Kamis, 11 Juni 2009

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP OTENTITAS HADITS

Oleh :
I H S A N

I. PENGERTIAN DAN TUJUAN ORIENTALIS
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara timur Islam.

Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat[1]) Dr.Syamsuddin Arif mengatakan [2]), "Gugatan orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).”
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama islam, khususnya hadits, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa, tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka dengan giliran balik menyerang kebudayaan barat dengan cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam [3]).
Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat. .
Secara khusus Edwar Said, menjelaskan bahwa orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim. Kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen. Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif. [4]).
Secara umum kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis memang memiliki kecenderungan dan motif yang berbeda. Ada yang berniat “mencari” kebenaran dan tidak sedikit juga yang mencari kelemahan Islam. Jika sebagian orientalis yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dari Islam melakukan kajian dengan ilmiah dan obyektif, maka sebagian lagi yang mencari kelemahan Islam justru kajian mereka sama sekali tidak obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga. Maka hasil kajian tersebut pun digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya dengan menggugat otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah rekayasa para ulama abad II H.
Mereka memilih hadits dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadits yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadits adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadits ketimbang al Quran, karena hadits hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.

II. SEJARAH ORIENTALIS
Pada awalnya seorang orientalis barat mengatakan bahwa kehidupan Nabi Muhammad hanya berkisar tentang menikahi seorang janda kaya raya. Mengidap penyakit ayan dan belajar dari agama Nasrani. Dengan demikian pendapat orientalis barat tersebut sukar dipercaya kebenarannya.
Kemunculan orientalisme adalah akibat dan rentetan daripada perang Salib pada tahun 1096 – 1099. Akibat perang Salib, masyarakat Barat, khususnya golongan intelektual mulai menaruh perhatian terhadap Islam. Dalam perang Salib masyarakat Barat menjejakkan kaki ke wilayah-wilayah Timur Islam. Sejak itu kaum terpelajar mulai berusaha mengenal Islam lebih jauh sebagai bangsa yang menjadi lawan mereka [5]).
Kemudian para pertengahan abad ke lima belas para nasionaris tidak merasa puas hanya dengan memusuhi dan mengotori citra Islam. Maka mereka berusaha semaksimal mungkin untuk memurtadkan kaum muslimin sehingga menjadi penganut nasrani secara massal, mereka merasa yakin bahwasanya usaha misionaris berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya tidak akan mengobati luka akibat dari perang salib.
Pada tahun 1697 M diterbitkan Ensiklopedia di Perancis semacam sejarah orientalisme yang ia beri nama Bibliografi The Qua Oriental. Buku ini merupakan buku penting sebagai rujukan bangsa Eropa dalam mengkaji tentang ketimuran. Bahkan hingga akhir abad 19 merupakan hasil karya yang sangat berharga dan sangat dibanggakan bangsa Eropa pada umumnya serta kaum orientalis pada khususnya.
Dalam buku ini sejarah umat manusia dibagi menjadi dua bagian, pertama sebagai sejarah suci, terdiri dari sejarah bangsa yunani dan Nasrani, kemudian bagian kedua sebagai sejarah tidak suci (kotor) hanya berupa sejarah umat Islam dan perjalanannya.
Lebih jauh dalam buku ini dikisahkan bahwa Nabi Muhammad mereka menuliskan inilah pendusta paling masyhur (yakni Muhammad) dialah pendiri agama yang dinamakan Muhammadisme.
Fakta yang lainnya pada abad pertengahan muncul seorang pendeta atau Uskup Agung dan orientalis masehi yang bernama Tomas Alluinas, yaitu tahun 1226 M sampai dengan tahun 1274 M. Ia mengatakan Islam adalah agama orang-orang yang murtad dari Nasrani. Ajarannya hanya berisikan syahwati. Mencampur adukkan kebenaran dengan dongeng lama serta ajaran sesat.
Dan kenabian Muhammad tidak pernah dikuatkan oleh satu mukjizat dan sahabatnya (sahabat Nabi tidak pernah mempunyai atau mendapat mu’jizat dari Tuhan) yang mengetahui hakekat teologi atau ketuhanan, bahkan perilaku mereka itu cenderung ganas dan keras. Muhammad dapat menghimpun kekuatan yang begitu hanya dengan militer.
Bahkan ada orientalis pada abad kedua belas yang bernama George Sabe mengatakan Muhammad tidak lain dan tidak bukan adalah pengarang Qur’an (perancangnya) dibantu orang lain ini adalah masalah yang tidak diragukan lagi dan telah disepakati semua orang, karena tidak adanya protes atau usulan dari sahabatnya.
Dengan demikian mereka menganggap bahwasanya Rasulullah orang yang pandai membaca dan menulis, bukan orang yang buta huruf. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwasanya Rasulullah yang dituduh oleh para orientalis bukanlah merupakan masalah yang baru dalam sepanjang perjalanan untuk menyebarluaskan risalah Islam.

III. ORIENTALIS DAN ORIENTALISME
Orientalis adalah orang atau intelektual Baarat yang mengembangkan kajain ketimuran (orient). Hasil kajian ketimuran yang dilakukan oleh intelektual Barat kemudian disusun secara sistematis menjadi sebuah paham, paradigma dan gerakan yang terus dikembangkan untuk mengacau pemahaman keislaman dan mencitrakan jelek terhadap umat Islam dan Islam itu sendiri sebagai tata nilai kehidupan.
Orientalisme berarti suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Eropah. Dengan kata lain, Timur sebenarnya adalah istilah yang diciptakan oleh orang Barat – dalam artian "ditimurkan". Seorang pakar ketimuran, Edward Said menjelaskan bahwa orientalisme adalah kajian mengenai sesuatu tentang dunia Timur, tentang kebudayaannya, agama, peradabannya, kehidupannya, dan bahasa bukan hanya mengenai dunia Arab dan Islam saja [6]).
Dalam perspektif yang lain, orientalisme dipahami sebagai ilmu tentang ketimuran atau pengkajian tentang dunia Islam, sedangkan orientalis adalah orang yang ahli (pakar) dalam bidang pengkajian ketimuran atau pengkajian Islam. Oleh karena itu orientalisme kajian akademik yang dilakukan oleh para ilmuan Barat mengenai Islam dan kaum muslimin dari seluruh aspeknya termasuk akidah, syariah, kebudayaan, peradaban, sejarah dan manusia. Ia bertujuan membentuk pandangan umum dan dalam hal tertentu untuk menguasai dunia Islam yang mencerminkan latar belakang ideology, sejarah dan kebudayaan antara Barat dan Timur [7]).
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa orientalisme lahir bersamaan dengan interaksi masyarakat Barat terhadap Islam dalam peristiwa perang Salib dan berkembang bersamaan dengan rasa benci dan dendam terhadap Islam. Maka secara umum kemunculan orientalisme dipicu oleh beberapa hal, yaitu [8]) :
A. Faktor Agama Faktor inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan pertumbuhan orientalisme yang berlangsung begitu lama. Sasarannya antara lain ialah :
1. Menimbulkan keraguan ke atas kerasulan Muhammad s.a.w dan menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan ummat Islam (bukannya daripada nabi) selama tiga abad pertama;
2. Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur’an dan memutar belitnnya;
3. Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya sebagai saduran dari hukum Romawi;
4. Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan yang semakin berkembang;
5. Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal dari agama Yahudi dan Nasrani;
6. Mengkristiankan ummat Islam, dan
7. Menggunakan hadis-hadis dha’if dan maudhu’ untuk menyokong pendapatnya dan mengembangkan teorinya.

B. Faktor ekonomi dan penjajahan Institusi-institusi kewangan, industri-industri mega dan pihak pemerintah sendiri telah mengeluarkan banyak modal untuk kajian-kajian bagi mengenalpasti keadaan negara-negara Islam dengan lebih mendalam . Kajian tersebut sangat digalakkan ter-utamanya pada masa sebelum penjajahan Barat dalam abad 19 dan 20 M.
C. Faktor politik dengan sasaran : pertama melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan memecah belah ummat untuk membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai; kedua menghidupkan bahasa Arab ‘amiyyah (bahasa pasar) dan mengubah adat istiadat yang diamalkan; dan ketiga para pegawai di negara-negara Islam diarahkan untuk mempelajari bahasa asing (iaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan dan agama penjajah – supaya mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.
D. Faktor keilmuan dengan sasaran; pertama sebagian orientalis ada yang mengarahkan kajian dan analisanya semata-mata untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Sebagian mereka ada yang memahami asas-asas dan roh Islam malah ada yang memeluk Islam, seperti Thomas Arnold yang mempunyai peranan yang besar dalam menyadarkan kaum muslimin dengan bukunya "The Preaching in Islam", dan Dinet yang telah memeluk Islam dan tinggal di Algeria. la menulis, buku Sinar Khusus Cahaya Islam. Ia meninggal di Perancis dan dikebumikan di Algeria.
Menurut pengamatan Amien Rais sekurang-kurangnya terdapat enam dogma yang dikembangkan oleh orientalisme [9]), yaitu:
A. Ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia
B. Abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil.
C. Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup obyektif.
D. Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
E. Al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam, dan
F. Keenam, kesahihan atau otentisitas semua hadis harus diragukan Studi yang dilakukan para orientalis berangkat dari paradigma berfikir bahwa Islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut mana saja dan dengan kebebasan sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu untuk dipermasalahkan. Studi yang mereka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti sejarah, hukum, teologi, quran, hadis, tasauf, bahasa, politik, kebudayaan dan pemikiran.
BAB II
HADITS-SUNNAH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

I. PENGERTIAN HADITS-SUNNAH
Umat Islam meyakini bahwa Sunnah adalah sumber agama Islam kedua yang mempunyai otoritas hukum yang sama dengan Al Qur,an. Ia menjadi pedoman hidup kedua setelah Al Qur’an. Ia berfungsi menjelaskan segala sesuatu dalam Al Qur’an dan menguatkan pula hukum-hukumnya. Terkadang pula ia berfungsi menetapkan hukum yang baru yang belum secara tegas ditetapkan dalam al Qur'an. Namun demikian ada juga sebagian orang yang tidak mau meletakkan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua karena dipengaruhi sikap curiga (prejudice) berkenaan dengan sejarah perkembangan Sunnah sendiri.
Jika dilihat dari asal katanya, maka Sunnah mempunyai pengertian sebagai tradisi atau kebiasaan masyarakat yang telah berkembang, apakah kebiasaan itu berdimensi baik maupun buruk. Menurut etimologis, Sunnah mempunyai pengertian sebagai berikut
A. Ketentuan Allah dalam kebiasaan/hukum kemanusiaan masa lalu(Qs.Al Ahzab: 62).
B. Jalan setapak, prilaku masyarakat, praktek hidup dan tingkah laku baik atau buruk.
C. Tradisi bangsa Arab (prilaku atau praktek) yang mempunyai kekuatan normatif dalam kehidupan masyarakat.

Sunnah sebagai tradisi yang mempunyai kekuatan normatif yang hidup dalam masyarakat, sudah barang tentu menjadi amalan dan pedoman hidup masyarakat, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak konsisten melaksanakan tradisi tersebut dinamakan dengan “Bid’ah” artinya orang yang mengada-ada atau tidak konsisten dengan Sunnah. Dalam konteks seperti itu, maka Sunnah bukanlah sebuah konsep kontemporer, yang baru saja berkembang, tetapi ia merupakan tradisi dan prilaku Arab yang mempunyai kekuatan normatif dalam masyarakat.
Al Qur’an dalam beberapa kesempatan menyebut Sunnah untuk mengungkapkan prilaku, tingkah laku dan adat istiadat masa lau yang harus dapat dijadikan kerangka acuan dalam mengarungi kehidupan, misalnya surat Al Isra’ 77, Al Ahzab 62, Al Fathir 63, Al anfal 38 dan surat Al Hijr 8.
Berdasarkan pengertian tersebut, Dr. Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa ada dua subtansi yang dikandung dalam pengertian Sunnah tersebut di atas, yaitu :
A. Terdapat suatu fakta historis (yang didakwakan) mengenai tingkah laku.
B. Terdapat sisi normatif yang berlaku untuk generasi berikutnya.

Dengan demikian ada dua hal yang mesti menjadi perhatian dalam setiap memahami Sunnah yaitu teks historis dan kemampuan normatifnya. Oleh karena itu untuk memperjelas pengertian Sunnah, berikut ini beberapa pengertian Istilahi Sunnah menurut Ulama Fiqh dan Hadits :
Ulama Fiqh - “ Sunnah adalah segala bentuk yang datang dari Nabi selain al Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetapan) yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syara’ (hukum Agama)”.
Ulama Hadits - “Segala yang dinukil dari Nabi Muhammad berupa per-kataan, perbuatan, taqrir atau sifat moral (khuluqiyah), sifat jasmaniyah ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi Rasul seperti uzlahnya di Gua Hiro’ maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.

Di samping terminologi Sunnah seperti yang dikemukakan di atas, maka kita juga mempunyai term lain yang seringkali dipakai untuk menyebut hal sama tetapi kadang-kadang dipakai untuk menyebut sesuatu yang mempunyai konotasi yang berbeda, yaitu
A. Hadits dalam bahasa Arab mempunyai pengertian Jadid (baru), Qorib yang berarti dekat dan juga berarti Khabar (berita). Sedangkan pengertian Hadits menurut Ulama Hadits adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan sifat-sifat dan sebagainya.
B. Khabar - mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang disampaikan kepada seseorang. Sedangkan penegrtian khabar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang dinukil dari Nabi, juga dari Shahabat atau Tabi’in.
Menurut sebagian ulama, bahwa Khabar mempunyai pengertian yang sama dengan Hadits, sedangkan yang lain mengatakan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara Hadits dengan khabar. Hadits adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi sehingga mereka yang ahli Hadits disebut dengan Muhaditsin, sedangkan khabar adalah sesuatu yang dinukil dari selain Nabi dan mereka yang ahli khabar disebut sebagai ahli sejarah
Atsar Atsar secara terminologis mempunyai pengertian bekas sesuatu, sedangkan pengertian Atsar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang disandarkan kepada Shahabat Nabi Muhammad SAW.

II. SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Bahwa hadits atau sunnah bukanlah sebuah tradisi yang hanya berkembang pada jaman Nabi Muhammad saja, tetap juga tradisi yang berkembang pada masa Sahahabat dan Tabi’in, namun demikian untuk menghindarkan kesalahan yang pada gilirannya berakibat pada kesalahan legalisasi Hukum, terutama kesalahan yang dikembangkan olehkaum orientalis, maka diperlukan kajian yang jujur dan obyektif berkaitan dengan perjalanan hadits itu sendiri.
Bahwa para sahabat sebagai Muslim yang kita tidak ragukan lagi keimanannya menerima hadist langsung dari Rasul. Kemudian mereka menghafal dan menulisnya setelah Rasul menyampaikanya pada mereka dalam majelis-majelis. Mereka yang hadir kemudian meriwayatkannya pada mereka yang tidak hadir, dan begitulah seterusnya kegiatan ini berlangsung hingga pada masa masa berikutnya.
Generasi sahabat merupakan generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Mereka adalah generasi yang paling baik pemahamannya terhadap keduanya (Al-Quran maupun As-Sunnah). Mengetahui dimana, kapan, dan mengenai apa ayat Al-Quran diturunkan. Apalagi Rasul Saw berada di tengah-tengah mereka yang setiap saat menjadi rujukan setiap perkara dan mendengar serta memperhatikan segala sesuatu yang berasal dari Beliau Saw. Tak terkecuali juga hadits yang merupakan qaul (perkataan), af’al (perbuatan) serta taqrir (persetujuan) Rasul Saw. Maka segera para Sahabat menghafalkan dan memeliharanya di dalam dada mereka tatkala Rasul Saw menyampaikannya kepada mereka.
Walaupun para sahabat menerima hadits dari Rasul Saw dengan jalan menghafal, bukan berarti hadits yang diterima tersebut tidak ditulis oleh mereka. Banyak riwayat yang sampai kepada kita bahwa di antara beberapa sahabat ada yang memiliki catatan-catatan hadits. Salah satunya adalah Abdullah ibn ‘Amr, yang memiliki Al-Shahifah al-Shadiqah. Shahifah ini akhirnya berpindah tangan kepada cucunya, yaitu ‘Amr ibn Syu’aib. Imam Ahmad meriwayatkan sebagian besar isi shahifah ini dalam Musnad-nya [10]).

Begitu pula pada masa Tabi’in (masa sesudah para sahabat Rasul), mereka menyampaikan Hadist kepada orang lain dengan hati-hati. Para ulama yang menerima riwayat hadist inipun tidak serta merta menerimanya, tetapi mereka selalu mengecek kebenaranya dengan cara meneliti dari siapa ia mendapatkan hadist tersebut dan bagaimana ketsiqahan orang tersebut. Sehingga jika telah benar-benar yakin dengan kebenaranya maka sebuah hadist tersebut diterima. Para ahli Hadist sangat berhati-hati dalam menerima dan mengambil sebuah Hadist, mereka akan menerima sebuah Hadist jika sudah jelas betul kebenaran sanadnya. Diceritakan bahwa Ali bin Abi Talib tidak akan menerima Hadist sebelum perawinya disumpah bahkan kadang harus menghadirkan saksi. Dan inilah yang disebut dengan metode sanad, sebuah metode dalam Ilmu hadist yang dilakukan oleh para Muhadditsin dalam menulis, dan menyebarkan hadist.
Dari sini kita bisa menilai bahwa proses pengambilan dan penerimaan Hadist begitu ketatnya hingga kemungkinan untuk terjadi penyelewengan Hadist sangat kecil, walau tidak menutup kemungkinan terbuka peluang untuk itu. Maka sebuah kesalahan bagi mereka yang tidak mau menerima keberadaan sunnah sebagai sumber ajaran kedua Islam. Juga salah jika orang-orang barat mengatakan Hadist/sunnah bersifat dzanni (diliputi keragu-raguan) hingga tidak bisa dijadikan sumber Akidah dan Syari’ah.
Seorang orientalis berkebangsaan Austria yaitu Dr. Leopold Weisa bahkan mengakui metode yang dilakukan Muhadditsin dalam mentahqiq Hadist yang bertujuan mencari kebenaran isi kandungan Hadist telah melahirkan sebuah Ilmu (Ushulul Hadist) dengan cabang-cabangnya yang komplit, dan inilah metode terbaik dan ilmiah [11]).
BAB III
PANDANGAN-PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HADITS

I. ASPEK SEJARAH PERIWAYATAN DAN PENULISAN HADITS
Salah satu gugatan yang dilontarkan oleh kalangan orientalis ketika menggugat otentisitas hadits adalah pernyataan tentang ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan otentisitas hadits. Hal ini (menurut mereka) disebabkan tidak adanya kitab-kitab atau catatan-catatan hadits dari para sahabat RA. Dan menurut mereka hadits-hadits yang ada baru dicatat pada abad kedua dan ketiga hijriah. Secara implisit mereka hendak mengatakan bahwa hadits yang ada sekarang tidak asli dari Muhammad Saw, dan tidak lebih hanyalah karangan para ulama dan generasi setelah Rasul Saw dan para Sahabat RA. Benarkah demikian ?
Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).” Statemen tersebut telah banyak dibantah oleh pemikir-pemikir Islam dengan menunjukkan kesalahan yang mendasar dari Alois dalam mengambil kesimpulan yakni ia lebih banyak menggunakan hadits-hadits fiqhiyah sebagai bahan kajian dan merujuk langsung pada ilmu hadits.
Para orientalis mempermasalahkan status Hadits yang menurut mereka tidak jelas dalam proses pewarisannya kepada umat atau generasi setelah meniggalnya Rasulullah. Dalam konteks tersebut juga dipermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan penulisan dan kodifikasi hadits. Hadits yang sekarang berada dalam rengkuhan umat Islam hanyalah kumpulan anekdot atau cerita bohong yang menarik bagi umat Islam yang dibuat oleh para shahabat, karena dalam kenyataan tidak ditemukan teks tertulis tentang hadits pada periode shahabat. Yang ada sebenarnya adalah teks tertulis dari al Qur'an dan bukan hadits. Kaum orientalis mengambil pemahaman sepihak tentang larangan Rasulullah menulis hadits bersamaan dengan penulisan teks al Qur'an.
Kaum orientalis merujuk pada Sunan Abi Dawud dan al-Musnad9 dari Abdullah ibn ‘Amr, beliau berkata: “Saya telah menulis segala apa yang aku dengar dari Rasulullah Saw untuk aku hapalkan.” Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan berkata: “apakah kamu menulis segala sesuatu sedang-kan Rasulullah Saw itu adalah manusia yang kadang-kadang dalam keadaan ramah.” Maka aku pun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya kepada Rasulullah Saw sambil menunjuk mulutnya, beliau berkata: “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali yang hak.” dan hadits yang sejenis walau secara lahiriah bertentangan dengan hadits di atas, misalnya hadits riwayat Muslim dan Ahmad dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu tulis sesuatu dariku selain Al-Quran. Barang siapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Quran hendaklah ia menghapusnya.”
Terlepas dari adanya kontradiksi matan kedua hadits tersebut, maka sesungguhnya hal terpenting yang dapat kita ambil dari kedua teks hadits tersebut adalah adanya tradisi menulis hadits Rasulullah yang dilakukan oleh para shahabat. Hal tersebut menunjukkan bahwa asumsi tidak adanya penulisan hadits menjadi lemah.
Ahli hadits memberikan penjelasan yang sangat detail tentang terhadap anggapan kontradiktif kedua hadits tersebut yaitu tentang adanya larangan penulisan hadits dan perintah menulis hadits bagi para shahabat. Penjelasan tersebut adalah :
A. Kasus ini merupakan mansukh al-sunnah bi al-sunnah. Yakni semula Rasulullah Saw semula melarang penulisan hadits, namun kemudian karena sunnah semakin banyak dan dikhawatirkan akan hilang maka beliau memerintahkan untuk menuliskannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276 H).[12] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Khatthabi dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan [13] yang mengatakan bahwa kemungkinan besar larangan penulisan itu datang lebih dahulu, kemudian datang pembolehannya.
B. Bahwa kasus pelarangan tersebut disebabkan adanya kekhawatiran percampuradukkan antara Al-Quran dan hadits. Jadi ada semacam ‘illat munculnya pelarangan tersebut yaitu kekhawatiran atau ketakutan akan tercampurnya Kitab Allah dengan Sunnah.

Pendapat ini dikemukakan oleh Dr. Nuruddin ‘Itr seorang ulama hadits dan ahli tafsir dari Universitas Damaskus. Pendapat ini disandarkan pada riwayat dari ‘Urwah ibn Zubair bahwa Umar ibn al-Khatthab berkeinginan untuk menuliskan hadits dan setelah disampaikan keinginan tersebut kepada para sahabat, maka sahabat pun menyetujuinya. Namun setelah beliau bersitikharah, beliau mengatakan: “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah Saw. Akan tetapi, aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka asyik menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan Kitab Allah dengan sesuatu apa pun buat selama-lamanya.”[14])
Pernyataan ‘Umar tersebut secara tegas menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap tersebut dilatarbelakangi oleh adanya ‘illat yaitu ke-khawatiran tercampurnya Al-Quran dan hadits. Al-Khathib dalam kitab Taqyid al-‘Ilm [15]) mengatakan: “hasil penelitian menunjukkan bahwa keengganan penulisan hadits pada masa awal tiada lain agar tidak terjadi keserupaan Al-Quran dengan yang lainnya, atau agar Al-Quran dengan yang lainnya, atau agar Al-Quran tidak ditinggalkan karena menekuni selainnya.” Oleh karena itu, penulisan atau kodifikasi hadits sudah dilakukan secara individu oleh para sahabat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ibn ‘Amr yang telah diberikan izin oleh Rasulullah Saw, sebab beliau tidak khawatir terhadap Abdullah ibn ‘Amr akan mencampurnya dengan Al-Quran ditambah ia adalah sahabat yang tekun dan cakap dalam membuat catatan sehingga beliau tidak melarangnya Sahabat lainnya yang melakukan penulisan hadits adalah Abu Hurayrah. Dan sebagian besar lembaran yang berisi hadits tersebut diriwayatkan oleh Hammam Ibn Munabbih. Lembaran ini memiliki nilai sejarah sekaligus mementahkan tuduhan mereka yang meragukan kodifikasi hadits sebelum abad kedua Hijriah, sebab Hammam, salah seorang ulama kalangan tabi’in, berjumpa dengan Abu Hurairah. Tidak diragukan lagi, ia menulis langsung dari Abu Hurairah di masa hidupnya karena Abu Hurairah wafat pada tahun 59 H. Artinya, pencatatan dilakukan sebelum tahun ini atau pertengahan abad pertama. Lembaran ini berhasil sampai pada kita secara utuh, persis seperti riwayat dan catatan Hammam dari Abu Hurairah. Lembaran ini pertama kali ditemukan dan ditahqiq oleh Dr. Muhammad Humaidillah. Selanjutnya, tahqiq kedua dilakukan oleh Dr. Rif’at Fauzi dengan menambahkan beberapa keterangan penting. Lembaran ini memuat 138 hadits, tepat seperti keterangan Ibnu Hajar bahwa Hammam mendengar sekitar 140 hadits dari Abu Hurairah dengan satu sanad.[16])
Goldziher menurunkan satu pasal khusus tentang penulisan hadits-hadits dalam pembahasannya Muhammedanische Studien dan jilid keduanya diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh Leon Bercher tahun 1952 dengan judul Etudes sur la Tradition Islamique, Maisonneuve, Paris. Didalam pasal ini ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan bahwa pencatatan hadits dilakukan pada awal abad kedua hijriah. Begitu pun dengan Aloys Sprenger dalam bukunya, Das Traditionswesen beiden Arabern (Hadits Menurut Orang Arab[17]).
Goldziher berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang berasal dari abad pertama dan kedua Hijriyah. Artinya Goldziher berpendapat bahwa hadits adalah buatan ulama abad l dan abad ll H. Ia berkata, "�Bagian terbesar dari suatu hadits tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad l dan ll, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial.Tidaklah benar bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang ada pada masa dini, melainkan pengaruh dari perkembangan Islam pada masa kematangan [18])."
Dalam hal sanad, para orientalis juga menemukan kelemahan-kelemahan. Mereka berpendapat bahwa seorang sanad yang paling akhir memerlukan sandaran pada rawi sebelumnya sehingga dengan sandaran tersebut memungkinkan terjadi legitimasi tekstual terhadap hadits yang dibawahnya. Tradisi menyandarkan dianggap oleh kaum orientalis sebagai bukti ketidak mandirian dan kesalahan teks yang dibawahnya sehingga memerlukan kualitas yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence.
Dalam pandangan mereka legitimasi hadits dengan melakukan proses penyandaran pada generasi sebelumnya sangat nampak pada tradisi pengambilan hukum. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para qadi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para Sahabat, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schatc [19])
Hasil kajian Scahtc tersebut sebenarnya telah dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami, seorang ulama dari India. MM Azami telah mengkritik kesalahan dan kecerobohan yang dilakukan oleh Scathc. Menurutnya, metode yang dipakai oleh Scathc dengan meneliti sanad hadits dari kitab-kitab fiqh jelas keliru. Seharusnya Scathc merujuknya dari sumber utama yaitu kitab-kitab hadits sehingga tidak akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh MM Azami, sebenarnya pemakaian sanad , jauh-jauh hari telah dilakukan oleh masyarakat Arab secara umum. Artinya tradisi tersebut telah ada dan dilakukan oleh para Sahabat untuk meriwayatkan hadits [20]).
Tampaknya hasil kajian Scathc mulai menunjukkan kelemahannya dengan banyaknya bantahan dari pakar Islam. Adalah Dr. Ugi Suharto dengan analisanya telah menguatkan bantahan M.M Azami terhadap Scathc. Beliau mengatakan bahwa tradisi periwayatan hadits dengan isnad telah dimulai sejak para Sahabat menerima hadits dari Rasul Saw. Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Dr. Ugi Suharto adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya bahwa Rasul Saw telah bersabda: “Hendaklah orang yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ahmad ibn Hanbal dari ‘Abd al-Razzaq dari Ma’mar dari Hammam ibn Munabbih dari Abu Hurayrah r.a [21] )
Dr. Ugi Suharto melanjutkan analisanya sampai rantai isnad berikutnya. Menurut beliau hal yang sama juga terjadi pada Imam Ahmad yang berguru pada Abd al-Razzaq (w. 211 H/826 M). Karena itu dalam Kitab al-Musnad akan kita temukan riwayat yang mengandung isnad dengan lafadz “haddatsana ‘Abd al-Razzaq,” yang berarti “Abd al-Razzaq mengatakan kepada kami”. Dalam Kitab al-Musannaf milik ‘Abd al-Razzaq jilid 10, halaman 388, nomor hadits 19445 akan ditemukan hadits “salam” di atas persis seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Tidak hanya sampai disini, hadits tersebut pun didapatkan oleh ‘Abd al-Razzaq dari Ma’mar ibn Rasyid (w. 153 H/770 M) dalam Kitab al-Jami’. Ma’mar adalah guru dari ‘Abd al-Razzaq dan sebagian hadits dari Kitab al-Jami’ diriwayatkan oleh muridnya tersebut. Hadits “salam” tersebut ternyata juga terdapat dalam Kitab al-Jami’. Jika ditelusuri lagi ternyata Kitab al-Jami’ banyak berisi hadits yang diriwayatkan oleh Hammam ibn Munabbih (w. 131 H/748 M) dalam Sahifah miliknya. Ma’mar berguru kepada Hammam dan isi Sahifah tersebut sempat dibacakan kepada Ma’mar. Dan yang mengejutkan bahwa hadits di atas tadi seratus persen sama dalam Sahifah tersebut dengan yang diriwayatkan oleh Ma’mar dalam Kitab al-Jami’. Kemudian berlanjut kepada Hammam sendiri bahwa beliau adalah murid dari Abu Hurayrah r.a. (w. 59 H/678 M). Dan ternyata Sahifah tersebut merupakan koleksi hadits Hammam yang ia terima dari Abu Hurayrah r.a [22] ).
Penulusuran hadits melalui rantai isnad di atas memastikan bahwa catatan hadits dari Abu Hurayrah r.a. secara tidak langsung telah diserap oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya melalui jalur di atas. Sehingga pendapat Scathc mengenai rekayasa hadits dilakukan oleh ulama abad kedua dan awal ketiga hijriah dengan sendirinya terbantahkan.

II. ASPEK MATAN HADITS
Kritik orientalis selanjutnya terhadap hadits adalah isi atau matan hadits. Disamping sanad yang harus dicurigai sebagai kelemahan mendasar dari hadits adalah adanya suatu realitas bahwa terdapat banyak permasalahan dalam matan sebuah hadits. Matan sebuah hadits terkadang bertentangan dengan Al qur'an yang sesungguhnya adalah referensi mutlak dalam struktur tata nilai Islam bahkan terdapat ironi yang luar biasa dimana satu peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah sekali dalam hidupnya, menjadi berbeda teks dan saling bertentangan dalam praktek pada generasi berikutnya. Persoalan sholat Tarawih atau dalam hadits disebut sebagai "Qiyamul Lail", Sholat Gerhana yang dalam prakteknya ulama berbeda pendapat tentang cara pelaksanaannya.
Dia menuduh bahwa metodologi kritik hadits yang ada selama ini lemah, karena hanya menggunakan kritik sanad dan tidak menggunakan kritik matan. Padahal sebenarnya kritik matan pun sudah dikenal dan digunakan dalam metodolgi para ulama Islam. Hanya saja yang dimaksud Goldziher itu tidak lain adalah bahwa matan sebuah hadits itu harus sesuai dengan kemauannya dia sendiri. Untuk itu dia mengatakan bahwa matan harus sesuai dengan politik, sains. Sosio kultural dan seterusnya.
Yang jadi contoh sasaran kritiknya apa lagi kalau bukan hadits shahih tentang Al-Aqsha yang berbunyi : "Tidak diperintahkan bepergian kecuali untuk mendatangi tiga masjid : Masjid Al-Aqsha, Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi".[23])
Goldziher yang yahudi itu menuduh bahwa hadits itu palsu. Dan diamengarang cerita bahwa Abdul Malik bin Marwan (khalifah dari DinastiUmayyah) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (yang memprokla-mirkan dirinya sebagai khalifah di Mekkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam yang sedang melakukan ibadah haji di Mekkah untuk berbaiat kepadanya. Karena itu menurut Goldziher, Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Az-Zuhri untuk mengarang hadits yang intinya ntuk pergi haji tidak harus ke Mekkah tapi cukup ke Al-aqsha saja. Sungguh durjana Goldziher itu sampai tega-teganya mengarang cerita dan melontarkan tuduhan hina kepada tokoh-tokoh Islam. Padahal hadits itu shahih dan lolos seleksi Al-Bukhari yang terkenal ketat dalam mensortir hadits. Dan umat Islamseluruh dunia sepakat akan keshahihannya.
Tuduhan itu tentu saja dijawab oleh para ulama Islam, diantaranyaadalah Dr. Musthafa Al-A`zhami, pakar dan guru besar ilmu hadits di Univ. Riyadh Saudi Arabia. Beliau meruntuhkan tuduhan Goldziher dan berhasil membuktikan bahwa apa yang dikatakannya adalah kebohongan belaka – jauh dari kebenaran ilmiyah.

III. ASPEK PERAWI HADITS
Kalau kita membaca sejarah tentang perjalanan para perawi atau penyampai hadits dalam mengumpulkan hadits Rasulullah saw, maka terlihatlah sebesar apa kesetian mereka untuk melestarikan hadits nabi saw.Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempattujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jarak beratus kilometer hanyadengan jalan kaki seperti Abdullah bin Abdul Ghani (269 H).
Ada yang melakukan pencarian hadits semenjak berusia 15 dan 20 tahunseperti Abu Ya’la al-Mushili yang wafat pada tahun 307 H, dan jugadilakukan oleh Muhammad bin Ali yang digelari Abu at-Tursi yang wafattahun 510 H. Bahkan ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahunterus menerus hanya untuk mencari hadits. Orang yang melakukanperjalanan seperti ini misalnya Muhammad al-Ashbahani, penghafal haditsdan guru besar Islam yang sangat alim. Mereka inilah yang kadangdisebut pengembara pencari hadits [24]).
Jelas bahwa pencarian hadits ini tidak dilakukan secara serampangan. Bahkan orientalis Goldziher, betapapun ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin, masih terpaksa membenarkan bahwa pengakuan para pengembara pencari hadits itu tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan.
Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah.
Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadits tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas. Suatu jumlah yang fantastis yang sangat jauh dengan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh para khulafaur rasyidin yang kalau digabung bahkan tak mencapai 3500 hadits.
Kritikan para orientalis banyak ditujukan kepada Abu hurairah dan Sayyidah Aisyah, dua sahabat periwayat hadits paling banyak. Abu hurairah dikecam karena pertentangannya dengan para sahabat mengenai kesalahan-nya dalam periwayatan hadits, seperti yang diutarakan oleh Abu baker [25]) :
“Kalau saja saya mau, saya bisa menceritakan semua hal yang pernah saya ketahui bersumber dari rasulullah dan berita dari sahabat yang lain tentang diri beliau, mungkin ini akan menghabiskan waktu berhari-hari, namun saya takut apa-apa yang saya sampaikan nantinya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi entah kenapa orang itu (Abu hurairah) tiada berhenti bercerita tentang nabi seakan-akan dia mengetahui segala hal tentang Nabi.”

Riwayat lain juga menyebutkan komentar Sayyidina Umar ibn khatab tentang Abu hurairah :
"pembohong terbesar diantara perawi hadits adalah Abu hurairah dan aku akan memenjarakannya bila dia tidak berhenti meriwayatkan hadits".

Kritikan tidak kalah tajamnya juga diterima oleh Sayyidah Aisyah, pertempurannya dengan Sayyidina Ali dalam perang jamal, adalah sebuah bukti nyata bagi umat islam untuk mempertanyakan sifat adil adalah yang dimiliki beliau, karena bagaimana mungkin seseorang yang melakukan tindakan bughat terhadap khalifah yang terpilih secara sah masih bisa disebut dengan adil, dan kalau sudah tidak adil apakah hadits-haditsnya masih layak pakai.

IV. ASPEK KLASIFIKASI HADITS
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadits dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetap-an beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.

V. ASPEK KEPRIBADIAN NABI MUHAMMAD SAW.
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomery watt [26]), salah seorang orientalis ternama saat ini :
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasi-kan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".

Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadits, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
Ingkar Sunnah pun kurang lebih sama. Sama-sama tidak mengakui as Sunnah (hadits) sebagai bagian dari fondasi Islam. Sebagian mereka bahkan berpendapat bahwa hadits adalah perkataan setan. Lalu bagaimana mungkin mereka yang tidak mempercayai hadits itu tetap melakukan sholat lima waktu. Inilah yang terjadi ketika ustadz Fauzi (ustadz saya) berdialog dengan seseorang yang menolak hadits dan hanya percaya al Quran. Ketika waktu maghrib tiba, maka semua yang hadir disitu melakukan sholat berjamaah tak terkecuali dia yang menolak hadits itu. Ini kan aneh, bagaimana dia bisa mengetahui tentang tatacara sholat lima waktu kalau tidak dari hadits. Bahkan apabila seumur hidupnya dihabiskan untuk mencari tatacara itu di al Quran pun tidak akan ketemu.
BAB IV
PEMBELAAN PARA ULAMA TERHADAP AS SUNNAH - AL HADITS

Permasalahan hadits telah berkembang sejak hadits itu sendiri ada dan dijadikan sebagai sumber hukum Islam – permasalahan pertama adalah bagaimana meletakkan hadits sebagai sumber penetapan hokum yang sama sekali baru diluar Al Qur'an. Permasalahan berikutnya adalah kreteria kebenaran hadits, sanad, matan dan rawi yang kemudian melahirkan berbagai kajian dan disiplin ilmu dalam perspektif perhaditsan.
Pada masa Islam Klasik – pergulatan pemikiran mengenai sunnah atau hadits bermuara pada satu pihak dimana kelompok ra'yi yang menafsirkan hadits begitu bebas dan lepas dari konteksnya dan dilain pihak berdiri Imam Syafi'I dengan keteguhannya menggunakan Sunnah sebagai sumber hokum dalam setiap penetapan permasalahan yang muncul.
Pada masa kekinian – kritik terhadap hadits tidak dimaksudkan sebagai waana ilmu pengetahuan melainkan mengarah pada upaya destruktif nilai keagamaan dan eksistensi Islam itu sendiri. Menurut Prof. J. Schacth [27], bahwa tidak ada yang disebut sebagai “SUNNAH RASUL”, karena Nabi Muhammad SAW hampir-hampir tidak meninggalkan suatu apapun kecuali Al Qur’an itu sendiri. Statemen bahwa Sunnah Rasul itu tidak ada tersebut berdasarkan pemikiran dan alasan sebagai berikut :
A. Bahwa Sunnah Rasul hanyalah sebuah tradisi yang telah dimodifikasi. Tradisi Arab yang telah dilegalisasi oleh Nabi dan dipakai sebagai tradisi baru bagi umat Islam.
B. Bahwa konsep Sunnah tidak ditemukan pada awal perkembangan Islam yaitu pada abad 2 H/ 8 M, kalaupun ada, ia tidak dipandang sebagai Sunnah Nabi, tetapi tradisi masyarakat, misalnya Sunnah Madinah, Sunnah Iraqi dll.
C. Bahwa Sunnah adalah sebuah produk penalaran sistematis yang dikuatkan dalam teori hukum Islam dan di sana juga ditemukan inkonsistensi antara tradisi awal Islam dengan tradisi yang terakhir atau yang lebih luas lagi. Dengan demikian ia adalah palsu.
D. Bahwa Sunnah dalam tataran dan konteks keislaman adalah sebuah statemen dan premis yang mempunyai konotasi politik (di ciptakan untuk kepentingan politik), misalnya statemen Sunnah Umar Bin Khattab, Sunnah Abu Bakar dll. Bahkan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan di anggap karena telah melanggar Sunnah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Apapun alasan yang dikemukakan oleh J. Schacth, nampaknya ia kurang mendalami Islam, baik dilihat dari dimensi kesejarahan atau tekstualits Islam itu sendiri. Sebab menurut pakar-pakar keislaman statemen tersebut ternyata jauh dari kebenaran, walau ia telah menjelaskannya dengan penuh kekaguman. Ahmad Hasan mengatakan bahwa konsep Sunnah sebenarnya adalah konsep tradisional keislaman, yang keberadaanya ada bersama-sama perkembangan ajaran Islam. Bahkan di dalam Al Qur’an telah dikemukakan sebuah perintah untuk mengikuti Contoh atau Uswah dari Rasulullah SAW (lihat Qs. 33 : 21). Lebih lanjut ia mengatakan :
A. Bahwa ada perintah Nabi Muhmammad SAW itu mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul, jika kita meninginkan keselamatan hidup.
B. Bahwa terdapat kebiasaan yang dilakukan oleh Umar bin Khatab untuk mengajarkan Al Qur’an dan Sunnah, termasuk didalamnya surat Hasan Basri kepada Abdul Malik untuk selalu ingat kepada Sunnah Rasul.
C. Bahwa terdapat banyak buku yang ditulis oleh pakar keislaman jauh sebelum Imam Syafi’i lahir (pada abad 2 H/ 8 M.

Berdasarkan argument-argument tersebut, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa keberadaan Sunnah bukanlah sebuah imitasi atau penjiplakan Sunnah terdahulu, tetapi ia merupakan hal sangat mendasar bagi umat Islam sebagaimana fungsi Nabi sebagai Uswah, termasuk didalamnya pidato Nabi Muhammad SAW pada saat Haji Wada’. Dengan demikian terdapat argumen historis dan tekstual yang menguatkan eksistensi Sunnah Rasul.
Dalam perspektif yang lain, Dr. Fazlur Rahman menegaskan bahwa bukanlah sebuah peristiwa yang wajar bila Sunnah Rasul itu tidak ada pada periode awal Islam, sebab Sunnah itu membutuhkan mata rantai yang berkesinambungan. Dengan tegas Fazlur Rahman mengatakan bahwa Sunnah Rasul itu ada sejak tahun 60 H / 680 M, hal tersebut disebabkan :
A. System Sunnah atau Hadits itu mempunyai dua komponen yaitu Teks Sunnah dan Isnad Sunnah yang tidak mungkin muncul mendadak tampa suatu perkembangan.
B. Pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, Sunnah atau Hadits bersifat Informal, tetapi ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, maka Sunnah berkembang menjadi sebuah gagasan semi formal, dan pada tahapan berikutnya berubah menjadi fenomena yang disengaja dan penuh kesadaran dan pada saat generasi muda lahir maka berkembeng satu fenomena yang akan bertanya pada prilaku Nabi Muhammad tersebut dan kemudian menjadi tradisi verbal (jalan hidup yang jelas) dan non verbal (berkembang secara diam-diam.)
Goldziher dan orientalis lainnya, memang belajar hadits bukan untuk men-cari kebenaran. Mereka mencari bukti bahwa apa yang dinamakan hadits tak ada kaitannya dengan Rasulullah. Ketika bukti itu memang tak ditemukan maka mereka membuat-buat alasan palsu untuk mendukungnya.
Para ulama tidak tinggal diam, salah satunya adalah Prof.Dr. Muhammad Musthafa al Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Sa’ud Riyadh KSA) dengan bukunya Studies In Early Hadith Literature dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beliau juga menulis buku The History of The Qur’anic Text (Sejarah Teks Alquran dari Wahyu sampai Kompilasi), 2003. Dan beliau juga menulis buku Studies in Hadith Methodology and Literature, 1977.
Dr. Subhi as-Shalih, menulis satu kitab yang diberi judul Ulum al-Hadits wa Musthalahu yang diselesaikan pada tahun 1977 dan dicetak kedalam bahasa Indonesia dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, cetakan Pustaka Firdaus Oktober 2002. Pembahasan dalam kitab ini cukup lengkap dan membahas dari segi keilmuan beserta pandangan-pandangan tentang kaum orientalis dan juga dijelaskan letak kejanggalannya. Insya Allah, dari orang-orang seperti merekalah virus orientalis bisa dilawan.
Ketika "mereka" tidak lagi menggunakan senjata bom, rudal, nuklir dan berbagai macam kekerasan untuk meredupkan cahaya Islam, maka ketahuilah sekarang mereka telah mengganti senjatanya dengan Ghazwul Fikr atau Perang Pemikiran, suatu senjata yang sangat ampuh bahkan lebih ampuh dibandingkan rudal, bom dan senjata lainnya untuk meruntuhkan iman dan aqidah bagi yang tidak mempunyai persiapan dalam bidang ilmu keislaman seperti ilmu hadits dan sebagainya. Sudah siapkah kita melawan atau minimal bertahan ?…


Oooo000oooO


[1] Nurul Huda Maarif. Muhammad Mustafa Azami; Menepis Orientalis, Membela Hadits. (Majalah ISLAMIA, Thn 1 no.3/September – November, 2004) 103
[2] Dr. Syamsuddin Arif, Gugatan Terhadap Hadits, http://ahlulhadis.wordpress.com /2008/05/31/gugatan-terhadap-hadis/)
[3] Cholil Rahman http://www.al-hikam.or.id/arsip/artikel_lengkap
[4] (http://www. ghazali_sthi.blog.plasa.com/2008/03/16/kajian-orientalis-terhadap-al-quran-dan-al-hadits/)
[5] Muniroh Bahari "Orientalisme" (Http://www.pkpim.net/modules/news/makalah pdp/ 2005/7/20).
[6] Muniroh Bahari "Orientalisme" (Http://www.pkpim.net/modules/news/makalah pdp/ 2005/7/20).
[7] Mohammad Rumaizuddin Ghazali "Memahami Orientalis" (Http;//www.Minda Madani Online. My.com/
[8] Muniroh Bahari "Orientalisme"
[9] Mohammad Rumaizuddin Ghazali "Memahami Orientalis"
[10] Dr. Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadits - terj. Drs. Mujiyo (Damaskus, Dar al-Fikr) 30.
[11] "Menjawab pandangan orientalis tentang Hadits" (Http://wongjalur.blogspot.com)

[12] Dr. Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadits" 25 (dari Abu Dawud, 3 : 218; Musnad Imam Ahmad, 2 : 205)
[13] Ibid, 26
[14] Kusnady Ar Razi, "Membela hadits dan menepis orientalis – membantah spekulasi dan tuduhan kalangan orientalis terhadap otentisitas-hadits", (http://alpenprosa/. Word press. com/2009/02/10
[15] Dr. Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadits", 27
[16] http://ahlulhadis.wordpress.com/2008/05/31/gugatan-terhadap-hadists. Dikutip dari Ibnu Hajar dalam At-Tahzib, hlm. 67
[17] Prof. Dr. M.M.Al A'zami, "Hadits dan Virus Orientalis" (Http://Indrayogi.blog. friendster.com/2005/12)
[18] Prof. Dr. M.M.Al A'zami, "Hadits dan Virus Orientalis"
[19]. Nurul Huda Maarif. "Muhammad Mustafa Azami; Menepis Orientalis, Membela Hadits" (Majalah ISLAMIA, Thn 1 no.3 - September – November 2004), 107
[20] Ibid, 108
[21] Dr. Ugii Suharto, " Peranan Tulisan dalam Periwayatan Hadits", (Majalah Islamia Thn 1 Nomor 2/ Juni – Agustus 2004), 74
[22] Ibid., 75 – 77.
[23] "Metodologi Hadist versi Orientalis" (http://www.ikhwan-interaktif.com/islam/%20ilmu-mustholah-hadits)%2047
[24] Prof. Dr. M.M.Al A'zami, "Hadits dan Virus Orientalis" (Http://Indrayogi.blog. friendster.com/2005/12)
[25] Cholil Rahman "Persepsi orientalis terhadap Hadits" (http://www.al-hikam.or.id/%20arsip/artikel%20lengkap).
[26] Cholil Rahman "Persepsi orientalis terhadap Hadits"
[27] Dr. Fazlur Rahman "Islam" (Bandung, Pustaka, 1984), 56-67

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates