Selasa, 11 Mei 2010

TELAAH THEOLOGIS ATAS SIFAT-SIFAT ALLAH DALAM PERSPEKTIF THEOLOGI MATURIDIYAH-ASY'ARIYAH

I. MUKADDIMAH
Hingga saat ini kita telah menganalisa dua pembahasan dalam masalah pengenalan Tuhan, pembahasan pertama adalah tentang prinsip keberadaan Tuhan, pengenalan terhadap-Nya secara fitrah dan akal, juga mengenai metode pengenalan Tuhan yang paling mendasar. Pada pembahasan kedua kita telah pula membicarakan masalah tauhid sebagai inti pengenalan Tuhan dalam Islam. Pada pembahasan ketiga ini kita akan menganalisa masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan.
Pada pembahasan-pembahasan terdahulu, kami telah menyinggung bahwa manusia memiliki dua bentuk pengenalan terhadap Tuhan, yaitu:
A. Pengenalan hudhuri yang bersumber langsung dari pertalian sebab-akibat antara Wajib al-Wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (makhluk) dan keniscayaan kebergantungan wujud manusia kepada Tuhan.
B. Pengenalan hushuli yang terwujud lewat akal-pikiran dan pemahaman-pemahaman teoritis manusia. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pengenalan semacam ini tidak berhubungan dengan pengenalan hakikat dzat Tuhan, melainkan pengenalan yang hanya berkaitan dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, pengenalan hushuli kita kepada Tuhan yang murni dihasilkan dari pemahaman-pemahaman akal-pikiran hanya berkaitan dengan sifat dan perbuatan Tuhan. Dari sini kita bisa memberikan penekanan yang lebih pada pembahasan sifat-sifat Tuhan dan perannya dalam pengenalan Tuhan, karena dengan semakin luas pengenalan kita atas sifat-sifat Tuhan maka akan mencapai kesempurnaan pengenalan terhadap-Nya.


Tentunya, pada pembahasan pembuktian wujud Tuhan kita telah mengenal sifat semacam keniscayaan wujud (wujub al-wujud) dimana kemudian kita mengenal Tuhan dengan sifat tersebut. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa Tuhan memiliki begitu banyak sifat dimana untuk mencapai pengenalan terhadap-Nya secara sempurna mengharuskan kita untuk mengenal sifat-sifat tersebut secara lebih luas. Oleh karena itu, dalam masalah ini, tidak seharusnya kita mencukupkan diri dengan membatasi pengenalan hanya pada beberapa sifat-Nya saja.
Urgensi pembahasan sifat Tuhan adalah adanya perbedaan pemahaman dikalangan para penyembah Tuhan dan monoteis, yang walaupun mereka menganut konsep keesaan Tuhan, tapi di antara mereka terdapat perbedaan yang tajam sehingga seakan-akan masing-masing mereka menyembah Tuhan yang berlainan. Sebagai misal, seseorang yang menganggap Tuhan memiliki anggota badan yang senantiasa hilir mudik di antara langit dan bumi, dengan seseorang yang menganggap Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani semacam ini, masing-masing mereka ini memiliki dua kesimpulan yang sangat berbeda dalam mengenal Tuhannya. Demikian juga, seseorang yang mengenal Tuhan dengan meyakini bahwa kodrat Tuhan adalah terbatas atau menganggap-Nya tidak mengetahui peristiwa yang bakal terjadi, akan sangat berbeda dengan seseorang yang percaya terhadap kemutlakan ilmu dan kodrat Tuhan.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan adanya ikhtilaf dan perbedaan tajam dalam masalah sifat-sifat Tuhan, maka penganalisaan yang teliti dan akurat pada pembahasan ini sangat signifikan untuk menemukan pandangan yang paling benar dan komprehensip terhadap Tuhan dan hak yang berkaitan dengan Tuhan, yaitu :
A. Nama, Sifat, dan Perbuatan
Pada pembahasan yang berkaitan dengan pengenalan Tuhan, kita akan banyak bertemu dengan tiga istilah seperti asma (nama-nama) Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Poin yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa istilah-istilah ini pada cabang-cabang keilmuan yang berbeda kadangkala muncul dengan arti yang berbeda pula, dan tidak senantiasa memiliki satu makna yang konstan. Karena pembahasan kita berada pada wilayah ilmu Kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur ilmu kalam, istilah "sifat Ilahi" lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti 'âlim, 'alîm", qâdir, hayyu, dan murîd dan sebagainya, dikategorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal tersebut, kata-kata semacam 'ilm, kodrat, hayât dan sebagainya, adalah merupakan sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti 'âlim, 'alîm, qâdir, hayyu dan sebagainya merupakan asma Tuhan.
Bisa dikatakan bahwa di antara semua itu terdapat pula istilah lain dimana maksud dari ism (nama) adalah kata yang menunjukkan nama khusus Tuhan, sedangkan sifat adalah kata yang menghikayatkan sifat-sifat Tuhan. Berdasarkan istilah ini, jumlah asma Tuhan menjadi sangat sedikit dan hanya berkisar pada kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudâ dalam bahasa Persia (atau Tuhan dalam bahasa Indonesia, red), akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak dan kata-kata semacam 'âlim, hayyu, murîd, qâdir, dan sebagainya, seluruhnya termasuk dalam sifat-sifat Tuhan.
Walhasil, yang dimaksud dengan "sifat" pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.

B. Keluasan Pembahasan Sifat Ilahi dalam Theologi
Pentingnya pembahasan sifat Ilahi dalam ilmu kalam menjadikannya dikaji secara meluas dan menjadi wacana yang senantiasa hangat. Hadirnya berbagai dimensi pembahasan yang partikular dan mendetail yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, menjadikan pembahasan ini semakin rumit. Di sini, kami berupaya semaksimal mungkin untuk memperkenalkan tolok ukur dan aspek-aspek utama pembahasan sehingga bisa menyajikan pembahasan ini secara lebih sistematis.
Pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan bisa kita analisa dalam dua tahapan global:
1. Pembahasan Sifat secara Umum - Pada tahapan ini kita akan mempelajari hukum-hukum dan masalah-masalah sifat secara umum, tanpa memperhatikan adanya sifat-sifat khusus. Tahapan ini biasa disebut "Keuniversalan sifat-sifat Tuhan".
2. Pembahasan Khusus terkait dengan masing-masing sifat - Setelah menye-lesaikan pembahasan hukum-hukum sifat Tuhan secara umum, pembahasan pada tahapan ini akan difokuskan pada sifat-sifat khusus Tuhan yang utama, seperti ilmu, kodrat, hidup, dan lain-lain. Bisa juga kedua tahapan pembahasan di-golongkan dalam salah satu bagian dari setiap tahapan pembahasan di bawah ini:
a. Pembuktian kesatuan dzat dan sifat-Nya
Pada tahapan ini, pembicaraan berkisar tentang pembuktian kesatuan dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya. Bahasan ini, pada tahapan pertama (dari dua tahapan tersebut di atas) berhubungan dengan pembuktian umum kesatuan dzat Tuhan dengan seluruh sifat sempurna-Nya. Dan pada tahapan kedua, menyajikan argumentasi-argumentasi atas kesatuan dzat Ilahi dengan masing-masing sifat. Sebagai contoh, pada tahapan akhir, disajikan argument-tasi atau dalil-dalil yang menyatakan bahwa Tuhan adalah 'âlim, qâdir, hayyu, dan lain sebagainya.
b. Penjelasan sifat Ilahi dan karakteristiknya
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang makna dari masing-masing sifat Ilahi dan karakteristik-karakteristiknya yang membedakannya dengan sifat-sifat makhluk.
Di bawah ini akan kami sajikan pokok-pokok utama pembahasan ilmu kalam tentang sifat-sifat Tuhan, dimana pembahasan kami nantinya akan berpijak pada pokok-pokok tersebut.
Bagian paling pokok dan mendasar pembahasan dalam tahapan pertama (pembahasan umum sifat) adalah sebagai berikut :
• Pengelompokan sifat-sifat - Pada pembahasan ini disajikan penge-lompokan masyhur yang disusun oleh para teolog dalam masalah sifat-sifat Ilahi dan juga akan didefinisikan istilah-istilah yang berkaitan dengan masing-masing dari itu.
• Probabilitas pengenalan sifat-sifat Ilahi - Pada bagian ini, disajikan solusi atas masalah fundamental yang terkait dengan kemungkinan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Demikian juga akan diketengahkan sebagian pandangan dalam ilmu kalam atas kemungkinan dan kemustahilan pengenalan sifat-sifat Tuhan.
• Metodelogi pengenalan sifat-sifat - Setelah menjelaskan tentang adanya kemungkinan pengenalan sifat-sifat akan dilanjutkan dengan menganalisa metode dan perangkat yang digunakan dalam proses pengenalan yang berada dalam jangkauan dan kewenangan manusia.
• Penjelasan makna sifat-sifat Ilahi - Pada pembahasan ini dijelaskan tentang maksud dari sifat-sifat yang sama antara Tuhan dengan makhluk-Nya yang kemudian sifat-sifat homogen ini dinisbahkan pada Tuhan, begitu pula akan dibahas perbedaan antara sifat Tuhan dan sifat makhluk-Nya.
• Pembuktian Umum atas sifat-sifat sempurna Tuhan - Pembahasan ini meliputi penyajian argumentasi-argumentasi umum atas kemestian Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna.
• Hubungan hakiki antara dzat Tuhan dan sifat-sifat - Pada bagian ini akan dijelaskan bahwa sifat-sifat Ilahi identik dengan dzat-Nya, dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Pembahasan ini juga dikaji dalam pasal Tauhid Sifat.
• Penetapan Tuhan atas asma dan sifat-sifat-Nya sendiri - Pertanyaan mendasar dalam pembahasan ini adalah apakah dalam penyifatan Tuhan mesti sesuai dengan asma dan sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an dan riwayat, ataukah penyifatan Tuhan bisa dengan menggunakan setiap sifat yang menunjukkan kesempurnaan.

Pada tahapan kedua yaitu pembahasan khusus tentang sifat-sifat dan juga sebagian dari sifat-sifat utama dianalisa dalam beberapa sudut pandang di bawah ini:
• Penjelasan mendetail tentang makna masing-masing sifat;
• Penyajian argumentasi khusus atas kesatuan dzat Tuhan dengan masing-masing sifat;
• Membahas berbagai keraguan dan pertanyaan yang berkaitan dengan sebagian dari sifat-sifat Tuhan.

C. Pengelompokan Sifat-sifat Tuhan
Dalam pembahasan ilmu Kalam biasanya sifat-sifat Tuhan dikelompokkan berdasarkan berbagai sudut pandang, dan setiap bentuk pembagian itu memiliki nama-nama khusus. Pada kesempatan ini, sebelum memasuki pembahasan selanjutnya kami akan menyiratkan pembagian sifat-sifat dan istilah-istilah khusus yang sering digunakan:
1. Sifat tsubuti dan salbi
Salah satu pengelompokan yang sering digunakan dalam sifat Tuhan adalah sifat tsubuti (afirmasi) dan salbi (negasi). Sifat tsubuti menjelaskan dimensi kesempurnaan Tuhan dan menetapkan bahwa kesempurnaan itu nyata dan hakiki pada dzat Tuhan. Pada sisi lain, sifat salbi menunjukkan pada ketiadaan penisbahan Tuhan atas sifat-sifat yang tak sempurna dan menafikan dzat Tuhan dari segala bentuk ketaksempurnaan, keterbatasan, dan kekurangan. Karena ketaksempurnaan dan kekurangan merupakan salb atau negasi kesempurnaan itu sendiri maka hakikat sifat negasi diibaratkan sebagai negasi dari negasi kesempurnaan dan karena negasi dari negasi akan menjadi positif, maka sifat salbi atau negasi pada akhirnya akan berujung pada kesempurnaan dzat Tuhan. Berdasarkan hal ini, sifat ilmu, kodrat, iradah, dan hidup merupakan sifat-sifat tsubuti Tuhan dan sifat non-materi, tak-bergerak merupakan sebagian dari sifat-sifat salbi atau negasi Tuhan.
Dari penjelasan tersebut, menjadi jelas bahwa sifat negasi sama sekali tidak menunjukkan adanya kekurangan pada dzat Tuhan, melainkan sebagaimana sifat tsubuti yang menghikayatkan kesempurnaan dzat Tuhan. Karena pada dasarnya, sifat-sifat negasi menetapkan ketidaklayakan sifat-sifat untuk Tuhan dan mengandung kemestian penolakan ketaksempurnaan dan kelemahan pada dzat Tuhan. Sebagai misal, bergeraknya suatu maujud menunjukkan ketaksempurnaannya, karena gerak bermakna bahwa sesuatu yang bergerak tersebut pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan khusus dan setelah melakukan gerakan barulah ia mencapai kesempurnaan. Jelas, bahwa makna semacam ini tidak sesuai untuk kesempurnaan mutlak Tuhan, oleh karena itu, gerak harus ternegasikan pada dzat Tuhan. Penolakan sifat gerak ini yaitu penafian gerak, pada akhirnya akan berujung pada pembuktian atas kesempurnaan Tuhan, karena penafian ketaksempurnaan sesuatu tidak lain adalah pembuktian kesempurnaan sesuatu. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sifat tak bergerak merupakan salah satu sifat negasi atau salbi Tuhan.
Kadangkala dikatakan bahwa sifat jasmani, gerak, materi dan semisalnya merupakan sifat negasi Tuhan, karena sifat-sifat itu ternegasikan pada dzat Tuhan. Akan tetapi anggapan ini salah karena sifat negasi juga disandarkan pada Tuhan sebagaimana sifat tsubuti. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa ketakjasmanian, ketakbergerakan, ketakmaterian, dan lain sebagainya merupakan sifat-sifat negasi Tuhan. Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan sebagian, maksud dari sifat negasi bukanlah bermakna bahwa sifat ini dinegasikan dari Tuhan, melainkan maksudnya adalah bahwa sifat-sifat ini meniscayakan penolakan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Memang terdapat perbedaan yang sangat halus dari penafsiran atas sifat negasi ini yang kurang mendapat perhatian.
Mungkin di sini akan muncul pertanyaan, apabila maksud dari sifat negasi akhirnya berujung pada pembuktian kesempurnaan Tuhan (misalnya Tuhan non-materi), lalu kenapa kesempurnaan yang tertetapkan itu (kenon-materian Tuhan) tidak langsung dikategorikan pada sifat tsubuti, bukankah dengan mengetengahkan pengertian yang menunjukkan ketaksempurnaan kemudian dinegasikan kembali, membuat pembahasan yang semula pendek menjadi panjang dan tema yang semula mudah menjadi rumit?
Dalam menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan bahwa yang benar adalah bahwa setiap sifat negasi senantiasa memestikan satu sifat tsubuti, akan tetapi kadangkala makna negasi secara khusus apabila dikomparasikan dengan makna tsubuti lebih akrab dan lebih mudah dipahami oleh pikiran masyarakat umum dan lebih banyak digunakan dalam bahasa-bahasa umum. Sebagai contoh, non-jasmani atau non-materi Tuhan yang meniscayakan sifat tajarrud (immateriality,spirituallity) Tuhan, dalam pikiran masyarakat umum makna non-jasmani dan non-materi lebih mudah dipahami daripada makna tajarrud.
Poin lain dalam penjelasan sifat negasi adalah bahwa sifat ini secara langsung dan tegas menegasikan segala bentuk ketaksempurnaan Tuhan dan menunjukkan perbedaan nyata antara Tuhan dan makhluk-Nya. Ketika dikatakan bahwa Tuhan bukan jasmani atau Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu, maka hal ini menegaskan perbedaan riil antara Tuhan dan makhluk-Nya yang jasmani dan terikat dengan tempat dan masa. Berbeda dengan sifat tsubuti tidak tegas menunjukkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.

2. Sifat dzat dan sifat perbuatan
Dalam pengelompokan yang lain, sifat Tuhan dibagi menjadi dua kategori: sifat dzat dan sifat perbuatan.
Sifat dzat merupakan salah satu kesempurnaan Tuhan, terpancar dari dzat Tuhan dan dipredikasikan pada dzat-Nya, sebagai contoh, salah satu dari kesempurnaan Ilahi adalah Dia mampu melakukan setiap perbuatan yang mungkin. Akal dengan memperhatikan kesempurnaan ini akan mendapatkan makna "kodrat" lalu menisbahkannya kepada dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat perbuatan diperoleh dari hubungan khusus antara dzat Tuhan dan maujud-maujud lain. Sebagai contoh, Tuhan memiliki hubungan kepenciptaan dengan eksistensi-eksitensi lain, dimana dengan memberikan wujud pada eksistensi-eksistensi tersebut berarti Dia mengeluarkan mereka dari "alam ketiadaan". Dengan memperhatikan adanya hubungan khusus ini, kita akan menetapkan sifat mencipta pada-Nya lalu menyebut-Nya sebagai Pencipta (Khâliq).
Dari gambaran di atas, menjadi jelas bahwa untuk menjelaskan Tuhan dengan sifat dzat cukup dengan memandang pada dzat Ilahi saja, dan kita tidak perlu lagi menggambarkan sesuatu yang berada di luar dzat-Nya. Hal ini berbeda pada sifat perbuatan, karena selain kita harus memperhatikan dzat Tuhan, kita juga harus memperhatikan "hal-hal" yang lain yang terkait dengan-Nya. Sebagai contoh, apabila kita ingin menyifati Tuhan dengan sifat Pencipta maka langkah pertama, kita harus memandang eksistensi lain yang diciptakan oleh-Nya, dan kemudian dengan memandang hubungan Tuhan dengan eksistensi tersebut, kita akan menisbahkan sifat mencipta pada-Nya. Dengan perkataan lain, sumber perolehan sifat dzat adalah dari dzat Tuhan itu sendiri, akan tetapi sifat perbuatan terambil dari perbuatan Tuhan, dengan arti bahwa dengan memperhatikan perbuatan-Nya sendiri akan tersifati dengan sifat ini.
Dengan memperhatikan kajian di atas, sifat-sifat semacam ilmu, kodrat dan hidup merupakan sebagian dari sifat-sifat dzat Tuhan dan sifat-sifat semacam pemberi nikmat, rahmat, hidayah, dan lain-lain adalah termasuk sifat-sifat perbuatan Tuhan. Tentu saja sebagaimana yang akan kami bahas pada tema-tema selanjutnya, sebagian dari sifat-sifat (seperti ilmu atau iradah) dari satu sisi bisa dikatakan sifat dzat dan dari dimensi lain terkadang disebut sifat perbuatan

3. Sifat nafsi dan tambahan
Di sini terdapat pula pengelompokan ketiga yakni sifat Tuhan dibagi menjadi dua bagian yaitu sifat nafsi dan sifat tambahan. Sifat nafsi merupakan sifat-sifat mandiri dan bukan merupakan tambahan dari yang lain, akan tetapi sifat tambahan merupakan sifat yang lahir akibat tambahan dari yang lain. Sebagai contoh, hidup merupakan sifat nafsi akan tetapi ilmu, kodrat dan iradah merupakan sifat-sifat tambahan, karena makna ilmu bersumber dari hubungan dengan yang lain yakni ma'lum (obyek yang tercerap) dan makna kodrat berhubungan dengan sesuatu yang dikuasai serta makna iradah terkait dengan sesuatu yang dikehendaki.

4. Sifat dzat dan khabar.
Pengelompokan ini khusus pada Ahli Hadits. Maksud dari sifat dzat di sini adalah sifat yang menunjukkan kesempurnaan dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat khabar adalah sifat yang terdapat dalam teks-teks suci agama (al-Qur'an dan hadis) yang dinisbahkan pada Tuhan. Apabila memperhatikan makna lahiriahnya, hal ini akan meniscayakan kematerian dan kejasmanian Tuhan serta kemiripan-Nya dengan makhluk-makhluk materi. Sebagai contoh, dalam al-Qur'an terdapat ayat yang secara lahiriah memperkenalkan Tuhan sebagai suatu realitas yang memiliki organ dan anggota badan seperti muka, tangan dan mata. Berdasarkan pembagian ini, sifat-sifat tersebut yaitu Tuhan memiliki wajah, tangan dan mata merupakan sifat khabar, karena konsekuensi penerimaan makna lahiriah dari sifat-sifat itu ialah penerimaan akan kematerian Tuhan.
a. Tentang apa "hal" lain tersebut, terdapat penjelasan yang beragam. Pada salah satu penjelasan dikatakan bahwa "hal" lain tersebut merupakan suatu maujud lain dimana antara Tuhan dengannya terdapat interaksi khusus, misalnya sesuatu yang tercipta. Akan tetapi berdasarkan pendapat lainnya dikatakan bahwa maksud dari "hal" lain adalah perbuatan Tuhan itu sendiri, karena dalam pandangan yang lebih detail dikatakan bahwa seluruh maujud merupakan perbuatan Tuhan.
b. Tentu saja pada bagian ini terdapat pula istilah lainnya dimana dalam pembahasan ilmu kalam tidak sering dipergunakan. Sebagai contoh, berdasarkan sebuah pengelompokan, sifat Tuhan terbagi menjadi sifat hakiki, seperti hayy (hidup), 'âlim dan sifat tambahan seperti Pencipta dan Maha berkehendak, Dan sifat hakiki ini juga terbagi dua sifat hakiki murni, seperti hayy dan sifat hakiki tambahan seperti 'âlim dan qâdir.


II. SIFAT-SIFAT SALBIYAH (NEGASI)
Hingga saat ini telah dibahas beberapa sifat-sifat tsubuti dzat atau sifat perbuatan Tuhan, sekarang akan dibahas tentang sifat negasi (salbi) Tuhan. Telah dikatakan sebelumnya bahwa disetiap sifat negasi pada dasarnya menafikan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan, karena negasi bertemu negasi akan berakhir pada penegasan kesempurnaan Tuhan. Maka dari itu, konsekuensi seluruh sifat negasi kembali pada satu makna yang diistilahkan dengan penafian ketaksempurnaan (al-salb al-naqsh) atau penafian keterbatasan (al-salb al-mahdudiyah).
Meskipun secara sepintas sifat-sifat negasi Tuhan tak terhitung banyaknya, di bawah ini hanya akan dibahas beberapa sifat-sifat utama, antara lain:
A. Penafian komposisi dan sifat-sifat tambahan pada dzat;
B. Penafian jasmani;
C. Penafian arah dan tempat;
D. Penafian reinkarnasi Tuhan pada makhluk;
E. Penafian penyatuan Tuhan dengan makhluk;
F. Penafian aksidensi pada dzat-Nya;
G. Penafian kelezatan dan penderitaan;
H. Penafian rukyat (terlihat).

Sebelum membahas sifat-sifat negasi, perlu ditekankan bahwa dengan kembalinya sifat-sifat ini pada satu makna yaitu negasi ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka argumentasi umum atas seluruh sifat negasi bisa diketengahkan sebagai berikut :
A. Argumen Umum atas Sifat-Sifat Negasi
Tuhan adalah wujud mutlak yang memiliki seluruh kesempurnaan wujud, oleh karena itu, pada dzat-Nya tidak terdapat ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Maka dari itu, setiap makna yang mengarah pada ketaksempurnaan-Nya niscaya ternafikan dari dzat-Nya. Sifat negasi tidak lain adalah penafian ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka kesempurnaan mutlak Tuhan mengharuskan penyandaran segala sifat negasi pada-Nya. Dengan demikian, sebagaimana telah dibuktikan keberadaan seluruh sifat tsubuti dengan satu argumentasi, maka bisa pula dibangun argumentasi umum atas sifat-sifat negasi ini.
Sekarang mari kita tengok satu persatu sifat-sifat negasi sebagaimana yang telah kami cantumkan sebelumnya:
1. Penafian komposisi dan sifat tambahan pada dzat
Masalah ini telah dibahas terperinci dalam pembahasan tauhid dzat dan sifat, adalah tidak urgen untuk mengulangnya kembali.

2. Penafian jasmani
Mayoritas kaum muslim menganggap bahwa Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani. Terdapat minoritas muslim yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki jasmani, kelompok ini dikenal dengan "Mujassimah". Argumentasi akurat yang digunakan menafikan sifat jasmani pada Tuhan adalah karena setiap benda (jism) mempunyai tiga dimensi yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Berdasarkan hal ini, wujud benda tersebut tersusun dari bagian-bagian, dengan demikian setiap benda memiliki komposisi. Telah terbukti bahwa Tuhan tidak berkomposisi, oleh karena itu, terbukti bahwa Tuhan bukanlah benda atau jasmani. Berdasarkan hal ini, manusia tidak boleh menggambarkan Tuhan sebagai sebuah wujud bendawi atau berjasmani, melainkan Dia adalah sebuah realitas non-materi dan metafisik (mujarrad) yang tidak terpengaruh hukum-hukum materi.

3. Penafian arah dan tempat
Maksud dari sifat ini adalah Tuhan tidak berada pada arah tertentu dan tidak bertempat. Kelompok Mujassimah berpendapat bahwa Tuhan terletak pada arah tertentu dan kelompok Karramiyyah percaya bahwa Dia senantiasa berada di atas.
Salah satu argumen bahwa Tuhan tidak berarah dan bertempat adalah bahwa sifat-sifat tersebut hanya dimiliki oleh benda dan jasmani, sementara Tuhan bukan benda dan materi. Setiap bagian dari bagian-bagian benda ialah saling membutuhkan dan Tuhan adalah Wâjib al-Wujûd yang tak membutuhkan.

4. Penafian reinkarnasi Tuhan pada makhluk
Tuhan tidak reinkarnasi pada eksistensi yang lain. Seluruh aliran Islam sepakat dalam hal ini, kecuali hanya beberapa dari ahli tasawuf yang mempercayai reinkarnasi Tuhan pada selain-Nya.
Salah satu argumen para teolog atas penafian reinkarnasi Tuhan ini bersandar pada makna umum reinkarnasi, dimana sesuatu yang akan melakukan reinkarnasi senantiasa membutuhkan wadah atau sesuatu untuk reinkarnasi, kebutuhan terhadap wadah ini bersifat tetap dan esensial. Karena Tuhan Maha Kaya dan tidak butuh atas sesuatu, maka Dia mustahil reinkarnasi pada selain-Nya.

5. Penafian penyatuan dengan makhluk
Tuhan tidak menyatu dengan wujud selain-Nya, seluruh aliran Islam sepakat dalam masalah ini. Salah satu argumen tentang hal ini adalah apabila maksud dari penyatuan (ittihâd) bermakna majazi, yakni penyatuan dua wujud atau perubahan bentuk sesuatu, maka makna ini meniscayakan adanya perubahan dan penyusunan, sementara dzat suci Ilahi bebas dari hal semacam ini, karena menggambarkan ketidaksempurnaan dan kebutuhan. Dan apabila maksud dari penyatuan (ittihâd) ini bermakna hakiki, yaitu perubahan dua dzat menjadi dzat tunggal, maka makna seperti ini bukan saja mustahil terjadi pada Tuhan bahkan pada seluruh maujud.

6. Penafian aksidensi pada dzat Tuhan
Dzat Tuhan bukan wujud yang terkait dengan hal-hal temporal dan sifat-sifat aksiden. Berdasarkan hal ini, tak satupun dari sifat-sifat Tuhan merupakan sifat aksiden dan temporal. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh teolog terhadap penafian sifat temporal ini adalah bahwa aksidensi atau melekatnya sifat temporal atas dzat tertentu akan mengharuskan pada dzat itu adanya potensi untuk menerima sifat tersebut, dan potensi ini merupakan karakteristik maujud-maujud materi. Oleh karena itu, aksidensi atau melekatnya sifat pada dzat Tuhan mengharuskan kematerian dzat-Nya, sedangkan dzat suci Ilahi bukan materi.
Salah satu kesimpulan penafian aksidensi dan hal-hal temporal pada dzat Ilahi ini adalah bahwa seluruh sifat-sifat Tuhan adalah pre-eternal dan azali (qadim).

7. Penafian kelezatan dan penderitaan
Tuhan tidak merasakan kelezatan dan juga tidak merasakan penderitaan. Kelezatan dan penderitaan secara umum terbagi dua :
a. Kelezatan/penderitaan alami yang khusus dimiliki oleh maujud-maujud materi yang hidup seperti manusia dan hewan, dan karena Tuhan bukan substansi materi, kelezatan dan penderitaan semacam ini tidak terjadi pada dzat-Nya.
b. Kelezatan/penderitaan akal yang maksudnya adalah sesuatu yang berakal memahami hal-hal yang sesuai maupun yang tidak sesuai baginya. Tak ada keraguan bahwa kelezatan dan penderitaan akal ini mustahil terdapat pada Tuhan, karena seluruh keberadaan merupakan akibat dan makhluk-Nya dan antara sebab dan akibat atau antara Khalik dan makhluk mustahil terdapat perselisihan dan pertentangan. Oleh karena itu, tak satupun maujud di alam ini bertentangan dengan dzat Tuhan sedemikian sehingga ketika Dia memahami perbedaan/pertentangan itu akan menyebabkan penderitaan akal bagi-Nya.

Akan tetapi apakah Tuhan memiliki kelezatan akal, terdapat perselisihan pendapat. Sebagian teolog sependapat dengan para filosof dalam hal ini dan me-ngatakan bahwa dzat Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan keindahan, maka "pemahaman" Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri identik dengan "pemahaman-Nya" atas eksistensi yang setara dengan kesempurnaan dzat Tuhan, karena terwujudnya kesetaraan yang paling sempurna antara eksistensi dengan diri-Nya sendiri, maka "hadirlah" kelezatan akal bagi Tuhan.
Kelompok yang lain meskipun mereka menerima prinsip ilmu Tuhan terhadap kesempurnaan dzat-Nya sendiri, tetapi mereka menolak adanya kelezatan pada Tuhan, karena dalam al-Qur'an dan hadis tidak terdapat sifat seperti ini bagi Tuhan, Allamah Hilli dalam kitab asy-Syarh Tajrid al-I'tiqad mengatakan, "Kelezat-an dengan makna memahami hal-hal yang sesuai bagi-Nya, merupakan kesepakat-an para filosof awal, karena Tuhan mengetahui eksistensi yang paling sempuna, yaitu dzat-Nya sendiri, maka berdasarkan pengetahuan ini Dia merasakan ke-lezatan. Dan ini merupakan perspektif Ibnu Nubakht dan sebagian teolog, meski-pun penggunaan kata kelezatan bagi Tuhan mesti memerlukan ketetapan-Nya."
Walhasil, makna yang digunakan untuk kelezatan dan penderitaan adalah makna pertama, dan menegaskan bahwa Tuhan tidak bisa disifati dengan kelezatan dan penderitaan sebagaimana menyifati makhluk-Nya

8. Penafian rukyat
Tuhan tidak bisa terlihat. Sifat ini merupakan salah satu pembahasan menarik dalam sifat-sifat negasi Tuhan, dan terdapat perselisihan pendapat yang sangat tajam dalam masalah ini. Para teolog Imamiah dan Mu'tazilah sepakat bahwa Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat, tidak bisa dilihat secara inderawi. Berhadapan dengan pendapat ini, aliran Mujassimah yang menganggap Tuhan memiliki jasmani, tempat, dan arah, sepakat tentang adanya kemungkinan melihat Tuhan secara inderawi baik di dunia maupun di akhirat. Ahli Hadis dan pengikut Asy'ari mengambil jalan tengah antara keduanya dan sepakat bahwa di akhirat manusia kelak akan menyaksikan Tuhan dengan mata kepala sendiri, dalam masalah ini Asy'ari mengatakan, "Kami sepakat bahwa di akhirat Tuhan akan dapat dilihat oleh mata inderawi, sebagaimana terlihatnya bulan purnama pada malam hari dan para mukmin akan melihat Dia".
Dengan memperhatikan bahwa masing-masing aliran di atas selain berusaha memaparkan argumen rasional dan menegaskan klaimnya dengan teks suci, mereka juga mengeritik argumentasi yang diajukan oleh kelompok lainnya, hal ini membuat pembahasan rukyat menjadi meluas. Di sini akan diringkas dan mencukupkan membahas sebagian argumentasi tentang kemustahilan rukyat Tuhan secara inderawi, dan pembahasan ini akan kami lanjutkan dalam perspektif Qur'ani.
Inti perselisihan pada pembahasan ini terletak pada rukyat Tuhan dengan bantuan penglihatan mata inderawi. Tapi apabila maksud dari rukyat adalah pe-nyaksian kalbu dan mukasyafah batin, maka tidak ada perbedaan dalam masalah ini, dan rukyat semacam ini diistilahkan dengan "rukyat kalbu" yang berlawanan dengan "rukyat inderawi". Rukyat kalbu mungkin terjadi di dunia maupun di akhirat. Dengan merujuk perspektif kontemporer Asy'ari, menjadi jelas bahwa mereka dengan memperhatikan kemustahilan rukyat inderawi, berusaha untuk menafsirkan kembali kata rukyat ini dengan mengatakan bahwa substansi pembahasan adalah rukyat inderawi yang tidak membutuhkan obyek lansung sehingga menempatkan obyek penglihatan (Tuhan) pada ruang dan arah.
Sebagian mengklaim bahwa Tuhan pada hari kiamat kelak terlihat dengan mata sebagaimana keadaan yang dicapai akal para mukmin terkait dengan penyaksian batin cahaya wujud Ilahi. Bagaimanapun, tafsiran kontemporer Asy'ari tentang rukyat Tuhan identik dengan rukyat kalbu atau setara dengan makna irasional dan tak bisa digambarkan.

B. Argumen Kemustahilan Rukyat Inderawi Tuhan
Banyak argumen akal yang telah dibangun untuk menegaskan kemustahilan rukyat Tuhan, di sini hanya disebutkan dua argument :
1. Penglihatan inderawi terhadap suatu benda mengharuskan benda itu berada di hadapan mata kita dan hadirnya benda itu di hadapan kita mengharuskannya berada pada arah tertentu. Oleh karena itu, penglihatan inderawi memestikan keberadaan arah. Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa Tuhan tidak berarah dan bertempat, dengan demikian rukyat inderawi terhadap Tuhan adalah mustahil.
2. Apabila Tuhan bisa dilihat, berarti seluruh dzat-Nya bisa dilihat atau hanya sebagian dzat-Nya dapat dilihat. Asumsi kedua adalah salah, karena mengharuskan adanya komposisi pada dzat Tuhan. Asumsi pertama juga tak logis, karena membatasi dzat Tuhan sedangkan dzat Tuhan adalah tak terbatas.

Pada akhir pembahasan ini, diingatkan bahwa sifat negasi Tuhan tidak terbatas pada apa yang telah disebutkan, melainkan setiap sifat yang mengandung makna ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Tuhan tak terikat waktu, tidak membutuh-kan, tidak terefek oleh apapun, penafian sekutu, dan penafian lawan atas-Nya serta berpuluh-puluh sifat negasi lainnya bisa ditetapkan dengan berpijak pada keniscayaan wujud Tuhan dan sifat-sifat sempurna-Nya.
C. Sifat Negasi dalam Al-Qur'an
Kalimat "tasbih Tuhan" banyak digunakan dalam al-Qur'an dengan makna bahwa menjauhkan-Nya dari setiap keterbatasan dan ketidaksempunaan. Pada sebagian ayat disebut sifat "Quddus (Maha Suci)" untuk Tuhan yang menunjukkan puncak kesucian dzat Ilahi dari kekurangan dan ketercelaan. Sebagai contoh, dalam surah al-Hasyr ayat 23, Allah berfirman :

Artinya : "Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan".

Tentunya sifat quddus bukan hanya merupakan penjelas bagi negasi ketak-sempurnaan Tuhan, tetapi sifat ini bermakna luas yang termasuk penafian terhadap segala bentuk ketaksempurnaan dalam perbuatan, mekanisme takwini (alam penciptaan), dan tasyri'i (syariat) Tuhan. Berdasarkan hal ini, keluasan pembahasan-nya melebihi keluasan sifat-sifat negasi.
Selain menegaskan negasi umum seluruh ketaksempurnaan dzat dan perbuatan Tuhan, al-Qur'an juga menegaskan tentang sebagian dari sifat-sifat negasi khusus, sebagai berikut:
1. Tuhan tidak bertempat
Dengan mengamati sebagian ayat, akan jelas menunjukkan bahwa Tuhan tidak terikat terhadap tempat. Misalnya, setelah terjadinya perubahan kiblat untuk muslimin dari Baitul Muqaddas ke arah Ka'bah, Tuhan menurunkan ayat pada Nabi-Nya untuk menjawab kritikan para penentangnya yaitu kaum Yahudi, Tuhan berfirman dalam Qs. Al Baqarah : 115 :
Artinya :"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu meng-hadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui".

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa Tuhan lebih baik dari apa yang terletak pada tempat tertentu. Secara lahiriah, maksud dari "timur" dan "barat" di sini bukanlah dua arah geografi, melainkan merupakan kinayah dari seluruh arah, sedangkan ungkapan "Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah" bisa diketahui dengan jelas bahwa Tuhan hadir di mana saja. Ayat di atas secara keseluruhan menjelaskan bahwa fungsi kiblat untuk memusatkan konsentrasi dan perhatian para mukmin ketika melakukan shalat, bukan bermakna bahwa Tuhan terletak pada tempat dan arah tertentu, karena Dia hadir pada semua tempat dan mengetahui segala sesuatu. Tentunya, karena Tuhan bukan realitas berkomposisi dan bermateri, kehadiran-Nya pada semua tempat tidak bermakna bahwa Tuhan menempati seluruh tempat tapi bermakna bahwa Tuhan meliputi semua tempat atau sesuatu yang tak tempat. Pada sisi lain, dengan memperhatikan bahwa peletakan dua benda pada satu tempat merupakan hal yang mustahil. Kehadiran Tuhan pada seluruh alam materi dan jasmani yang telah dipenuh oleh berbagai benda, menunjukkan ketidakmaterian-Nya.
Ayat yang membicarakan tentang kebersamaan Tuhan dan makhluk-Nya juga menghikayatkan bahwa Tuhan tidak bertempat (Qs. Al Hadid : 4) :
Artinya : "Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam di atas ´arsy[1453] dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".

Jelas bahwa kebersamaan Tuhan dengan semuanya, tidak sesuai dengan keterbatasan-Nya pada tempat tertentu, karena jika sebuah eksistensi terbatasi oleh tempat tertentu, maka dia mustahil bersama dengan seluruh eksistensi lainnya pada saat yang bersamaan. Jadi maksud dari kebersamaan ini adalah kebersamaan Tuhan yang bersifat mewujudkan (qayyumi) dan yang bersifat meliputi (ihâtha) yang bersumber dari keniscayaan wujud dan ketakterbatasan wujud-Nya.

2. Tuhan tidak bisa dirukyat
Ayat al-Qur'an yang paling tegas menafikan kemungkinan rukyat (melihat) Tuhan adalah Qs. Al-An'am: 103 :
Artinya : "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui".

Pada ayat ini dengan tegas dijelaskan bahwa Tuhan melihat seluruh penglihatan dan memiliki ilmu yang meliputi mereka akan tetapi penglihatan mereka tidak mampu mencapai-Nya. Secara lahiriah, maksud bahwa penglihatan tidak mampu mencapai-Nya adalah ketidakmampuan manusia untuk melihat-Nya melalui perantara mata. Hal ini berujung pada penafian rukyat inderawi dan mungkin kata jamak "penglihatan-penglihatan (abshâr)" pada ayat ini menunjukkan bahwa dengan kuantitas dan keanekaragaman penglihatan, tetap saja tak satupun mata yang mampu melihat Tuhan. Ayat lain yang tegas menafikan kemungkinan rukyat inderawi Tuhan, pada surah Al-A'raf : 143 Allah berfirman :
Artinya : "Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman".

Dengan memperhatikan ayat-ayat lain al-Qur'an menjadi jelas bahwa pada dasarnya dalam permintaannya tersebut, Musa as menyampaikan apa yang menjadi permintaan Bani Israil, dan dalam menjawab permintaan tersebut, Tuhan dengan tegas berfirman bahwa: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku."
Ayat semacam ini dengan tegas menafikan rukyat Tuhan, ayat ini tergolong ayat muhkamah (ayat yang memiliki makna yang jelas, tegas, dan transparan) sehingga ayat-ayat mutasyabihah (lawan dari ayat muhkamah) yang dipahami mengarah pada adanya kemungkinan melihat Tuhan, harus disandarkan dan ditafsirkan berdasarkan makna ayat di atas (ayat muhkamah). Sebagai contoh, Asy'ari menggunakan ayat-ayat di bawah ini untuk membuktikan klaimnya yaitu Qs. Al-Qiyamah: 22-23

Artinya : "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat"..

Dalam menjawab pernyataan Asy'ari dikatakan bahwa kata dasar "nazhar" ketika bergabung dengan huruf "ila" akan menjadi kata kerja yang membutuhkan obyek (muta'addi). Sebagaimana kata "nazhar" bisa bermakna "melihat", "menunggu", dan "mengharap". Dengan konteks yang ada pada ayat 25 pada surah yang sama, maka maksud dari ayat di atas adalah bahwa kelompok ini tengah mengharap rahmat Tuhan sedangkan kelompok lainnya (yang keadaannya dijelaskan pada ayat 25) tengah menunggu adzab yang pedih dari Tuhan. Dengan memperhatikan poin ini, dan khususnya argumen akal yang pasti atas kemustahil-an rukyat dan ayat-ayat muhkamah, menjadi jelaslah bahwa ayat yang dijadikan dasar argumentasi Asy'ari tidak terkait dengan asumsi mereka.

D. Sifat Negasi dalam Riwayat
Sifat negasi Tuhan juga disajikan dalam berbagai hadits Ahlulbait Nabi as secara lebih luas dan tegas, di sini kami hanya membahas sepenggal dari hadits-hadits tersebut. Dalam salah satu hadits, Imam Sadhiq as bersabada, "Sesungguhnya Allah tidak bisa disifati dengan waktu, tempat, gerak, diam, dan perpindahan, melainkan Dia adalah pencipta waktu, tempat, gerak, diam, dan perpindahan. Allah lebih tinggi dari apa yang disifatkan oleh orang-orang zalim" .
Sebagaimana yang bisa diperhatikan dari hadits tersebut, Imam Shadiq as dalam hadits itu menegaskan tentang penafian waktu, tempat, gerak, dan perubahan bagi dzat Tuhan, dan yang menarik perhatian di sini, di samping penafian gerak, sifat "diam" juga dinegasikan dari Tuhan yang hal ini merupakan penjelas atas negasi gerak Tuhan, negasi gerak bagi Tuhan bukan bermakna adanya sifat diam untuk-Nya. Perlawanan dari dua sifat ini (negasi gerak dan diam) disebut dalam ilmu logika dengan perlawanan ketiadaan dan kepemilikan (taqâbul 'adam wa malakah, privation and possession opposite) yakni apabila sebuah maujud tidak bisa disifati dengan salah satu dari dua sifat tersebut, maka dia mustahil disifati dengan yang satunya lagi.
Imam Ali as dalam satu hadits menyebutkan tentang sifat-sifat negasi Tuhan, bersabda, "Makna Shamad adalah bahwa Tuhan tak bernama, tak berjasmani, tak memiliki kesamaan, tak berwajah, tak terbatas, tak bertempat, tak bersubstansi, tak di sini, tak di sana, tak memenuhi tempat dan tak mengosongkan tempat, tak berdiri dan tak duduk, tak bergerak dan tak diam, tak gelap dan tak terang, bukan ruh dan bukan jiwa, semua tempat diliputi oleh-Nya, tak tempat yang mampu menampung-Nya, tak berwarna dan tak terbayang dalam kalbu seseorang dan tak ada aroma yang tercium dari-Nya, semua hal-hal ini ternafikan dari-Nya" .
Mengenai sebagian dari sifat negasi khusus, seperti negasi jasmani atau penafian rukyat, terdapat pula beragam hadits dari Ahlulbait as. Sebagai contoh, dalam salah satu hadits dikatakan bahwa salah satu sahabat Imam Shadiq as menukilkan perkataan Hisyam bin Hakam mengenai kejasmanian Tuhan di hadapan Imam as. Imam as bersabda, "Celakalah dia (Hisyam bin Hakam)! Apakah dia tidak mengetahui bahwa badan dan wajah adalah terbatas? Apabila (sebuah benda) memiliki batas, maka dia akan menerima sifat kuantitas (banyak dan sedikit) dan setiap yang berkuantitas, pastilah makhluk". Perawi mengatakan, aku berkata (kepada Imam), "Lalu apa yang harus aku katakan?" Imam bersabda, "Dia tak berbadan dan tak berwajah, melainkan yang menciptakan badan dan mewujudkan wajah, Dia tidak bisa dibagi-bagi, dibatasi, dan diperbanyak atau dikurangi. Apabila benar apa yang dikatakannya (Hisyam) maka tidak ada perbedaan antara Pencipta dengan yang diciptakan (makhluk), sementara Dia adalah Khalik dan terdapat perbedaan antara badan dan yang menciptakan badan, karena tak sesuatupun yang serupa dengan Tuhan dan Tuhanpun tidak identik dengan sesuatu" .
Dengan merenungkan hadits ini, ditemukan pemahaman yang mendalam yang mengisyarahkan dua argumentasi Imam as atas penafian kematerian Tuhan. Ringkasan dari argumentasi pertama adalah bahwa kematerian mengharuskan keterbatasan dan keterbatasan artinya menerima kelebihan dan kekurangan dan hal-hal ini adalah sifat makhluk. Oleh karena itu, konsekuensi dari asumsi kejasmanian dan kematerian Tuhan adalah bahwa Dia merupakan makhluk, sementara Tuhan adalah Khalik dan Pencipta, bukan makhluk.
Pada argumentasi kedua, dalam ibarat "Jika benar apa yang dikatakannya (Hisyam), maka tidak ada …" dikatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta badan, dan apabila Tuhan berbadan, maka konsekuensinya adalah bahwa Khalik dan makhluk mempunyai persamaan dalam kejasmanian. Dengan adanya persamaan dan keserupa-an seperti ini maka tidak sesuai dengan asumsi bahwa Tuhan adalah Pencipta dan makhluk sebagai yang tercipta.
Mengenai negasi tempat dan waktu, terdapat hadits yang memiliki makna mendalam. Di antaranya, hadits dari Imam Kadhim as, Imam bersabda, "Sesungguh-nya Allah telah ada sejak azal tanpa tempat dan waktu, dan sekarangpun demikian. Tak ada tempat yang kosong dari-Nya dan pada saat yang bersamaan Dia tak memenuhi tempat dan tak bergabung dengan tempat " .
Dengan melihat ibarat terakhir dari Imam as ini, menjadi jelas bahwa maksud dari "Tak ada tempat yang kosong dari-Nya" bukan bermakna bahwa Tuhan berada pada semua tempat, melainkan ungkapan ini mengisyarahkan cakupan dan kepenciptaan Tuhan dan menegaskan bahwa seluruh maujud berada di hadapan-Nya.
Terdapat banyak hadits yang menyajikan tema-tema seputar penafian rukyat Tuhan secara inderawi , di bawah ini akan kami sebutkan beberapa hadits:
Imam Ali as dalam menjawab pertanyaan dari salah satu sahabatnya yang bernama Dza'lab Yamani yang bertanya, "Apakah Anda melihat Tuhan?", Imam as bersabda, "Apakah aku menyembah sesuatu yang tidak terlihat?" Dza'lab bertanya, "Bagaimana engkau melihat-Nya?" Imam bersabda, "Penglihatan lahiriah tidak akan mampu mencapai-Nya, tetapi kalbu dengan hakikat iman akan memahami -Nya".
Dari Imam Asykari as diriwayatkan suatu hadits dalam jawaban atas pertanyaan, "Bagaimana manusia bisa menyembah Tuhannya sedangkan dia tidak dapat melihat-Nya?", beliau bersabda, "Tuhanku Yang Maha Penyayang, Dia memberikan nikmat-Nya kepadaku dan kepada orang tuaku lebih baik dari apa yang terlihat (oleh mata lahiriah)."

III. SIFAT-SIFAT ALLAH ; ILMU TUHAN
Salah satu sifat tsubut yang dimiliki oleh Tuhan adalah ilmu. Dalam pandangan Islam, Tuhan mengetahui seluruh persoalan dan masalah yang terdapat di semua alam dan realitas. Sebagaimana yang akan kami bahas selanjutnya, ilmu selain merupakan sifat dzat Tuhan juga merupakan sifat perbuatan-Nya. Dengan ungkapan lain, ilmu Ilahi memiliki beberapa tingkatan dimana sebagiannya merupakan sifat dzat dan yang lain merupakan sifat perbuatan.
A. Definisi Ilmu
Secara umum ilmu mempunyai makna yang sangat jelas dan gamblang, karena setiap manusia menemukan hal ini sebagaimana keadaan-keadaan kualitas jiwa yang lain. Masing-masing kita sering mengalami keadaan jiwa ini dalam kehidupan dimana pada awalnya tidak mengetahui sesuatu (jahil) lalu berubah menjadi keadaan mengetahui sesuatu yang disebut dengan pengetahuan dan ilmu.
Tentunya jangan dilupakan bahwa ilmu manusia dalam berbagai tingkatannya memiliki keterbatasan dan tidak sempurna serta tidak bisa dibandingkan dengan ilmu Tuhan, karena ilmu Tuhan sempurna dan terlepas dari seluruh hukum materi. Ilmu manusia diperoleh melalui perangkat internal dan eksternal. Sebagai contoh, dalam memahami hal-hal yang sensori kita memanfaatkan anggota badan (seperti mata, telinga, dan lainnya) dan terkadang dengan bantuan peralatan eksternal. Demikian pula bahwa seluruh ilmu manusia bersifat temporer yaitu ilmu yang muncul setelah tidak mengetahui dan jahil, karenanya ilmu manusia bisa tidak abadi. Selain itu, keseluruhan ilmu kita adalah sangat terbatas dan tak sempurna, segala yang diketahui bila dibandingkan dengan yang tidak diketahui, sangatlah sedikit.
Akan tetapi ilmu Tuhan sempurna, mutlak, tak terbatas, azali, dan abadi yang tidak memerlukan perangkat dan perantara, dan dzat Tuhan tidak terpengaruh oleh sesuatu dari luar diri-Nya.

B. Ilmu Hushuli dan Ilmu Hudhuri
Berdasarkan pembagian umum, ilmu terbagi menjadi ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Obyek ilmu (ma'lum) dalam ilmu hudhuri adalah benda (sesuatu) itu sendiri, sedangkan ma'lum dalam ilmu hushuli adalah gambaran benda (sesuatu) dalam pikiran yang dengan gambaran ini sesuatu dipahami. Ilmu kita terhadap dzat kita sendiri dan juga ilmu kita terhadap keadaan-keadaan jiwa kita seperti takut, marah, senang, cinta, dan lain-lain merupakan ilmu hudhuri, sedangkan ilmu kita terhadap sesuatu yang sensori dan rasional berada dalam cakupan ilmu hushuli.
Dengan memperhatikan pembagian di atas, akan disajikan definisi umum tentang ilmu hudhuri dan hushuli, yaitu hadirnya ma'lum pada 'alim (subyek ilmu).
Keuniversalan definisi ini karena dalam ilmu hushuli, gambaran sesuatu (ma'lum) dalam pikiran hadir pada 'alim, sedangkan dalam ilmu hudhuri sesuatu itu sendiri (ma'lum) - dalam semua keadaan - hadir pada 'alim, dan berdasarkan kehadiran ma'lum ini, 'alim memiliki ilmu atas ma'lum.
Apabila definisi di atas lepas dari kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ilmu makhluk dan tidak terwarnai dengan ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka bisa digunakan dihubungkan dengan ilmu Ilahi. Oleh karena itu, ketika pembicaraan ber-kisar pada ilmu Tuhan akan bermakna bahwa seluruh realitas eksistensi hadir pada Tuhan dan kehadiran ini merupakan tolok ukur ilmu Tuhan atas dzat-Nya sendiri dan terhadap seluruh maujud.
Tentunya menurut sebagian filosof dan teolog Islam bahwa ilmu Tuhan terbatas pada ilmu hudhuri. Dasar pandangan ini adalah karena ilmu hushuli diperoleh melalui gambaran pikiran ma'lum, maka konsekuensinya adalah bahwa 'alim merupakan tempat aksiden gambaran-gambaran pikiran ma'lum dan pada akhirnya 'alim akan terefek olehnya, sementara dzat Tuhan suci atas hal-hal seperti ini.

C. Tingkatan Ilmu Tuhan
Setelah jelas tentang makna ilmu Tuhan, di bawah ini akan disebutkan pembagian dan tingkatan ilmu Ilahi ini . Ilmu Ilahi pada tahapan pertama terbagi dua bagian yaitu ilmu terhadap dzat dan ilmu terhadap selain dzat. Maksud dari ilmu terhadat dzat adalah ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri dan maksud dari ilmu terhadap selain dzat adalah ilmu Tuhan terhadap seluruh makhluk. Karena seluruh realitas eksistensi merupakan makhluk Tuhan dan Dia-lah yang menciptakannya, maka bagian kedua ini terbagi menjadi dua bagian yaitu ilmu Tuhan terhadap seluruh makhluk pra penciptaan dan ilmu terhadap semua makhluk pasca penciptaan.
Dengan demikian pembagian di atas bisa disimpulkan bahwa ilmu Tuhan memiliki tiga tingkatan:
1. Ilmu atas dzat-Nya sendiri;
2. Ilmu atas makhluk pra penciptaan;
3. Ilmu atas makhluk pasca penciptaan.

D. Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri - Berdasarkan definisi tentang ilmu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri adalah bahwa dzat Ilahi hadir pada diri-Nya sendiri dan kehadiran ini merupakan tolok ukur pengetahuan Tuhan akan dzat-Nya sendiri.[2] Sebelum membuktikan tahapan ini dari tahapan-tahapan ilmu Ilahi lainnya, penting diingatkan bahwa hakikat ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri merupakan sesuatu yang mustahil diketahui (sebagaimana terhadap sebagian sifat-
E. Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri - Berdasarkan definisi tentang ilmu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri adalah bahwa dzat Ilahi hadir pada diri-Nya sendiri dan kehadiran ini merupakan tolok ukur pengetahuan Tuhan akan dzat-Nya sendiri . Sebelum membuktikan tahapan ini dari tahapan-tahapan ilmu Ilahi lainnya, penting diingatkan bahwa hakikat ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri merupakan sesuatu yang mustahil diketahui (sebagaimana terhadap sebagian sifat-sifat Ilahi). Pengenalan ilmu ini hanya lewat pemahaman hushuli yang bersifat universal.

F. Argumentasi Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri
Selain argumentasi umum tentang keberadaan sifat-sifat sempurna pada Tuhan, terdapat pula argumentasi khusus atas klaim yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki pengetahuan dzat-Nya sendiri. Di bawah ini akan disebutkan satu argumen tentangnya yang bersandar pada kaidah-kaidah filsafat. Argumentasi ini terbentuk dari dua premis:
1. Setiap maujud non-materi (mujarrad) hadir pada dirinya sendiri, oleh karena itu dia memiliki ilmu terhadap dzatnya sendiri. Premis ini telah terbukti dalam filsafat. Berdasarkan prinsip ini, maujud-maujud materi karena memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi serta senantiasa dalam perubahan maka tidak memiliki kehadiran, dan karena itulah dia tidak mampu hadir bahkan untuk dirinya sendiri. Walhasil, benda-benda materi adalah tidak mengetahui dzatnya sendiri. Akan tetapi maujud non-materi, karena bersifat basith dan tajarrud , maka menyebabkan mereka mampu hadir bagi dirinya sendiri dan bahkan untuk maujud-maujud non-materi lainnya. Dan karena tolok ukur ilmu adalah kehadiran maka setiap maujud non-materi memiliki ilmu atas dzatnya sendiri.
2. Premis kedua, Tuhan adalah maujud non-materi dan suci dari seluruh hukum materi. Premis ini telah terbukti dalam pembahasan sifat negasi Tuhan bahwa Tuhan bukan wujud jasmani dan non-materi. Berdasarkan dua premis tersebut disimpulkan bahwa, karena Dia merupakan wujud non-materi, dan setiap wujud non-materi mengetahui dzatnya sendiri maka terbukti bahwa Tuhan mengetahui dzat-Nya sendiri.

G. Ilmu Tuhan atas Semua Makhluk Pra Penciptaan
Setelah membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri, sekarang akan dianalisa ilmu Tuhan terhadap semua makhluk pra penciptaan. Berkaitan dengan ini, muncul pertanyaan ditujukan kepada para filosof dan teolog, yaitu apakah ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Tuhan dan apakah ilmu Ilahi ini bersifat universal (ijmali) ataukah bersifat partikular (tafshili)?
Maksud dari ilmu ijmali dalam pembahasan ini adalah bahwa Tuhan sebelum menciptakan semua makhluk, Dia tidak memiliki ilmu tentang satu persatu dari mereka secara terpisah, melainkan ilmu-Nya merupakan ilmu tunggal dan basith yang bisa menjadi ilmu tafshili. Untuk memahami lebih baik tentang ilmu ijmali, kita memisalkan ilmu seorang ahli matematika. Ilmu seorang ahli matematika terhadap semua aturan matematika bersifat ijmali, dan pada saat yang sama dia memiliki ilmu untuk menyelesaikan seluruh persoalan matematika, akan tetapi hingga dia belum menyelesaikan semua persoalan matematika, ilmunya tergolong ilmu ijmali. Akan tetapi kepartikularan ilmu Tuhan terhadap semua maujud pra penciptaan mempunyai makna bahwa Tuhan sebelum menciptakan maujud-maujud tersebut memiliki ilmu terhadap satu persatu dari mereka secara terpisah dan mandiri.
Bagaimanapun juga, karena jawaban pertanyaan di atas memerlukan pendahuluan dan pembahasan yang kompleks dan mendalam, supaya tidak keluar dari lingkup bahasan saat ini maka sementara ini tidak dibahas. Di bawah ini akan diketengahkan dua argumentasi atas keberadaan ilmu ini pada Tuhan.

Argumentasi pertama
Argumen ini bersandar pada salah satu kaidah filsafat yang mengatakan bahwa ilmu terhadap sebab sempurna bagi sesuatu (misalnya A) meniscayakan ilmu terhadap A sebagai akibat-nya . Ilmu terhadap sebab mengharuskan ilmu atas akibat. Oleh karena itu, apabila sebab sempurna menjadi diketahui, maka akibat-akibat dari sebab itu niscaya akan diketahui juga.
Premis lain dari argumentasi ini adalah bahwa dzat Tuhan merupakan sebab sempurna dari seluruh maujud, dan premis ketiga yang telah terbukti pada pembahasan sebelumnya adalah Tuhan memiliki ilmu terhadap dzat-Nya sendiri.
Berdasarkan ketiga premis di atas disimpulkan bahwa Tuhan memiliki ilmu ter-hadap dzat-Nya dan dzat-Nya adalah sebab sempurna bagi seluruh eksistensi, dan ilmu terhadap sebab sempurna akan meniscayakan ilmu terhadap akibat, dan karena ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan juga dzat Ilahi ini sebagai sebab untuk semua makhluk telah ada sejak azali, maka terbukti bahwa Tuhan telah mengetahui sejak azali dan sebelum menciptakan semua eksistensi melalui ilmu terhadap dzat-Nya sendiri.

Argumentasi kedua
Argumentasi ini lebih bersifat teologis bukan filosofis dan lebih menyerupai argumentasi keteraturan (burhan nazm) yang telah dibahas dalam argumentasi-argumentasi pembuktian eksistensi Tuhan pada bab-bab sebelumnya:
Dengan mencermati alam sekitar, kita akan menemukan bahwa elemen-elemen alam ini berjalan di atas keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan, semuanya bergerak menuju satu tujuan. Pada sisi lain, karena seluruh fenomena keberadaan merupakan makhluk-makhluk Tuhan dan sebagaimana prinsip mengatakan bahwa keberadaan makhluk (akibat) merupakan petunjuk adanya Khâlik (Sebab), maka segala kekhususan dan karakteristik makhluk (akibat) akan menunjukkan karakteristik Penciptanya (Sebab).
Dengan demikian, keteraturan dan kebertujuan alam menjadi saksi bahwa sebelum menciptakan alam, Pencipta alam ini telah mengetahui seluruh fenomena, karakteristik, kejadian, dan keterkaitan makhluk satu sama lain. Akal menghukumi bahwa mustahil Sang Pencipta segala eksistensi yang memiliki keteraturan dan tujuan menciptakan mereka tanpa didasari oleh ilmu dan pengetahuan.
Mayoritas teolog Islam menggunakan argumentasi ini untuk membuktikan ilmu Tuhan pra penciptaan. Misalnya Syeikh Thusi dalam kitab Tajrid al I'tiqâd mengatakan, "Kebijak-sanaan, hikmah, dan keteraturan segala eksistensi di alam ini merupakan dalil keberadaan ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu."

H. Ilmu Tuhan atas Semua Makhluk Pasca Penciptaan
Tahapan ketiga dari ilmu Tuhan adalah ilmu tafshili Tuhan terhadap segala eksistensi setelah penciptaan. Untuk membuktikan tahapan ini secara rasional, digunakan argumentasi di bawah ini. Premis dari argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagaimana telah dijelaskan dalam filsafat bahwa keberadaan akibat pasti bergantung kepada wujud sebab, dan wujud akibat sama sekali tidak memiliki kemandirian eksistensial.
2. Kemestian kebergantungan wujud akibat kepada wujud sebab karena wujud akibat bersumber dari wujud sebabnya sendiri dan hadir di sisi sebabnya, ketidakhadiran akibat di sisi sebabnya sendiri akan berarti bahwa akibat memiliki kemandirian dalam wujud, sementara menurut premis kedua, hal ini adalah mustahil. Dan karena hakikat ilmu tidak lain adalah kehadiran ma'lum di sisi 'alim itu sendiri maka setiap sebab memiliki ilmu terhadap akibatnya.

Konklusi dari premis-premis di atas adalah bahwa seluruh eksistensi dan fenomena keberadaan merupakan ma'lum dan obyek ilmu Tuhan, karena semuanya merupakan akibat-Nya, dan setiap akibat merupakan ma'lum bagi sebabnya sendiri.
I. Ilmu Dzat dan Ilmu Perbuatan - Pada permulaan pembahasan ini telah disinggung bahwa sebagian ilmu Tuhan merupakan sifat dzat dan sebagian lainnya merupakan sifat perbuatan. Setelah kita membicarakan ketiga tingkatan ilmu Tuhan, akan ditentukan mana di antara ketiga ilmu ini yang merupakan sifat dzat dan sifat perbuatan. Dengan mengamati tiga tingkatan ilmu Ilahi di atas, menjadi jelas bahwa tingkatan pertama dan kedua merupakan sifat dzat dan tingkatan ketiga merupakan sifat perbuatan.

J. Ilmu Dzat dan Ilmu Perbuatan - Pada permulaan pembahasan ini telah disinggung bahwa sebagian ilmu Tuhan merupakan sifat dzat dan sebagian lainnya merupakan sifat perbuatan. Setelah kita membicarakan ketiga tingkatan ilmu Tuhan, akan ditentukan mana di antara ketiga ilmu ini yang merupakan sifat dzat dan sifat perbuatan. Dengan mengamati tiga tingkatan ilmu Ilahi di atas, menjadi jelas bahwa tingkatan pertama dan kedua merupakan sifat dzat dan tingkatan ketiga merupakan sifat perbuatan.

K. Ilmu Dzat dan Ilmu Perbuatan - Pada permulaan pembahasan ini telah disinggung bahwa sebagian ilmu Tuhan merupakan sifat dzat dan sebagian lainnya merupakan sifat perbuatan. Setelah kita membicarakan ketiga tingkatan ilmu Tuhan, akan ditentukan mana di antara ketiga ilmu ini yang merupakan sifat dzat dan sifat perbuatan. Dengan mengamati tiga tingkatan ilmu Ilahi di atas, menjadi jelas bahwa tingkatan pertama dan kedua merupakan sifat dzat dan tingkatan ketiga merupakan sifat perbuatan.

L. Ilmu Tuhan tentang Hal-Hal Partikular
Salah satu persoalan menarik dalam pembahasan ilmu Tuhan adalah apakah Tuhan memiliki ilmu atas segala realitas secara partikular, ataukah ilmu-Nya hanya ber sifat universal ? Dengan kata lain, apakah benda atau sesuatu tertentu yang terdapat pada zaman dan tempat tertentu, atau peristiwa secara partikular yang terjadi pada zaman dan tempat tertentu bisa diketahui oleh Tuhan? Dengan memperhatikan pem-bahasan sebelumnya dalam ilmu pasca penciptaan, dipastikan bahwa Tuhan menge-tahui segala sesuatu secara partikular. Akan tetapi sebagian teolog mengingkari ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan memandang Tuhan hanya memiliki pengeta-huan terhadap hal-hal partikular melalui kuiditas-kuiditas universal dan kategori yang mencakup partikular-partikular tersebut. Untuk membukti-kan pendapatnya, kelompok ini mengetengahkan argumentasi yang akan dianalisa di bawah ini:
1. Perubahan terus menerus pada hal-hal particular
Salah satu alasan mereka menolak ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular adalah bahwa partikular-partikular ini senantiasa mengalami perubahan. Oleh karena itu, apabila Tuhan memiliki pengetahuan terhadap hal-hal partikular, dan karena hal-hal tersebut harus senantiasa sesuai dengan ilmu-Nya, maka dengan terjadinya perubahan pada ma'lum (hal-hal partikular) berarti ilmu Tuhan pun mengalami perubahan, dan konsekuensinya adalah bahwa dzat Tuhan yang menyatu dengan ilmu ini akan pula mengalami perubahan. Bukankah dzat Tuhan suci dari segala bentuk perubahan? Oleh karena itu, mustahil Tuhan memiliki ilmu yang berkaitan dengan hal-hal partikular.
Secara lahiriah, dasar dari argumentasi ini adalah apabila Tuhan memiliki ilmu terhadap hal-hal partikular, berarti ilmu-Nya bersifat hushuli dan dihasilkan melalui masuknya gambaran-gambaran hal-hal partikular dalam dzat-Nya. Berdasarkan ini, perubahan ma'lum (hal-hal partikular) menyebabkan perubahan gambaran hal-hal partikular, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada dzat Tuhan (sebagai tempat terjadinya perubahan gambaran hal-hal partikular).
Sebagaimana yang telah dikatakan, ilmu Tuhan merupakan sebuah ilmu hudhuri, oleh karena itu, ilmu-Nya terhadap hal-hal partikular tak lain merupakan kehadiran dan keberadaan hal-hal partikular-partikular tersebut di sisi-Nya. Dalam keadaan ini pun, perubahan hal-hal partikular akan menyebabkan perubahan ilmu, tetapi perubahan ilmu ini, sejauh berhubungan dengan perbuatan Ilahi tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada dzat-Nya. Pada prinsipnya, salah satu karakteristik sifat perbuatan adalah mengalami perubahan karena mengikuti perubahan pada makhluk-makhluk Tuhan dimana merupakan perbuatan Tuhan itu sendiri, tapi perubahan pada sifat perbuatan tidak menyebabkan hadirnya perubahan pada dzat Tuhan.
Walhasil, maksud dari ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular tak lain adalah kehadiran mereka di sisi Tuhan dan perubahan hal-hal partikular juga menyentuh wilayah perbuatan dan sifat Tuhan, dan hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan dzat Ilahi.

2. Ilmu atas hal-hal partikular memerlukan perangkat
Argumentasi lain yang dikemukakan untuk menolak ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular adalah karena perolehan ilmu ini membutuhkan alat dan perangkat materi, sementara kedudukan Tuhan suci dari hal seperti ini.
Dalam menjawab argumentasi ini bisa dikatakan bahwa penggunaan perangkat dan alat materi untuk menghasilkan ilmu terhadap hal-hal partikular bukan merupakan persyaratan utama dan pokok dari ilmu ini. Pencapaian ilmu dengan syarat semacam itu hanya berlaku bagi maujud di alam materi, seperti manusia yang bergantung pada indera, penggunaan anggota badan dan alat-alat materi. Tapi mengenai Tuhan sebagai realitas metafisika dan non-materi, ilmu-Nya bersifat hudhuri yang meliputi seluruh alam keberadaan dan tidak bergantung kepada perangkat materi.

M. Ilmu Tuhan dan Ikhtiar Manusia - Salah satu karakteristik ilmu Tuhan, sebagaimana sifat-sifat lain-Nya adalah bersifat mutlak, maknanya bahwa ilmu-Nya meliputi seluruh peristiwa, baik yang lampau, saat ini, ataupun yang akan datang. Berdasarkan hal ini, berarti Tuhan mengetahui seluruh persoalan yang akan terjadi pada masa mendatang dari awal hingga akhir, di antaranya Dia mengetahui apa yang akan dilakukan oleh manusia pada masa-masa yang akan datang. Dalam hal ini terdapat persoalan mengenai apakah ilmu Tuhan terhadap perbuatan manusia pada masa yang akan datang tidak bertentangan dengan ikhtiar manusia? Kami akan membahas masalah ini secara terperinci dalam pembahasan "Kebebasan (ikhtiar) dan Keterpaksaan (jabr)".

N. Ilmu Tuhan dalam Al-Qur'an - Terdapat banyak ayat al-Qur'an membahas tentang ilmu Tuhan. Misalnya menggunakan kata 'ilm, 'alima, ya'lamu, atau 'alîm, dan begitu pula kata-kata lain seperti samî' (mendengar) dan bashîr (melihat) yang berpuluh-puluh kali digunakan dalam al-Qur'an sebagai bagian dari sifat-sifat Tuhan. Selain itu, pada sebagian ayat, kita bisa melihat sifat yang lebih khusus seperti "'âlim al-ghaib", "'allâm al-ghuyub". Untuk menganalisa seluruh ayat-ayat ini, meskipun secara umum, mem-butuhkan pembahasan tersendiri karena keluasaannya. Di sinipun kami mencukupkan diri dengan menyajikan sepintas pandangan al-Qur'an dalam masalah ini.

O. Pembuktian Ilmu Tuhan
Al-Qur'an dalam membuktikan sifat ilmu, mencukupkan diri dengan menyebutkan ayat-ayat yang merupakan penjelas seluruh sifat-sifat sempurna Tuhan. Meskipun terdapat ayat-ayat lain dalam bentuk argument sebagai tersebut dalam Qs. al-Mulk :14

Artinya : "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha halus lagi Maha Mengetahui?".

Ayat ini muncul dalam bentuk pertanyaan negatif bagi lawan bicaranya, apakah mungkin Tuhan sebagai Pencipta tidak memiliki ilmu dan tidak mengetahui? Al-Qur'an menganggap hal ini sebagai persoalan yang jelas dan gamblang, yaitu terdapatnya kemestian antara Pencipta dan ilmu atas apa yang diciptakannya merupakan hal yang rasional. Pencipta sesuatu, sebelum menciptakannya niscaya telah mengetahui kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh ciptaannya, dan karena penciptaan Tuhan berlangsung terus-menerus, ayat di atas juga membuktikan bahwa Tuhan memiliki ilmu pra penciptaan dan pasca penciptaan dan menjelaskan bahwa Tuhan dalam setiap saat mengetahui seluruh makhluk-Nya.

P. Kemutlakan dan Ketakterbatasan Ilmu Tuhan
Al-Qur'an di samping menyifati Tuhan dengan ilmu, juga menegaskan ketak-terbatasan ilmu-Nya. Pengetahuan mengenai kemutlakan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan, selain merupakan pondasi hakiki agama dalam masalah sifat-sifat Tuhan, juga memegang peran penting dalam menyempurnakan makrifat terhadap Tuhan, serta hal inipun memiliki efek positif dalam pendidikan agama. Iman terhadap kemutlakan pengetahuan Tuhan terhadap seluruh persoalan akan memberikan pengaruh yang mendalam dalam menguatkan aspek tawakkal manusia, dan dengan percaya bahwa Tuhan mengetahui seluruh perbuatan manusia baik yang dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi dan bahkan niat-niat yang tersembunyi akan berpengaruh bagi manusia untuk menghindari dosa.
Al-Qur'an menyampaikan ketakterbatasan ilmu Tuhan dengan sangat tegas: " … dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Qs. al-Baqarah [2]: 282, at-Taghabun [64]: 11)
Pada sebagian ayat disampaikan pula tentang pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal khusus yang terjadi di alam dimana seluruh ayat ini menceritakan tentang keluasan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan, sebagai contoh dal Qs. al-Hadid [57]: 4) :

Artinya : "Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam di atas ´arsy, dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".

Ungkapan-ungkapan yang digunakan pada awal ayat memiliki banyak contoh-nya yang hal ini menegaskan keluasan ilmu Tuhan. Dan kalimat yang mengatakan, "Dia bersama kamu, dimana saja kamu berada" menunjukkan bahwa Tuhan karena senantiasa bersama dengan manusia menyebabkan Dia mengetahui dan melihat seluruh perbuatan mereka, artinya bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia hadir di hadapan-Nya.
Pengetahuan Tuhan terhadap semua perbuatan dan niat manusia diutarakan pada ayat-ayat lain dalam beragam bentuk, di antaranya, "Katakanlah: "Jika kamu mnyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Ali Imran: 29)

Q. Ilmu Gaib Tuhan
Pada sebagian ayat diketengahkan pula tentang ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia, seperti pada ayat berikut ini (Qs. Luqman [31]: 34)

Artinya : " Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".

Dalam ayat di atas disinggung tentang beberapa hal yang tercakup dalam ilmu gaib Tuhan, antara lain:
1. Pengetahuan-Nya akan hari kiamat;
2. Pengetahuan-Nya akan turunnya hujan;
3. Ilmu-Nya terhadap janin yang berada di dalam rahim ibunya;
4. Ilmu-Nya tentang masa depan manusia dan tempat serta waktu kematiannya.

Pada sebagian riwayat, hal-hal di atas digolongkan sebagai ilmu gaib dan ilmu khusus yang dimiliki oleh Tuhan .
Tentunya perlu diperhatikan bahwa makna gaib (tersembunyi) bersifat relatif yang terkait dengan maujud-maujud yang memiliki ilmu terbatas. Bagi Tuhan segala sesuatu itu nampak, tidak gaib, dan tidak tersembunyi, karena ilmu-Nya yang tak terbatas. Oleh karena itu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap hal-hal gaib adalah pengetahuan-Nya atas hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya.

R. Ilmu Tuhan dalam Hadis
Dalam riwayat Ahlubait Nabi Alaihimussalam, persoalan ilmu Tuhan diketengahkan pula dari sudut yang beragam. Pada sebagian riwayat, disinggung tentang ilmu dzat Tuhan dan ketakterbatasan ilmu tersebut atas maujud-maujud. Imam Ali As bersabda, "Tuhan mengetahui sebelum terciptanya maujud-maujud. "
Pada sebagian riwayat disinggung pula tentang ilmu Tuhan pra dan pasca penciptaan makhluk. Dalam hal ini Imam Shadiq As bersabda, "Tuhan ada sejak azali, ilmu-Nya menyatu dengan dzat-Nya pada saat maujud (ma'lum) belum tercipta dan sebagainya ketika Dia mewujudkan makhluk maka hadirlah ma'lum, ilmu-Nya atas ma'lum menjadi riil."
Pada banyak riwayat ditegaskan pula mengenai keluasan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan. Imam Ali As dalam menjelaskan tentang keluasan ilmu Tuhan bersabda, "Suara yang berasal dari kerak bumi maupun sahara, dosa yang dilakukan oleh manusia di tempat tersembunyi, kedatangan dan kepergian ikan-ikan di lautan, fenomena ombak karena badai, semuanya diketahui oleh Tuhan."
Demikian juga diriwayatkan dari Imam Shadiq As menjawab perkataan sahabat-nya yang berkata, "Segala puji bagi Tuhan seukuran ilmu-Nya", beliau bersabda, "Jangan berkata demikian, karena ilmu Tuhan tak berbatas dan tak berhingga."

S. Ilmu Khusus dan Ilmu Umum Tuhan
Dalam sebagian riwayat, ilmu Tuhan dibagi menjadi ilmu khusus yang teruntuk untuk dzat-Nya dan ilmu umum yang dimiliki oleh Dia dan sebagian makhluk-Nya (seperti para nabi, imam dan malaikat). Dalam sebuah hadis, Imam Baqir As bersabda, "Sesungguhnya Tuhan memiliki ilmu yang tidak diketahui oleh selain-Nya dan juga memiliki ilmu sebagaimana yang dimiliki oleh para malaikat-Nya yang terdekat, para Nabi dan Rasul, dan kami (para Imam-imam Ahlulbait As)."
Pada berbagai riwayat mengenai dua sifat "Mendengar" dan "Melihat" yang merupakan cabang dari ilmu Ilahi. Tapi sebagian menolak dan menyatakan bahwa ilmu Tuhan tidak bersumber dari pendengaran dan penglihatan yang menggunakan perangkat dan alat bantu, mengenai hal ini Imam Ali As bersabda, "Tuhan Maha Mendengar, tetapi tidak melalui alat pendengaran, dan Dia Maha Melihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala."


IV. SIFAT QUDRAT TUHAN
Salah satu sifat esensial yang dimiliki Tuhan adalah kodrat dan kekuasaan, dan Al-Qur'an menyebut Nya dengan sebutan Qâdir dan Qadîr. Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Berpijak dari hal ini, maka pengertian kodrat pada batasan tertentu telah jelas bagi kita, namun ada baiknya untuk penjelasan lebih luas kami menyajikan pula definisi kodrat yang nantinya akan mengantarkan kita untuk memahami definisi kodrat Ilahi.
A. Definisi Kodrat
Para teolog Islam mengungkapkan berbagai definisi yang berbeda tentang kodrat. Definisi umum mengatakan bahwa Qâdir adalah apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya. Berdasarkan hal ini, ketika dikatakan, pelaku tertentu mempunyai kodrat dan kemampuan untuk melakukan atau meninggalkan pekerjaan atau aktifitas, maka hal tersebut harus sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Oleh karena itu, pada seluruh persoalan, apabila pelaku tidak berkehendak dan perbuatan muncul tidak sesuai dengan keinginan dan kehendaknya, maka pelaku ini dalam melakukan perbuatannya dikatakan tidak mempunyai kehendak dan kodrat. Sebagai contoh, api tidak mempunyai kodrat untuk memunculkan panas dan membakar, karena membakar dan panas yang dimilikinya tidak muncul dari "keinginan"nya sendiri, maka tidak bisa dikatakan: apabila ingin ia bisa meninggalkan perbuatan membakar itu.
Berdasarkan definisi di atas, maka bisa disimpulkan:
1. Kemampuan dan kodrat untuk melakukan aktifitas tidak selalu mengharuskan terjadinya perbuatan, melainkan bisa jadi pelaku yang mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas malah meninggalkannya, hal ini terjadi ketika kehendak untuk melakukan pekerjaan itu berubah menjadi kehendak untuk meninggalkannya.
2. Pelaku bisa disebut mempunyai kemampuan atau kodrat sebelum melakukan aktifitas, hal ini berlawanan dengan pendapat sekelompok yang mengatakan bahwa pelaku hanya akan disifati dengan sifat kodrat setelah melakukan aktifitas Kebenaran pendapat ini bisa ditinjau dari penjelasan definisi kodrat dan juga merujuk kepada keadaan diri sendiri, telah jelas bahwa definisi kodrat meliputi dua proposisi bersyarat, yakni sebelum melakukan aktifitas tetap dikatakan bahwa pelaku memiliki kodrat. Pada sisi lain, dalam diri sendiri, kita menemukan begitu banyak hal yang mampu dilakukan, padahal belum melangkah tuk melakukannya.
3. Kodrat senantiasa diperhadapkan pada dua persoalan kontradiksi yaitu melakukan dan meninggalkan perbuatan, dengan kata lain, setiap membicarakan kodrat pelaku, maksudnya adalah pelaku ini mempunyai kemampuan melakukan dan kemampuan meninggalkan aktifitas. Sebaliknya, sebagian teolog berpendapat bahwa penyifatan kodrat pada pelaku hanya terjadi ketika muncul aktifitas dari pelaku itu, ini berarti bahwa kepemilikan kodrat hanya ada ketika melakukan aktifitas.
4. Kontradiksi antara dua pengertian kodrat dan kelemahan (al-ajiz) adalah sebagaimana kontradiksi antara pemahaman ketiadaan kodrat dan kepemilikan kodrat, oleh karena itu, pelaku-pelaku alami seperti api yang kosong dari kehendak, tidak bisa disifati sebagai sesuatu yang memiliki kodrat dan tidak pula dikatakan lemah dari kodrat.

B. Makna Kodrat Ilahi
Setelah kita mengetahui definisi kodrat, selanjutnya kita akan mengamati makna kodrat Ilahi. Bisakah makna umum kodrat ini kita nisbahkan kepada Tuhan secara langsung?
Dengan meninjau kembali definisi tersebut, bisa dikatakan bahwa tidak menjadi masalah apabila makna umum ini dinisbahkan kepada Tuhan secara langsung, tapi dengan syarat bahwa kita memandangnya sebagai kemampuan yang tak terbatas. Oleh karena itu, makna kodrat Tuhan adalah Dia melakukan aktifitas sesuai dengan keinginan-Nya dan meninggalkannya sesuai pula dengan kehendak-Nya.
Tentu saja harus diingat bahwa ketika kita mengamati hakikat kodrat dalam diri kita, akan kita temukan bahwa aktifitas yang kita lakukan atau kita tinggalkan biasanya muncul karena mengikuti motivasi dan faktor eksternal. Dari sini jelas bahwa makna yang demikian ini tidak akan sesuai jika kita nisbahkan kepada Tuhan, karena kon-sekuensi dari hal tersebut adalah bahwa Tuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri-Nya dan ini juga berarti bahwa Dia berbuat sesuatu karena selain-Nya, pengertian ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak Tuhan dan keniscayaan wujud-Nya. Meskipun sebagian teolog berkeyakinan bahwa perbuatan Tuhan muncul karena motivasi dan unsur-unsur dari luar dzat-Nya, akan tetapi pendapat yang benar adalah tak satupun aktifitas Tuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, hal ini jelas berlawanan dengan makhluk-Nya yang mempunyai ikhtiar dan kebebasan (manusia).

C. Penegasan Kodrat Ilahi
Dengan berpijak pada pengertian kodrat Ilahi di atas, kita bisa membuktikan kekuasaan Tuhan dengan beragam argumen, namun di sini kami hanya akan menyajikan satu argumen saja.
Berdasarkan definisi kodrat, pernyataan tentang "Tuhan tidak mempunyai kodrat dan kemampuan" hanya akan dikatakan benar ketika Dia berkeinginan untuk berbuat akan tetapi tak mampu melakukan atau Dia berkeinginan untuk tidak melakukan perbuatan akan tetapi justru terjadi aktifitas itu (tak mampu mengontrol sehingga terjadi perbuatan). Muncul pertanyaan, apa yang menjadi penyebab ketidakhadiran apa yang diinginkan oleh Tuhan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat dua asumsi:
1. Asumsi pertama, dzat Tuhan menjadi faktor ketidakhadiran apa yang Dia inginkan. Asumsi ini adalah tidak rasional dan batal. Karena tidak logis jika dikatakan bahwa Tuhan ingin melakukan aktifitas, akan tetapi Dia sendiri yang menjadi penghalang terjadinya aktifitas itu.
2. Asumsi kedua, adanya faktor eksternal selain Tuhan yang menjadi penyebab ketidakmunculan apa yang diinginkan-Nya. Asumsi inipun adalah tidak rasional, karena sebelumnya telah terbukti monoteisme Tuhan (Wâjibul Wujûd), dimana seluruh eksistensi selain-Nya adalah makhluk-makhluk-Nya (mumkinul wujûd) yang senantiasa bergantung kepada-Nya, oleh karena itu, tidak logis bila eksistensi makhluk yang tidak memiliki kemandirian sama sekali menjadi penghalang keinginan dan kehendak Tuhan.

Dengan demikian, terbukti bahwa Tuhan yang Qâdir dan Maha Kuasa ketika berkehendak tak sesuatupun yang dapat menghalangi keinginan-Nya.

D. Kemutlakan Kodrat Tuhan
Salah satu pembahasan yang hingga saat ini masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan para teolog adalah masalah yang berkaitan dengan keluasan kodrat Ilahi. Apakah kodrat Tuhan itu tak terbatas, mutlak dan meliputi semuanya ataukah terbatas dan sebagian berada di luar kemampuan-Nya? Sebagian berpendapat bahwa kemampuan Tuhan tak terbatas dan terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menguatkan pendapat ini.
Pendapat lain mengungkapkan tentang keterbatasan kodrat Tuhan dan mengingkari keterkaitan kodrat-Nya dengan sebagian masalah-masalah tertentu.
Pada prinsipnya, pendapat pertamalah yang benar. Kodrat Ilahi adalah mutlak dan tak terbatas sebagaimana halnya sifat-sifat dzat Tuhan yang lain. Untuk membuk-tikan pendapat ini secara rasional, selain kita bisa merujuk pada argumen ketidak terbatasan dan kemutlakan sifat-sifat Ilahi, juga bisa merujuk pada argumen pembukti-an prinsip kodrat Ilahi. Argumen-argumen ini, selain bisa membuktikan sifat kodrat Tuhan, juga membuktikan kemutlakan kodrat-Nya, karena inti dalil-dalil ini adalah tak "sesuatupun" yang bisa menjadi penghalang bagi lahirnya kehendak-kehendak-Nya.
Kesimpulannya, selain argumen tekstual agama (al-Qur'an dan al-hadis) yang akan disajikan nantinya, kodrat mutlak Tuhan bisa pula dipahami dengan argumen rasional. Meskipun demikian, masih ada sekelompok yang ragu dalam kemutlakan kodrat Tuhan, mereka menyimpulkan bahwa kodrat Tuhan terbatas. Di bawah ini akan kami sajikan secara singkat keraguan utama mereka berkaitan dengan masalah ini.

E. Keraguan dalam Kemutlakan Kodrat Ilahi
Keraguan-keraguan klasik terhadap kodrat mutlak Ilahi diungkapkan dalam pernyataan yang beragam. Di bawah ini akan kami paparkan sebagian dari keraguan tersebut:
1. Apakah Tuhan mampu menciptakan sekutu bagi diri-Nya sendiri? Apabila jawabannya positif, maka konsekuensinya adalah kita memungkinkan keberadaan sekutu Tuhan, padahal menurut ahli hikmah (filosof Ilahi), keberadaan sekutu bagi Tuhan adalah mustahil. Dan apabila jawabannya negatif maka konsekuensinya adalah keterbatasan kodrat Tuhan, karena "ada sesuatu" yang Tuhan tak bisa ciptakan.
2. Apakah Tuhan mampu meletakkan dunia dengan seluruh isinya ke dalam sebutir telur tanpa merubah keluasan dunia dan tanpa merubah besar telur? Kalau jawaban pertanyaan ini adalah negatif, maka berarti kodrat Tuhan terbatas dan tidak mutlak, karena ada hal-hal berada di luar kemampuan-Nya.
3. Apakah Tuhan mampu menciptakan batu yang Dia sendiri tidak mampu menggerakkannya? Atau, apakah Tuhan mampu menciptakan sesuatu yang Dia sendiri tidak bisa menghancurkannya? Maka apapun jawabannya, baik positif ataupun negatif, akan berujung pada pembatasan kemutlakan kodrat Ilahi.
Pada dasarnya, semua pertanyaan di atas hanya berpijak pada satu prinsip, karena itu, untuk memberikan penjelasan dan jawaban yang memadai, terlebih dahulu akan kami jabarkan tentang klasifikasi "kemustahilan". Kemustahilan (mumtani') terbagi dalam tiga bagian:
a. Kemustahilan dzat (esensial), merupakan mustahil-ada secara hakiki tanpa adanya faktor lain sebagai perantara dalam kemustahilannya. Seperti tergabungnya atau terangkatnya dua hal yang kontradiksi dalam satu waktu.
b. Kemustahilan mewujud, adalah mustahil-ada tapi tidak secara esensial dan hakiki, akan tetapi perwujudannya berujung pada kemustahilan esensial. Contoh dari kemustahilan mewujud adalah keberadaan akibat tanpa keberadaan sebab, yang pasti menghadirkan kontradiksi, yakni berkumpulnya dua hal yang kontradiktif . Kedua kemustahilan tersebut disebut juga dengan kemustahilan rasional (mumtani' al-aql).
c. Kemustahilan biasa, adalah mustahil terwujud jika dilihat dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum alam, yakni keberadaan dan keberwujudannya adalah tidak mustahil secara esensial dan dzati.

Dengan memperhatikan definisi-definisi kemustahilan di atas, jawaban mendasar dari semua keraguan di atas adalah kodrat Tuhan tidak ada kaitannya dengan kemustahilan dzat (esensial) maupun kemustahilan mewujud. Seluruh keraguan di atas sesungguhnya dikategorikan ke dalam kemustahilan-kemustahilan mewujud. Sebagai contoh, keberadaan sekutu Tuhan merupakan kemustahilan mewujud, karena setelah dianalisa, perumpamaan keberadaan dua Tuhan (Wâjibul Wujûd) akan memunculkan kontradiksi, dengan kata lain, dua Wâjibul Wujûd yang dimisalkan itu, selain mereka merupakan Wâjibul Wujûd juga bukan Wâjibul Wujûd . Keraguan kedua juga akan mengakibatkan terjadinya kontradiksi, karena konsekuensi dari perumpamaan tersebut adalah bahwa dunia ini selain dia berukuran besar, dia juga berukuran kecil (karena bisa dimasukkan ke dalam sebutir telur). Demikian juga keraguan ketiga, yakni pemisalan penciptaan batu yang Tuhan tidak mampu menggerakkannya atau penciptaan makhluk yang Tuhan tidak bisa menghancurkannya, kesemua ini akan mengarah pada kontradiksi.
Perlu diperhatikan bahwa kemustahilan dzati atau kemustahilan mewujud sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan kodrat Tuhan, kedua kemustahilan ini tidak akan pernah membatasi kodrat Ilahi, karena pada prinsipnya kemustahilan ini tidak mempunyai kapabilitas untuk dicipta, dengan ungkapan para filososf Ilahi dikatakan bahwa Tuhan sebagai Pelaku senantiasa sempurna, tetapi "sesuatu" (yaitu kemustahilan dzat dan mewujud) sebagai penerima perbuatan Tuhan tidak memiliki kapabilitas untuk dicipta.
Untuk lebih jelasnya, kita bisa mengamati kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita (tentu saja hal ini mempunyai perbedaan mendasar dengan subyek bahasan kita yaitu kodrat dan perbuatan Ilahi, akan tetapi untuk mendapatkan pemisalan yang mudah, kita hanya memperhatikan sisi keraguannya). Kami akan memisalkan tentang seorang ahli keramik yang mampu membuat vas bunga yang indah dengan bahan dasar lumpur. Sekarang kita akan menyediakan semangkuk air di hadapannya lalu memintanya untuk membuat vas bunga dari air tersebut, apa yang akan terjadi? Tentu saja, dengan kondisi seperti ini, vas bunga yang paling sederhanapun tidak akan mampu dia buat, dari sini terlihat bahwa ketidakberhasilannya membuat vas bunga dari air bukan karena ketidakmampuannya atau ketiadaan pengalaman dalam keahliannya, tapi karena apa yang kita letakkan di hadapannya yaitu air, sama sekali tidak mempunyai kapabilitas untuk dapat diubah menjadi sebuah vas bunga.
Pada pembahasan sebelumnya, juga dibahas tentang proposisi bahwa kekurang-an serta kelemahan terletak pada pihak penerima perbuatan dan bukan pada pelaku. Dipandang dari perspektif ini dapat dikatakan bahwa pengertian tentang "sesuatu" adalah tidak benar jika dinisbahkan pada kemustahilan rasional , hal ini berhubungan dengan ayat Al-Qur'an seperti "innallah 'ala kulli syaiin qâdir" (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Oleh karena itu, konklusi jawabannya adalah bahwa persoalan-persoalan yang disebutkan dalam keraguan-keraguan tersebut digolongkan ke dalam "kemustahilan akal" dan keterkaitan kodrat terhadap persoalan ini menjadi ternafikan serta ketiadaan keterkaitan antara keduanya tidak akan menyebabkan keterbatasan kodrat Tuhan.
Tentu saja sebagaimana yang akan kami sampaikan pada pembahasan mukjizat, kodrat Ilahi akan berkaitan dengan "kemustahilan biasa" dan pada prinsipnya mukjizat merupakan manifestasi dari proses penciptaan atas "persoalan-persoalan yang mustahil."

F. Kodrat Ilahi dan Perbuatan Tercela
Satu lagi masalah yang berkaitan dengan kodrat mutlak Ilahi adalah apakah Tuhan mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji dan tercela? Terdapat dua pendapat dalam hal ini, berdasarkan pendapat pertama dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kodrat untuk melakukan perbuatan semacam itu. Sementara pendapat kedua mengatakan, apabila dilihat dari hikmah dan sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya, maka Tuhan mustahil melakukan hal-hal yang tidak terpuji, akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Dia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.
Dengan mencermati subyek bahasan di atas bisa diketahui bahwa dari kedua pendapat tersebut pendapat kedualah yang bisa diterima. Tentu saja terdapat pula argumen untuk menegaskan pendapat pertama yang setelah menukilkannya, kami akan mencoba menganalisanya.
Telah dikatakan, apabila Tuhan kuasa dan mampu melakukan aktifitas-aktifitas tak terpuji, konsekuensinya adalah Tuhan tidak memiliki ilmu (bodoh, jahil) atau Tuhan membutuhkan (fakir), sementara telah diketahui bahwa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kaya dan Maha Suci dari segala bentuk kejahilan dan kefakiran, oleh karena itu, Tuhan mustahill melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dan tercela.
Dalam menjelaskan konsekuensi di atas dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadirnya aktifitas-aktifitas tercela berkaitan dengan kodrat Ilahi adalah adanya kemungkinan terwujudnya perbuatan tidak terpuji dari sisi Tuhan. Dimisalkan bahwa aktifitas tercela lahir dari Tuhan, dalam keadaan ini, bila Tuhan tidak mengetahui ketidakterpujian perbuatan itu berarti Tuhan adalah jahil, dan jika Dia mengetahui ketercelaan perbuatan itu berarti Dia melakukannya karena membutuhkan sesuatu, karena hikmah Ilahi mengharuskan ketiadaan aktifitas tidak terpuji. Dengan demikian, konsekuensi dari perumpamaan Tuhan mampu melakukan aktifitas-aktifitas tidak terpuji dikarenakan oleh dua asumsi, yaitu karena Tuhan bodoh atau karena Dia fakir, dan karena dua konsekuensi ini adalah mustahil terwujud, maka perumpamaan dan pandangan itu pun menjadi batal.
Dalam menjawab argumentasi di atas dapat dikatakan bahwa dua konsekuensi tersebut (yaitu jahil atau membutuhkan) merupakan syarat munculnya perbuatan tak terpuji dari Tuhan, dan dengan melihat kemampuan Tuhan melakukan aktifitas tak terpuji, hal ini tidak berarti bahwa pasti membutuhkan syarat semacam itu, karena sebagaimana dikatakan dalam definisi kodrat bahwa kemampuan melakukan sebuah perbuatan tidak mengharuskan munculnya aktifitas tersebut. Oleh karena itu, meskipun Tuhan mampu melakukan aktifitas tersebut, akan tetapi dengan dalil hikmah-Nya Dia mustahil melakukannya, dengan demikian tidak mengharuskankan kejahilan atau kebutuhan. Dengan ungkapan lain, dengan memandang hikmah yang dimiliki-Nya, adalah mustahil lahirnya perbuatan tak terpuji dari Tuhan, akan tetapi kemustahilan ini tidak berarti menafikan kodrat-Nya untuk berbuat.

G. Kodrat Ilahi Menurut Al-Qur'an dan Riwayat
Al-Qur'an memperkenalkan Tuhan dengan sebutan Qâdir, Qadîr, dan Muqaddir. Ia juga mensifati-Nya dengan Yang memenuhi segala sifat kodrat dan juga menegas-kan ketakterbatasan dan keuniversalan kodrat Ilahi, sebagaimana ungkapan yang disebut berpuluh-puluh kali dlm al Quran yaitu Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pada sebagian ayat, ditemukan ungkapan-ungkapan yang dijadikan dalil dan argumen atas kodrat tak terbatas Tuhan. Surah at-Thalaaq (65) ayat 12, Allah berfirman :
Artinya : "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu".

Sebagaimana yang kita lihat bahwa ayat ini menyiratkan bahwa ciptaan dan mekanisme alam merupakan salah satu dari petunjuk/dalil atas kodrat tak terbatasnya.
Pada ayat lain, penciptaan langit dan bumi dan menghidupkan kembali yang telah mati menunjukkan kodrat Nya atas kemampuan Nya. Dalam surah al-Ahqaaf (46) ayat 33, berfirman, "Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena men-ciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang yang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu"
Kita juga bisa menemukan hadis-hadis yang menunjukkan keuniversalan Kodrat Ilahi ini dalam riwayat-riwayat Ahlulbait As. Sebagai contoh, sebuah hadis dari Imam Sadiq As, yang mana Dia bersabda: "Allah mengetahui segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya dari sisi ilmu, kodrat, kekuasaan, kepemilikan dan sebagainya, Dan segala sesuatu dari sisi ilmu, kodrat, kekuasaan, kepemilikan dan sebagainya, adalah sama bagi-Nya".

H. Jawaban Keraguan atas Kodrat Ilahi
Pada sebagian argumen-argumen yang disabdakan Imam Maksum As terdapat pula argumen untuk menjawab keraguan-keraguan yang muncul atas kodrat mutlak Ilahi. Dalam salah satu riwayat dikatakan: seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ali As, "Apakah Tuhanmu mampu memasukkan dunia ini ke dalam sebutir telur tanpa mengecilkan dunia ini dan tak membesarkan telurnya?"
Imam bersabda, "Sebagaimana kita ketahui bahwa Tuhan tidak bisa disifati dengan sifat lemah dan tidak mampu, akan tetapi apa yang kamu inginkan ini tidak bisa terwujud (tidak ada kapabilitas untuk terwujud)."
Konklusi jawaban Imam adalah selain pertanyaan tersebut (masuknya dunia seisinya ke dalam telur tanpa mengubah keduanya) yang bukan saja tidak akan terselesaikan dan tidak akan berarti bahwa Tuhan lemah dan tak mampu, bahkan apa yang ditanyakan itu tergolong sebagai kemustahilan mewujud, oleh karena itu, bisa dikatakan secara prinsip bahwa tak ada kapabilitas untuk terlahir dan terwujud.

V. SIFAT HIDUP TUHAN YAKNI HIDUP ABADI DAN AZALI
Salah satu sifat Tuhan menurut para teolog adalah sifat hidup. Penafsiran tentang sifat hidup bagi Tuhan, terjadi perbedaan pendapat di antara para teolog dalam penjelasan makna dan persoalan bahwa apakah sifat ini adalah positif atau negatif.
Berpijak pada sifat hidup yang terdapat pada sebagian makhluk Tuhan, di antaranya pada makhluk-makhluk natural seperti manusia dan hewan, maka pada tahapan awal, kita akan melihat hakikat hidup yang ada pada makhluk-makhluk ini, setelah itu kita akan melangkah pada pemaknaan sifat hidup Tuhan.
A. Kehidupan Maujud-Maujud Natural
Ketika kita mengamati kondisi makhluk-makhluk hidup, maka kita akan menemukan adanya keistimewaan yang menyebabkan sifat hidup ini bisa dinisbahkan kepada mereka. Menurut para teolog, keistimewaan-keistimewaan ini akan kembali pada dua sifat asli yaitu "perbuatan yang memiliki kehendak" dan "ilmu". Dari sini dikatakan, makhluk hidup adalah sebuah makhluk yang memiliki tahapan aktifitas yang berkehendak dan berilmu; oleh karena itu, benda-benda tertentu disebut “tidak hidup” karena secara lahiriah tidak berilmu dan tidak aktif (tidak berkehendak), seperti batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan.
Tentu saja dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, apakah batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan memiliki kehidupan ataukah tidak, selisih pendapat ini bersumber dari adanya kemungkinan bahwa batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan berada pada tahapan terendah dari ilmu, kehendak, dan perbuatan. Wal hasil, dengan memperhatikan definisi hidup yang diungkapkan oleh para teolog, minimalnya, hewan dan manusia digolongkan ke dalam makhluk hidup. Di sini harus kita perhatikan dua poin penting berikut ini:
1. Hidup pada makhluk-makhluk natural seperti hewan dan manusia senantiasa diiringi dengan pertumbuhan, makan, regenerasi, pergerakan, perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sebagainya; sebagian ini merupakan tanda-tanda kehidupan bagi mereka, tapi jangan disimpulkan bahwa tanda-tanda tersebut sebagai tanda dari kehidupan mutlak, demikian juga jangan menganggap bahwa hidup, secara mutlak dan pada setiap tempat, senantiasa mengharuskan kondisi dan keadaan semacam itu. Pada hakikatnya, hal-hal di atas hanya sebagai kelaziman makhluk hidup di alam natural. Pensifatan hidup pada makhluk-makhluk di alam metafisika tak meniscayakan sifat-sifat tersebut, seperti pertumbuhan, makan, regenerasi.
2. Merujukkan sifat hidup kepada dua sifat asli yakni ilmu dan kehendak bukan berarti bahwa hidup adalah suatu sifat yang terkomposisi dari dua sifat asli tersebut, karena ini berarti bahwa hidup hanya sebagai kata dan makna yang nisbi dan di alam luar tak terwujud sesuatupun selain ilmu dan kehendak. Hidup adalah kesempurnaan eksistensial yang jika sebuah maujud memilikinya maka pasti bisa meraih ilmu, kodrat, kehendak, dan perbuatan. Maka dari itu, hidup yang didefinisikan secara umum sebagai ilmu dan perbuatan pada prinsipnya adalah pendefinisian yang didasarkan pada kemestian makna hidup itu sendiri.
Setelah kita mengetahui makna umum hidup menurut para teolog, tiba saatnya menjelaskan tentang makna hidup Tuhan.

B. Makna Hidup Tuhan
Sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya, para teolog Islam berselisih pendapat tentang makna dan kedudukan sifat hidup bagi Tuhan. Aliran teologi Asy'ariyah, berpandangan adanya sifat tetap yang tertambah pada dzat Tuhan dan menyepakati bahwa hidup merupakan sifat tetap yang berada di luar dzat Tuhan, dengan berpijak pada pandangan ini maka dzat Tuhan disifatkan dengan ilmu dan kodrat bukan dengan sifat hidup.
Mereka yang memungkiri perubahan sifat dan dzat Ilahi, mendefinisikan lain sifat hidup Ilahi ini dan mengatakan bahwa maksud dari Hidup Tuhan adalah Kekuasaan dan Keilmuan-Nya tidaklah mustahil.
Dengan tidak memperhatikan adanya perbedaan pandangan dalam sifat hidup ini, bisa dikatakan bahwa hidup merupakan salah satu sifat tetap bagi dzat yang menyatu dengan dzat Ilahi. Makna Hidup Tuhan adalah bahwa wujud-Nya mengharus-kan memiliki kesempurnaan khusus, yang dengannya kemudian disifati dengan ilmu, kodrat dan perbuatan. Tentunya, esensi Tuhan jauh dari segala bentuk persyaratan hidup sebagaimana yang terdapat pada maujud-maujud natural, seperti pertumbuhan, makan, dan sebagainya, karena persyaratan ini bukan persyaratan mutlak bagi kehidupan.
Dengan memperhatikan bahwa ilmu dan kodrat merupakan sifat Tuhan dan hubungan keduanya dengan sifat hidup, maka jelas bahwa hidup Tuhan juga merupakan sifat dzati dan esensial, dan ini berlawanan dengan sifat hidup bagi makhluk-makhluk natural yang bersifat aksidental dan berada di luar dzat mereka.

C. Argumen Tentang Hidup Tuhan
Selain argumen umum tentang pensifatan Tuhan dan seluruh sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya, para teolog memaparkan juga argumen untuk membukti-kan sifat Hidup Tuhan. Argumen sederhana yang bisa dirujuk adalah argumentasi yang berpijak pada ilmu, kodrat, dan perbuatan Tuhan.
Sebagaimana telah kami katakan bahwa ilmu, kodrat dan aktifitas merupakan persyaratan dan petunjuk kehidupan, dan dengan menilik pada pembahasan sebelumnya dimana ilmu dan kodrat Tuhan telah dibuktikan, maka pensifatan esensi-Nya dengan hidup menjadi terbukti. Syeikh Thusi memberikan ungkapan yang indah untuk menjelaskan argumen ini, berkata, "Dan setiap realitas yang memiliki kodrat dan berilmu, pasti hidup."

D. Hidup Tuhan Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur'an pada sebagian ayatnya mensifati Tuhan dengan sifat al-hayy. Surah al-Baqarah (2) ayat 255 dan al-Imran (3) ayat 2, Allah Swt berfirman, "Allah, tiada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal". Dalam surah Ghafir (20) ayat 65, berfirman, "Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia, maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam."
Dengan menilik ayat sebelumnya, terlihat bahwa ayat ini menunjukkan adanya perkecualian sifat hidup bagi Tuhan dan menjelaskan bahwa hidup yang hakiki hanyalah milik-Nya. Dengan mempertimbangkan adanya tahapan yang rendah dari kehidupan makhluk, al-Qur'an menyebut Tuhan sebagai Pemberi Kehidupan, jadi secara lahiriah maksud dari pengecualian sifat tersebut adalah bahwa hanya Tuhan yang mempunyai kehidupan yang esensial, abadi, kekal dan tak mengalami perubahan, hal ini ditegaskan pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman, "Dan bertawakkallah pada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati." (Qs. al-Furqan [25]: 58)
Al-Qur'an pada ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan Maha Hidup dan tidak akan mengalami kefanaan dan kematian, karena sifat hidup merupakan substansi dan esensi Tuhan. Dari sinilah manusia layak pasrah kepada-Nya, karena kepasrahan manusia kepada Sesuatu yang tidak akan pernah berubah dan tidak mengalami degradasi akan menyebabkan mereka tidak sedikitpun memiliki rasa takut dan ngeri.
Poin lain yang bisa disimpulkan dari ayat-ayat di atas adalah penyebutan hayyu dan qayyum yang disebutkan secara beriringan, ini sepertinya menunjukkan bahwa komposisi dua sifat ini adalah sifat-sifat sempurna-Nya, karena pensifatan hayyu selain menunjukkan pada kehidupan esensial juga menunjukkan ilmu dan kodrat-Nya yang tak terbatas, yang hal ini merupakan salah satu sifat esensial terpenting yang dimiliki-Nya, demikian juga pensifatan qayyum (yang artinya adalah seluruh eksistensi selain-Nya membutuhkan dan bersandar pada-Nya) merupakan dasar dari seluruh sifat aktual Tuhan. Maka dari itu, pengucapan zikir "Ya hayyu, Ya qayyum" merupakan salah satu zikir universal.
Amirul Mukminin Ali As, dalam salah satu khutbah mulianya, menegaskan bahwa tujuan makrifat manusia adalah mengagungkan Tuhan yang dilandasi atas makrifat terhadap dua sifat hayyu dan qayyum-Nya, dengan sabda, "Kita tidak mengetahui hakikat keagungan-Mu kecuali kita memahami bahwa Engkau lah hayyu dan qayyum yang tidak pernah lengah dan tidur .
Pada sebagian hadis juga tersirat tentang hakikat hidup Tuhan dan perbedaannya dengan kehidupan semua makhluk, di sini kami akan menyajikan salah satu hadis yang bermakna sangat dalam dari Imam Kadzhim As, bersabda, "Allah adalah Hidup, dan hidup-Nya tidak terwujud kemudian dan tidak mempunyai wujud mandiri yang mencakup semua sifat, hidup-Nya tidak terbatas dan tidak bertempat sehingga bisa disinggahi atau di tinggali, akan tetapi hidup-Nya bersifat esensial."
Tidak diragukan, perkataan Imam As dalam hadis tersebut mengandung hal-hal yang sangat mendetail dan mendalam hingga tidak bisa kita ungkap secara sempurna.
Dari riwayat tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Berlawanan dengan hidupnya semua makhluk, hidup Tuhan, bukan hidup kontingen atau temporal melainkan hidup yang mengikuti keabadian dzat Tuhan, karena hidup-Nya menyatu dengan dzat itu sendiri, maka hidup Tuhan adalah eternal (qadim) dan abadi.
2. Hidup Tuhan tidak mempunyai wujud mandiri yang terpisah dari dzat sehingga bisa disifati dengan sebuah sifat (karena wujud mandiri bisa disifatkan), oleh karena itu, secara lahiriah ibarat wa lâ kaunun mausufun (bukan sesuatu yang mandiri yang tersifati) menyiratkan pada penolakan pendapat (Asy'ariyah) tentang perbedaan sifat-sifat dzat dengan dzat Tuhan.
3. Hidup Tuhan tidak berada di bawah kategori kualitas (salah satu kategori aksiden) sehingga menjadi terbatas, karena kualitas khusus akan menyebabkan terbatasnya sesuatu, demikian juga Hidup Ilahi ini tidak mempunyai relasi khusus dengan tempat dan tidak pula menetap pada satu tempat.
4. Dengan demikian jelaslah bahwa hidup Tuhan adalah hidup yang esensial (bukan aksidental) dan eternal (qadim, pre-existent) sehingga tidak sedikitpun mempunyai keserupaan dengan kehidupan semua makhluk materi dan non materi.

E. Keazalian dan Keabadian Tuhan
Sifat lain yang tetap dan sempurna yang dimiliki Tuhan adalah sifat azali dan abadi. Pandangan umum para teolog bahwa Tuhan merupakan sebuah realitas yang azali dengan arti bahwa Dia telah ada "sejak awal" dan tidak ada suatu "masa" se-belumnya dimana Tuhan tidak berwujud. Pada sisi lain, Tuhan juga merupakan realitas yang abadi yaitu pada "masa mendatang" Dia tidak akan pernah tiada atau punah.
Dengan kata lain, baik pada "masa lampau" maupun "masa mendatang" Tuhan tidak akan pernah tiada yaitu senantiasa berwujud. Hal ini secara detail akan disajikan pada pembahasan mendatang.
Bisa dikatakan, selain penggunaan kata azali dan abadi, biasa juga digunakan kata qadim (eternal) dan bâqi (the continuant, kekal). Selain empat kosa kata tersebut, digunakan juga istilah sarmadi (eternal, sempiternal) yang para teolog mengartikannya sebagai sifat yang terkomposisi dari dua sifat azali dan abadi; dan berdasarkan hal ini, realitas eternal adalah suatu realitas yang senantiasa ada pada setiap "masa" baik "masa lampau", "masa kini" maupun "masa mendatang".

F. Interpretasi Keazalian dan Keabadian Ilahi
Para teolog Islam memiliki dua perbedaan pandangan dan interpretasi tentang keazalian dan keabadian Tuhan. Pada interpretasi awal dikatakan bahwa Tuhan ada pada setiap masa. Dia ada pada masa lampau, sekarang dan masa mendatang. Interpretasi ini memiliki makna bahwa Tuhan adalah suatu realitas yang berada pada zaman dan terbatas pada zaman. Sementara interpretasi kedua dikatakan bahwa Tuhan lebih luas dari zaman, Dia meliputi dan mencipta zaman. Berdasarkan pandangan kedua ini, maka pernyataan bahwa Tuhan senantiasa ada pada masa lampau atau masa mendatang merupakan sebuah ungkapan yang batil.
Meskipun masyarakat umum dan bahkan sebagian para teolog Islam sendiri menganut interpretasi pertama tentang keazalian dan keabadian Tuhan, tetapi interpretasi kedualah yang benar, karena kemutlakan wujud Tuhan bermakna bahwa dzat Tuhan sama sekali tidak terbatasi oleh syarat, kondisi, dan zaman. Pada prinsip-nya, zaman merupakan sebagian dari kekhususan dan syarat bagi maujud-maujud materi dan sesuatu bergerak, sedangkan dzat Tuhan suci dari gerak dan materi.
Oleh karena itu, pandangan tentang keabadian Tuhan harus kita maknakan bahwa dzat Tuhan di atas zaman, meliputi realitas zaman, dan senantiasa berwujud. Tentu saja selama kita masih dikekang oleh zaman yang ada di alam tabiat ini maka sangat sulit bagi kita untuk menggambarkan adanya sebuah realitas trans zaman dan sebuah realitas yang tidak dipengaruhi oleh masa lampau, kini dan masa mendatang.

G. Argumen Keazalian dan Keabadian Tuhan
Salah satu argumen sederhana berkaitan dengan masalah ini adalah argumen yang bersandar pada keniscayaan wujud Tuhan (wajib al-wujud-nya Tuhan). Pemba-hasan sebelumnya telah jelas bahwa Tuhan adalah Wajib al-Wujud dimana keberadaan bagi-Nya adalah niscaya dan ketiadaan bagi dzat-Nya adalah mustahil, oleh karena itu, kemestian wujud dzat Ilahi mengharuskan kemustahilan ketiadaan wujud-Nya dalam segala bentuk asumsi. Hal ini bermakna bahwa dzat Tuhan tidak didahului dengan ketiadaan dan ketiadaan tidak pula menyentuh-Nya, dan ini tidak lain adalah keazalian dan keabadian Tuhan itu sendiri. Nashiruddin Thusi beralasan dengan ungkapan yang pendek, "Dan Wajib al-Wujud menunjukkan akan keabadian Nya."
Poin lain yang bisa disimpulkan dari argumentasi ini adalah bahwa keazalian dan keabadian dengan makna di atas merupakan dua makna yang saling meniscayakan, apabila suatu wujud adalah azali maka niscaya wujud tersebut juga abadi.
Selain argumen di atas, para teolog juga memaparkan argumen lain yang tidak di bahas pada kesempatan ini.

H. Keazalian dan Keabadian Tuhan dalam Al-Qu’ran dan Hadis
Al-Qur’an tidak menggunakan kedua istilah di atas yaitu azali dan abadi Tuhan, melainkan memakai istilah yang lain. Sebagai contoh, al-Qur'an terkadang menyebut Tuhan dengan Yang Awal dan Yang Akhir.
Para mufassir dalam menafsirkan dua sifat awal dan akhir ini memaparkan beberapa asumsi, akan tetapi secara lahiriah maksud dari kedua sifat tersebut identik dengan apa yang dimaksudkan dalam makna azali dan abadi, makna tersebut ditegaskan pula dalam beberapa riwayat, sebagai contoh, Imam Ali As dalam khutbahnya bersabda, "Tuhan adalah Yang Awal yang tidak didahului oleh sesuatu sebelum-Nya, dan Dia adalah Yang Akhir yang tidak diakhiri oleh sesuatu setelah-Nya."
Dalam hadis lain kita temukan pula perkataan Imam Sadiq As yang bersabda, "Dia adalah Yang Awal tanpa ada sesuatu sebelum-Nya dan Dia Yang Akhir tanpa Dia sendiri berakhir, Dia senantiasa hadir tanpa berawal dan berakhir.
Dengan memperhatikan hadis-hadis di atas, jelas bahwa maksud dari Yang Awal dan Yang Akhir pada wujud Tuhan bukan hanya mengartikan bahwa Tuhan merupakan realitas yang pertama dan terakhir, karena makna ini tidak akan mengarah pada keazalian dan keabadian Tuhan, gagasan semacam ini bisa menggambarkan bahwa Tuhan terwujud sebelum semua realitas ada dan Dia akan tiada setelah semua realitas berakhir. Akan tetapi maksud dari Awal dan Akhir-nya Tuhan adalah bahwa tidak ada sesuatu sebelum dan sesudah-Nya yang bisa digambarkan, tidak ada yang mendahului maupun yang mengakhiri-Nya dan wujud-Nya tidak didahului oleh sesuatu sebelum-Nya dan tidak akan meniada.
Sebagian dari ayat al-Qur’an menegaskan pula akan keabadian dan ketidakfanaan Tuhan. Dalam surah ar-Rahman (55) ayat 26-27, Allah berfirman, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan akan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan". Demikian juga dalam surah al-Qashash ayat 88, berfirman, "Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah."
Menurut para mufassir, maksud kalimat "wajhahu" (wajah Tuhan) pada ayat ini tak lain adalah dzat Ilahi, dan berdasarkan hal ini, ayat-ayat di atas masing-masing menegaskan keabadian dan kekekalan

VI. SIFAT KEHENDAK DAN IRADAT TUHAN
Iradah dan kehendak, merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Tuhan yang men-dapatkan perhatian lebih khusus dari sifat-sifat lainnya. Meskipun para teolog Islam secara umum bersepakat dalam pensifatan Tuhan dengan kehendak, tetapi terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam penjabaran sifat ini dan pada sebagian hukum-hukumnya. Sebagian pertanyaan-pertanyaan penting yang berkaitan dengan masalah ini antara lain:
A. Apa definisi yang tepat untuk kehendak Ilahi?
B. Apakah kehendak merupakan sifat dzat ataukah sifat perbuatan Tuhan?
C. Apakah kehendak Tuhan eternal (qadîm) ataukah temporal (hâdits, creatable)?
D. Apa perbedaan pengertian kehendak (irâdah) dengan ikhtiar atau kemauan (masyiyat)?
Selain teolog, para filosof Islami pun melakukan kajian tentang hakikat iradah Ilahi ini. Di sini, pandangan filosof tidak diuraikan karena bisa menambah keraguan dan kerumitan pembahasan kita ini. Kami hanya akan menganalisa iradah Ilahi sesuai dengan tingkat pembahasan pada tulisan ini, dan kami akan berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
A. Hakikat Iradah Manusia
Manusia ketika melakukan aktifitas yang ikhtiari akan menemukan sebuah keadaan yang internal pada dirinya, keadaan ini disebut dengan iradah. Kondisi internal ini merupakan sebuah keadaan jiwa yang serupa dengan seluruh keadaan internal lainnya, hal ini bisa difahami dengan ilmu hudhuri. Akan tetapi, kehadiran ilmu ini terhadap kondisi internal ini tidak bermakna bahwa pembuktiannya dalam tataran pemahaman pikiran adalah perkara yang mudah, dan hal inilah yang menyebabkan perbedaan definisi pada iradah manusia.
Sebagian orang mengatakan bahwa iradah identik dengan keyakinan terhadap keuntungan sebuah aktifitas. Sebelum kita melakukan sebuah aktifitas, pasti terlebih dahulu membenarkan manfaatnya, dan hal tersebut tak lain merupakan iradah kita untuk melaksanakan aktifitas tersebut. Kadang kala pembenaran ini disebut dengan motivasi. Oleh karena itu, berdasarkan interpretasi di atas iradah tak lain adalah motivasi kita melakukan aktifitas.
Sementara kelompok lain berpendapat bahwa iradah bukan motivasi dan hanya dengan keyakinan terhadap manfaat aktifitas, bukanlah indikasi iradah melakukan aktifitas tersebut. Dalam hal ini juga terdapat perbedaan pendapat. Berdasarkan satu pandangan, selain terdapat keyakinan terhadap manfaat aktifitas, terdapat pula hasrat dan keinginan jiwa untuk melakukan aktifitas tersebut, dan hasrat ini tak lain adalah iradah itu sendiri. Terkadang iradah disebut juga sebagai kecenderungan kita melaku-kan aktifitas, dan sikap menghindar yang merupakan lawan dari iradah merupakan kecenderungan kita meninggalkan perbuatan. Menurut pandangan lainnya, iradah berbeda dengan hasrat dan kecenderungan melakukan aktifitas. Iradah merupakan sebuah keadaan jiwa yang dihasilkan setelah adanya ilmu tentang manfaat aktifitas sebelum melakukannya, yang hal ini menyebabkannya memilih untuk melakukan aktifitas tersebut daripada meninggalkannya.
Masing-masing pandangan di atas memiliki argumen, dan di sini kita tidak mem-bahasnya . Poin penting dalam hal ini adalah bahwa kita tidak bisa menisbahkan makna iradah untuk manusia ini kepada Tuhan, tanpa menghapus dimensi kelemahan, keterbatasan, dan karakter-karakter makhluk. Iradah manusia adalah bersifat aksiden pada jiwa manusia. Jelaslah bahwa sifat yang demikian ini tidak pantas bila dinisbah-kan kepada Tuhan, karena dzat Tuhan suci dari segala perubahan dan aksiden.

B. Pendapat Teolog tentang Hakikat Iradah Tuhan
Sebagaimana disinggung bahwa terdapat keragaman pendapat dari para teolog dan filosof tentang Iradah Ilahi. Di bawah ini akan disajikan secara ringkas sebagian pendapat mereka:
1. Makna iradah Ilahi adalah Tuhan melakukan perbuatan-Nya tanpa paksaan dan ancaman. Oleh karena itu, maksud dari kehendak Tuhan adalah tidak adanya paksaan dan ancaman dalam perbuatan-Nya.
2. Iradah Ilahi merupakan aktualisasi dari kodrat Tuhan .
3. Iradah Ilahi sebagai sifat dzat merupakan kecintaan Tuhan terhadap dzat dan kesempurnaan-Nya sendiri; dan sebagai sifat perbuatan, iradah Tuhan adalah keridhaan-Nya terhadap lahirnya sebuah perbuatan.
4. Iradah Tuhan identik dengan ilmu-Nya terhadap sistem yang terbaik - Filosof mende-finisikan iradah Tuhan sebagai salah satu sifat dzat Tuhan, iradah-Nya identik dengan ilmu Tuhan terhadap sistem terbaik bagi seluruh alam. Ilmu Tuhan ini merupakan mata rantai awal dari silsilah sebab-akibat perwujudan alam dan juga sebagai dasar penciptaan semua makhluk.
5. Iradah Tuhan adalah merupakan kemandirian dan kebebasan dzati-Nya.Tuhan secara esensial adalah Pelaku yang bebas dan iradah-Nya tak lain adalah kebe-basan-Nya sendiri. Meskipun ikhtiar-Nya bisa ditafsirkan sebagai ketakterpaksaan, tidak akan mengubah posisi sifat iradah (yang setara dengan kebebasan esensial-Nya) tersebut, sebagaimana ilmu yang didefinisikan sebagai ketidakjahilan tidak mengubah hakikat sifat ilmu.

C. Iradah Dzat dan Iradah Perbuatan
Apakah iradah merupakan sifat dzat Tuhan ataukah sifat perbuatan-Nya? Menjawab persoalan ini akan menjadi penting ketika kita melihat definisi di atas, dimana sebagiannya hanya memberikan sudut pandang pada iradah dzat (definisi keempat), sebagian lain pada iradah perbuatan (definisi kedua), dan sebagiannya lagi memandang bahwa iradah meliputi dzat dan perbuatan (definisi ketiga). Oleh karena itu, sebelum kita menganalisa definisi-definisi tersebut secara mendetail, ada baiknya terlebih dahulu kita menentukan bahwa apakah iradah Ilahi ini tergolong ke dalam sifat dzat ataukah sifat perbuatan.
Banyak teolog dan filosof Islam menganggap bahwa iradah dzat setara dengan ilmu Tuhan terhadap sistem yang terbaik. Penjelasannya bahwa Tuhan memiliki ilmu terhadap kekhususan-kekhususan sistem terbaik bagi alam, yaitu Dia mempunyai ilmu terhadap kondisi dan keadaan yang paling sempurna untuk alam; dan ilmu inilah yang menjadi iradah dzat Tuhan. Menerima pendapat ini tidak berarti telah terlepas dari problematika. Dengan menilik makna iradah dan merujuk pada pengertian leksikalnya, kita menemukan bahwa makna iradah tidak bisa disamakan dengan makna ilmu . Pada sisi lain, sebagaimana yang akan kita lihat, dalam sebagian riwayat ditegaskan adanya pemisahan antara ilmu dan iradah.
Jika kita tidak menerima adanya penyetaraan antara iradah (sebagai sifat dzat) dan ilmu Tuhan terhadap sistem terbaik alam, maka penggambaran iradah Ilahi sebagai sifat dzat-Nya akan menjadi rumit, kecuali kalau kita memilih definisi kelima yaitu iradah Tuhan identik dengan kebebasan dzat-Nya, yaitu dzat Tuhan memiliki kesempurnaan eksistensial yang dengannya tak sesuatupun dapat menghalangi-Nya dan segala perbuatan-Nya lahir tanpa ancaman dan paksaan dari selain-Nya.
Dalam kaitannya dengan iradah sebagai sifat perbuatan bisa dirujukkan kepada sifat seperti cinta dan ridha. Berdasarkan hal ini, iradah Tuhan terhadap lahirnya sebuah aktifitas khusus adalah sebuah relasi antara kecintaan dan keridhaan Tuhan terhadap perwujudan aktifitas tersebut. Akan tetapi di sini mungkin terdapat masalah karena berdasarkan apa yang kita temukan di dalam diri kita, makna iradah bukanlah kecintaan dan keridhaan.
Kemungkinan lain yang bisa kita katakan adalah sifat iradah, sebagai sifat perbuatan, bersumber dari tingkatan perbuatan Tuhan yaitu penciptaan maujud-maujud itu sendiri. Penjelasan yang bisa diterima akal adalah bahwa setiap makhluk pada setiap masa, tempat, dan kualitasnya yang tertentu, senantiasa berkaitan dengan ilmu dan kecintaan Tuhan dan Tuhan menciptakan maujud-maujud tersebut dengan kehendak-Nya sendiri tanpa paksaan dari selain-Nya. Dengan demikian, sifat iradah bersumber dari relasi khusus antara Tuhan dan makhluk-Nya.
Terdapat pendapat lain yang mengatakan, sifat iradah (sebagai sifat perbuatan) berasal dari hubungan antara Tuhan dan perbuatan-Nya yang memiliki sebab (‘illah) sempurna. Dengan demikian, setiap kali terdapat relasi perbuatan yang mempunyai sebab sempurna dengan dzat Tuhan, maka pasti berhubungan dengan sifat iradah, dan kita katakan bahwa Tuhan menghendaki terjadinya perbuatan tersebut.

D. Iradah Tuhan: Temporal (Huduts) atau Eternal (Qidam)
Menurut Asy’ariyah, iradah merupakan sifat tambahan pada dzat Tuhan dan sifat ini eternal sebagaimana dzat-Nya. Sementara kelompok lain, berpandangan bahwa sifat iradah Tuhan adalah temporal dan tercipta, akan tetapi di antara mereka juga berbeda pendapat seputar masalah ketemporalan sifat itu .
Dengan memperhatikan penjelasan tentang iradah dzat dan perbuatan, bisa dikatakan bahwa iradah dzat identik dengan dzat Tuhan, oleh karena itu, sebagaimana sifat dzat yang mengikuti keeternalan dzat, sifat iradah adalah eternal. Akan tetapi apabila pembahasan berfokus pada iradah perbuatan, karena ia muncul dari relasi antara dzat Tuhan dan perbuatan-Nya, dimana perbuatan-Nya bersifat temporal maka sifat iradah pun merupakan hal yang temporal. Tentu saja sebagaimana yang telah kami katakan dalam pembahasan perbedaan antara sifat-sifat dzat dan perbuatan, sumber kemunculan sifat perbuatan bukanlah dari dzat Tuhan melainkan bersumber dari perbuatan itu sendiri.

E. Iradah, Ikhtiar, dan Keinginan (Masyiyat)
Selain sifat iradah, Tuhan juga disifati dengan sifat berkeinginan dan ikhtiar. Setarakah ketiga sifat ini ataukah masing-masing mempunyai makna mandiri dan berbeda? Dikatakan bahwa tentang tidak ada perbedaan antara iradah dan keinginan, yaitu bahwa keduanya mempunyai makna yang sama. Akan tetapi, menurut sebagian teolog terdapat perbedaan antara keduanya. Sebagai contoh, orang yang mengatakan bahwa iradah sebagai ilmu tentang kemaslahatan atau ketakmaslahatan suatu pekerja-an dan keinginan sebagai kemauan untuk melakukan atau meninggalkan suatu peker-jaan"; suatu kemauan yang bersandar pada ilmu terhadap kemaslahatan dan ketak-maslahatan . Demikian pula dikatakan bahwa yang berhubungan dengan keinginan adalah kuiditas akibat (ma’lul) sedangkan iradah berhubungan dengan wujud akibat .
Dari sebagian tafsir iradah (sebagai sifat dzat), dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara iradah dan ikhtiar, dan hakikat iradah adalah ikhtiar Tuhan itu sendiri. Berdasarkan pendapat yang lain, definisi ikhtiar adalah melakukan suatu pekerjaan dengan dasar ilmu, kehendak, iradah, dan kodrat; dan sifat ikhtiar muncul dari hubungan antara pelaku dan perbuatan.

F. Argumen Para Teolog atas Iradah Tuhan
Konklusi salah satu argumentasi termasyhur para teolog atas iradah Tuhan adalah sebagian dari perbuatan Tuhan akan terwujud pada waktu tertentu, misalnya kita melihat sebuah eksistensi yang tercipta pada masa tertentu dan sebelum masa itu eksistensi tersebut tiada. Pada sisi yang lain, pengkhususan aktifitas semacam ini pada masa-masa tertentu membutuhkan pengada. Maksud dari pengada di sini adalah pelaku yang menjadi penyebab munculnya perbuatan tertentu pada masa tertentu (tidak lebih cepat dan tidak terlambat).
Dengan mengamati persoalan kodrat dan ilmu Tuhan menjadi jelas bahwa sesuatu tersebut tidak memiliki kelayakan sebagai pengada. Misalnya, keterkaitan kodrat dengan keseluruhan masa adalah sama dan mustahil Tuhan pada masa tertentu mampu melakukan perbuatan dan pada masa lainnya tidak mampu melakukannya. Hal inipun berlaku pada Ilmu Tuhan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengada lain selain kodrat dan ilmu, dan pengada itu tidak lain adalah iradah.

G. Iradah Takwini dan Tasyri'I - Iradah yang telah dibincangkan merupakan iradah takwini Tuhan. Selain jenis iradah ini, para teolog menyepakati adanya iradah tasyri'i Tuhan, yang hal ini berpijak pada perbuatan khas manusia. Hubungan iradah tasyri'i (yang berlawanan dengan iradah takwini) dengan sebagian perbuatan menjadi sumber lahirnya hukum wajib, dan kaitan iradah tasyri'i dengan perbuatan lainnya menjadi faktor munculnya hukum makruh dan haram. Oleh karena itu, iradah perbuatan dan takwini Tuhan merupakan sumber perwujudan segala eksistensi, dengan kata lain, iradah takwini bersumber dari relasi khusus Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, sementara sumber iradah tasyri'i dari hubungan khas antara Tuhan dengan sebagian perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia.

H. Iradah Tuhan Menurut Al-Qur'an dan Riwayat
Iradah berasal dari akar kata raud yang dalam makna aslinya adalah datang dan pergi dengan sikap lembut dalam pencarian sesuatu. Makna kata ini tersusun dari tiga unsur: keinginan terhadap sesuatu yang diikuti dengan kecintaan, harapan akan keberhasilannya dan motivasi dalam melakukannya baik dari diri sendiri atau dari selainnya. Kehendak pun menurut sebagian besar kamus semakna iradah, akan tetapi dalam pandangan sebagian mereka , kehendak merupakan sebuah kecenderungan yang lahir setelah penggambaran dan pembenaran, dan setelah itu muncul keinginan kuat dan iradah.
Meskipun dalam al-Qur'an dua sifat iradah dan kehendak ini tidak dinisbahkan kepada Tuhan dalam bentuk kata pelaku, akan tetapi dalam beberapa ayat yang kaitannya dengan masalah Tuhan digunakan bentuk kata kerja dari dua kata dasar ini.
Pada sebagian ayat al-Qur'an dijelaskan bahwa iradah dan kehendak takwini Tuhan berpengaruh di semua aspek dan suatu perbuatan yang berkaitan dengan iradah-Nya pasti terwujud tanpa syarat dan batasan, Allah berfirman, "Ketika Kami menghendaki sesuatu, Kami hanya akan mengatakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah ia."(Qs. An-Nahl: 40)
Tentunya, yang dimaksud dengan Tuhan mengatakan "kun (jadilah)" pada sesuatu, bukanlah perkataan lisan (sebagaimana perkataan lisan manusia yang ter-kadang berbeda dengan kenyataan luar dan perbuatannya), melainkan ungkapan yang berarti bahwa mustahil iradah Tuhan tidak terwujud, walau berjarak sedetikpun.
Pada sebagian ayat dikatakan pula tentang keuniversalan dan ketakterbatasan kehendak Tuhan: "Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. An-Nuur: 45).
Demikian juga, al-Qur'an al-Karim menegaskan bahwa tidak ada satupun maujud yang mampu menentang iradah takwini Tuhan dan menghalangi perwujudannya, hal ini merupakan ungkapan lain atas ketakterbatasan iradah Ilahi, Tuhan berfirman, "Katakanlah: "Maka siapakah yang mampu menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Fath: 11)
Tentu saja sebagaimana akan dibahas dalam hikmah Ilahi, keuniversalan iradah dan kehendak Ilahi bukanlah bermakna bahwa iradah berhubungan dengan semua perbuatan termasuk hal-hal yang buruk, tercela dan sia-sia; Hikmah-Nya mengharus-kan Tuhan berkehendak hanya pada perbuatan yang mengandung hikmah dan kemaslahatan bagi makhluk-makhluk-Nya.
Sebagian ayat-ayat al-Qur'an mengisyaratkan pula tentang iradah tasyri'i Tuhan, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 185 difirmankan, "Allah menghendaki kemudah-an bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu."
Setelah pada awal ayat ini Tuhan menjelaskan tentang hukum puasa Ramadhan dan menegaskan bahwa mereka yang dalam perjalanan atau sedang sakit akan memperoleh pengecualian hukum, dilanjutkan bahwa iradah tasyri'i Tuhan berkaitan dengan penetapan sebuah hukum yang menjamin kemudahan bagi manusia dan bukan menyebabkan kesulitan mereka.
Demikian juga, setelah mengungkapkan sebagian hukum-hukum Ilahi, dalam surah al-Maidah ayat 1, Tuhan berfirman, "Allah menetapkan hukum-hukum sesuai dengan yang dikehendaki Nya."
Selain al-Qur'an, terdapat riwayat Ahlulbait yang menjelaskan iradah Ilahi ini. Yang perlu diperhatikan di sini adalah kebanyakan riwayat ini memperlihatkan iradah perbuatan Tuhan; Dan sebagiannya menolak iradah sebagai sifat eternal yang tertambah pada dzat-Nya. Misalnya, terdapat hadis dimana perawi bertanya kepada Imam As, "Apakah Allah memiliki iradah sejak awal?" Imam As bersabda, "Sesungguh-nya yang beriradah tidak ada kecuali apa yang dikehendaki ada bersamanya. Sejak awal Tuhan Berilmu dan memiliki kodrat, setelah itu Dia berkehendak."
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam As di dalam hadis itu bahwa iradah perbuatan Tuhan tidak azali dan eternal. Mungkin maksud perkataan Imam As ini adalah bahwa sifat-sifat perbuatan, sebagaimana iradah, merupakan hubungan antara Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya, atau dengan kata lain, iradah ini berasal dari perbuatan Tuhan dan karena perbuatan-Nya adalah aksiden, maka mustahil sifat-sifat perbuatan-Nya adalah eternal.
Hadis lain yang dinukil dari Imam Ridha As, selain hadis ini menjelaskan tentang hakikat iradah perbuatan Tuhan, di dalamnya dijelaskan pula tentang perbedaan iradah Tuhan dengan iradah manusia serta kesucian iradah-Nya dari keterbatasan sebagaimana iradah manusia. Imam bersabda, "Iradah makhluk merupakan keputusan jiwa yang disertai dengan perbuatan, akan tetapi iradah Tuhan hanya bermakna penciptaan". Tuhan tidak berfikir terlebih dahulu dan tidak pula mengambil keputusan, sifat semacam ini ternafikan dari-Nya, karena semua itu merupakan sifat-sifat makhluk. Jadi, iradah Tuhan adalah perbuatan Tuhan itu sendiri. Tuhan berfirman "Kun (jadilah)" maka apa yang dikehendaki-Nya niscaya terwujud tanpa membutuhkan kata-kata, lisan, keputusan, dan pertimbangan; dan tidak ada kategori kualitas dalam firman-Nya, sebagaimana tidak ada kategori kualitas dalam dzat-Nya".
Pada hadis lain ditegaskan tentang keaksidenan kehendak Ilahi ini, sebagai contoh diriwayatkan dari Imam Sadiq As yang bersabda, "Tuhan menciptakan kehendak untuk diri-Nya (tanpa memerlukan kehendak dari selain-Nya) dan Dia menciptakan segala sesuatu dengan kehendak-Nya."
Poin menarik yang bisa disimpulkan dari hadis para Imam As adalah adanya perbedaan antara ilmu dan iradah. Imam Shadiq As kepada salah satu sahabatnya yang bertanya tentang perbedaan antara ilmu dan iradah, bersabda, "Ilmu Tuhan bukanlah kehendak-Nya. Apakah kamu tidak memperhatikan ketika kamu mengatakan: "Aku pasti melakukan suatu pekerjaan jika Tuhan menghendaki", akan tetapi kamu tidak mengatakan: "Apabila Tuhan mengetahui pekerjaan itu, maka aku pasti melakukannya", jadi perkataanmu yang mengatakan "Apabila Tuhan menghendaki" merupakan dalil bahwa hingga saat ini Dia tak menghendaki, oleh karena itu, kalau Dia berkehendak, maka apa yang Dia kehendaki pasti terwujud dan ilmu Tuhan ada sebelum Dia berkehendak".

VII. SIFAT KALAM TUHAN
Pada hakikatnya sifat-sifat perbuatan Tuhan tidak terhitung banyaknya; dan al-Qur'an al-Karim banyak menyebutkan sifat-sifat ini, seperti khâlik, fâtir, mâlik, hakîm, rabb, razzâq, rahman, rahim, ghafur, hâdi, wakil, nâsir, qâhir, jabbar, dan nama lainnya yang tak berhingga. Kesemua sifat ini adalah sifat-sifat perbuatan-Nya. Para teolog biasanya membatasi pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan Tuhan ini pada beberapa sifat tertentu saja. Mengingat pembahasan kita terbatas oleh ruang dan waktu, tak ada cara lain bagi kami selain mengikuti metode yang ada, meskipun pengkajian terhadap seluruh sifat perbuatan ini dan penyajiannya kepada manusia adalah tanggung jawab teologi dan para teolog.
A. Kalam Ilahi
Seluruh teolog dan aliran-aliran teologi Islam, bahkan seluruh umat Islam sepakat terhadap kalam Tuhan dan mengaggap kalam sebagai salah satu sifat-Nya. Meskipun demikian, pada pembahasan partikular terdapat perbedaan yang sangat mendalam antara aliran-aliran teologi. Ikhtilaf ini bersumber dari dua masalah:
1. Penafsiran terhadap hakikat kalam Ilahi;
2. Kalam Ilahi bersifat huduts (temporal) atau qidam (eternal).

Pada era pertama kemunculan Islam menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di antara muslim, khususnya dalam perkara huduts atau qidam-nya kalam Ilahi, telah memunculkan fitnah yang sangat besar bahkan menyebabkan pengkafiran dan pembunuhan di antara mereka. Pada pembahasan ini, kami akan mengkaji pendapat terpenting berkaitan dengan ke-huduts-an atau ke-qidam-an kalam Ilahi, dan setelah kami sajikan pendapat yang benar, kami akan melanjutkan dengan pengkajian berdasarkan visi al-Qur'an dan hadis

B. Hakikat Kalam Ilahi
Berbagai pendapat yang menjelaskan kalam Ilahi, dan di bawah ini kami akan menyebutkan beberapa pendapat terpenting:
1. Sebagian menganggap kalam Ilahi sebagai bentuk suara dan huruf yang mandiri dari dzat Tuhan dan sifatnya adalah eternal. Kelompok ini menganggap bahwa jilid dan mushhaf al-Qur'an sebagai salah satu individu eksternal dari kalam Tuhan yang eternal dan azali .
2. Pendapat lain mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah suara-suara dan huruf-huruf yang independen dari dzat Tuhan akan tetapi bersifat temporal.
3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah suara-suara dan huruf-huruf yang temporal dan tidak independen dari dzat Tuhan melainkan sebagai perbuatan dan makhluk-Nya. Gagasan ini dinisbahkan kepada Mu'tazilah, dan maksud dari "Tuhan berkalam" adalah terciptanya huruf-huruf dan suara-suara di alam eksternal.
4. Sebagian dari kelompok Asy'ariyah mengatakan bahwa kalam Ilahi independen dari dzat-Nya dan berbeda dengan ilmu dan iradah, dari sinilah sehingga kalam Ilahi terkadang dinamakan dengan kalam nafsi (kalam inner). Menurut mereka, kalam nafsi memiliki satu makna yaitu kalam yang lepas dari berbagai bentuk ungkapan seperti perintah, larangan, berita, panggilan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan huruf-huruf dan suara yang menunjuk pada kalam adalah sebagai hakikat eternal dan azali serta merupakan salah satu dari sifat dzat Tuhan.

Dari evaluasi pendapat di atas, secara global bisa dikatakan bahwa dua pendapat pertama adalah batil, karena gambaran tegaknya huruf dan suara yang bersifat materi pada dzat Tuhan yang non-materi itu adalah tidak rasional, baik kita menganggap bahwa suara dan huruf-huruf tersebut adalah eternal atau temporal (meskipun pendapat pertama yang sangat aneh itu yakni ke-eternal-an huruf dan suara merupakan hal yang dikehendaki Tuhan).
Pendapat Asy'ariyah pun tak luput dari permasalahan, kritik utama atas pendapat ini adalah bahwa kalam nafsi yang merupakan sesuatu berbeda dengan ilmu atau iradah Tuhan adalah tidak logis. Gagasan Asy’ariyah tentang kalam nafsi pada dasarnya identik dengan ilmu atau iradah Tuhan itu sendiri, dengan demikian sifat kalam Tuhan tak bisa disebut sebagai salah satu sifat-sifat-Nya .
Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengartikan bahwa kalam Tuhan tidak lain adalah terciptanya huruf-huruf dan suara-suara yang kadangkala termanifestasi pada benda-benda materi (seperti pohon), kadangkala berasal dari malaikat pembawa wahyu dan tak jarang dalam bentuk lain; dalam masalah ini para teolog Syiah sependapat dengan Mu'tazilah.
Allamah Majlisi mengatakan, "Syiah sepakat bahwa kalam Ilahi itu temporal (tercipta), terkomposisi atas huruf-huruf dan suara-suara, dan terwujud karena Tuhan. Makna dari Tuhan berkalam adalah bahwa Tuhan menciptakan huruf-huruf dan suara-suara itu dalam bentuk materi."
Tentu saja, Tuhan berkalam berbeda dengan manusia yang berkalam, karena Tuhan tidak memerlukan anggota badan dan perangkat tertentu untuk berkalam. Keberadaan anggota badan dan perangkat semacam itu merupakan kekhususan materi, sedangkan Tuhan suci dari karakter materi dan jasmani. Konklusi pembahasan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kalam Ilahi adalah kata yang termaktub atau terdengar yang menunjukkan kehendak Tuhan, maka kalam ini bersifat temporal sebagaimana halnya seluruh makhluk-Nya atau segala perbuatan-Nya. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah berbicara maka hakikatnya tidak lain adalah penciptaan kata-kata, kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang termaktub atau terdengar yang tak membutuhkan perangkat-perangkat materi, dari sinilah muncul sifat kalam yang merupakan salah satu sifat perbuatan Tuhan.

C. Seluruh Makhluk adalah Kalimatullah
Kadangkala kalam Ilahi didefinisikan dengan makna lebih luas dari huruf-huruf dan suara-suara. Pada makna ini, kalam Ilahi mencakup seluruh makhluk-Nya dan setiap eksistensi tidak hanya merupakan hasil perbuatan dan kreasi-Nya, melainkan merupakan kalimat dari kalimat-kalimat-Nya. Dari sini muncul pertanyaan bahwa bagaimana mungkin kata "kalam" digunakan untuk makhluk dan benda-benda luar, sedangkan berdasarkan penggunaan umum, kalam adalah kata-kata yang tertulis atau terdengar?
Jawaban ringkas soal di atas adalah dengan mengamati penggunaan dan manfaat kata-kata, maka akan menjadi jelas bahwa substansi kalam adalah menjabarkan dan menguraikan makna-makna yang ada di benak pembicara. Oleh karena itu, hakikat kalam tidak lain adalah hikayat, petunjuk, dan implikasi. Pada sisi lain, aktifitas pelaku (penciptaan makhluk) selain menunjukkan keberadaan pelaku juga menceritakan kekhususan wujudnya, dan perbedaan yang ada pada keduanya hanyalah bahwa implikasi yang ada pada kata-kata adalah perjanjian dan penetapan yang bersifat relatif dan nisbi, sementara implikasi perbuatan pelaku (seluruh makhluk) adalah bersifat hakiki dan realistis-rasional. Dengan demikian, makna kalam bisa diperlebar dan mengisyaratkan pada perbuatan Tuhan, karena setiap aktifitas menggambarkan kekhususan, tujuan, dan kehendak pelakunya. Sebagaimana yang dilihat pada al-Qur'an dan hadis-hadis Ahlulbait As yang memberikan legitimasi pada perluasan pemaknaan ini, sebagian maujud yang merupakan tanda-tanda Ilahi diperkenalkan sebagai kalimatullah.

D. Kalam Verbal, Kalam Inner, dan Kalam Perbuatan
Dari kajian di atas, bisa disimpulkan bahwa kalam Ilahi bisa didefinisikan dengan tiga makna global:
1. Kalam verbal, adalah suara-suara dan huruf-huruf yang diciptakan oleh Tuhan di alam eksternal supaya lawan bicara memahami apa yang dikehendaki-Nya.
2. Kalam nafsi atau inner, adalah makna-makna yang terwujud dengan perantara dzat Tuhan yang berbeda dengan ilmu dan iradah, dan kalam verbal yang menceritakan kalam nafsi itu.
3. Kalam perbuatan adalah semua makhluk dan perbuatan Tuhan yang menggambarkan wujud dan kesempurnaan-Nya.

Di antara ketiga makna di atas, makna yang bisa diterima adalah makna pertama dan ketiga, sedangkan makna kedua, sebagaimana pendapat Asy'ariyah, mustahil diterima, karena pembenaran makna kedua ini berangkat dari penggambaran yang bersifat mungkin, maka mustahil ia diposisikan sebagai kalam Ilahi.

E. Temporal dan Eternal Kalam Ilahi
Pada abad kedua Hijriah muncul pertanyaan di kalangan sekelompok muslimin tentang apakah al-Qur'an sebagai manifestasi kalam Ilahi adalah bersifat aksiden ataukah makhluk? Qadim ataukah azali? Para ahli hadis dan pengikut Hanbali, demikian juga Asy'ariyah beranggapan bahwa al-Qur'an adalah azali dan bukan makhluk. Hanbali dan Asy'ariyah mengkafirkan kelompok-kelompok yang menentang gagasannya. Sementara Mu'tazilah bertahan dengan pendapatnya yang memandang bahwa al-Qur'an bersifat huduts dan baru tercipta.
Dengan memperhatikan pembahasan hakikat kalam Ilahi tentang pengingkaran kalam nafsi, maka tak ada alasan untuk menganggap ke-qadim-an kalam Ilahi. Apabila kalam Ilahi didefinisikan sebagai huruf-huruf dan suara-suara atau maujud-maujud luar, maka berarti ia temporal dan hâdits, tapi kalau maksud kalam Ilahi adalah bahwa Tuhan berkalam, maka hal ini tetap harus dipandang sebagai perkara yang temporal, karena berkalam merupakan salah satu dari sifat-sifat perbuatan Tuhan dimana akan memunculkan suara-suara dan huruf-huruf atau penciptaan maujud-maujud. Kita mengetahui bahwa semua sifat perbuatan Tuhan adalah temporal, karena awal kemunculannya adalah aktualisasi temporal Tuhan. Mereka yang berpendapat tentang ke-eternal-an kalam Ilahi memiliki argumen-argumen yang lemah dan tak mendasar, dan disini kita tidak mengevaluasinya karena keterbatasan .
Dengan demikian, pendapat yang benar dimana dilegitimasi para Maksumin As dan para teolog Syiah adalah pendapat yang mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah temporal.

F. Argumen atas Kalam Tuhan - Di antara beragam argumen yang dilontarkan oleh para teolog dalam membuktikan sifat ini, kami hanya mencukupkan dengan menyebutkan satu argumen, sebagai berikut, "Pada pembahasan kodrat Ilahi telah dijelaskan bahwa kodrat-Nya akan bisa terwujud pada segala aktifitas yang memungkinkan dan tidak ada keraguan lagi bahwa terciptanya kata-kata tertulis dan suara-suara yang terdengar merupakan persoalan yang mungkin terjadi, oleh karena itu, terciptanya huruf-huruf dan suara-suara yaitu perkataan Ilahi masih berada dalam lingkup kodrat Tuhan . Syeikh Thusy dalam menjelaskan argumentasi ini mengatakan, "Kemutlakan kodrat Tuhan menegaskan tentang kalam-Nya."

G. Sifat Kalam Menurut Al-Qur'an dan Hadis
Dalam al-Qur'an kata Mutakallim tidak dimunculkan sebagai sifat Tuhan, akan tetapi pada sebagian ayat kata ini digunakan dalam bentuk kata kerja dengan kata dasar takallum (berbicara).
Dalam surah an-Nisa ayat 164, Allah Swt berfirman, "Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung".
Al-Qur'an al-Karim dalam tiga tempat menyebut kata kalam dengan Kalamullah (perkataan Tuhan), dan satu tempat dengan ungkapan Kalâmi (Perkataan-Ku)" . Di tempat-tempat lain, kita bisa menyaksikan ungkapan seperti Kalimatu rabbika dan Kalimatullah. Adanya ungkapan-ungkapan ini bisa disimpulkan bahwa al-Qur'an sepakat bahwa Tuhan mempunyai sifat takallum (berbicara).
Al-Qur'an al-Karim pada sebagian ayatnya berbicara tentang kalam verbal dan yang terdengar. Dalam surah Qashash ayat 30, Allah Swt berfirman, "Maka tatakala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah ia dari arah pinggir lembah sebelah kanan pada tempat yang diberkahi, dari sebotong pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam".
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt mengajak Nabi Musa As berbicara dengan menggunakan suara-suara yang terdengar dan dari konteks yang terdapat pada ayat ini dan ayat-ayat setelahnya menjadi jelas bahwa suara-suara tersebut didengar oleh Nabi Musa As. Pada ayat lain disebutkan adanya tiga metode pembicaraan Tuhan kepada manusia. Dalam surah as-Syuura ayat 51, berfirman, "Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun akan bercakap dengan Allah kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu mewahyukan kepadanya dengan seizin Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."
Berdasarkan ayat di atas, tiga metode tersebut adalah:
1. Pengiriman wahyu tanpa perantara, dalam keadaan ini makna dan pengertian "yang diwahyukan" akan menyatu dalam diri "yang menerima wahyu".
2. Pengiriman wahyu melalu perantaraan malaikat.
3. Menciptakan suara-suara yang bisa didengar oleh telinga dari balik tirai.

Selain kalam verbal, al-Qur'an al-Karim juga menganggap makhluk-makhluk Tuhan sebagai kalimat-Nya dan kadangkala memperkenalkan Nabi Isa As sebagai Kalamullah, ayat yang menjadi bukti hal ini adalah surah an-Nisa ayat 171, Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Al Masih 'Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi) dengan kalimat Nya."
Kadangkala pula, keseluruhan makhluk dan nikmat-nikmat yang diturunkan-Nya diungkapkan dengan Kalimatullah, pada surah Luqman ayat 27, Allah Swt berfirman, "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah."
Dengan demikian, al-Qur'an menggunakan kalam Ilahi ini dalam makna kalam yang terdengar dan juga dalam makna ciptaan Ilahi (kalam perbuatan).
Selain itu, beberapa ayat juga menunjukkan atas huduts-nya kalam Ilahi, dan dengan merujuk kepada ayat-ayat ini, maka tertolaklah pendapat tentang ke-qidam-an kalam Ilahi. Sebagai contoh, dalam surah al-Anbiya ayat 2, Allah berfirman, "Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya sedang mereka bermain-main."
Dengan mempertimbangkan ayat-ayat lainnya, antara lain surah Hajr ayat 9, yang menyebut al-Qur'an sebagai dzikr yang berarti bahwa al-Qur'an dan pemberian sifat kepadanya dengan sifat muhaddats (yang baru, yang tercipta) adalah menunjuk-kan pada huduts-nya al-Qur'an.
Pada sebagian riwayat Ahlulbait As kita menjumpai masalah huduts dan qidam-nya kalam Ilahi, para Imam Ahlulbait As terkadang mengingatkan para sahabatnya untuk tidak memasuki pembahasan yang mengandung ikhtilaf ini, karena pembahasan ini lebih dimanfaatkan untuk unsur-unsur politik ketimbang sebagai pembahasan aqidah dan pemikiran untuk menyingkap hakikat kebenaran, pembahasan ini juga dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk menyerang lawan bicaranya. Oleh karena itu, Imam Ridha As ketika menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya tentang al-Qur'an, bersabda, "Jangan membahas tentang kalam Tuhan (al-Qur'an), dan janganlah mencari hidayah selain al-Qur'an karena pasti mengantarkan kepada kesesatan."
Pada sebagian riwayat Ahlulbait As mengemukakan tentang pendapat mereka, sebagai contoh, Imam Hadi As dalam salah satu surat kepada sebagian pengkutnya, bersabda, "Dan tiada Pencipta selain Allah dan selain-Nya adalah makhluk, al-Qur'an al-Karim adalah kalam Tuhan dan janganlah Anda meletakkan bagi-Nya suatu nama yang bisa menyebabkan Anda tersesat."
Pada riwayat yang lain, ketika Abu Basir bertanya kepada Imam Shadiq As, "Apakah Tuhan berkalam sejak azal-Nya?" Imam As bersabda, "Kalam Tuhan adalah hadis (tercipta). Tuhan ada sebelum Dia berbicara, setelah itu Dia menciptakan kalam."

VIII. SIFAT BENAR DAN HIKMAH TUHAN
Seiring dengan pembahasan kalam Ilahi, muncul pertanyaan tentang apakah Tuhan senantiasa benar dalam setiap perkataan-Nya ataukah ada asumsi akan kebohongan dan ketakbenaran di dalamnya? Kaum muslimin sepakat bahwa di dalam kalam Ilahi tidak terdapat ketakbenaran maupun kebohongan, dengan kata lain, perkataan bohong merupakan sebuah hal yang terlarang dan mustahil bagi Tuhan. Dengan berpijak pada hal ini, seluruh aliran-aliran Islam berpendapat bahwa shidq (benar) yang bermakna: kesesuaian antara kalam dan kenyataan. Ini merupakan salah satu sifat sempurna Tuhan.
Dengan memperhatikan sifat shidq dan kemestiannya, terlihat adanya kepentingan dan manfaat yang sangat jelas di dalamnya. Sifat ini pada hakikatnya sebagai landasan utama bagi kepercayaan manusia kepada ajakan para Nabi, karena jika ada asumsi kebohongan dan kepalsuan dalam kalam Ilahi, maka wahyu Tuhan akan kehilangan ke-absahan dan manusia tidak lagi mempercayai janji-janji Tuhan dan tidak mungkin terdapat sejarah masa lampau maupun masa akan datang dalam wahyu. Dengan adanya keraguan terhadap sifat shidq/pengingkaran terhadapnya, maka tidak ada validitas seluruh makrifat, ilmu, dan hakikat kebenaran yang bersumber dari wahyu Ilahi dan kitab-kitab suci.

A. Shidq, Sifat Dzat atau Perbuatan?
Jawaban pertanyaan ini bergantung pada definisi kita tentang sifat kalam, bisa dikatakan bahwa dua sifat ini setara dalam dzat dan perbuatan. Oleh karena itu, kelompok Asy'ariyah yang meyakini kalam nafsi dan menganggapnya sebagai sifat dzat, pasti akan menganggap sifat shidq ini sebagai sifat dzat pula. Tentu saja sebagaimana yang sebelumnya kami ungkapkan bahwa gambaran jelas tentang kalam nafsi tidak akan tercapai jika tak dikembalikan kepada ilmu dan iradah, pada kondisi ini, jika kalam diartikan sesuai dengan yang dimaksud Asy'ariyah yaitu disamakan dengan ilmu Ilahi, maka makna shidq menjadi: kesesuaian ilmu Tuhan dengan realitas luar (segala ciptaan-Nya); dan apabila sifat ini kita kembalikan kepada iradah Ilahi, maka sifat shidq tidak akan bermakna sama sekali, karena secara rasional kebenaran iradah tidak terwujud (iradah tidak memiliki kesesuaian dengan kenyataan eksternal).
Akan tetapi, apabila kalam Ilahi kita anggap sebagai sifat perbuatan, maka sifat shidq juga akan merupakan sifat perbuatan. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendapat yang benar bahwa kalam merupakan salah satu sifat perbuatan, kesimpulannya, shidq pun merupakan salah satu sifat perbuatan.

B. Argumen Teolog atas Kebenaran Tuhan
Tidak diragukan lagi bahwa membuktikan sifat shidq dengan merujuk kepada argumen naqli akan mengakibatkan daur, karena validitas dalil-dalil naqli itu bergantung kepada kebenaran Tuhan, maka dari itu, pembuktian shidq Ilahi mustahil dirujukkan pada argumen naqli. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa kita lakukan pada pembahasan ini hanyalah menggunakan argumentasi rasional dan akal.
Para teolog berbeda pendapat dalam metode argumentasi akal terhadap sifat shidq Tuhan, dan ikhtilaf ini bersumber dari penerimaan atau penolakan atas kebaikan dan keburukan akal. Sebagian memandang bahwa akal manusia secara mandiri (tanpa membutuhkan wahyu atau syariat) mampu memahami kebaikan dan keburukan se-bagian perbuatan, dan mustahil Tuhan melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut akal manusia merupakan perbuatan tercela . Sebagaimana yang akan kami katakan pada pembahasan mendatang, para teolog dari kalangan Imamiah dan Mu'tazilah mendukung pendapat ini, sementara Asy’ariyah menolaknya.
Menurut pendukung pendapat kebaikan dan keburukan akal, argumentasi paling tepat atas kebenaran Tuhan bisa dievaluasi dalam bentuk sebagai berikut: Berkata bohong secara akal merupakan perbuatan yang tercela (premis pertama) dan perbuatan yang tercela mustahil dilakukan Tuhan (premis kedua), oleh karena itu, mustahil Tuhan berkata bohong (silogisme).
Dengan melihat adanya pertentangan antara bohong dan jujur, maka silogisme argumen di atas menjadi: niscaya Tuhan berkata benar.
At Thusy juga menggunakan argumentasi di atas untuk membuktikan kebenaran Tuhan, ia berkata, "Penafian perbuatan tercela Tuhan menunjukkan kebenaran-Nya"
Karena Asy'ariyah menolak kebaikan dan keburukan akal, maka argumentasi tersebut adalah tak valid. Oleh karena itu, sebagian teolog berusaha meramu argu-menttasi lain yang tidak berpijak pada kebaikan dan keburukan akal. Sebagai contoh, dikatakan: Tak jujur dan bohong adalah aib, dan mustahil terdapat aib pada Tuhan, oleh karena itu, tak jujur dan bohong mustahil dilakukan Tuhan

C. Kebenaran Ilahi Menurut Al-Qur'an
Al-Qur'an al-Karim dalam beberapa ayat menegaskan tentang Kebenaran Tuhan, pada surah al-Hijr ayat 64, berfirman, "Dan Kami datang kepada kamu dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya Kami betul-betul orang-orang yang benar."
Pada ayat lain dikatakan bahwa kalam Ilahi merupakan perkataan yang paling benar, dalam surah an-Nisa ayat 87, Allah Swt berfirman, "Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah". Demikian juga pada surah yang sama ayat 122, berfirman, "Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?"
Mungkin yang dimaksud dengan kemahabenaran Tuhan adalah perkataan-Nya, jika dibandingkan dengan perkataan-perkataan benar selain-Nya, mampu menjelaskan hakikat-hakikat secara lebih gamblang, rinci, dan dalam bentuk yang sempurna.
Masalah ini ditegaskan pula pada ayat-ayat lain, dikatakan bahwa Tuhan senantiasa jujur dan benar atas janji-janji-Nya, sebagai contoh, terwujudnya janji Tuhan dalam membantu kaum muslimin pada perang Uhud, Surah 'Ali Imran ayat 152, berfirman, "Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-janji Nya kepada kamu."
Ayat berikut ini menunjukkan kebenaran mutlak Tuhan atas seluruh janji-janji-Nya ('Ali Imran : 9 dan ar-Ra'd : 31) yaitu "Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji."

D. Keragaman Makna Hikmah
Hikmah memiliki makna yang banyak, kita akan melakukan evaluasi sepintas terhadap makna-makna tersebut:
1. Salah satu makna hikmah atau bijaksana adalah makrifat dan mengenal hakikat segala sesuatu. Dengan memperhatikan ilmu mutlak Tuhan, makna ini benar untuk Tuhan akan tetapi sifat itu akan kembali kepada sifat ilmu, dengan kata lain, hikmah dengan makna ini merupakan cabang dari ilmu Ilahi.
2. Makna lain dari hikmah adalah segala perbuatan dan aktifitas pelaku berdasarkan tujuan yang rasional dan layak diterima. Penggunaan makna hikmah ini bagi Tuhan terdapat ikhtilaf dan kelompok Asy'ari menentang hal ini. Akan diuraikan masalah ini tersendiri pada pembahasan yang akan datang.
3. Makna ketiga dari hikmah adalah aktifitas dan perbuatan pelaku memiliki tujuan kuat dan sempurna. Pada makna ini Tuhan adalah hakîm; dan untuk membuktikan-nya, selain dalil fenomena-fenomena yang teratur dan alam natural yang menakjubkan serta kesempurnaan dan keindahan yang tak terkira makhluk-makhluk Ilahi, kita juga bisa merujuk pada argumen akal. Di bawah ini akan dijabarkan dua argumentasi:
a. Ketidaksempurnaan perbuatan bisa bersumber dari kebodohan pelaku pada perbuatan itu, karena ketakmampuan pelaku atau karena pelaku sengaja melakukan perbuatan tak bermakna dan sia-sia. Semua faktor-faktor tersebut mustahil terjadi pada Tuhan, karena Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuat dan sebagaimana yang akan kami bahas selanjutnya, melakukan perbuatan sia-sia mustahil bagi-Nya. Dengan demikian, seluruh faktor yang disebutkan yang menyebabkan ketidaksempurnan perbuatan-Nya telah ternafikan. Konklusi, semua perbuatan-Nya memiliki tujuan yang sempurna.
b. Antara setiap pelaku dan perbuatannya ada kesesuaian, karena perbuatan pelaku pada hakikatnya merupakan manifestasi pelaku, oleh karena itu pelaku yang sempurna dari segala dimensi (baca: Tuhan) niscaya perbuatannya akan sempurna dari segala dimensi.

Hikmah Ilahi dengan makna di atas telah ditegaskan pula oleh beberapa ayat dan hadis, sebagai contoh kami akan mengetengahkan awal surah Hud, yang berfirman, "Alîf lâm râ, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu."
Imam Ali As tentang hikmah Ilahi bersabda, "Segala yang diciptakan-Nya terukur dengan sangat teliti setelah itu dikuatkan dan disempurnakan." Dan ber-sabda, "Tuhan dengan ilmu-Nya menciptakan seluruh makhluk dan dengan hikmah Nya mewujudkannya tanpa mengikuti, meniru atau belajar (dari siapapun), Dia adalah Pencipta yang Maha Mengetahui."
Konklusi dari hikmah Ilahi adalah kita mengetahui bahwa keteraturan alam merupakan keteraturan yang paling sempurna dari keteraturan yang mungkin ada, karena alam dengan seluruh keluasannya yang tak terhingga merupakan hasil perbuatan Tuhan dan hikmah Ilahi mengharuskan bahwa perbuatan-Nya mesti merupakan perbuatan yang terbaik dan paling sempurna.
4. Makna hikmah yang keempat adalah menghindari perbuatan tercela, hina, dan tak pantas. Dengan demikian hakim adalah seseorang yang tidak melakukan perbuatan tercela dan tak terpuji. Dengan menyimak makna ini, sifat adil dengan makna menghindari perbuatan zalim dan pemaksaan, pada dasarnya merupakan salah satu cabang hikmah (dengan makna keempat). Dengan kata lain, hikmah (dengan makna terakhir) mempunyai makna yang luas dimana sifat adil termasuk di dalamnya, karena maknanya adalah Tuhan tidak melakukan perbuatan tercela seperti bohong, mengingkari janji, berbuat zalim, dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa aliran-aliran pemikiran Islam berbeda pendapat terkait dengan makna-makna hikmah Tuhan di atas. Karena hikmah Ilahi (dengan makna terakhir) berpijak pada prinsip "kebaikan dan keburukan perspektif akal" dimana kelompok Asy'ariah menolak prinsip ini, tetapi Mu'tazilah dan Imamiah yang terkenal dengan 'Adliyah mendukung prinsip ini dan sepakat bahwa Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang menurut akal manusia adalah perbuatan tercela. Dengan demikian, meskipun Tuhan memiliki kemampuan melakukan perbuatan tercela, tetapi kesempur-naan wujud-Nya menghalangi kehendak-Nya untuk melakukan perbuatan tak terpuji, dengan kata lain dzat-Nya yang tak terbatas hanya melahirkan perbuatan terpuji.

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates