga mensyaratkan adanya seorang pemimpin yang sempurna, yang tentu akan sulit sekali ditemukan sosoknya. Oleh karena itu muncul opsi kota demokratis, di mana seperti yang dikatakan al-Farabi dalam al-Siyasah al-Madaniyah bahwa kota ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang diidealkan (filosof, ahli retorika, dan penyair, yang menggeluti berbagai hal), paling tidak memiliki peluang lain yang lebih besar daripada kota-kota dengan model lainnya .
b. Konsep Metafisika dan Logika
Metafisika – Tuhan adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa sebab. Ia adalah dzat yang azali, ia bukan benda dan bentuk dan Ia tidak tersusun. Menurut al Farabi Wujud tersebut dibagi menjadi dua; Pertama "Wujud yang mungkin" atau wujud yang nyata karena yang lainnya (wajibul wujud li ghairih), seperti wujudnya cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cayaha adalah wujud yang mungkin, oleh karena ada matahari, maka cahaya menjadi wujud yang wajib (nyata). Wujud yang mungkin tersebut menjadi bukti adanya Sebab Yang Pertama (Tuhan); Kedua, "Wujud Yang Nyata" (wajibul wujud li dzatihi) atau wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka timbul kemuslihatan sama sekali .
Tentang Hakikat Tuhan, Al Farabi menjelaskan bahwa Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa sesuatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti tidak sempurna. Ia wujud yang Mulia – dzat yang Azali dan yang selalu ada. Wujud-Nya tidak berarti terdiri dari hule (Matter – benda) dan form (shurah – bentuk). Kalau sekiranya ia terdiri dari dua hal tersebut, tentunya akan terdapat susunan pada Dzat-Nya. Tuhan itu "tunggal" sama sekali, maka batasan tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali, karena batasan berarti suatu penyusunan yaitu memakai species dan differentia (an Nau' wal fasl) atau dengan memakai hule dan form .
Logika – dalam bidang logika, Al Farabi sangat dipengaruhi oleh Aristoteles. Pendapat-pendapat tentang lagika adalah sebagai berikut :
• Definisi logika – ilmu tentang pedoman yang dapat menegakkan pemikiran dan menunjukkannya pada kebenaran; Logika dalam lapangan pemikiiran sama kedudukannya dengan ilmu nahwu-sharaf dalam lapangan bahasa.
• Kegunaan Logika – agar kita dapat membetulkan pemikiran orang lain, atau agar lain dapat membenarkan pemikiran kita dan atau kita dapat membetulkan pemikiran kita sendiri.
• Lapangan logika – segala pemikiran yang dapat dinyatakan dengan kata-kata atau juga kata-kata yang dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pemikiran.
• Bagian-bagian Logika –yaitu kategori (al ma'qulat al asyr), kata-kata (terms-al Ibarah), Analogi pertama (al Qiyas), analagi kedua (al Burhan), Jadal (debat), Sofistika, Retorika dan Poetika (Syair) .
c. Tasawuf Al Farabi
Beberapa orang orientalis mengira bahwa pemikiran mistik (tasawuf) yang dikembangkan hanya sepintas lalu dalam konstalasi pemikiran filosofis al Farabi – sesungguhnya al Farabilah yang meletakkan pemikir-an-pemikiran tasawuf dalam filsafat Islam, hal tersebut karena al Farabilah yang menyusun dan membangun sistematika filsafat Islam.
Pemikiran tasawuf al Farabi didasarkan pemikiran (perenungan) dan bukan didasarkan atas kerohanian semata-mata yang berpangkal pada pemberangusan kesenangan lahiriyah untuk mendapatkan kebersihan jiwa, dengan kata lain tasawuf menurut al Farabi dibangun berdasarkan atas pembahasan dan perenungan.
Al Farabi berpendapat bahwa kebersihan jiwa tidak hanya dapat dipereoleh melalui badan dan perbuatan badaniyah semata-mata, melain-kan juga melalui pikiran dan pemikiran. Dalam konsep pemikiran yang berkaitan dengan tasawuf, maka manusia dibekali oleh Allah akal yang bertingkat-tingkat, yaitu :
• Akal potensi (aql bil quwwah) – kekuatan untuk menggali dan mem-peroleh obyek ilmu dan kebenaran-kebenaran umum (absolut).
• Akal nyata (aql bil fi'li) – akal yang sudah mampu meluaskan pengeta-huannya terhadap hal-hal yang universal
• Akal Limpahan dan Ilham (Mustafad) – akal yang mampu menerima cayaha-cahaya ketuhanan dan dapat berhubungan langsung dengan akal ke sepuluh. Pada akal ini manusia tidak lagi dipengaruhi aspek kebendaan.
Al Farabi dalam kehidupan sufisnya dipersamakan dengan teori hulul sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hallaj dan gurunya Al Hallaj yaitu Al Junaid. Secara umum terdapat perbedaan yang mendasar antara teori Ittisal yang dikemukakan oleh Al Farabi dan Hulul yang dikembangkan oleh Sufi dalam kaitan ma'rifat kepada Allah. Perbedaan-perbedaan ter-sebut terletak pada :
• Tasawuf al Farabi didasarkan atas pembahasan dan pemikiran, karena dengan ilmu semata-mata kita dapat mencapai kebahagiaan sedang-kan amal lahiriyah hanyalah pendukung yang terbatas fungsinya. Sebaliknya orang-orang tasawuf menetapkan bahwa hidup sederhana dan menjauhi kelezatan jasmani serta penyiksaan diri (riadhah) menjadi alat yang ampuh untuk bersatu dengan Tuban.
• Pertemuan (Ittisal) hanya sekedar meninggi ke alam langit dan pertalian antara manusia dengan akal Fa'al, tanpa terjadi larutan satu pada yang lainnya. Berbeda dengan itu, orang-orang tasawuf menetapkan kesatuan yang tidak terputus antara manusia dengan Tuhan dan menetapkan bertempatnya Ketuhanan pada manusia.
d. Filsafat Emanasi
Sebelum membahas Filsafat Emanasi yang sesungguhnya tidak hanya di-bahas oleh Al Farabi, juga dibahas oleh hampir semua filosof Islam seperti Ibnu Shina – maka perlu dijelaskan persepsi filosof Islam tentang Tuhan. Filosof Muslim telah mewarisi dari orang Yunani dua teori mengenai Tuhan :
• Teori Aristoteles, bahwa Tuhan adalah ” Penggerak yang tidak bergerak “, yakni sebab pertama dari gerak alam. Berkaitan dengan teori ini, Tuhan itu adalah ” maujud “, karena, metafisika Aristoteles adalah metafisika wujud, yaitu bahwa pembahasan tentang yang maujud sebagai yang maujud; maujud yang paling mulia adalah Maujud Mutlak yaitu Allah. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah maujud, tetapi sifat ini tidak termasuk dalam Asma al-husna yang tersebut dalam Al-Quran.
• Teori Plotinus dan Neoplatonisme, yang memandang Tuhan sebagai Yang Esa (al-wahid) dan dari Yang Esa itu mengalir Akal Pertama (Nous), kemudian Jiwa Universal (Soul), lalu Alam Benda (Matters). Yang Esa (al-Wahid) dan Yang pertama (al-Awwal) termasuk asma al-husna.
Dalam teori Aristoteles, alam adalah kadim, sehingga akibatnya pencipta-an (dari tidak ada) itu dinafikan; Tuhan hanya menggerakkan alam sebagai penggerak pertama saja. Ia adalah Penggerak Yang Tidak Bergerak. Sedangkan teori Plotinus adalah teori emanasi, yang memandang bahwa alam semesta terbit dengan sendirinya dari Tuhan, seperti cahaya terbit dari matahari, atau seperti air terbit dari mata air.
Dengan demikian, Tuhan tidak berperan sebagai pecipta. Ajaran Islam memisahkan antara Allah dan alam, dan pada dasarnya adalah teori creation ex nihilo, yakni bahwa alam pada mulanya tidak ada, kemudian ada dengan perintah Allah. Oleh karena itu, semua ulama berpendapat sama bahwa Allah adalah Pencipta.
Menurut Al-Farabi, karena filosof muslim pertama yang menyesuaikan antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme, atau antara filsafat wujud dan filsafat Yang Esa, maka dia berpendapat bahwa Allah adalah ” Maujud Yang Pertama “. Pengertian Yang Pertama adalah dasar pertama dari semua yang maujud dan sebab pertama bagi wujudnya. Maujud pertama itu adalah sebab pertama dari wujud semua yang maujud. Adapun Ibn Shina menempuh jalan lain. Ia mengikuti Aristoteles dalam mendefinisikan metafisika sebagai ilmu mengenai yang maujud sebagai yang maujud, maujud pertama yang merupakan wujud wajib ialah Allah. Ibnu Shina menyebut Allah ” Yang Wajib “, sedangkan Al-Farabi memilih sebutan ” Yang Pertama “.
Oleh karena itu, sama halnya dengan Al-Kindi, Al-Farabi berpendapat bahwa alam ini adalah ”baharu“. Keduanya pun menyetujui teori emanasi Neoplatonisme tentang kejadian alam dan hubungan Khalik dengan makhluk. Dalam prinsip Aristoteles, Tuhan itu adalah Akal yang Berpikir, yang dinamakan Al-Farabi dengan sebutan Akal Murni. Prinsip ini dikembangkan dengan teori emanasi Neoplatoniosme dan Plotinus. Akal murni itu Esa adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu fikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Jadi, Tuhan itu adalah akal yang aqil (berfikir) dan maqul (difikirkan). Dengasn ta’aqqul ini mulailah ciptaan Tuhan. Tatkala Tuhan memikirkan itu, timbullah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal baru yang dinamakan al-Farabi Al-aqlul awwal (akal pertama), begitu seterusnya sampai al-aqlul asyir (akal kesepuluh) tentang langit dan bulan .
Dalam menjelaskan teori emanasi, Ahmad Hanafi menggambarkan bahwa Yang Maha Esa berfikir tentang diri-Nya yang Esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang dirinya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Pengambaran secara umum tentang kreatifitas akal pertama dalam proses penciptaan alam adalah sebagai berikut :
• Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikiran-nya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama.
• Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan Dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemi-kirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet.
• Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
• Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
• Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
• Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
• Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
• Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
• Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
• Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang Esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Shina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi
2. Ibnu Shina
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Shina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad .
Nama lengkap Ibnu Shina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Shina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman . Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya . Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Shina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi .
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahiran-nya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit . Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya .
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Shina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu . Kemampuan Ibnu Shina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua-duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran yang lengkap dan sistematis.
Dalam bidang materia medeica, Ibnu Shina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis). Ibnu Shina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Shina dianggap sebagai imam para filosof di masa-nya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ia disanjung sedemikian ru[a bak satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengah-an menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Shina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas .
Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai memperguna-kan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Shina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh .
Karya - karya Ibnu Shina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya .
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantara-nya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pe-ngobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. Diantara karya monomental atau buku karangan Ibnu Shina adalah :
a. As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). - Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
• Logika (terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis Yunani.
• Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan n gambaran).
• Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
• Metafisika. Bagian falsafah, pokok pikiran Ibnu Shina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
b. Nafat buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
c. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku rujukan pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
d. Sadidiyya (buku tentang ilmu kedokteran)
e. Al-Musiqa (buku tentang musik)
f. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
g. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
h. Danesh Nameh. Buku filsafat.
i. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
j. Mujiz, kabir wa Shaghir (buku tentang dasar - dasar ilmu logika)
k. Hikmah el Masyriqiyyin atau Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
l. Al-Inshaf (buku tentang Keadilan Sejati)
m. Al-Hudud (berisikan tentang istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat).
n. Al-Isyarat wat Tanbiehat (buku tentangg dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
o. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa) dan sebagainya
Ibnu Shina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Shina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais (pemimpin para filosof) .
Kehidupan Ibnu Shina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H/1037 M) Ibnu Shina me-ninggal dan dikuburkan di Hamazan.
Memahami pemikiran Ibnu Shina tidak lepas dari pikiran-pikiran yang ber-kaitan dengan FIlsafat dan kedokteran, karena kemampuan Ibnu Shina sangat luar biasa dalam kedua aspek tersebut. Berikut ini adalah pemikiran-pemikiran Ibnu Shina :
a. Filsafat Jiwa
Ibnu Shina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pemba-hasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campur-an berbagai persoalan filsafat.
Pengaruh Ibnu Shina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di-bawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi .
Ibnu Shina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikir-an "Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya" .
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Shina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir .
b. Filsafat Wujud
Bagi Ibnu Shina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mem-punyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Shina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak menghe-rankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Shina telah terlebih dahulu menimbul-kan falsafat wujudiah atau existen-tialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan (digabungkan) essensi dan wujud dapat mem-punyai kombinasi berikut :
• Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Shina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil ber-wujud (impossible being).
• Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
• Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud .
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Shina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib . Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Shina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan "baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman .
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Shina. Dimana para mutakallimin antar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Shina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Shina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
• Perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu.
• Perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Shina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
• Manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
• Perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Shina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Shina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan .
c. Filsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Shina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelek-tual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan meng-anugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Shina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi .
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
d. Teori Emanasi Ibnu Shina
Ibnu Shina dalam teori emanasinya mengadakan sintesis antara teori filsafat dengan teori ilmu kalam. Misalnya, teori Aristoteles yang berpendapat bahwa alam dunia adalah azali dan tidak ada dalil akal yang dapat membuktikan bahwa dunia kita ini ada permulaannya. Alam dunia dianggap abadi dan tidak akan binasa. Sebaliknya, menurut Islam, alam ini adalah baharu, fana, dan akan binasa. Oleh karena itu, Ibnu Shina berpendapat, bahwa terjadinya alam ini adalah dengan cara melimpah, seperti melimpahnya cahaya dari matahari atau melimpahnya panas dari api, hal mana sudah menjadi tabi’atnya. Berbeda dengan Aristoteles, Ibnu berpendapat bahwa alam ini bukan azali, tetapi didahului oleh keadaan tidak ada, yang berarti baharu. Teori emanasi yang digunakan Ibnu Shina adalah proses kejadian alam itu. Menurut Ibnu Shina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya.
Bagi Ibnu Shina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-universal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi. Dalam teori emanasi, Ibn Shina berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam dari ketidakadaan. Dengan kata lain dipahami bahwa alam ini adalah dicip takan. Seandainya alam diciptakan dari kondisi tidak ada, maka maksud utuk mengatakan alam ini diciptakan tidak akan memenuhi syarat-syarat logika. Sesuatu ada secara logika haruslah berdasarkan kepada yang sudah ada.
e. Karya Monumental tentang kedokteran
The Canon of Medicine (Arab: Al-Qanun fi al-Tibb “The Law of Medicine“; Persia: Qanun “Law“; Latin: Canon medicinae “Canon of Medicine“; China: Hui Hui Yao Fang) adalah ensiklopedia medis Arab 14 volume yang ditulis oleh seorang ilmuwan Persia dan dokter : Ibnu Shina / Abu Ali Shina Balkhi / Abū ‘Alī al-Ḥusayn ibn ‘Abdullah ibn Sīnā Balkhi‘ (barat: Avicenna), dan selesai ditulis pada 1025. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab didasarkan pada kombinasi dari pengalaman pribadi sendiri, medis abad Islam, tulisan-tulisan dan tentang medis kuno Arab dan Persia, dokter Sushruta dan Charaka - India, dan dokter Galen-Roma.
Juga dikenal sebagai Qanun, yang berarti “hukum” dalam bahasa Arab dan Persia, Canon of Medicine menjadi pedoman medis sampai abad 18 dan awal abad ke-19. Ensiklopedi ini menjadi standar untuk medis di Eropa dan dunia Islam, dan karya Ibnu Shina ini banyak ditulis ulang. Qanun telah banyak digunakan sebagai teks bacaan utama di sekolah-medis di Universitas Montpellier, Perancis, sampai akhir 1650. Sebagian besar buku ini juga diterjemahkan ke dalam Cina sebagai Hui Hui Yao Fang (‘Resep’ dari Hui Nationality) oleh orang Hui di Yuan China.
Salinan paling awal Canon of Medicine bertahun 1052 menjadi koleksi Aga Khan dan rencananya akan disimpan di Museum Aga Khan yang akan dibangun di Toronto, Ontario, Kanada. Qanun teks bahasa Arab telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai Canon medicinae oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12 dan ke dalam bahasa Ibrani pada 1279. Canon selanjutnya menjadi panduan utama ilmu kedokteran di Barat.
Dr William Osler mengatakan Qanun adalah “sebuah kitab suci medis untuk waktu yang sangat lama dibanding hasil karya lainnya”. Buku pertama dari tiga buku Canon (Latin) dicetak pada 1472, dan edisi lengkapnya diselesaikan pada 1473. Edisi bahasa Ibrani pertama diterbitkan pada 1491 dan satu-satunya yang diproduksi pada abad ke 15. Dalam 30 tahun terakhir pada abad 15 telah dicetak 15 edisi dalam bahasa latin.
ISI POKOK DARI BUKU THE CANON OF MEDICINE
• Eksperimental obat - The Canon of Medicine adalah buku pertama yag berhubungan dengan obat-obatan berdasarkan bukti, percobaan obat-obatan, tes klinis, percobaan acak terkontrol, tes kemanjuran, analisis faktor risiko, dan gagasan dari sindrom pada diagnosa penyakit tertentu.
• Clinical pharmacology (farmakologi klinis) - Penekanan The Canon pada obat-obatan yang diuji adalah untuk meletakkan landasan pendekatan eksperimental secara pharmacology. The Canon menurunkan aturan dan prinsip-prinsip untuk menguji efektivitas obat-obatan dan obat baru (yang masih membentuk dasar dari klinis pharmacology modern dan percobaan klinis sampai saat ini). Canon memuat sebanyak 800 obat yang sudah diuji, termasuk tanaman dan zat mineral, dengan komentar-komentar pada aplikasi dan efektifitasnya. Untuk masing-masing, ia jelaskan tindakan-tindakan farmasi dari berbagai kemungkinan dari sebuah range yang memuat 22 kemungkinan (termasuk resolusi, astringency dan kelemahan), dan properti khusus dengan sebuah grid bagi 11 jenis penyakit.
• Logika induktif - Ibnu Shina sering bersandar pada pemikiran deduktif dalam “The Book of Healing” dan tulisan-tulisan tentang logika pada filsafat Islam, tetapi ia menggunakan pendekatan yang berbeda dalam The Canon of Medicine. Teks ini memberikan kontribusi untuk pengem-bangan logika induktif, yang digunakan untuk mengembangkan ide dari sindrom untuk mendiagnosa penyakit tertentu. The Canon of Medicine adalah buku pertama yang menjelaskan metode kesepakatan, variasi perbedaan dan kesamaan yang sangat penting untuk logika induktif dan metode ilmiah.
• Ilmu-ilmu farmasi - Pengenalan percobaan obat-obatan, obat-obatan berdasarkan bukti, percobaan klinis, tes acak terkontrol, tes kemanjuran dan pharmacology klinis, penjelasan yang teliti tentang masalah kulit, penyakit menular seksual, perbuatan yang abnormal dan penyakit saraf, dan penemuan penyembuhan dengan merkuri selain racun yang ditimbulkannya; selain itu: penggunaan es untuk merawat demam, dan pemisahan antara obat medis dengan obat pharmacology yang sangat penting untuk perkembangan ilmu farmasi.
• Pharmacotherapy - Ibnu Shina menulis risalah suplemen terpisah yang didedikasikan untuk pharmacotherapy yang disebut Hindiba, sebuah obat kompleks. Ia menyarankan untuk menggunakan obat ini untuk pengobatan kanker dan tumor lainnya, juga dapat digunakan untuk merawat neoplastic disorders. Dia memberikan rincian tentang peralatan obat dan penggunaannya, dan kemudian memberikan instruksi persiapannya sebagai obat.
• Farmasi - Canon menjelaskan tidak kurang dari 700 persiapan pengo-batan, peralatannya, modus tindakan pada indikasinya. Dia meng-khususkan berdasar fakta suatu jumah volume/takaran untuk obat-obatan sederhana dan kompleks dalam The Canon of Medicine. Ini banyak berasal dari berbagai sumber-sumber tulisan Arab, Yunani dan India, dan juga berisi beberapa obat yang diimpor dari Cina; tentunya banyak juga yang merupakan kontibusi asli Ibnu Shina sendiri. Menggunakan keahlian sendiri, dia sering mengkritisi penjelasan yang diberikan oleh penulis sebelumnya dan merevisinya.
• Anatomy and Physiology - Kontribusi Canon pada fisiologi meliputi pengenalan eksperimentasi sistematis dan penghitungan pada ilmu fisiologi. Tulisan-tulisan tentang anatomi di Canon tersebar di seluruh teks dalam bagian mengenai penyakit yang berkaitan dengan bagian tubuh tertentu. Canon menyertakan berbagai diskusi tentang anatomi dan diagram pada beberapa bagian tubuh, termasuk diagram pertama yang berhubungan dengan jahitan pada tengkorak.
• Tekanan darah - Ibnu Shina mendedikasikan sebuah bab dari Canon untuk tekanan darah. Dia mampu menemukan penyebab bleeding (pendarahan) dan haemorrhage, dan menemukan bahwa pendarahan dapat dipaksa oleh tekanan darah tinggi karena tingkat kolesterol yang tinggi dalam darah. Hal ini menyebabkan dia menyelidiki metode mengendalikan tekanan darah.
• Neuroanatomy dan neurophysiology - Ibnu Shina menemukan the cerebellar vermis yang dinamakannya “vermis” dan the caudate nucleus yang dinamakannya “tailed nucleus” atau “nucleus caudatus”. Istilah ter-sebut masih digunakan dalam neuroanatomy modern dan neurophysio-logy. Canon yang juga merupakan teks awal yang mencatat bahwa disfungsi intelektual sebagian besar disebabkan oleh defisit pada ventrikel tengah otak.
• Ophthalmology - Kontribusi Canon pada Ophthalmology di abad Islam meliputi penjelasan mengenai fisiologi pergerakan mata, yang merupakan informasi bentuk dasar bagi Ophthalmology modern. Dia juga memberi-kan informasi bermanfaat pada saraf optik, irisan mata, pusat mata dan paralyses (hilangnya fungsi otot) pada pinggiran wajah.
• Pulsology dan sphygmology - Canon memelopori pendekatan modern untuk memeriksa nadi melalui pemeriksaan di pergelangan tangan, hal yang masih dilakukan di jaman modern. Alasan memilih pergelangan tangan sebagai lokasi yang ideal adalah karena denyut telah tersedia dengan mudah dan pasien tidak perlu harus memperlihatkan tubuh ter-tutupnya. Terjemahan Canon dalam bahasa Latin juga meletakkan landasan untuk penemuan sphygmograph di kemudian hari. Ibnu Shina menulis risalah tambahan pada diagnosa penyakit yang hanya dengan menggunakan metode merasakan dan mengamati pulse pernafasan. Dia mampu menemukan gejala penyakit tertentu hanya dengan mengamati pulse pasien.
• Etiologi dan Pathology - Dalam etiologi dan patologi, Canon yang menggambarkan sifat menular penyakit yang bisa menimbulkan infeksi seperti phthisis dan TBC. Penyebaran penyakit oleh air dan tanah, dan adanya penyakit seksual. The Canon memberikan pema-haman penuh pada patologi penyakit menular. Ibnu Shina juga menjelaskan meningitis, selain itu juga dijelaskan pertama kali pengobatan untuk kanker, serta tentang penyakit dari parasit Ascaris, Enterobius, tapeworms, dan cacing Guinea.
• Terapi Kanker - Dalam pengobatan kanker, Canon yang mengakui bahwa kanker adalah tumor juga. Dia mencatat bahwa “tumor kanker yang progresif ukurannya semakin membesar, yang menyebar dan me-rusak dengan cara menyusup di antara elemen jaringan.” Dia juga mem-pelopori pengobatan untuk kanker. Ia menemukan satu metode yang dikenal sebagi Hindiba, sebuah obat herbal kompleks dari Ibnu al-Baitar yang kemudian diidentifikasi sebagai properti “anticancer”. Setelah meng-akui fungsinya dalam pengobatan neoplastic disorders, Hindiba telah dipatenkan oleh Nil Sari, Hanzade Doğan, dan John K. Snyder (t.1997).
Cara lain untuk merawat kanker yang dijelaskan di Canon adalah perawatan bedah. Ia menyatakan bahwa pengangkatan harus radikal dan semua jaringan yang sakit harus dihapus, termasuk perlakuan amputasi atau penghapusan pembuluh darah yang menuju langsung ke tumor. Dia juga merekomendasikan penggunaan cauterization (pembakaran) untuk membunuh kuman di daerah yang dirawat. Canon pertama kali menjelas-kan gejala kanker esophageal dan pertama kali juga merujuk hal itu sebagai “kanker di kerongkongan.”
• Hepatology - Perubahan yang dilakukan Canon mencakup ilmu heap-tology (berhubungan dengan hepatitis), termasuk pengantar baru untuk metode pengobatan hepatitis.
• Karantina - Canon memperkenalkan karantina sebagai sarana untuk membatasi penyebaran penyakit menular.
• Neurosciences dan Psikologi - Dalam psikologi dan neurosciences Islam, Canon mencatat hubungan antara emosi dan kondisi fisik, dan Ibnu Shina merasa bahwa musik pasti memiliki efek fisik dan psikis pada pasien.
• Psikologi dan psychotherapy klinis - Ibnu Shina sering menggunakan metode psikologi untuk merawat pasien. Salah satu studi kasus adalah ketika seorang pangeran Persia menderita melancholia dan memiliki khayalan bahwa ia adalah sapi minta disembelih dan tidak mau makan apapun. Ibnu Shina dalam kasus ini memberikan pesan yang dikirimkan kepada pasien bahwa ia bersedia dengan senang hati menjadi tukang daging yang akan datang untuk membantai si pasien. Saat Ibn Shina mendekati pangeran dengan pisau di tangannya, ia bertanya kepada si pasien; “di mana sapinya sehingga aku dapat menyembelihnya.” Pasien itu kemudian bertingkah seperti sapi untuk menunjukkan di mana dia berada. Kemudian Ibnu Shina berkata: “Sebelum dibantai, pasien harus diletakkan di atas tanah untuk memudahkan penyembelihan.” Lalu si pasien mendekati Ibnu Shina dan meletakkan dirinya di tanah seakan siap untuk dibantai. Setelah melihat si pasien, Ibnu Shina berkata, “oh sapi yang terlalu kurus dan tidak siap untuk dibunuh. Dia harus diberi makan dengan benar dan saya akan menyembelihnya ketika ia sudah menjadi sehat dan gemuk.” Pasien itu kemudian mau makan makanan yang dihidangkan kepadanya, dan itu dilakukan setiap hari hingga tubuhnya secara bertahap sehat kembali dan khayalannya hilang dengan sendirinya sehingga si pasien menjadi sembuh sepenuhnya.
• Neurology dan neuropathology - Buku ini berkontribusi dalam ilmu neurology dan neuropathology termasuk diagnosa pada facial nerve paralysis, pembedaan brain paralysis and hyperaemia, dan yang paling penting adalah penemuan meningitis.
• Neuropsychiatry dan neuropsychology - Canon merupakan perintis dalam teks neuropsychiatry dan neuropsychology. Buku ini menggambarkan kondisi neuropsychiatric pada halushinasi, insomnia, mania, mimpi buruk, melancholia, dimensia, epilepsi, paralysis, stroke, vertigo dan tremor (tubuh bergetar). Tiga bab dari buku The Canon of Medicine didedikasikan untuk neuropsychiatry.
Buku ini mendefinisikan ‘gila’ atau kegilaan (Junun) sebagai suatu kondisi mental di mana realitas digantikan oleh fantasi, dan menemukan bahwa ini adalah kekacauan yang berasal dari bagian tengah otak. Ia juga menjelaskan kondisi yang menyerupai skizofrenia yang disebut sebagai Junun Mufrit (kegilaan parah), ini jelas berbeda dengan bentuk lain kegilaan seperti maniak, rabies, dan manic depressive psychosis. Penulis mengamati bahwa pasien penderita skizofrenia menunjukkan tanda agitasi (gejolak), behavioural dan gangguan tidur, dan tidak memberikan jawaban sesuai pertanyaan.
Buku ini menyatakan bahwa pasien harus dikendalikan, untuk menghindari kerugian bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sebuah bab dari Canon juga didedikasikan untuk Maniak dan rabies. Maniak dijelaskan sebagai kegilaan yang bengis, dicirikan oleh kegilaan cepat dan peredaan cepat pula, dengan gejolak dan sifat lekas marah. Rabies dijelaskan sebagai jenis maniak.
• Psikoanalisa
The Canon of Medicine memperluas teori temperamen untuk menjaring “aspek-aspek emosional, kapasitas mental, sikap moral, kesadaran diri sendiri, pergerakan tubuh dan mimpi.” Hasil karya ini mungkin bisa dianggap sebagai “pelopor psikoanalisa abad keduapuluh.”
3. Ibnu Maskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak meng-gantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal-nya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya .
Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, M. Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M .
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas .
Pada masa Bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Pada masa ini Maskawaih juga muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenang kan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Hal tersebut menyebabkan Ibnu Maskawaih tertarik pada bidang etika-filsafat Islam.
a. Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aql fa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan ada-nya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa meru-pakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut (dari tingkat yang paling rendah) :
• Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
• Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
• Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik .
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta .
b. Filsafat Akhlaq
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituang-kan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitung-kan sebelumnya . Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasa-kan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yng dapat melahirkan perbuatan baik.
Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan ada-nya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq .
4. Ibnu Tufail
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail. Ia merupakan pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Thufail lahir pada abad VI H di kota Guadix, propinsi Granada. Keturunannya merupakan keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, ia diangkat sebagai sekretaris Gubernur di propinsi itu. Pada tahun 1154 M (549 H) ia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, penguasa Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi serta menjadi qadhi di pengadilan pada masa Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H – 580 H) .
Pemikiran Filsafat Ibnu Tufail dikenal dengan Falsafah Hayy bin Yaqdhan - Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqdhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi).
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail sebagai hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
Hayy bin yaqdhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan, dan yang di maksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” ( haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa hayy bin yaqdhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian hayy bin yaqdhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkeShinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang. Tidak cukup dengan itu, hayy bin yaqdhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaan-Nya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna lagi kekal dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat ) sang wajibul wujud (The necessary being).
Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqdhan. Dan Hayy bin yaqdhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaa’ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu ( syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal. Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama .
Jika dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
a. Hayy bin Yaqdhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan atas keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dan isi-nya serta dirinya sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.
b. Tokoh Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memi-kirkan wahyu sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.
c. Keadaan di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.
Berdasarkan kisah Hay bin Yaqadhan tersebut, Nadhim An Nash dalam buku Qissat al Iman sebagaimana yang dikutip Ahmad Hanafi dalam "pengantat Filsafat Islam" - Ibnu Tufail hendak mengemukakan kebenaran-kebenaran sebagai berikut :
a. Urut-urutan ma'rifat yang ditempuh oleh akal dimulai dari obyek-obyek indrawi yang khusus samapi kepada pikiran-pikiran universal.
b. Tanpa pengajaran dan petunjuk akal manusia dapa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tanda-Nya pada makhluq-Nya dan menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya.
c. Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mampu-an dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran yaitu ketika hendak menggambar-kan keazalian mutlak, ketidak akhiran, zaman, qodim, hudus dan hal-hal yang sejenis dengan itu.
d. Akal menguatkan qadim-nya alam atau kebaharuannya namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya Tuhan.
e. Manusia dengan akalmnya mampu mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlaq yangbersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar akhlaq tersbut.
f. Apa yang diperintahkan oleh syari'at Islam, dann apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
g. Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara' juga pangkal segala kebaikan adalah menetapi batas-batas syara' dan meninggalkan pendalaman sesuatu.
III. KEMUNDURAN BANI BUWAIHI
Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah :
1. Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.
2. Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
3. Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan Khalifah al-Qadir yang mengepalai pertempuran sunni melawan Syi’ah dan berusaha mengorganisir sebuah misi Sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia menjadikan Hanbalisme sebagai madzhab muslim yang resmi.
4. Kekalahan telak dari Kaum Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan Dinasti Buwaihi ke tangan Tughril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Dinasti Buwaihi.
BAB VI
P E N U T U P
I. KESIMPULAN
A. Daulat Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas Ash Shafaf pada tahun 750 M dan mampu bertahan sampai pada tahun 1258 M ketika pasukan Hulago Khan menyerbu Bagdad dan menghancurkan semua kemegahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi umat manusia.
B. Dalam kurun waktu 508 tahun, daulat Abbasiyah diperintah oleh 3 keluarga besar yaitu keluarga Abbas, Keluarga Buwaihi dan keluarga Saljuk – yang kemudian mendirikan kerajaan Turki Utsmani pasca penghancuran Bagdad oleh Tentara Mongol.
C. Bani Buwaihi sebagai penerus Bani Abbasiyah dalam keseluruhan daulat Abbasiyah didirikan oleh Buwaihi atau Abu Syuja’ bersama dengan tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Ketiganya menjadikan lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung dengan tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di negeri Dailam.
D. Keluarga Buwaihi berhasil memanfaatkan kemelut di pemerintahan Bagdad – sehingga ia berhasil mengendalikan dan mengambil kekuasaan di Baghdad. Khalifah Abbasiyah telah mengeluk-elukkannya serta men-jadikannya Amir Umara dengan gelar Mu’iz ad-Daulah, saudaranya, Ali, diberi gelar Imad ad-Daulah, dan Hasan, diberi gelar Rukn ad-Daulah. Beberapa waktu kemudian khalifah-khalifah Abbasiyah telah tunduk kepada Bani Buwaih, dan nasib dunia Islam berkaitan dengan golongan yang baru berkuasa itu.
E. Perkembangan sistem pemerintahan dan ilmu pengetahuan serta filsafat sangat maju, sehingga melahirkan tokoh pemikir besar seperti Al Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Maskwaihi dan Ibnu Tufail. Al Farabi dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles – ia mengembangkan filsafat Emanasi, Kota Sehat dan Jahiliyah, dan Tasawuf Ittisal. Ibnu Shina melengkapi pemikiran filosofis dibidang Jiwa, Emanasi dan karya monomentalnya dalam bidang kedokteran. Demikian juga dengan Ibnu Maskawaihi dan Ibnu Tufail yang lebih banyak membicarakan masalah etika (filsafat Akhlaq).
F. Kemunduran bani Buwaihi lebih banyak disebabkan oleh sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi, tidak bisa dibina lagi yang pada gilirannya melahirkan konflik anggota keluarga, pertentangan antara aliran-aliran keagamaan dan kekalahan telak dari Kaum Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan Dinasti Buwaihi ke tangan Tughril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Dinasti Buwaihi. Disamping itu kekuatan eksternal telah menggerogoti kewibawaan bani Buwaihi, Dinasti Fatimiyah di barat dan selatan. Di Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian Gaznawiyah dan Qaramitah.
II. SARAN
Islam mengajarkan bahwa Allah akan mempergilirkan kemakmuran dari satu kaum kepada kaum yang lain – agar mereka mampu merasakan pahit getirnya perjuangan dan agar mereka mampu mengambil hikmah dari semua peristiwa yang ada. Dus dengan demikian seseorang hany di tuntut untuk melakukan refleksi yang terus menerus dalam kehidupannya agar ia mampu bertahan dan memperoleh nilai kebenaran dalam kehidupannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Su’ud, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003,
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, 1984
Ahmad Syalabi," Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, Jakarta: Al-Husna Dzikra, 1997.
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula Bintang), 1984,
Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986,
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta, UI Press. 1985,
Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta. Djambatan, 1992.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992
Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung, Mizan, Cet. Ke IV, 1996),
Hhttp://kliksosok.blogspot.com/2007/08/dinasti-buwaihi-928-1008-m-kebangkitan.html
http://abulraihan.wordpress.com/2008/05/12/pemikiran-ibnu-maskawaih-dan-ibnu-thufail/
http://pisangkipas.wordpress.com/2009/06/04/the-canon-of-medicine-karya-ibnu-Shina-2/dari sumber Wikipedia
Http ://www.gun2-ab.blogspot.com/2009/02/Masa Kejayaan Dinasti Buwaihi. Html
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani Buwaihi/ensyklopaedia bebas
Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya : PT. Bina Ilmu), 1985,
M. Luthfi Jum'ah, "Tarikh Falsafah al Islam" (Mesir, Tanpa Penerbit, 1927),
M.M. Syarif, MA, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan) 1994,
Misbah, Ma’ruf dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang, CV. Wicaksana, 1996.
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al., (Beirut: t.p., 1952),
Tibrizi, E. Abdul Aziz, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang: Pondok Pesantren Daar El-Qolam.
Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949,
Zainul Hamdi, " Tujuh Filsuf Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern", (LKiS, Tt)
Label: PPS UM Surabaya